A. Kriteria Keshahîhan
Hadis.
Dalam
meneliti keshahîhan sebuah hadis, perlu diperhatikan dua unsur yaitu sanad
dan matan hadis. Yang dimaksud dengan sanad adalah sisilah perâwi
yang mengantarkan seseorang kepada matan
dari Rasulullah Saw. Di dalam buku Tadrîb al-Râwi, imam Sayûthi mengungkapkan;
فقال البدر بن جماعة والطيبي: هو الإخبار عن
طريق المتن.[1]
Artinya: Al-Badru Ibn Jama’ah dan Thiby
berkata, sanad adalah pemberitaan tentang jalan menuju matan.
Sementara matan adalah
lafaz hadis terkandung di dalamnya makna atau pesan yang disampaikan oleh
Rasulullah Saw, sebagaimana diungkapkan An-Nawâwy:
وأمَّا المتن, فهو ألفاظ الحديث التي
تتقوَّم بها المعاني. قاله الطيبي[2]
Artinya: Ath-Thiby berkata: matan adalah
lafaz-lafaz hadis yang mengandung makna.
Dalam berpedoman kepada hadis dan menjadikan suatu hadis
sebagai hujjah, seseorang harus terlebih dahulu memastikan bahwa hadis
yang akan dipakai merupakan hadis yang tergolong kepada hadis-hadis yang shahîh
atau setidaknya hasan. Ini karena di dalam rentang sejarah perkembangan hadis,
muncul dan bertebaran hadis-hadis palsu (mawdhû’) yang dilakukan oleh
pihak-pihak tertentu demi kepentingan mereka.[3]
Untuk membersihkan noda hitam yang merusak kemurnian hadis-hadis Rasulullah Saw
tersebut, para tokoh hadis (muhadditsûn), telah bangkit untuk melakukan
penelitian dengan mengkaji segala sesuatu yang menyangkut pribadi-pribadi
periwayat (sanad) maupun yang menyangkut materi (matan) hadis.
Jerih payah mereka ini akhirnya membuahkan pengetahuan (ilmu hadis)
untuk dapat mengetahui dan memilah mana perâwi yang dapat dipercaya dan mana yang tidak. Mana
hadis yang dapat diyakini berasal dari Rasulullah Saw dan mana yang bukan,
serta mana yang dapat diterima dan dapat dijadikan hujjah dan mana yang
harus ditolak.
Khusus dilihat dari kedudukannya sebagai hujjah,
secara garis besarnya hadis-hadis Rasulullah Saw diklasifikasikan ke dalam : 1)
hadis maqbûl, yakni hadis yang memenuhi persyaratan untuk diterima dan
dijadikan hujjah, dan: 2) hadis mardûd, yakni hadis yang tidak
memenuhi persyaratan untuk diterima dan dijadikan hujjah, karena itu
harus ditolak.[4]
Pada dasarnya ulama sepakat bahwa yang termasuk kelompok pertama adalah hadis shahîh dan hasan.[5]
Sedangkan hadis dha’îf termasuk kategori kedua.[6]
1. Keshahîhan sanad
hadis.
Sanad
merupakan unsur yang penting dalam periwayatan. Sanad merupakan salah
satu keistimewaan di dalam ajaran Islam. Dengan sanad ini seseorang bisa
memastikan kebenaran riwayat yang disampaikan.
قال ابن المُبَارك: الإسناد من
الدِّين, لَوْلا الإسْنَاد, لقال من شاء ما شاء.[7]
Artinya: Ibnu Mubarak berkata: isnad itu bagian dari agama,
kalau tanpa isnad maka setiap orang akan mengatakan apa yang dia kehendaki.
Analisis sanad menjadi
faktor yang dominan dalam sebuah penelitian hadis, Imam an-Nawawy berpendapat bahwa
bila sanad suatu hadis berkualitas shahîh maka hadis tersebut
dapat diterima, sebaliknya bila sanadnya tidak shahîh maka hadis
tersebut harus ditinggalkan.[8]
Penilaian
tentang kualitas sanad dapat dilihat dari dua hal pokok yang
mendasarinya, yaitu (1) Seluruh râwi bersifat tsiqqah penuh,
tidak pernah terbukti melakukan tadlîs (penyembunyian cacat), dan (2)
Keabsahan cara periwayatan masing-masing râwi dilihat dari ketentuan tahammul wa adâ’ al-hadis.
Ini berarti periwayat yang tsiqqah namun diduga pernah melakukan tadlîs,
harus dilakukan penelitian lebih jauh lagi terkait dengan periwayatannya
terhadap hadis yang diteliti.
