Monday, March 4, 2019

Kriteria Keshahîhan Hadis.


A.    Kriteria Keshahîhan Hadis.
            Dalam meneliti keshahîhan sebuah hadis, perlu diperhatikan dua unsur yaitu sanad dan matan hadis. Yang dimaksud dengan sanad adalah sisilah perâwi  yang mengantarkan seseorang kepada matan dari Rasulullah Saw. Di dalam buku Tadrîb al-Râwi, imam Sayûthi mengungkapkan;
فقال البدر بن جماعة والطيبي: هو الإخبار عن طريق المتن.[1]
Artinya: Al-Badru Ibn Jama’ah dan Thiby berkata, sanad adalah pemberitaan tentang jalan menuju matan.

Sementara matan adalah lafaz hadis terkandung di dalamnya makna atau pesan yang disampaikan oleh Rasulullah Saw, sebagaimana diungkapkan An-Nawâwy:
وأمَّا المتن, فهو ألفاظ الحديث التي تتقوَّم بها المعاني. قاله الطيبي[2]
Artinya: Ath-Thiby berkata: matan adalah lafaz-lafaz hadis yang mengandung makna.

Dalam berpedoman kepada hadis dan menjadikan suatu hadis sebagai hujjah, seseorang harus terlebih dahulu memastikan bahwa hadis yang akan dipakai merupakan hadis yang tergolong kepada hadis-hadis yang shahîh atau setidaknya hasan. Ini karena di dalam rentang sejarah perkembangan hadis, muncul dan bertebaran hadis-hadis palsu (mawdhû’) yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan mereka.[3] Untuk membersihkan noda hitam yang merusak kemurnian hadis-hadis Rasulullah Saw tersebut, para tokoh hadis (muhadditsûn), telah bangkit untuk melakukan penelitian dengan mengkaji segala sesuatu yang menyangkut pribadi-pribadi periwayat (sanad) maupun yang menyangkut materi (matan) hadis. Jerih payah mereka ini akhirnya membuahkan pengetahuan (ilmu hadis) untuk dapat mengetahui dan memilah mana perâwi  yang dapat dipercaya dan mana yang tidak. Mana hadis yang dapat diyakini berasal dari Rasulullah Saw dan mana yang bukan, serta mana yang dapat diterima dan dapat dijadikan hujjah dan mana yang harus ditolak.
Khusus dilihat dari kedudukannya sebagai hujjah, secara garis besarnya hadis-hadis Rasulullah Saw diklasifikasikan ke dalam : 1) hadis maqbûl, yakni hadis yang memenuhi persyaratan untuk diterima dan dijadikan hujjah, dan: 2) hadis mardûd, yakni hadis yang tidak memenuhi persyaratan untuk diterima dan dijadikan hujjah, karena itu harus ditolak.[4] Pada dasarnya ulama sepakat bahwa yang termasuk kelompok pertama adalah hadis shahîh dan hasan.[5] Sedangkan hadis dha’îf termasuk kategori kedua.[6]

1.      Keshahîhan sanad hadis.
            Sanad merupakan unsur yang penting dalam periwayatan. Sanad merupakan salah satu keistimewaan di dalam ajaran Islam. Dengan sanad ini seseorang bisa memastikan kebenaran riwayat yang disampaikan.
قال ابن المُبَارك: الإسناد من الدِّين, لَوْلا الإسْنَاد, لقال من شاء ما شاء.[7]
Artinya: Ibnu Mubarak berkata: isnad itu bagian dari agama, kalau tanpa isnad maka setiap orang akan mengatakan apa yang dia kehendaki.

