Monday, March 4, 2019

Sumber-Sumber Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dalam Bidang Tafsir


1.         Sumber-Sumber Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dalam Bidang Tafsir
Abdullah al-Darraz adalah mufassir yang metode tafsirnya menjadi inspirasi bagi Muhammad al-Ghazali dalam menulis kitab tafsir. Muhammad al-Ghazali mencermati perihal tema utama dari masing-masing surat, sejumlah isu yang berbeda diobservasi dan diperhatikan. Muhammad al-Ghazali berusaha menyamai atau melebihi karya Syeikh Muhammad ‘Abdullah al-Darraz dalam kajian surat al-Baqarah berjudul al-Naba’ al-Adzim yang merupakan tafsir tematik pertama untuk satu surat.[1]
Yusuf al-Qaradhawi juga memberikan komentar tentang metode yang diadobsi Muhammad al-Ghazali dari ‘Abdullah al-Darraz:
“Metode tafsir tematik ini ia tiru dari ulama’ besar Muhammad Abdullah al-Darraz dalam membahas surat al-Baqarah. Surat terpanjang dalam al-Qur’an. Abdullah Darraz berhasil menggunakan metode tafsir tematik dalam menjelaskan surat al-Baqarah dalam keadaan utuh dan penuh dengan nuansa yang sangat menarik. Ini adalah tafsir maudhu’i pertama yang membahas satu surat secara tuntas.[2]

Muhammad al-Ghazali juga menjelaskan bahwa pandangan-pandangannya terhadap tafsir banyak mengambil manfaat dari imam Hasan al-Banna. Disebutkan dalam Majalah Dakwah tertanggal I Rabiul Awal 1415 H, bahwa Hasan al-Banna adalah gurunya yang pertama dalam banyak bidang. Muhammad al-Ghazali juga banyak mendengar ceramah-ceramah Hasan al-Banna tentang al-Qur’an, selain itu Muhammad al-Ghazali juga banyak mendapatkan manfaat ilmu dari imam Al-Banna tentang metode tafsir yang bertumpu pada pengalaman khusus dan rasa pribadi.[3]
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Al-Gazw al-Saqati Yamtaddu fī Farāghina juga mengadopsi pandangan-pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsīr al-Manār berkaitan dengan prinsip-prinsip yang mengkaji tema dari satu surat. Dan bahwasannva ia memiliki tujuan dan pembahasan tertentu dalam seluruh ayat-ayatnya saling berkaitan di sekitarnya.[4]
Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa sesungguhnya terwujudnya keadilan sosial merupakan syarat bagi kemauan hati manusia menerima ajaran Islam. Keadilan Islam adalah jalan yang mengantarkan hati manusia menjadi bermutu dan bertakwa. Karena sangat sulit, hati manusia bisa terpenuhi oleh petunjuk, sementara kebutuhan fisiknya sangat minim, atau bagaimana mungkin seseorang memakai baju ketakwaan sementara tubuhnya telanjang. [5] Muhammad al-Ghazali menghimbau agar umat Islam ikhlas dalam memerangi kemiskinan dan kenistaan dengan mendasarkan diri pada agama, jika benar-benar ingin mengajak manusia kepada Allah, maka umat Islam harus mengawali dulu dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui perbaikan kondisi ekonomi secara total.
Muhammad al-Ghazali mengajak umat Islam agar memahami sumber ajaran Islam yang utama, yaitu al-Qur’an dengan cara mencermati inti ajarannya. Inti dari ajaran al-Qur’an adalah :
1.        Ajaran tauhid sebagai dasar falsafah wujud dan aturan kehidupan serta merupakan washīlah untuk membebaskan jiwa dari nafsu.
2.        Memahami teks-teks al-Qur’an yang berhubungan dengan penciptaan alam raya (ayat al-kauniyyah) yang berkaitan dengan gerak jiwa dan alam yang bisa memperkokoh agama itu sendiri dan keimanan seseorang.
3.        Kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an. Peranan kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan sarana pendidikan dan pembersihan jiwa, disamping itu ia juga sebagai petunjuk bagi keyakinan agama.
4.        Tentang adanya alam ghaib, hari kebangkitan dan pembalasan.
5.        Peranan al-Qur’an sebagai landasan untuk membentuk akhlak, membangun pendidikan dan hukum demi mencapai kemaslahatan duniawi yang menjadi dasar bagi kemaslahatan akhiratnya.[6]
Muhammad al-Ghazali adalah seseorang yang mempertahankan sunah Rasul Saw. Posisi sunnah dan al-Qur’an itu sebagai tiang agama Islam. Hadis atau sunnah menjelaskan dan menginterpretasikan kandungan makna al-Qur’an serta merealisasikan apa yang menjadi sasaran al-Qur’an dan mengejawentahkan pesan di balik teksnya. Jadi seakan-akan tidak ada hukum fikih di dalam al-Qur’an apabila peran hadis dipinggirkan, sebaliknya tidak ada hadis kecuali di dalamnya memuat hukum-hukum fikih.[7]
Peng-istinbath-an hukum Islam yang didasarkan pada hadis tidak bisa lepas dari hadis yang lain, karena antara hadis yang satu dengan yang lain itu saling berkaitan. Dalam menentukan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, hadis-hadis yang telah dikumpulkan dibandingkan dengannya. Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan bidang, dimana cakupan kandungannya di praktekkan dengan bantuan hadis. Dan peng-istinbat-an hukum-hukum yang terkandung dalam hadis-hadis shahīh itu disandarkan pada al-Qur’an. Jadi hukum-hukum tersebut mengandung semacam peranan dan dukungan dari Tuhan. Sedangkan penjabarannya bersifat kenabian, dimana seorang Nabi bertugas untuk menjelaskan dengan detail mengenai ayat-ayat yang masih bersifat global.[8]


[1] Muhammad al-Ghazali, Naḥwa Tafsīr Maudhū’iy li Suwar Al-Qur’ān al-Karīm, (Birut: Dār al-Syurūq, 1995), h. 5.
[2] Yusuf Qaradhawi, Syaikh Muhammad al-Ghazali Yang Saya Kenal, Setengah Abad Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, terj. Surya Darma, (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 146.
[3] Ibid., h. 147.
[4] Ibid.
[5] Muhammad al-Ghazali, Al-Islām wa al-Awdā’ al-lqtishādiyah, (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadītsah, 1987), h. 61-62.
[6] Dalam salah satu karyanya Al-Mahāwir al-Khamsah li Al-Qur’ān al-Karīm Muhammad al-Ghazali menerangkan bahwa, al-Quran memuat lima tema pokok ajaran: Allah Maha Esa; semesta dalil wujud Sang Khalik; kisah-kisah Qurani; kebangkitan dan balasan; pendidikan dan hukum. Talib Anis, Op.cit., h. 67-69.
[7] Muhammad al-Ghazali, Al-Sunnah Nabawiyah bayna Ahli al-Fiqh wa Ahli al-Ḥadīts, (Kairo: Dār al-Syurūq, 1989), h. 118-119.
[8] Ibid., h. 119. Lihat juga Muhammad al-Ghazali, Hadzā Dīnuna, (Kairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1965), h. 197.

No comments:

Post a Comment