Ulama
telah menciptakan berbagai kaidah dalam ilmu hadis. Dengan kaidah ilmu hadis
itu, ulama membagi kulitas hadis, di antaranya adalah keshahîhan sanad
hadis dan keshahîhan matan hadis. Maksud dari keshahîhan sanad
hadis adalah segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad
sehingga berkualitas shahîh. Segala syarat keshahîhan hadis
tersebut ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Syarat yang
bersifat umum disebut kaedah mayor, sedangkan yang bersifat khusus disebut
minor.[9]
Unsur
kaedah mayor keshahîhan sanad hadis adalah:
1. Tidak
boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari orang-orang
yang tsiqqah .
2. Hendaklah
orang yang memberikan riwayat hadis itu diperhatikan ibadah shalatnya, perilaku
dan keadaan dirinya.
3. Tidak
boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan
hadis.
4. Tidak
boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta.
5. Tidak
boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Dari
kaedah mayor ini, ulama memunculkan kaedah minor sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung.
2. Seluruh
perâwi dalam sanad
bersifat ‘adil.
3. Seluruh
perâwi dalam sanad
bersifar dhabith.
4. Sanad hadis tersebut terhindar dari syudzudz.
Para ulama dahulu mempunyai beberapa defenisi
hadis shahîh, seperti
Abu Amr Ibn ash-Shalah mengatakan:
الحديث الصحيح هو
المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا.
Artinya;
Hadis Shahîh adalah musnad[11]
yang sanadnya muttashil melalui (periwayatan) orang yang ‘adil lagi dhabit dari
orang yang ‘adil lagi dhabit (pula) samapai ujungnya, tidak syâdz dan tidak
mu’allal (terkena ‘illat).[12]
Adapun imam An-Nawawiy meringkas defenisi Ibn
as-Shalah, Beliau mengatakan:
هو
ما اتصل سنده بالعدول الضابطون من غير شذوذ ولا علة.
Artinya;
Hadis Shahîh adalah hadis yang muttasil sanadnya melalui (periwayatan)
orang-orang yang ‘adil lagi dhabit tanpa syâdz dan ‘illat.[13]
Sedangkan Nur al-Din ‘Itr memberikan devenisi
الحديث الصحيح هو
الحديث الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون
شاذا ولا معللا.
Artinya;
Hadis shahîh adalah hadis yang sanadnya muttashil melalui (periwayatan) orang
yang ‘adil lagi dhabit dari orang yang ‘adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya
tidak syâdz dan tidak mua’allal (terkena ‘illat).[14]
Berbeda dengan Muhamad ‘Ajaj al-Khatib dalam
bukunya Ushûl al-Hadîst, beliau memakai istilah perâwi tsiqat
atau tsabat sebagai ganti dari ‘adil lagi dhabit,
ما اتصل سنده برواية
الثقة عن الثقة من أوله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علة.
Artinya;
Hadis yang bersambung sanadnya melalui periwayatan perâwi tsiqah[15]
dari perâwi tsiqah (lain) yang tsiqat
pula, sejak awal sampai akhir sanad tanpa syudzuz dan tanpa ‘illat.[16]
Dari
beberapa definisi di atas, maka bisa disimpulkan bahwa secara terminologi hadis
shahîh adalah hadis yang bersambung sanadnya, dan diriwayatkan
oleh perâwi yang ‘adil dan
dhabit (dengan istilah lain disebut tsiqqah ) dari awal sampai
akhir periwayatan tanpa adanya syâdz dan ‘illal. Dari sini dapat
ditarik kesimpulan bahwa hadis shahîh memiliki lima kriteria
(sebagaimana yang disebut sebagai kaidah minor oleh Syuhudi Isma’il):
1) Sanadnya bersambung dari awal sampai akhir.
2) Perâwi
nya ‘âdil.
3) Perâwinya
sempurna kedhâbithannya.
4) Tidak syâdz.
5) Tidak
ber’illat.
Adapun pendalaman
syarat-syarat shahîh adalah sebagai berikut:
a.
Bersambung
sanadnya.
Maksudnya adalah adanya hubungan yang
berkesinambungan antara penerima dan periwayat hadis sampai kepada nabi
Muhammad SAW, sehingga tidak termasuk di dalamnya hadīts munqathi’, mu’adhal,
mua’allaq, mudallas dan hadis-hadis lain yang tidak memenuhui
kriteria muttashil.[17]
Setiap perâwi dalam sanad
hendaknya bertemu dan menerima periwayatan dari perâwi sebelumnya,
pertemuan dan persambungan sanad dalam sebuah periwayatan memiliki dua
kategori, yaitu: 1) Langsung (mubâsyarah) dan 2) Pertemuan secara hukmiy.[18]
Pertemuan langsung (mubâsyarah) adalah seseorang
bertatap muka langsung dengan yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar
berita yang disampaikan atau melihat apa yang dilakukan. Periwayatan dalam
bentuk pertemuan langsung pada umumnya menggunakan ungkapan:
سَمِعْتُ : aku
mendengar
أَخْبَرَنِي/ أَخْبَرَنَا/ حَدَّثَنِي/ حَدَّثَنَا : memberitakan kepadaku/ kami
رَأَيْتُ فُلَانًا : aku melihat si fulān[19],
dan sebagainya.