Analisis sanad menjadi faktor yang dominan dalam sebuah penelitian hadis, Imam an-Nawawy berpendapat bahwa bila sanad suatu hadis berkualitas shahîh maka hadis tersebut dapat diterima, sebaliknya bila sanadnya tidak shahîh maka hadis tersebut harus ditinggalkan.[8]
Penilaian tentang kualitas sanad dapat dilihat dari dua hal pokok yang mendasarinya, yaitu (1) Seluruh râwi bersifat tsiqqah penuh, tidak pernah terbukti melakukan tadlîs (penyembunyian cacat), dan (2) Keabsahan cara periwayatan masing-masing râwi  dilihat dari ketentuan tahammul wa adâ’ al-hadis. Ini berarti periwayat yang tsiqqah  namun diduga pernah melakukan tadlîs, harus dilakukan penelitian lebih jauh lagi terkait dengan periwayatannya terhadap hadis yang diteliti.
Ulama telah menciptakan berbagai kaidah dalam ilmu hadis. Dengan kaidah ilmu hadis itu, ulama membagi kulitas hadis, di antaranya adalah keshahîhan sanad hadis dan keshahîhan matan hadis. Maksud dari keshahîhan sanad hadis adalah segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad sehingga berkualitas shahîh. Segala syarat keshahîhan hadis tersebut ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Syarat yang bersifat umum disebut kaedah mayor, sedangkan yang bersifat khusus disebut minor.[9]
Unsur kaedah mayor keshahîhan sanad hadis adalah:
1.      Tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang tsiqqah .
2.      Hendaklah orang yang memberikan riwayat hadis itu diperhatikan ibadah shalatnya, perilaku dan keadaan dirinya.
3.      Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis.
4.      Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta.
5.      Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Dari kaedah mayor ini, ulama memunculkan kaedah minor sebagai berikut:
1.      Sanadnya bersambung.
2.      Seluruh perâwi  dalam sanad bersifat ‘adil.
3.      Seluruh perâwi  dalam sanad bersifar dhabith.
4.      Sanad hadis tersebut terhindar dari syudzudz.
5.      Sanad hadis tersebut terhindar dari ‘illat.[10]

Para ulama dahulu mempunyai beberapa defenisi hadis shahîh, seperti Abu Amr Ibn ash-Shalah mengatakan:
الحديث الصحيح هو المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا.
Artinya; Hadis Shahîh adalah musnad[11] yang sanadnya muttashil melalui (periwayatan) orang yang ‘adil lagi dhabit dari orang yang ‘adil lagi dhabit (pula) samapai ujungnya, tidak syâdz dan tidak mu’allal (terkena ‘illat).[12]

Adapun imam An-Nawawiy meringkas defenisi Ibn as-Shalah, Beliau mengatakan:
هو ما اتصل سنده بالعدول الضابطون من غير شذوذ ولا علة.
Artinya; Hadis Shahîh adalah hadis yang muttasil sanadnya melalui (periwayatan) orang-orang yang ‘adil lagi dhabit tanpa syâdz dan ‘illat.[13]
Sedangkan Nur al-Din ‘Itr memberikan devenisi
الحديث الصحيح هو الحديث الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذا ولا معللا.
Artinya; Hadis shahîh adalah hadis yang sanadnya muttashil melalui (periwayatan) orang yang ‘adil lagi dhabit dari orang yang ‘adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya tidak syâdz dan tidak mua’allal (terkena ‘illat).[14]

Berbeda dengan Muhamad ‘Ajaj al-Khatib dalam bukunya Ushûl al-Hadîst, beliau memakai istilah perâwi tsiqat atau tsabat sebagai ganti dari ‘adil lagi dhabit,
ما اتصل سنده برواية الثقة عن الثقة من أوله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علة.
Artinya; Hadis yang bersambung sanadnya melalui periwayatan perâwi  tsiqah[15] dari perâwi  tsiqah (lain) yang tsiqat pula, sejak awal sampai akhir sanad tanpa syudzuz dan tanpa ‘illat.[16]

Dari beberapa definisi di atas, maka bisa disimpulkan bahwa secara terminologi hadis shahîh adalah hadis yang bersambung sanadnya, dan diriwayatkan oleh perâwi  yang ‘adil dan dhabit (dengan istilah lain disebut tsiqqah ) dari awal sampai akhir periwayatan tanpa adanya syâdz dan ‘illal. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis shahîh memiliki lima kriteria (sebagaimana yang disebut sebagai kaidah minor oleh Syuhudi Isma’il):
1)      Sanadnya bersambung dari awal sampai akhir.
2)      Perâwi nya ‘âdil.
3)      Perâwinya sempurna kedhâbithannya.
4)      Tidak syâdz.
5)      Tidak ber’illat.

