Monday, March 4, 2019

Mengenal Metode dan Corak-corak Tafsir


A.    Mengenal Metode dan Corak-corak Tafsir
1.      Metode  Tafsir
Jika melihat sejarah perkembangan tafsir al-Qur’an dari masa awal sampai sekarang, ditemukan secara garis besar penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui empat metode. Pertama, Ijmâli, kedua taĥli, ketiga, muqâran, dan keempat maudlû’i.
a.       Metode Ijmâli (global) suatu metode penafsiran al-Qur’an yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna ijmâli (global). Adapun sistematika pembahasannya, seorang mufassir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam al-Qur’an, kemudian mengemukakan makna ijmâli (global) yang dimaksud oleh ayat tersebut. Nashrudin Baidan mengartikan metode tafsir ijmâli yakni menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematikanya menurut urutan al-Qur’an. disamping itu, gaya penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an padahal yang didengarnya adalah tafsirannya.[1]
Metode ijmâli ini tidak jauh beda dengan metode taĥlilî, kedua metode ini terikat dengan urutan ayat-ayat al-Qur’an, dan tidak mengaitkan pembahasannya dengan ayat yang lain dalam tema yang sama kecuali tema yang umum saja.[2]
Metode ijmâli ini diterapkan pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an. Nabi dan para sahabat tidak memberikan penafsiran secara komprehensif. Konsekuensinya dalam penafsiran al-Qur’an yang ditemukan tidak ada bentuk penafsiran yang detail. Jadi, penafsiran dengan metode ini bisa dikatakan metode penafsiran yang awal-awal muncul.
Yang menjadi ciri dari metode tafsir ijmâli tidak terletak pada jumlah ayat yang ditafsirkan, apakah keseluruhan urutan al-Qur’an atau hanya sebagian saja. Yang menjadi tolak ukur adalah sistematika pembahasan. Selama mufassir hanya menafsirkan suatu ayat secara ringkas dan singkat, tanpa penjelasan yang detail, tanpa membandingkan, dan tidak mengikuti tema tertentu, maka penafsiran tersebut dapat dikategorikan dalam tafsir ijmâli (global), meskipun satu atau dua ayat.[3]
Setiap produk penafsiran atau produk apapun tentu memiliki kekurangan dan kelebihan. Dan produk tafsir yang bersifat ijtihādi ini bersifat relatif. Artinya, adanya kekurangan pada suatu produk penafsiran tertentu adalah jika dibandingkan dengan produk penafsiran lain dalam bidang yang sama. Dengan ditemukannya kekurangan suatu produk penafsiran maka akan ditemukan pula kelebihan dari produk penafsiran tersebut.
Kelebihan dan kekurangan yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah sifat yang negatif bagi produk penafsiran tersebut, tapi merujuk kepada ciri yang ada pada metode tersebut. Mengutip dalam buku Nashrudin Baidan, setidaknya ada tiga kelebihan dan kekurangan pada metode ijmâli (global). Diantaranya
1)      Praktis dan Mudah Dipahami
Tafsir yang menggunakan metode ijmāli terasa lebih praktis dan mudah dipahami bagi pemula. Tafsir model ini tidak berbelit-belit dan mudah diserap oleh pembacanya. Selain itu, bagi yang ingin memperoleh pemahaman dalam waktu yang relatif singkat, metode tafsir ijmâli akan lebih mudah membantu dalam pemahaman al-Qur’an.
2)      Bebas dari Kisah-kisah Isrāiliyāt
Singkatnya penafsiran gaya ijmāli bisa dikatakan relatif lebih murni dan bebas dari pemikiran-pemikiran isrāiliyāt. Konsekuensinya adalah pemahaman al-Qur’an tetap terjaga dari intervensi pemikiran-pemikiran isrâiliyât yang kadang tidak sejalan dengan pesan-pesan yang dibawa al-Qur’an. selain itu, dengan metode ijmâli dapat membendung pemikiran-pemikiran yang kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran teolog, sufi, dan lain-lainnya.