Pertemuan secara hukmiy adalah seseorang
meriwayatkan hadis dari seseorang yang hidup semasanya dengan menggunakan
ungkapan di antaranya:
قال
فلان : si fulān berkata
عن
فلان : dari fulān
Persambungan sanad pada ungkapan di atas
masih secara hukmiy, oleh karenanya perlu penelitian lebih lanjut,
sehingga bisa diketahui secara pasti apakah ia bertemu dengan syaikh (guru)nya
atau tidak. Dengan demikian, untuk mengetahui ke-ittishâlan atau
tidaknya suatu sanad dapat diperiksa melalui dua cara:
1)
Mengetahui
orang yang diterima periwayatannya telah wafat sebelum atau sesudah perâwi berusia dewasa.
2)
Keterangan
seorang perâwi atau imam hadis
bahwa seseorang perâwi bertemu
atau tidak bertemu, mendengar atau tidak mendengar, melihat dengan orang yang menyampaikan
periwayatannya atau tidak.
Di antara ulama hadis ada yang berbeda dalam
membuktikan adanya kebersambungan sanad. Misalnya dengan kesezamanannya,
metode ini dibuat oleh imam Muslim. Menurut imam Muslim, bahwa kesezamanan
cukup bisa menjadikan suatu riwayat diterima secara ‘an ‘anah, meski
tidak ada riwayat yang valid tentang bertemunya perâwi dengan gurunya. Sedangkan imam Al Bukhari
tidak menilainya sebagai muttashîl, kecuali ada riwayat yang valid bahwa
keduanya pernah saling bertemu. Imam Muslim menilai bahwa perâwi tsiqqah tidak akan meriwayatkan dari
orang itu, kecuali hadis-hadis yang didengarnya.[21]
Berbeda halnya dengan imam Al Bukhari yang
menganggap bahwa kesezamanan (mu’âsharah) perâwi dengan gurunya
belumlah cukup, tetapi mengharuskan adanya pertemuan antara keduanya, meski
hanya sekali. Dari sinilah ulama mengatakan, Imam Al Bukhari memiliki dua
syarat, yaitu syarat mu’âsharah (kesezamanan) dan syarat liqâ’[22],
sementara imam Muslim hanya menggunakan syarat mu’asharah saja. Namun
ini tidak merendahkan kualitas syarat imam Muslim, karena perâwi tsiqqah tidak akan meriwayatkan dari
guru, kecuali yang didengarnya dari guru itu, sebagaimana ia tidak meriwayatkan
yang tidak didengarnya. Syarat liqâ’ itu merupakan penambahan kukuatan
syarat yang dipakai oleh imam Al Bukhari. Imam Al Bukhari hanya merasa lega
terhadap khabar yang perâwi nya menjelaskan secara tegas
mendengar dari gurunya atau ada berita positif mengenai pertemuannya dengan
guru tersebut bila ia mengatakan ‘an fulân. Karena ‘an tidak
mengindikasikan simâ’ menurut beliau.[23]
Ada
beberapa cara seorang murid mendapatkan (tahammul) hadis dari gurunya,
yaitu:
a)
As-simā’
Adalah
kesaksian yang didasarkan pendengaran,[24]
dalam ilmu hadis metode ini adalah seorang guru membaca hadis baik dari
hafalannya ataupun dari kitabnya sendiri, sedangkan muridnya mendengarkannya.[25]
Menurut
mayoritas ulama bahwa cara ini merupakan derajat tertinggi dalam periwayatan
karena tidak diragukan lagi periwayat menerima langsung riwayat dari gurunya.