Adapun pendalaman syarat-syarat shahîh adalah sebagai berikut:
a.       Bersambung sanadnya.
Maksudnya adalah adanya hubungan yang berkesinambungan antara penerima dan periwayat hadis sampai kepada nabi Muhammad SAW, sehingga tidak termasuk di dalamnya hadīts munqathi’, mu’adhal, mua’allaq, mudallas dan hadis-hadis lain yang tidak memenuhui kriteria muttashil.[17]
Setiap perâwi dalam sanad hendaknya bertemu dan menerima periwayatan dari perâwi sebelumnya, pertemuan dan persambungan sanad dalam sebuah periwayatan memiliki dua kategori, yaitu: 1) Langsung (mubâsyarah) dan 2) Pertemuan secara hukmiy.[18]
Pertemuan langsung (mubâsyarah) adalah seseorang bertatap muka langsung dengan yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa yang dilakukan. Periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung pada umumnya menggunakan ungkapan:
سَمِعْتُ                                        : aku mendengar
 أَخْبَرَنِي/ أَخْبَرَنَا/ حَدَّثَنِي/ حَدَّثَنَا      : memberitakan kepadaku/ kami
 رَأَيْتُ فُلَانًا                                 : aku melihat si fulān[19], dan sebagainya.
Pertemuan secara hukmiy adalah seseorang meriwayatkan hadis dari seseorang yang hidup semasanya dengan menggunakan ungkapan di antaranya:
قال فلان                        : si fulān berkata
عن فلان                                    : dari fulān
فعل فلان                     : si fulān melakukan begini[20].
Persambungan sanad pada ungkapan di atas masih secara hukmiy, oleh karenanya perlu penelitian lebih lanjut, sehingga bisa diketahui secara pasti apakah ia bertemu dengan syaikh (guru)nya atau tidak. Dengan demikian, untuk mengetahui ke-ittishâlan atau tidaknya suatu sanad dapat diperiksa melalui dua cara:
1)      Mengetahui orang yang diterima periwayatannya telah wafat sebelum atau sesudah perâwi  berusia dewasa.
2)      Keterangan seorang perâwi  atau imam hadis bahwa seseorang perâwi  bertemu atau tidak bertemu, mendengar atau tidak mendengar, melihat dengan orang yang menyampaikan periwayatannya atau tidak.
Di antara ulama hadis ada yang berbeda dalam membuktikan adanya kebersambungan sanad. Misalnya dengan kesezamanannya, metode ini dibuat oleh imam Muslim. Menurut imam Muslim, bahwa kesezamanan cukup bisa menjadikan suatu riwayat diterima secara ‘an ‘anah, meski tidak ada riwayat yang valid tentang bertemunya perâwi  dengan gurunya. Sedangkan imam Al Bukhari tidak menilainya sebagai muttashîl, kecuali ada riwayat yang valid bahwa keduanya pernah saling bertemu. Imam Muslim menilai bahwa perâwi  tsiqqah tidak akan meriwayatkan dari orang itu, kecuali hadis-hadis yang didengarnya.[21]
Berbeda halnya dengan imam Al Bukhari yang menganggap bahwa kesezamanan (mu’âsharah) perâwi dengan gurunya belumlah cukup, tetapi mengharuskan adanya pertemuan antara keduanya, meski hanya sekali. Dari sinilah ulama mengatakan, Imam Al Bukhari memiliki dua syarat, yaitu syarat mu’âsharah (kesezamanan) dan syarat liqâ’[22], sementara imam Muslim hanya menggunakan syarat mu’asharah saja. Namun ini tidak merendahkan kualitas syarat imam Muslim, karena perâwi  tsiqqah tidak akan meriwayatkan dari guru, kecuali yang didengarnya dari guru itu, sebagaimana ia tidak meriwayatkan yang tidak didengarnya. Syarat liqâ’ itu merupakan penambahan kukuatan syarat yang dipakai oleh imam Al Bukhari. Imam Al Bukhari hanya merasa lega terhadap khabar yang perâwi nya menjelaskan secara tegas mendengar dari gurunya atau ada berita positif mengenai pertemuannya dengan guru tersebut bila ia mengatakan ‘an fulân. Karena ‘an tidak mengindikasikan simâ’ menurut beliau.[23]

Ada beberapa cara seorang murid mendapatkan (tahammul) hadis dari gurunya, yaitu:
a)      As-simā’
Adalah kesaksian yang didasarkan pendengaran,[24] dalam ilmu hadis metode ini adalah seorang guru membaca hadis baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya sendiri, sedangkan muridnya mendengarkannya.[25]
Menurut mayoritas ulama bahwa cara ini merupakan derajat tertinggi dalam periwayatan karena tidak diragukan lagi periwayat menerima langsung riwayat dari gurunya.
Kata yang digunakan dalam periwayatan ini adalah سَمِعْتُ، حَدَّثَنَا، أَخْبَرَنَا، أَنْبَأَنَا .[26]
b)      Al Qira’ah ‘ala asy-Syaikh (Al’Ardh)
Secara bahasa al-qira’ah artinya membaca di depan guru berdasarkan hafalan ataupun melihat kitab. Menurut Ibnu Shalah metode ini mirip dengan penghafalan al-Quran dari murid kepada gurunya.[27] Banyak ulama berpendapat bahwa metode ini sederajat dengan as-simâ’, tetapi jumhur ulama menetapkan as-simâ’ lebih tinggi. [28]
Sebagian ulama ada yang menerima metode qira’ah ini seperti imam Al Bukhari, ada juga yang menolak atau memberikan syarat seperti Imam Ahmad bahwa yang membaca harus tahu dan paham hal yang dibacanya.[29]