3)      Akrab dengan Bahasa al-Qur’an
Mufassir yang menggunakan gaya ijmâli biasanya langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan sinonimnya dan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara personal. Sehingga pembaca tidak merasakan bahwa ia membaca kitab tafsir dan terkesan membaca al-Qur’an saja.[4]
Adapun kekurangan-kekurangan yang ada pada metode ijmāli adalah sebagaimana berikut:
1)      Menjadikan Petunjuk Al-Qur’an Bersifat Parsial
Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian utuh. Sehingga jika ada suatu ayat yang masih global maka pada ayat lain akan menjelakan (tabyîn) secara rinci (tafsîliyah). Dengan menggabungkan ke dua ayat tersebut, maka diperoleh suatu pemahaman yang komprehensif dan terhindar dari kesalahan.  Misalnya surat al-Ra’du ayat 11 dan al-Anfal ayat 53 sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[5] yang ada pada diri mereka sendiri.

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: (Siksaan) yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang Telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.[6]
Kedua ayat tersebut ditafsirkan oleh imam al-Jalalain sebagai berikut:
"إنَّ اللَّه لَا يُغَيِّر مَا بِقَوْمٍ" لا يَسْلُبهُمْ نِعْمَته "حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ" مِنْ الْحَالَة الْجَمِيلَة بِالْمَعْصِيَةِ "
Kedua penafsiran tersebut di atas tampaknya berlawanan. Pada ayat pertama. Menafsirkan, mengubah sifat-sifat yang baik dengan perbuatan maksiat, sementara pada ayat kedua untuk ungkapan yang sama beliau memberikan ramuan penafsiran yang berbeda, mengganti nikmat itu dengan maksiat. Jadi penafsiran yang pertama bersifat abstrak dan yang kedua bersifat kongkrit.
Terjadinya perbedaan dalam pemahaman saat menafsirkan al-Qur’an disebabkan kurangnya perhatian terhadap munāsabah antar ayat. Jadi, jika memahami al-Qur’an dengan metode ijmāli kurang membantu dalam pemahaman al-Qur’an.[7]
2)      Tidak Memberikan Ruang Analisa
Metode ini tidak menyediakan ruang untuk memberikan uraian atau tafsiran mengenai suatu ayat. Oleh karenanya, jika ingin adanya analisis yang lengkap dan terperinci, maka metode global ini tidak dapat di andalkan. Ciri inilah yang dimiliki oleh metode tafsir ijmāli (global). Selain itu, seorang mufassir harus menyadari bahwa tidak ada ruang bagi mereka untuk memberikan tafsiran yang memadai sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.[8]
b.      Metode Taĥlilî (analitis)
Menurut al-Farmawi dalam al-Bidâyah fiŷ al-Tafâsir al-Maudlû’i, metode taĥlilî adalah cara menafsirkan al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[9]
Adapun langkah-langkahnya adalah menguraikan makna yang terkandung dalam al-Qur’an ayat demi ayat, surat demi surat sesuai urutan dalam al-Qur’an, yang dimana uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung suatu ayat, misalnya pengertian, kosa kata, konotasi kalimat, asbâb al-nuzûl, munâsabat, dan pendapat-pendapat yang diberikan berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan dari Nabi, sahabat, tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.