Kata
yang digunakan dalam periwayatan ini adalah سَمِعْتُ،
حَدَّثَنَا، أَخْبَرَنَا، أَنْبَأَنَا .[26]
b)
Al
Qira’ah ‘ala asy-Syaikh (Al’Ardh)
Secara
bahasa al-qira’ah artinya membaca di depan guru berdasarkan hafalan ataupun
melihat kitab. Menurut Ibnu Shalah metode ini mirip dengan penghafalan al-Quran
dari murid kepada gurunya.[27]
Banyak ulama berpendapat bahwa metode ini sederajat dengan as-simâ’,
tetapi jumhur ulama menetapkan as-simâ’ lebih tinggi. [28]
Sebagian
ulama ada yang menerima metode qira’ah ini seperti imam Al Bukhari, ada
juga yang menolak atau memberikan syarat seperti Imam Ahmad bahwa yang membaca
harus tahu dan paham hal yang dibacanya.[29]
c)
Al- Ijâzah
Secara
bahasa artinya al-izn wa tashrîh (izin atau rekomendasi)[30],
maksudnya adalah seorang guru memberikan izin kepada murid yang ditentukannya
untuk meriwayatkan hadis-hadis tertentu darinya, atau memberikan kitab yang
diriwayatkan dari gurunya kepada muridnya untuk diriwayatkan oleh muridnya.[31]
Kata yang dipakai dalam riwayat adalah أَجَزْتُكَ atau أَجَزْتُ
لَكَ
.
Tentang
kebolehannya ulama berbeda pendapat. Syu’bah tidak membolehkannya karena
seorang murid tidak perlu lagi mengadakan rihlah untuk mendapatkan hadis.[32]
Sementara ulama Muta’akhkhirun di antaranya Nur Ad-Din ‘Ithr
membolehkannya.[33]
d)
Al-Munâwalah
Adalah
seorang guru memberikan kitabnya atau beberapa kitabnya kepada muridnya agar
muridnya meriwayatkan hadis darinya dengan ungkapan نَاوَلَنِي
فُلاَن. Namun sang guru tidak
secara langsung mengucapkan lafaz pemberian izin. Izin periwayatannya tersirat dalam
pemberian kitab kepada muridnya itu.[34]
e)
Al-Mukâtabah.
Adalah
seorang guru menulis sendiri hadis-hadisnya atau ia menyuruh orang menulis
sebagian hadisnya untuk diberikan kepada murid yang hadir saat itu atau di
kirim kepada muridnya yang berada di tempat lain. Di antara lafaz yang
digunakan adalah كَتَبَ إِلَيَّ فُلاَن
قال
.
Mukâtabah ini
terbagi dua; pertama yang dibarengi dengan ijâzah, dan yang kedua tanpa ijâzah.
Adapun tentang pembolehannya, mayoritas ulama muta’akhkhirîn dan mutaqaddimîn
membolehkannya.[35]
f)
I’lâm asy-Syaikh
Adalah
seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis-hadis ini atau kitab
ini adalah riwayatnya yang Dia dengar dari Fulan, tanpa penegasan izin
periwayatan. Para ulama menganggap pemberitahuan ini adalah isyarat pemberian
izin karena menunjukkan keridhaannya kepada orang yang diberitahu. Mayoritas
ulama muta’akhkhirîn dan sebagian mutaqaddimîn membolehkannya.
Periwayatannya dengan menggunakan lafaz di antaranya هَذَا
الْكِتَابُ سَمَاعِيْ مِنْ فُلاَن.[36]
g)
Al-Washiyyah
Seorang
guru berpesan sebelum pergi atau sebelum meninggal tentang sebuah buku dari
riwayatnya untuk seseorang agar diriwayatkan darinya. Cara ini jarang
ditemukan, walaupun demikian ulama membolehkannya. Lafaz yang digunakan di
antaranya أَوْصَى إِلَيَّ فُلاَن، أَخْبَرَنيِ
فُلاَن بِالْوَصِيَّة . Ini mirip dengan cara munâwalah dan I’lâm.[37]
h)
Al-Wijâdah
Adalah
temuan, maksudnya lembaran shahifah atau buku yang ditemukan tanpa
proses mendengar atau ijâzah dan munâwalah. Seperti seseorang
menemukan tulisan dari orang yang semasa dengannya dan ia mengenalnya, baik
pernah bertemu atau belum, atau tidak semasa dengannya, tetapi dia percaya
bahwa kitab ini benar adanya sesuai dengan riwayat yang terdapat didalamnya
berdasarkan persaksian ahli hadis.[38]
Lafaz
periwayatannya seperti وَجَدْتُ فِي كِتَابِ
فُلاَن
.
b.
Perâwi
nya ‘adil
Perâwi
yang ‘adil secara bahasa
berarti perâwi yang lurus atau
tidak menyimpang.[39]
فالعدالة :
استقامة الدين والمروءة. فاستقامة الدين : أداء الواجبات، واجتناب ما يوجب الفسق
من المحرمات. واستقامة المروءة : أن يفعل ما يحمده الناس عليه من الآداب والأخلاق،
ويترك ما يذمّه الناس عليه من ذلك[40]
Artinya;
Sedangkan secara terminologi, yang dimaksud dengan perâwi yang ‘adil adalah perâwi yang lurus agama dan kepribadiannya. Yang
dimaksud dengan lurus agama adalah menjalankan yang wajib dan meninggalkan
kefasiqan. Dan yang dimaksud dengan lurus kepribadiannya adalah melakukan apa
yang dianggap baik oleh lingkungannya dan meninggalkan apa yang dicela oleh
lingkungannya.