c)      Al- Ijâzah
Secara bahasa artinya al-izn wa tashrîh (izin atau rekomendasi)[30], maksudnya adalah seorang guru memberikan izin kepada murid yang ditentukannya untuk meriwayatkan hadis-hadis tertentu darinya, atau memberikan kitab yang diriwayatkan dari gurunya kepada muridnya untuk diriwayatkan oleh muridnya.[31] Kata yang dipakai dalam riwayat adalah أَجَزْتُكَ  atau أَجَزْتُ لَكَ .
Tentang kebolehannya ulama berbeda pendapat. Syu’bah tidak membolehkannya karena seorang murid tidak perlu lagi mengadakan rihlah untuk mendapatkan hadis.[32] Sementara ulama Muta’akhkhirun di antaranya Nur Ad-Din ‘Ithr membolehkannya.[33]

d)       Al-Munâwalah
Adalah seorang guru memberikan kitabnya atau beberapa kitabnya kepada muridnya agar muridnya meriwayatkan hadis darinya dengan ungkapan نَاوَلَنِي فُلاَن. Namun sang guru tidak secara langsung mengucapkan lafaz pemberian izin. Izin periwayatannya tersirat dalam pemberian kitab kepada muridnya itu.[34]

e)       Al-Mukâtabah.
Adalah seorang guru menulis sendiri hadis-hadisnya atau ia menyuruh orang menulis sebagian hadisnya untuk diberikan kepada murid yang hadir saat itu atau di kirim kepada muridnya yang berada di tempat lain. Di antara lafaz yang digunakan adalah كَتَبَ إِلَيَّ فُلاَن قال .
Mukâtabah ini terbagi dua; pertama yang dibarengi dengan ijâzah, dan yang kedua tanpa ijâzah. Adapun tentang pembolehannya, mayoritas ulama muta’akhkhirîn dan mutaqaddimîn membolehkannya.[35]

f)         I’lâm asy-Syaikh
Adalah seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis-hadis ini atau kitab ini adalah riwayatnya yang Dia dengar dari Fulan, tanpa penegasan izin periwayatan. Para ulama menganggap pemberitahuan ini adalah isyarat pemberian izin karena menunjukkan keridhaannya kepada orang yang diberitahu. Mayoritas ulama muta’akhkhirîn dan sebagian mutaqaddimîn membolehkannya. Periwayatannya dengan menggunakan lafaz di antaranya هَذَا الْكِتَابُ سَمَاعِيْ مِنْ فُلاَن.[36]
g)       Al-Washiyyah
Seorang guru berpesan sebelum pergi atau sebelum meninggal tentang sebuah buku dari riwayatnya untuk seseorang agar diriwayatkan darinya. Cara ini jarang ditemukan, walaupun demikian ulama membolehkannya. Lafaz yang digunakan di antaranya أَوْصَى إِلَيَّ فُلاَن، أَخْبَرَنيِ فُلاَن بِالْوَصِيَّة . Ini mirip dengan cara munâwalah dan I’lâm.[37]

h)      Al-Wijâdah
Adalah temuan, maksudnya lembaran shahifah atau buku yang ditemukan tanpa proses mendengar atau ijâzah dan munâwalah. Seperti seseorang menemukan tulisan dari orang yang semasa dengannya dan ia mengenalnya, baik pernah bertemu atau belum, atau tidak semasa dengannya, tetapi dia percaya bahwa kitab ini benar adanya sesuai dengan riwayat yang terdapat didalamnya berdasarkan persaksian ahli hadis.[38]
Lafaz periwayatannya seperti وَجَدْتُ فِي كِتَابِ فُلاَن .
b.      Perâwi nya ‘adil
Perâwi  yang ‘adil secara bahasa berarti perâwi  yang lurus atau tidak menyimpang.[39]
فالعدالة : استقامة الدين والمروءة. فاستقامة الدين : أداء الواجبات، واجتناب ما يوجب الفسق من المحرمات. واستقامة المروءة : أن يفعل ما يحمده الناس عليه من الآداب والأخلاق، ويترك ما يذمّه الناس عليه من ذلك[40]
Artinya; Sedangkan secara terminologi, yang dimaksud dengan perâwi  yang ‘adil adalah perâwi  yang lurus agama dan kepribadiannya. Yang dimaksud dengan lurus agama adalah menjalankan yang wajib dan meninggalkan kefasiqan. Dan yang dimaksud dengan lurus kepribadiannya adalah melakukan apa yang dianggap baik oleh lingkungannya dan meninggalkan apa yang dicela oleh lingkungannya.