Sebagaimana metode sebelumnya, metode taĥlili memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dari metode ini adalah:
1)      Ruang Lingkup yang Luas
Metode ini memiliki cakupan yang cukup luas, karena sang mufassir bisa mengapresiasikan sesuai keahlian yang dimiliki. Metode ini bisa digunakan dalam dua bentuk: ma’tsûr dan ra’yi. Bentuk ra’yi misalnya, seorang mufassir memiliki peluang luas untuk menafsirkan al-Qur’an dari pemahaman kebahasaan, ilmu qirā’at, filsafat, sains dan teknologi dan lain-lainnya.[10]
2)      Memuat Berbagai Ide
 Sebagaimana diterangkan diatas, bahwa metode tafsir tahlili memiliki peluang yang luas bagi seorang mufassir untuk menuangkan gagasannya. Gagasan tersebut bisa saja ekstrim, bisa juga tasâhul dalam berpendapat. Konsekuensinya adalah melahirkan karya-karya tafsir yang berjilid-jilid.[11]
Kekurangan dari metode taĥlilî ini adalah sebagai berikut:
1)      Menjadikan Petunjuk Al-Qur’an Parsial
Metode ini juga membuat petunjuk al-Qur’an bersifat parsial. Artinya, pemahaman yang terpecah-pecah dan terkesan seolah-olah al-Qur’an memberikan pedoman tidak utuh dan tidak konsisten. Hal ini bisa terjadi karena penafsiran yang diberikan untuk suatu ayat berbeda dari penafsiran ayat lain yang sama dengannya. Contohnya awal surat al-Nisa’:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Kata (نَفْسٍ وَاحِدَةٍ), Bisri Musthofa menafsirkan kata tersebut dengan Adam.[12] Adapun konsekuensinya, saat beliau menafsirkan lanjutan ayat (وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا) yakni siti Hawa.[13] Secara sepintas, dalam penafsiran Bisri Musthofa tidak ada persoalan. Akan tetapi jika dibandingkan dengan penafsiran terhadap kata yang sama pada ayat lain, maka akan ditemukan perbedaan penafsiran seperti kata (أَنْفُسِكُمْ) dalam surat al-Taubah ayat 128, ditafsirkan oleh Bisri Musthofa dengan bangsa.[14] Ketidak konsistenan Bisri Musthofa sangat terasa karena kata nafsun dan anfus dari akar kata yang sama. Perbedaannya hanya pada bentuk mufrad dan bentuk jama’. Perubahan bentuk tunggal kepada jama’ hanya membawa perubahan konotasi dari kata tersebut dan tidak membawa perubahan makna.
Dengan melihat penafsiran sebagaimana yang diungkapkan oleh Bisri Musthofa pemahaman terhadap al-Qur’an terkesan terpecah, parsial, dan tidak konsisten. Padahal yang tidak konsisten adalah penafsirannya bukan al-Qur’annya.[15]
2)      Melahirkan Penafsiran Subjektif
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa metode tahlili ini memberikan peluang yang besar kepada mufassir untuk mengemukakan gagasan dan pemikirannya. Sampai-sampai tidak menyadari bahwa seorang mufassir tersebut menafsirkan al-Qur’an secara subyektif, dan tidak menutup kemungkinan ada yang menafsirkan al-Qur’an mengikuti kemauan hawa nafsunya belaka tanpa melihat dan mengindahkan kaidah-kaidah yang telah berlaku. Selain itu, sifat subyektifitas ini juga bisa muncul disebabkan fanatik yang berlebihan terhadap kelompok (firqah).[16]
3)      Masuknya Pemikiran Israiliyyat
Metode taĥlilî tidak memberikan batasan dalam menuangkan gagasan saat menafsirkan al-Qur’an, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak terkecuali pemikiran isrāiliyāt. Kisah-kisah isrāiliyāt ini tidak ada persoalan jika tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur’an. tapi jika dihubungkan, maka akan timbul opini bahawa kisah-kisah yang diterangkan tersebut merupakan maksud dari firman Allah, padahal belum tentu cocok dengan apa yang dimaksudkan Allah dalam al-Qur’an.[17]
c.       Metode Komparatif (Muqâran)
Pengertian metode komparatif ini secara umum dibagi menjadi tiga. Pertama, membandingkan teks ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda untuk satu kasus yang sama. Kedua,  membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis yang lahirnya tanpak bertentangan (ta’ārudh). Ketiga, membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.[18]
Adapun langkah-langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:[19]
1)      Mengumpulkan ayat yang akan dikaji
2)      Mengemukakan penjelasan mufassir baik salaf maupun khalaf, baik tafsir yang bi al-ma’tsûr ataupun bi al-ra’yi
3)      Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing yang tujuannya untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan, aliran-aliran yang mempengaruhi mereka, bidang keilmuan yang mereka kuasai.