Imam Asy Syafi’i mengatakan, bahwa maksud dari
perâwi yang ‘adil adalah
orang yang tsiqat dalam agamanya, terkenal jujur dalam berbicara, dan
bebas dari periwayatan hadis mudallas. Dan yang dimaksud ‘adil
bukanlah orang yang terbebas dari semua dosa, akan tetapi ia adalah perâwi hadis yang secara umumnya ta’at beragama dan
hati-hati dalam melakukan ketaatan. Said bin Al-Musayyab menerangkan, bahwa
tidak ada seorang yang mulia, ‘alim, seorang penguasa yang terlepas dari
aib, akan tetapi, sebagian orang ada yang aibannya tidak dibicarakan yaitu
orang yang nilai positifnya lebih banyak dibanding negatifnya....[41]
Menurut Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib yang dimaksud
dengan ‘adil adalah orang yang lurus agamanya, baik pekertinya dan bebas
dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan kewibawaannya.[42]
Dalam konteks ini, para ulama merumuskan
kriteria yang mesti dimiliki oleh orang yang dianggap ‘adil, di antaranya:
Islam, mukallaf, taat beragama, dan berwibawa.[43]
Penilaian para ulama terhadap ke’adilan
para perâwi dilakukan pada setiap
thabaqahnya (tingkatannya) dengan sangat hati-hati, sehingga tidak ada
seorang râwi pun yang tertinggal.
Penelitian itu meliputi identitas, kebiasaan sehari-hari, dan kaitan-kaitan
lainnya yang dapat diketahui secara jelas.
Namun penelitian tentang ke’adilan para
perâwi , para ulama sependapat untuk tidak melakukan penelitian pada
tingkatan sahabat, sebab dalam pandangan mereka semua sahabat itu ‘âdil (ash-shahâbah
kulluhum ‘udûl), dan memiliki kedudukan yang lebih baik di sisi Allah SWT.
Ini artinya, bahwa ke’adilan para sahabat tidak diragukan lagi, sehingga
terhadap mereka tidak perlu dilakukan penelitian.[44]
Dalam menilai ke’adilan perâwi tidak harus terjun kelapangan dengan cara
bertatatap langsung. Hal ini tentunya sangat sulit dilakukan karena mereka
hidup pada masa awal perkembangan Islam. Oleh karena itu, penelitian cukup
dilakukan dengan cara berikut:
1)
Keterangan
seseorang atau beberapa ahli ta’dîl; bahwa seseorang itu bersifat ‘âdil,
sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta’dîl.
2)
Ketenaran
seseorang bahwa ia bersifat ‘adil, seperti imam yang empat, Hanafi,
Maliki, Asy Syafi’i, dan Hambali.[45]
c.
Perâwi
nya dhâbit
وتمام الضبط :أن يؤدي ما
تحمّله من مسموع، أو مرئي على الوجه الذي تحمله من غير زيادة ولا نقص، لكن لا يضر
خطأ يسير؛ لأنه لا يسلم منه أحد[46]
Artinya;
Seorang perâwi menyampaikan hadis yang
didengarnya atau dilihatnya sesuai dengan apa yang diterimanya tanpa penambahan
dan pengurangan, akan tetapi kesalahan sedikit tidaklah berpengaruh karena
tidak orang yang lepas dari kesalahan.
Perâwi nya dhâbit maksudnya
adalah orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadis, paham ketika
mendengarnya dan menghapalnya sejak menerima sampai menyampaikannya. Yakni perâwi
hadis harus hafal dan mengerti apa
yang diriwayatkan (bila ia meriwayatkan dari hafalannya) serta memahaminya
(bila meriwayatkannya secara makna). Dan ia juga harus menjaga tulisannya dari
perubahan, pergantian ataupun penambahan, bila ia meriwayatkannya dari
tulisannya. Syarat ini mengecualikan periwayatan perâwi yang pelupa dan sering melakukan kesalahan.[47]
Jadi, perâwi yang dhabit,
maksudnya para perâwi yang
memiliki daya ingat hafalan yang kuat dan sempurna.[48]
Dalam konteks di atas, para ulama hadis membagi
kedhabitan perâwi menjadi
dua yaitu:
1)
Dhabit
Shadr
Maksudnya memiliki daya ingat dan hafalan yang
kuat, sejak ia menerima hadis dari gurunya sampai meriwayatkannya kepada orang
lain, kapan saja periwayatan itu diperlukan.[49]
2)
Dhabit
Kitâbah
Yaitu keadaan dhabit seorang perâwi yang terkait dengan baik atau tidaknya tulisan
periwayat. Ia mengingat betul hadis-hadis yang ditulisnya, atau catatan-catatan
yang dimilikinya, menjaganya dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain
dengan baik pula.[50]
Kedhabitan perâwi dapat diketahui dari salah satu dari dua hal:
(1) kesesuaian riwayatnya dengan perâwi yang tsiqqah , (2) pengakuan ulama hadis
terhadap kedhabithannya.[51]
d.