Imam Asy Syafi’i mengatakan, bahwa maksud dari perâwi  yang ‘adil adalah orang yang tsiqat dalam agamanya, terkenal jujur dalam berbicara, dan bebas dari periwayatan hadis mudallas. Dan yang dimaksud ‘adil bukanlah orang yang terbebas dari semua dosa, akan tetapi ia adalah perâwi  hadis yang secara umumnya ta’at beragama dan hati-hati dalam melakukan ketaatan. Said bin Al-Musayyab menerangkan, bahwa tidak ada seorang yang mulia, ‘alim, seorang penguasa yang terlepas dari aib, akan tetapi, sebagian orang ada yang aibannya tidak dibicarakan yaitu orang yang nilai positifnya lebih banyak dibanding negatifnya....[41]
Menurut Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib yang dimaksud dengan ‘adil adalah orang yang lurus agamanya, baik pekertinya dan bebas dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan kewibawaannya.[42]
Dalam konteks ini, para ulama merumuskan kriteria yang mesti dimiliki oleh orang yang dianggap ‘adil, di antaranya: Islam, mukallaf, taat beragama, dan berwibawa.[43]
Penilaian para ulama terhadap ke’adilan para perâwi  dilakukan pada setiap thabaqahnya (tingkatannya) dengan sangat hati-hati, sehingga tidak ada seorang râwi  pun yang tertinggal. Penelitian itu meliputi identitas, kebiasaan sehari-hari, dan kaitan-kaitan lainnya yang dapat diketahui secara jelas.
Namun penelitian tentang ke’adilan para perâwi , para ulama sependapat untuk tidak melakukan penelitian pada tingkatan sahabat, sebab dalam pandangan mereka semua sahabat itu ‘âdil (ash-shahâbah kulluhum ‘udûl), dan memiliki kedudukan yang lebih baik di sisi Allah SWT. Ini artinya, bahwa ke’adilan para sahabat tidak diragukan lagi, sehingga terhadap mereka tidak perlu dilakukan penelitian.[44]
Dalam menilai ke’adilan perâwi  tidak harus terjun kelapangan dengan cara bertatatap langsung. Hal ini tentunya sangat sulit dilakukan karena mereka hidup pada masa awal perkembangan Islam. Oleh karena itu, penelitian cukup dilakukan dengan cara berikut:
1)      Keterangan seseorang atau beberapa ahli ta’dîl; bahwa seseorang itu bersifat ‘âdil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta’dîl.
2)      Ketenaran seseorang bahwa ia bersifat ‘adil, seperti imam yang empat, Hanafi, Maliki, Asy Syafi’i, dan Hambali.[45]

c.       Perâwi nya dhâbit
وتمام الضبط :أن يؤدي ما تحمّله من مسموع، أو مرئي على الوجه الذي تحمله من غير زيادة ولا نقص، لكن لا يضر خطأ يسير؛ لأنه لا يسلم منه أحد[46]
Artinya; Seorang perâwi  menyampaikan hadis yang didengarnya atau dilihatnya sesuai dengan apa yang diterimanya tanpa penambahan dan pengurangan, akan tetapi kesalahan sedikit tidaklah berpengaruh karena tidak orang yang lepas dari kesalahan.

