1.
Sumber-Sumber
Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dalam Bidang Tafsir
Abdullah al-Darraz adalah mufassir
yang metode tafsirnya
menjadi inspirasi bagi Muhammad al-Ghazali dalam menulis kitab tafsir. Muhammad al-Ghazali
mencermati perihal tema utama dari masing-masing surat, sejumlah isu yang
berbeda diobservasi dan diperhatikan. Muhammad al-Ghazali berusaha menyamai
atau melebihi karya Syeikh Muhammad ‘Abdullah al-Darraz dalam kajian surat
al-Baqarah berjudul al-Naba’ al-Adzim yang merupakan tafsir tematik
pertama untuk satu surat.[1]
Yusuf al-Qaradhawi
juga memberikan komentar tentang metode yang diadobsi Muhammad al-Ghazali dari
‘Abdullah al-Darraz:
“Metode tafsir tematik ini ia tiru dari ulama’ besar
Muhammad Abdullah al-Darraz dalam membahas surat al-Baqarah. Surat terpanjang
dalam al-Qur’an. Abdullah Darraz berhasil menggunakan metode tafsir tematik
dalam menjelaskan surat al-Baqarah dalam keadaan utuh dan penuh dengan nuansa
yang sangat menarik. Ini adalah tafsir maudhu’i
pertama yang membahas satu surat secara tuntas.[2]
Muhammad al-Ghazali juga menjelaskan
bahwa pandangan-pandangannya terhadap tafsir banyak mengambil manfaat dari imam
Hasan al-Banna. Disebutkan dalam Majalah Dakwah tertanggal I Rabiul Awal 1415 H, bahwa
Hasan al-Banna adalah gurunya yang pertama dalam banyak bidang. Muhammad
al-Ghazali juga banyak mendengar ceramah-ceramah Hasan al-Banna tentang al-Qur’an, selain itu
Muhammad al-Ghazali juga banyak mendapatkan manfaat ilmu dari imam Al-Banna
tentang metode tafsir yang bertumpu pada pengalaman khusus dan rasa pribadi.[3]
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Al-Gazw
al-Saqati Yamtaddu fī
Farāghina
juga mengadopsi pandangan-pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsīr al-Manār berkaitan dengan
prinsip-prinsip yang mengkaji tema dari satu surat. Dan bahwasannva ia memiliki
tujuan dan pembahasan tertentu dalam seluruh ayat-ayatnya saling berkaitan di
sekitarnya.[4]
Muhammad al-Ghazali
berpendapat bahwa sesungguhnya terwujudnya keadilan sosial
merupakan syarat bagi kemauan hati manusia menerima ajaran Islam. Keadilan Islam
adalah jalan yang mengantarkan hati manusia menjadi bermutu dan bertakwa.
Karena sangat sulit, hati manusia bisa terpenuhi oleh petunjuk, sementara
kebutuhan fisiknya sangat minim, atau bagaimana
mungkin seseorang memakai baju ketakwaan sementara tubuhnya telanjang.
[5] Muhammad al-Ghazali menghimbau agar umat Islam ikhlas dalam
memerangi kemiskinan dan kenistaan dengan mendasarkan diri pada agama, jika
benar-benar ingin mengajak manusia kepada Allah, maka umat Islam harus
mengawali dulu dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui perbaikan kondisi
ekonomi secara total.
Muhammad al-Ghazali mengajak umat Islam agar memahami sumber ajaran
Islam yang utama, yaitu al-Qur’an
dengan cara mencermati inti ajarannya. Inti dari ajaran al-Qur’an adalah :
1.
Ajaran
tauhid sebagai dasar falsafah wujud
dan aturan kehidupan serta merupakan washīlah untuk membebaskan jiwa
dari nafsu.
2.
Memahami
teks-teks al-Qur’an
yang berhubungan dengan penciptaan alam raya (ayat al-kauniyyah)
yang berkaitan dengan gerak jiwa dan alam yang bisa memperkokoh agama itu
sendiri dan keimanan seseorang.
3.
Kisah-kisah
yang ada dalam al-Qur’an.
Peranan kisah-kisah dalam al-Qur’an
merupakan sarana pendidikan dan pembersihan jiwa, disamping itu ia juga sebagai petunjuk
bagi keyakinan agama.
4.
Tentang
adanya alam ghaib, hari kebangkitan dan pembalasan.
5.
Peranan
al-Qur’an sebagai
landasan untuk membentuk akhlak,
membangun pendidikan dan hukum
demi mencapai kemaslahatan duniawi yang menjadi dasar bagi kemaslahatan
akhiratnya.[6]
Muhammad al-Ghazali adalah
seseorang yang mempertahankan sunah Rasul Saw. Posisi sunnah dan al-Qur’an itu sebagai
tiang agama Islam. Hadis atau sunnah menjelaskan dan menginterpretasikan
kandungan makna al-Qur’an
serta merealisasikan apa yang menjadi sasaran al-Qur’an dan mengejawentahkan pesan di balik
teksnya. Jadi seakan-akan tidak ada hukum fikih di dalam al-Qur’an apabila peran
hadis dipinggirkan, sebaliknya
tidak ada hadis kecuali di dalamnya memuat hukum-hukum fikih.[7]
Peng-istinbath-an hukum Islam yang
didasarkan pada hadis tidak bisa lepas dari hadis yang lain, karena antara hadis
yang satu dengan yang lain itu saling berkaitan. Dalam menentukan hukum yang
terkandung dalam al-Qur’an,
hadis-hadis yang telah dikumpulkan dibandingkan dengannya. Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan
bidang, dimana cakupan kandungannya di praktekkan dengan bantuan hadis. Dan
peng-istinbat-an hukum-hukum yang
terkandung dalam hadis-hadis shahīh itu disandarkan pada al-Qur’an. Jadi
hukum-hukum tersebut mengandung semacam peranan dan dukungan dari Tuhan.
Sedangkan penjabarannya bersifat kenabian, dimana seorang Nabi bertugas untuk
menjelaskan dengan detail mengenai ayat-ayat yang masih bersifat global.[8]
[1]
Muhammad
al-Ghazali, Naḥwa
Tafsīr Maudhū’iy li Suwar Al-Qur’ān al-Karīm, (Birut: Dār
al-Syurūq, 1995), h. 5.
[2]
Yusuf Qaradhawi,
Syaikh Muhammad al-Ghazali Yang Saya Kenal, Setengah Abad Perjalanan Pemikiran
dan Gerakan Islam, terj. Surya Darma, (Jakarta: Robbani Press, 1998), h.
146.
[5]
Muhammad al-Ghazali, Al-Islām wa al-Awdā’ al-lqtishādiyah,
(Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadītsah,
1987), h. 61-62.
[6]
Dalam salah satu karyanya Al-Mahāwir al-Khamsah li Al-Qur’ān al-Karīm Muhammad al-Ghazali menerangkan
bahwa, al-Qur’an
memuat lima tema pokok ajaran:
Allah Maha Esa; semesta dalil wujud Sang Khalik; kisah-kisah Qur’ani; kebangkitan dan
balasan; pendidikan dan hukum. Talib Anis, Op.cit., h.
67-69.
[7]
Muhammad al-Ghazali, Al-Sunnah Nabawiyah bayna Ahli
al-Fiqh wa Ahli al-Ḥadīts, (Kairo: Dār al-Syurūq, 1989), h. 118-119.
[8] Ibid., h. 119. Lihat juga Muhammad al-Ghazali, Hadzā
Dīnuna, (Kairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1965), h. 197.
No comments:
Post a Comment