Tidak syâdz
والشذوذ
: أن يخالف الثقة من هو أرجح منه إما: بكمال العدالة، أو تمام الضبط، وكثرة العدد،
أو ملازمة المروي عنه، أو نحو ذلك[52]
Artinya; Syuzuz adalah: perâwi yang tsiqaah menyalahi perâwi yang lebih kuat darinya dalam beberapa hal
seperti ke’adilan, kedhabithan, banyaknya periwayat atau lebih mulazamah dengan
gurunya atau sejenisnya.
Yang dimaksud dengan syudzudz adalah
penyimpangan oleh perâwi tsiqat
terhadap orang yang lebih kuat darinya.[53]
Yang mula-mula memperkenalkan jenis ini adalah imam Asy Syafi’i. Beliau
mengatakan bahwa hadis syâdz bukanlah hadis di mana perâwi tsiqat meriwayatkan hadis yang sama
sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain, akan tetapi yang dimaksud hadis syâdz
adalah bila di antara sekian perâwi tsiqat ada di antara mereka yang
menyimpang dari lainnya.
Selanjutnya generasi setelah imam Asy Syafi’i
sepakat bahwa hadis syâdz adalah hadis yang diriwayatkan oleh perâwi maqbûl dalam keadaan menyimpang dari perâwi
lain yang lebih kuat darinya. Oleh
karena kriteria syâdz adalah tafarrud (kesendirian perâwi nya)
dan mukhalafah (penyimpangan). Seandainya ada seorang perâwi yang berkualitas tsiqat melakukan
penyendirian dalam meriwayatkan suatu hadis tanpa menyimpang dari yang lainnya,
maka hadisnya shahîh, bukan syâdz. Seandainya ada yang menyimpang
darinya yang lebih kuat karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah
periwayatan karena kriteria tarjih lainnya maka yang rajîh disebut “mahfûdz”,
sedangkan yang marjûh disebut “syâdz”.[54]
Di antara contoh syâdz adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadis Abdul Wahib ibn Ziyad dari
al-A’masy dari Abu Shaleh dari Abu Hurairah secara marfû’ :
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَي الفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَنْ يَمِيْنِهِ.
Artinya; “Jika salah seorang di antara kamu
telah melakukan shalat dua raka’at fajar maka hendaklah ia berbaring pada
lambung kanannya.”
Al-Baihaqiy mengatakan bahwa Abdul Wahib
berbeda dengan sejumlah perâwi (lain) dalam hal ini. Mayoritas para perâwi
lain meriwayatkannya dari perbuatan
Nabi SAW, bukan dari sabdanya. Abdul Wahib juga melakukan penyendirian di
antara sekian murid Al-A’masy mengenai redaksinya.[55]
e.
Tidak
ber’illat
والعلة القادحة : أن
يتبين بعد البحث في الحديث سبب يقدح في قبوله. بأن يتبين أنه منقطع، أو موقوف، أو
أن الراوي فاسق، أو سيِّئ الحفظ، أو مبتدع والحديث يقوي بدعته، ونحو ذلك؛ فلا يحكم
للحديث بالصحة حينئذٍ؛ لعدم سلامته من العلة القادحة.[56]
Artinya;
‘Illat yang merusak Adalah ditemukan bukti setelah penelitian dalam hadis
penyebab ditolaknya sebuah hadis seperti terbukti sanadnya terputus, atau
mauquf, atau perâwi fasiq, atau buruk
hafalannya, atau ahli bid’ah dan hadisnya menguatkan perbuatan bid’ahnya, atau
lainya. Maka ini dinyatakan tidak shahîh karena ada penyakit yang merusaknya.