Perâwi nya dhâbit maksudnya adalah orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadis, paham ketika mendengarnya dan menghapalnya sejak menerima sampai menyampaikannya. Yakni perâwi  hadis harus hafal dan mengerti apa yang diriwayatkan (bila ia meriwayatkan dari hafalannya) serta memahaminya (bila meriwayatkannya secara makna). Dan ia juga harus menjaga tulisannya dari perubahan, pergantian ataupun penambahan, bila ia meriwayatkannya dari tulisannya. Syarat ini mengecualikan periwayatan perâwi  yang pelupa dan sering melakukan kesalahan.[47] Jadi, perâwi  yang dhabit, maksudnya para perâwi  yang memiliki daya ingat hafalan yang kuat dan sempurna.[48]
Dalam konteks di atas, para ulama hadis membagi kedhabitan perâwi  menjadi dua yaitu:
1)      Dhabit Shadr
Maksudnya memiliki daya ingat dan hafalan yang kuat, sejak ia menerima hadis dari gurunya sampai meriwayatkannya kepada orang lain, kapan saja periwayatan itu diperlukan.[49]
2)      Dhabit Kitâbah
Yaitu keadaan dhabit seorang perâwi  yang terkait dengan baik atau tidaknya tulisan periwayat. Ia mengingat betul hadis-hadis yang ditulisnya, atau catatan-catatan yang dimilikinya, menjaganya dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan baik pula.[50]
            Kedhabitan perâwi  dapat diketahui dari salah satu dari dua hal: (1) kesesuaian riwayatnya dengan perâwi  yang tsiqqah , (2) pengakuan ulama hadis terhadap kedhabithannya.[51]
d.      Tidak syâdz
والشذوذ : أن يخالف الثقة من هو أرجح منه إما: بكمال العدالة، أو تمام الضبط، وكثرة العدد، أو ملازمة المروي عنه، أو نحو ذلك[52]
Artinya; Syuzuz adalah: perâwi  yang tsiqaah menyalahi perâwi  yang lebih kuat darinya dalam beberapa hal seperti ke’adilan, kedhabithan, banyaknya periwayat atau lebih mulazamah dengan gurunya atau sejenisnya.
Yang dimaksud dengan syudzudz adalah penyimpangan oleh perâwi  tsiqat terhadap orang yang lebih kuat darinya.[53] Yang mula-mula memperkenalkan jenis ini adalah imam Asy Syafi’i. Beliau mengatakan bahwa hadis syâdz bukanlah hadis di mana perâwi  tsiqat meriwayatkan hadis yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain, akan tetapi yang dimaksud hadis syâdz adalah bila di antara sekian perâwi  tsiqat ada di antara mereka yang menyimpang dari lainnya.
Selanjutnya generasi setelah imam Asy Syafi’i sepakat bahwa hadis syâdz adalah hadis yang diriwayatkan oleh perâwi  maqbûl dalam keadaan menyimpang dari perâwi  lain yang lebih kuat darinya. Oleh karena kriteria syâdz adalah tafarrud (kesendirian perâwi nya) dan mukhalafah (penyimpangan). Seandainya ada seorang perâwi  yang berkualitas tsiqat melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu hadis tanpa menyimpang dari yang lainnya, maka hadisnya shahîh, bukan syâdz. Seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah periwayatan karena kriteria tarjih lainnya maka yang rajîh disebut “mahfûdz, sedangkan yang marjûh disebut “syâdz”.[54]
Di antara contoh syâdz adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadis Abdul Wahib ibn Ziyad dari al-A’masy dari Abu Shaleh dari Abu Hurairah secara marfû’ :
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَي الفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَنْ يَمِيْنِهِ.
Artinya; “Jika salah seorang di antara kamu telah melakukan shalat dua raka’at fajar maka hendaklah ia berbaring pada lambung kanannya.”
Al-Baihaqiy mengatakan bahwa Abdul Wahib berbeda dengan sejumlah perâwi  (lain) dalam hal ini. Mayoritas para perâwi  lain meriwayatkannya dari perbuatan Nabi SAW, bukan dari sabdanya. Abdul Wahib juga melakukan penyendirian di antara sekian murid Al-A’masy mengenai redaksinya.[55]
e.       Tidak ber’illat
والعلة القادحة : أن يتبين بعد البحث في الحديث سبب يقدح في قبوله. بأن يتبين أنه منقطع، أو موقوف، أو أن الراوي فاسق، أو سيِّئ الحفظ، أو مبتدع والحديث يقوي بدعته، ونحو ذلك؛ فلا يحكم للحديث بالصحة حينئذٍ؛ لعدم سلامته من العلة القادحة.[56]
Artinya; ‘Illat yang merusak Adalah ditemukan bukti setelah penelitian dalam hadis penyebab ditolaknya sebuah hadis seperti terbukti sanadnya terputus, atau mauquf, atau perâwi  fasiq, atau buruk hafalannya, atau ahli bid’ah dan hadisnya menguatkan perbuatan bid’ahnya, atau lainya. Maka ini dinyatakan tidak shahîh karena ada penyakit yang merusaknya.