Metode komparatif sebagaimana metode-metode sebelumnya, memiliki kelebihan dan kekurangan. Diantara kelebihan-kelebihan tersebut adalah:
1)      Memberikan wawasan penafsiran yang relatif luas
2)      Membuka pintu untuk selalu bersifat toleran terhadap perbedaan pendapat. Sehingga mengurangi sifat fanatisme kepada mazhab atau golongan tertentu
3)      Mengetahui berbagai pendapat tentang penafsiran suatu ayat
4)      Mendorong mufassir untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis serta pendapat ulama-ulama tafsir lain secara valid dan dapat dipertanggung jawabkan.
Adapun kekurangan-kekurangannya adalah sebagai berikut:
1)      Penafsiran yang terlalu luas, sehingga menyulitkan pemula untuk memahami pesan-pesan al-Qur’an
2)      Tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial di masyarakat. Karena metode ini cenderung dominan dalam membandingkan bukan pemecahan masalah.
3)      Cenderung mengutip pendapat ulama-ulama tafsir sebelumnya dan belum memberikan penafsiran-penafsiran baru.[20]
d.      Metode Tematik (maudlû’i)
Istilah metode tematik ini dapat diartikan dengan membahas ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan tema atau judul (maudlū) yang telah ditentukan. Semua ayat yang berkaitan dikumpulkan kemudian dikaji secara tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya (asbâb al-nuzūl, tafsîr mufradāt dan lain-lain). Lalu didukung dengan dalil-dalil yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argument dari al-Qur’an, hadis Nabi, maupun pemikiran rasional.[21]
Ciri-ciri utama dari metode tafsir tematik ini adalah dengan menonjolkan tema yang akan dibahas. Setidaknya ada dua ulama yang memberikan langkah-langkah operasional yang harus ditempuh ketika menggunakan metode tematik ini.


[1] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet III, h.13
[2]Abdul Hay Al-Farmawi, al-Bidâyah fiŷ al-Tafsîr al-Maudlû’i (Kairo:al-Hadarah al-Arabiyah, 1977), cet II, h. 67
[3] Nashrudin Baidan, op.cit. h. 21
[4] Ibid.h. 22-23
[5]Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
[6]Allah tidak mencabut nikmat yang Telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.
[7] Nashrudin Baidan, op.cit. h. 24-25
[8] Ibid.h.25
[9] al-Farmawi, al-Bidâyah fiŷ al-Tafâsir al-Maudlū’i, h. 24. Metode tafsir taĥlilî ini oleh Baqir Shadr disebut metode tajz’iy yang maksudnya adalah suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan urutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana urutan dalam mushaf al-Qur’an. lebih lanjut Muhammad Bagir al-Sadhar, Tafsîr Maudlūi wa al-Tafsîr Tajzi’iy li al-Qur’ân al-Karîm(Bairut:Dar al-Ta’ruf li al-Mathbuah, 1980), h.10
[10]Dari pemahaman kebahasaan (tafsîr al-Nasafi karya Abu al-Su’ud), ilmu qira’at (Abu Hayyan dengan tafsirnya Baĥr al-Muhîţh ), filsafat (tafsir al-Razi dengan Mafâtih al-Ghaib), sains dan teknologi (tafsir al-Jawâhir karya Thanthawi Jauhari), lebih lanjut baca, Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, hal. 53
[11] Seperti tafsir Jâmi al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’an karya al-Tabari yang berjumlah 15 jilid, tafsir Rūh al-Ma’âni fiŷ Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm wa Sab’ al-Matsâni karya al-Alusi yang berjumlah 16 jilid. Tafsir Mafâtih al-Ghaib yang dikenal dengan tafsir al-Kabîr karya al-Razi yang berjumlah 17 jilid. Dan tafsîr al-Marâghi karya al-Maraghi yang berjumlah 10 jilid.
[12] Bisri Musthofa, al-Ibrîz li Ma’rifati Tafsir al-Qur’an al-Azîz (Kudus: Menara Kudus, tth), h. 193
[13] Ibid, h. 193
[14] Ibid, h. 581
[15] Ibid, h. 194
[16] Ibid, h. 195
[17] Ibid, h. 195
[18] Al-Farmawi, loc. cit. h. 45-46
[19] Ibid. h. 46-47
[20] Nashirudin Baidan, loc.cit. h. 142-144
[21] Ibid. h. 151

No comments:

Post a Comment