Al-‘illah secara
etimologi berarti “al-Maradh” (penyakit). Merupakan bentuk masdar
dari kata kerja عُلَّ, يعلّataupun اِعْتَلّ yang berarti مرض, dengan bentuk maf’ûlnya
عَلِيْل. Secara qiyasiy, seharusnya dikatakan مُعَلَّل. Akan tetapi beberapa
ahli hadis dan ahli bahasa menyatakan هذا
حديث معلول. Al-‘illah menurut
terminologi ahli hadis merupakan sebab tersembunyinya yang mencacatkan hadis
meski secara lahiriah tampak terhindar darinya.[57]
Sebagaimana syâdz yang bisa masuk ke
hadis, begitu juga dengan ‘illat. Untuk mendeteksi ‘illat yang
ada pada suatu hadis sangatlah sulit, dibutuhkan pengetahuan khusus dan
analisis yang tajam. Karena sebuah hadis yang terdiri dari periwayat yang tsiqat
(‘adil dan dhabit) dan muttashil (bersambung) dapat
dinyatakan sebagai hadis shahîh dari segi sanad, namun
kenyataannya ada sanad yang yang berkualitas shahîh tapi ketika
diteliti lebih mendalam ternyata terdapat kejanggalan.[58]
Ketika ulama hadis bersepakat dengan kriteria
syarat hadis shahîh, berarti yang dimaksudkan adalah hadis yang shahîh
dari segi sanad dan matan. Karena, belum bisa dikatakan hadis ini
shahîh dari segi sanad tanpa melihat kepada matannya. Shahîh
sanadnya belum tentu shahîh matannya. Sehingga, bisa
dikatakan ini hadis shahîh dari segi sanad, selanjutnya menilik
ke matannya, jika matannya shahîh maka bisa dikatakan
sebagai hadis shahîh. Hal itu karena hadis tersebut telah memenuhi
syarat hadis shahîh begitu juga sebaliknya jika salah satu kriteria
syarat hadis shahîh hilang maka dikatakan hadisnya tidak shahîh.
[1] Abdur Rahman Bin Abi Bakar Jalaluddin As Suyuthy (selanjutnya
disebut as-Suyuthy), Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawy, (Riyadh,
Dar al-Ashimah, 1424H/ 2003M) ,Juz 1, Cet-1, h. 39.
[2] Ibid, h. 41.
[3] Tidak ditemukan kesepakatan dikalangan ulama tentang kapan pertama
sekali munculnya hadis-hadis palsu. Di antaranya mengatakan awal munculnya
adalah pada parohan akhir pemerintahan Khalîfah ‘Utsman, yang lain
mengatakan tahun 40H, yang lainnya lagi mengatakan pada tahun 41H. Bahkan ada
yang berpendapat bahwa hadis-hadis palsu sebenarnya sudah muncul di zaman Rasulullah
Saw sendiri.
Meskipun
demikian, muncul dan bertebarannya hadis-hadis palsu yang menodai sejarah
perkembangan hadis adalah sebuah realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri.
Dengan ini ‘Abdul Halim Mahmud mengatakan bahwa siapa yang menyatakan
perjalanan hadis tidak pernah dirusak oleh munculnya hadis-hadis palsu, berarti
Dia mengingkari realitas sejarah yang sesungguhnya. Edi Safri, Al-Imam Asy
Syafi’i Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, (Padang, IAIN Imam
Bonjol Press, 1999), h. 2.
[4] Muhammad ‘Ajjaj al Khatib (selanjutnya disebut ‘Ajjaj al Khatib),
Ushûlul Hadis ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, (Beirut, Dar al Fikr, 2006), h. 198.
[5] Hadis shahih adalah hadis yang memiliki lima syarat: sanadnya
bersambung, perawinya ‘adil, dhabith, tidak memiliki syadz dan illat.
Hadis hasan, adalah hadis yang kualitasnya
sedikit dibawah hadis shahîh. Perbedaannya hanyalah dari segi
persyaratan dhabith. Hadis shahîh harus sempurna dhabit-nya,
sedangkan hadis hasan dhabit-nya kurang sempurna.
Sedangkan
hadis dha’if, adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis shahîh
atau hasan, dengan kata lain kualitasnya di bawah hadis hasan. Mahmud Thahhan, Taisir
Mushthalah al Hadis, (Iskandariyah: Markaz al-Huda li ad-Dirasat 1415H), h.
30, ‘Ajjaj al Khatib, Ushûlul Hadis
‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, (Beirut, Dar
al Fikr, 2006), h. 218-222.
Nur ad-Din ‘Itr, Manhaj an Naqdi fi ‘Ulum al Hadis, (Damsyiq, Dar al Fikr, 1401H/ 1981M),
Cet. ke-3, h. 241.
[6] Mahmud Thahan, op.cit., h. 29
[7] As Suyuthy, Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawy,
(Riyadh, Dar al-Ashimah, 1424H/ 2003M), Juz 2, Cet-1, h. 144. (di dalam riwayat
ini dipakai lafazd isnad untuk makna sanad. Karena ulama hadis
menggunakan keduanya dalam makna yang sama). Ibid, Juz 1, h. 40.
[8] An-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawy, Juz 1 (Mesir,
Al Maktabah Al-Mishriyah, 1347H/ 1929M), Cet-1, h. 88.