Al-‘illah secara etimologi berarti “al-Maradh” (penyakit). Merupakan bentuk masdar dari kata kerja  عُلَّ,  يعلّataupun اِعْتَلّ yang berarti مرض, dengan bentuk maf’ûlnya عَلِيْل. Secara qiyasiy, seharusnya dikatakan مُعَلَّل. Akan tetapi beberapa ahli hadis dan ahli bahasa menyatakan هذا حديث معلول. Al-‘illah menurut terminologi ahli hadis merupakan sebab tersembunyinya yang mencacatkan hadis meski secara lahiriah tampak terhindar darinya.[57]
Sebagaimana syâdz yang bisa masuk ke hadis, begitu juga dengan ‘illat. Untuk mendeteksi ‘illat yang ada pada suatu hadis sangatlah sulit, dibutuhkan pengetahuan khusus dan analisis yang tajam. Karena sebuah hadis yang terdiri dari periwayat yang tsiqat (‘adil dan dhabit) dan muttashil (bersambung) dapat dinyatakan sebagai hadis shahîh dari segi sanad, namun kenyataannya ada sanad yang yang berkualitas shahîh tapi ketika diteliti lebih mendalam ternyata terdapat kejanggalan.[58]
Ketika ulama hadis bersepakat dengan kriteria syarat hadis shahîh, berarti yang dimaksudkan adalah hadis yang shahîh dari segi sanad dan matan. Karena, belum bisa dikatakan hadis ini shahîh dari segi sanad tanpa melihat kepada matannya. Shahîh sanadnya belum tentu shahîh matannya. Sehingga, bisa dikatakan ini hadis shahîh dari segi sanad, selanjutnya menilik ke matannya, jika matannya shahîh maka bisa dikatakan sebagai hadis shahîh. Hal itu karena hadis tersebut telah memenuhi syarat hadis shahîh begitu juga sebaliknya jika salah satu kriteria syarat hadis shahîh hilang maka dikatakan hadisnya tidak shahîh.


[1] Abdur Rahman Bin Abi Bakar Jalaluddin As Suyuthy (selanjutnya disebut as-Suyuthy), Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawy, (Riyadh, Dar al-Ashimah, 1424H/ 2003M) ,Juz 1, Cet-1, h. 39.
[2] Ibid, h. 41.
[3] Tidak ditemukan kesepakatan dikalangan ulama tentang kapan pertama sekali munculnya hadis-hadis palsu. Di antaranya mengatakan awal munculnya adalah pada parohan akhir pemerintahan Khalîfah ‘Utsman, yang lain mengatakan tahun 40H, yang lainnya lagi mengatakan pada tahun 41H. Bahkan ada yang berpendapat bahwa hadis-hadis palsu sebenarnya sudah muncul di zaman Rasulullah Saw sendiri.

Meskipun demikian, muncul dan bertebarannya hadis-hadis palsu yang menodai sejarah perkembangan hadis adalah sebuah realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Dengan ini ‘Abdul Halim Mahmud mengatakan bahwa siapa yang menyatakan perjalanan hadis tidak pernah dirusak oleh munculnya hadis-hadis palsu, berarti Dia mengingkari realitas sejarah yang sesungguhnya. Edi Safri, Al-Imam Asy Syafi’i Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, (Padang, IAIN Imam Bonjol Press, 1999), h. 2.
[4] Muhammad ‘Ajjaj al Khatib (selanjutnya disebut ‘Ajjaj al Khatib), Ushûlul Hadis ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, (Beirut, Dar al Fikr, 2006), h. 198.
[5] Hadis shahih adalah hadis yang memiliki lima syarat: sanadnya bersambung, perawinya ‘adil, dhabith, tidak memiliki syadz dan illat. Hadis hasan, adalah hadis yang kualitasnya sedikit dibawah hadis shahîh. Perbedaannya hanyalah dari segi persyaratan dhabith. Hadis shahîh harus sempurna dhabit-nya, sedangkan hadis hasan dhabit-nya kurang sempurna.
Sedangkan hadis dha’if, adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis shahîh atau hasan, dengan kata lain kualitasnya di bawah hadis hasan. Mahmud Thahhan, Taisir Mushthalah al Hadis, (Iskandariyah: Markaz al-Huda li ad-Dirasat 1415H), h. 30, ‘Ajjaj al Khatib, Ushûlul Hadis ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, (Beirut, Dar al Fikr, 2006), h. 218-222. Nur ad-Din ‘Itr, Manhaj an Naqdi fi ‘Ulum al Hadis, (Damsyiq, Dar al Fikr, 1401H/ 1981M), Cet. ke-3, h. 241.
[6] Mahmud Thahan, op.cit., h. 29
[7] As Suyuthy, Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawy, (Riyadh, Dar al-Ashimah, 1424H/ 2003M), Juz 2, Cet-1, h. 144. (di dalam riwayat ini dipakai lafazd isnad untuk makna sanad. Karena ulama hadis menggunakan keduanya dalam makna yang sama). Ibid, Juz 1, h. 40.
[8] An-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawy, Juz 1 (Mesir, Al Maktabah Al-Mishriyah, 1347H/ 1929M), Cet-1, h. 88.
[9] Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis Tela’ah Kritis dan Tinjauan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 119.
[10] Ibid, h.121
[11] Musnad adalah bagian dari hadis, ia adalah sesuatu yang disandarkan kepada yang mengucapkannya. Lihat; Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-lughah wa al-a’lam, (Beirut, Dar Al Masyriq, 1960), h. 345.
[12] Aisyah Abdurrahman (Bintu Syathi’), Muqaddimah Ibnu Shalah wa Mahasin Ishthilahat, (Kairo, Dar Al-Ma’arif, 1409H/ 1989M),  h. 151
[13] Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawiy fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, (Riyadh, Dar Al-‘Ashimah, 1424H/ 2003M), Cet-1, h. 79.
[14] Nur ad-Din ‘Itr, Manhaj an Naqdi fi ‘Ulum al Hadis, (Damsyiq, Dar al Fikr, 1401H/ 1981M), Cet. ke-3, h. 242
[15] Tsiqqah adalah orang yang kuat lagi terpercaya. Lihat Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-lughah wa al-a’lam, (Beirut: Dar Al Masyriq, 1960), h. 886.
[16] Ajjaj al Khatib, op.cit, h. 200.
[17] Ajjaj al-Khathib, op.cit, h. 200
[18] Peristiwa menerima dan meriwayatkan hadis dari seorang perawi kepada perawi yang lain dalam ilmu hadis disebut dengan tahammul wa ada’ al-hadis.
[19]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amazah, 2008M), h. 150
                [20]Ibid
[21] Ajjaj al-Khatib, op.cit,  h. 208
[22] Liqa adalah bertemunya perawi dengan gurunya 
[23] Ajjaj al-Khatib, op.cit,  h. 206
[24] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 705.
[25] Baik mendengarkan dengan melihat langsung atau di balik hijab, sebagaimana terjadi pada para sahabat dan tabi’in ketika mendengar hadis dari istri Nabi dari balik hijab. Adapun Syu’bah Bin Al-Hajjaj mensyaratkan melihat guru. Ajjaj al Khatib, op.cit,  h. 151.
[26] Ibid, h. 161
[27] Abi Umar Usman Ibnu Abdurrahman Al Syahr Zuriy, Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulum al Hadis, (Beirut: Dar al-Fikri, 1995), h. 98.
[28] Ajjaj al Khatib, op.cit, h. 152.
[29] Ajjaj al-Khatib, As Sunnah Qabla Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikri, 1990), h. 328.
[30] Ahmad Wirson Munawwir, op cit, h. 241.
[31] Ajjaj al Khatib, op.cit, h. 154.
[32] As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawiy, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1997), h. 63.
[33] Nur Ad-Din al-‘Ithr, Manhaj An-Naqdi Fi Ulum Al-Hadis, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1997), h. 242.
[34] Ajjaj al Khatib, op.cit,  h. 154.
[35] Ibid, h. 155.
[36] Ibid, h. 156.
[37] Ibid,  h. 157.
[38] Ibid, h. 158.
[39] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 159
[40] Muhammad Bin Shaleh Al Utsaimin, (untuk selanjutnya disebut Utsaimin), Al Maktabah Asy Syamilah, Ilmu Mushthalah Al-Hadis, Juz 1, h. 6.
[41] Rif’at Fauzy Abd. Al-Muthalib, Tausîq as-Sunnah fî al-Qarn al-Tsāniy fî al-Hijry, Ususuhu wa itijāhatuhu, (Mesir: Maktabah al-Khanannjiy, 1981), h. 129
[42] Ajjaj al-Khatib, Ushûlul Hadis ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, (Beirut, Dar al Fikr, 1426H/ 2006M), h. 200
[43] M. Shuyudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 119-120
[44]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 160
[45]Utsaimin, Al Maktabah Asy Syamilah, Ilmu Mushthalah Al-Hadis, h. 6.
[46] Ibid.
[47] Ajjaj Al-Khatib, op.cit,  h. 200.
[48]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amazah, 2008M), h. 152
[49]Ibid
[50]Ahmad Umar Hasyim, Qawa’id Ushûl al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 41
[51] Utsaimin, Al Maktabah Asy Syamilah, Ilmu Mushthalah Al-Hadis, h. 6.
[52] Ibid, h. 7.
[53] Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 277
[54] Ibid, h. 229
[55]As-Suyutiy, Tadrib ar-Rawi (Mesir: Maktabah Qahirah, cet. Ke-1, 1379 H-1959), h. 148-149
[56] Utsaimin, Al Maktabah Asy Syamilah, Ilmu Mushthalah Al-Hadis, h. 7.
[57] Ajjaj Al-Khatib, op.cit, h. 189
[58] Imam al-Hakim Abi Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hafidz an-Naisabury, Ma’rifah Ulûm al-Hadīts, (Beirut: Dar Ihya al-Ulûm, cet. Ke-1, 1417 H/1998 M), h. 175

No comments:

Post a Comment