[9] Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis Tela’ah
Kritis dan Tinjauan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang,
1995), h. 119.
[10] Ibid, h.121
[11] Musnad adalah bagian dari hadis, ia adalah sesuatu yang disandarkan
kepada yang mengucapkannya. Lihat; Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-lughah wa
al-a’lam, (Beirut, Dar Al Masyriq, 1960), h. 345.
[12] Aisyah Abdurrahman (Bintu Syathi’), Muqaddimah Ibnu Shalah wa
Mahasin Ishthilahat, (Kairo, Dar Al-Ma’arif, 1409H/ 1989M), h. 151
[13] Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawiy fi Syarhi Taqrib
An-Nawawi, (Riyadh, Dar Al-‘Ashimah, 1424H/ 2003M), Cet-1, h. 79.
[14] Nur ad-Din ‘Itr, Manhaj
an Naqdi fi ‘Ulum al Hadis, (Damsyiq, Dar al Fikr,
1401H/ 1981M), Cet. ke-3, h. 242
[15] Tsiqqah adalah orang yang kuat lagi terpercaya. Lihat Luwis
Ma’luf, Al-Munjid fi al-lughah wa al-a’lam, (Beirut: Dar Al Masyriq,
1960), h. 886.
[17] Ajjaj al-Khathib, op.cit, h. 200
[18] Peristiwa menerima dan meriwayatkan hadis dari seorang perawi
kepada perawi yang lain dalam ilmu hadis disebut dengan tahammul wa ada’
al-hadis.
[19]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amazah, 2008M), h.
150
[21] Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 208
[22] Liqa adalah bertemunya perawi dengan gurunya
[23] Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 206
[24] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 705.
[25] Baik mendengarkan dengan melihat langsung atau di balik hijab, sebagaimana
terjadi pada para sahabat dan tabi’in ketika mendengar hadis dari istri Nabi
dari balik hijab. Adapun Syu’bah Bin Al-Hajjaj mensyaratkan melihat guru. Ajjaj
al Khatib, op.cit, h. 151.
[27] Abi Umar Usman Ibnu Abdurrahman Al Syahr Zuriy, Muqaddimah Ibnu
Shalah fi Ulum al Hadis, (Beirut: Dar al-Fikri, 1995), h. 98.
[29] Ajjaj al-Khatib, As Sunnah Qabla Tadwin, (Beirut: Dar
Al-Fikri, 1990), h. 328.
[30] Ahmad Wirson Munawwir, op cit, h. 241.
[32] As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawiy,
(Damaskus: Dar Al-Fikr, 1997), h. 63.
[33] Nur Ad-Din al-‘Ithr, Manhaj An-Naqdi Fi Ulum Al-Hadis,
(Damaskus: Dar Al-Fikr, 1997), h. 242.
[39] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1996), h. 159
[40] Muhammad Bin Shaleh Al Utsaimin, (untuk selanjutnya disebut
Utsaimin), Al Maktabah Asy Syamilah, Ilmu Mushthalah Al-Hadis, Juz 1, h. 6.
[41] Rif’at Fauzy Abd. Al-Muthalib, Tausîq as-Sunnah fî al-Qarn al-Tsāniy fî al-Hijry, Ususuhu wa itijāhatuhu, (Mesir: Maktabah al-Khanannjiy, 1981), h. 129
[42] Ajjaj al-Khatib, Ushûlul
Hadis ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh,
(Beirut, Dar al Fikr, 1426H/ 2006M), h. 200
[43] M. Shuyudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1989), h. 119-120
[44]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1996), h. 160
[45]Utsaimin, Al Maktabah Asy Syamilah, Ilmu Mushthalah Al-Hadis, h.
6.
[46] Ibid.
[47] Ajjaj Al-Khatib, op.cit,
h. 200.
[48]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amazah, 2008M), h.
152
[49]Ibid
[51] Utsaimin, Al Maktabah Asy Syamilah, Ilmu Mushthalah Al-Hadis,
h. 6.
[52] Ibid, h. 7.
[53] Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 277
[54] Ibid, h. 229
[55]As-Suyutiy, Tadrib ar-Rawi (Mesir: Maktabah Qahirah, cet.
Ke-1, 1379 H-1959), h. 148-149
[56] Utsaimin, Al Maktabah Asy Syamilah, Ilmu Mushthalah Al-Hadis, h.
7.
[57] Ajjaj Al-Khatib, op.cit, h. 189
[58] Imam al-Hakim Abi Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hafidz
an-Naisabury, Ma’rifah Ulûm al-Hadīts, (Beirut: Dar Ihya al-Ulûm, cet. Ke-1, 1417 H/1998 M), h. 175
No comments:
Post a Comment