A.
Mengenal Metode dan Corak-corak Tafsir
1.
Metode Tafsir
Jika melihat
sejarah perkembangan tafsir al-Qur’an dari masa awal sampai sekarang, ditemukan
secara garis besar penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui empat metode.
Pertama, Ijmâli, kedua taĥlilî, ketiga, muqâran, dan keempat maudlû’i.
a.
Metode Ijmâli (global) suatu metode penafsiran al-Qur’an
yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna ijmâli
(global). Adapun sistematika pembahasannya, seorang mufassir membahas ayat demi
ayat sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam al-Qur’an, kemudian
mengemukakan makna ijmâli (global) yang dimaksud oleh ayat tersebut.
Nashrudin Baidan mengartikan metode tafsir ijmâli yakni menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer,
mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematikanya menurut urutan al-Qur’an.
disamping itu, gaya penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an
sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an
padahal yang didengarnya adalah tafsirannya.[1]
Metode ijmâli ini tidak jauh
beda dengan metode taĥlilî, kedua metode ini terikat dengan urutan
ayat-ayat al-Qur’an, dan tidak mengaitkan pembahasannya dengan ayat yang lain
dalam tema yang sama kecuali tema yang umum saja.[2]
Metode ijmâli ini diterapkan
pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an. Nabi dan
para sahabat tidak memberikan penafsiran secara komprehensif.
Konsekuensinya dalam penafsiran al-Qur’an yang ditemukan tidak ada bentuk
penafsiran yang detail. Jadi, penafsiran dengan metode ini bisa dikatakan
metode penafsiran yang awal-awal muncul.
Yang menjadi ciri dari metode tafsir ijmâli
tidak terletak pada jumlah ayat yang ditafsirkan, apakah keseluruhan urutan
al-Qur’an atau hanya sebagian saja. Yang menjadi tolak ukur adalah sistematika
pembahasan. Selama mufassir hanya menafsirkan suatu ayat secara ringkas dan
singkat, tanpa penjelasan yang detail, tanpa membandingkan, dan tidak mengikuti
tema tertentu, maka penafsiran tersebut dapat dikategorikan dalam tafsir ijmâli
(global), meskipun satu atau dua ayat.[3]
Setiap produk penafsiran atau produk
apapun tentu memiliki kekurangan dan kelebihan. Dan produk tafsir yang bersifat
ijtihādi ini bersifat relatif. Artinya, adanya kekurangan pada suatu
produk penafsiran tertentu adalah jika dibandingkan dengan produk penafsiran
lain dalam bidang yang sama. Dengan ditemukannya kekurangan suatu produk
penafsiran maka akan ditemukan pula kelebihan dari produk penafsiran tersebut.
Kelebihan dan kekurangan yang
dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah sifat yang negatif bagi produk
penafsiran tersebut, tapi merujuk kepada ciri yang ada pada metode tersebut.
Mengutip dalam buku Nashrudin Baidan, setidaknya ada tiga kelebihan dan
kekurangan pada metode ijmâli (global). Diantaranya
1)
Praktis dan Mudah Dipahami
Tafsir yang menggunakan metode ijmāli
terasa lebih praktis dan mudah dipahami bagi pemula. Tafsir model ini tidak
berbelit-belit dan mudah diserap oleh pembacanya. Selain itu, bagi yang ingin
memperoleh pemahaman dalam waktu yang relatif singkat, metode tafsir ijmâli akan
lebih mudah membantu dalam pemahaman al-Qur’an.
2)
Bebas dari Kisah-kisah Isrāiliyāt
Singkatnya penafsiran gaya ijmāli bisa dikatakan
relatif lebih murni dan bebas dari pemikiran-pemikiran isrāiliyāt.
Konsekuensinya adalah pemahaman al-Qur’an tetap terjaga dari intervensi
pemikiran-pemikiran isrâiliyât yang kadang tidak sejalan dengan
pesan-pesan yang dibawa al-Qur’an. selain itu, dengan metode ijmâli
dapat membendung pemikiran-pemikiran yang kadang terlalu jauh dari pemahaman
ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran teolog, sufi, dan lain-lainnya.
3)
Akrab dengan Bahasa al-Qur’an
Mufassir yang menggunakan gaya ijmâli
biasanya langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan sinonimnya
dan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara personal. Sehingga
pembaca tidak merasakan bahwa ia membaca kitab tafsir dan terkesan membaca
al-Qur’an saja.[4]
Adapun kekurangan-kekurangan yang
ada pada metode ijmāli adalah sebagaimana berikut:
1)
Menjadikan Petunjuk Al-Qur’an Bersifat Parsial
Al-Qur’an merupakan satu kesatuan
yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian
utuh. Sehingga jika ada suatu ayat yang masih global maka pada ayat lain akan
menjelakan (tabyîn) secara rinci (tafsîliyah). Dengan
menggabungkan ke dua ayat tersebut, maka diperoleh suatu pemahaman yang
komprehensif dan terhindar dari kesalahan.
Misalnya surat al-Ra’du ayat 11 dan al-Anfal ayat 53 sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya
Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[5]
yang ada pada diri mereka sendiri.
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا
نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: (Siksaan) yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya
Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang Telah dianugerahkan-Nya
kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka
sendiri.[6]
Kedua ayat tersebut ditafsirkan oleh
imam al-Jalalain sebagai berikut:
"إنَّ اللَّه لَا يُغَيِّر مَا
بِقَوْمٍ" لا يَسْلُبهُمْ نِعْمَته "حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ" مِنْ الْحَالَة الْجَمِيلَة بِالْمَعْصِيَةِ "
Kedua penafsiran tersebut di atas
tampaknya berlawanan. Pada ayat pertama. Menafsirkan, mengubah sifat-sifat
yang baik dengan perbuatan maksiat, sementara pada ayat kedua untuk
ungkapan yang sama beliau memberikan ramuan penafsiran yang berbeda, mengganti
nikmat itu dengan maksiat. Jadi penafsiran yang pertama bersifat abstrak dan
yang kedua bersifat kongkrit.
Terjadinya perbedaan dalam pemahaman
saat menafsirkan al-Qur’an disebabkan kurangnya perhatian terhadap munāsabah
antar ayat. Jadi, jika memahami al-Qur’an dengan metode ijmāli kurang
membantu dalam pemahaman al-Qur’an.[7]
2)
Tidak Memberikan Ruang Analisa
Metode ini tidak menyediakan ruang
untuk memberikan uraian atau tafsiran mengenai suatu ayat. Oleh karenanya, jika
ingin adanya analisis yang lengkap dan terperinci, maka metode global ini tidak
dapat di andalkan. Ciri inilah yang dimiliki oleh metode tafsir ijmāli
(global). Selain itu, seorang mufassir harus menyadari bahwa tidak ada ruang
bagi mereka untuk memberikan tafsiran yang memadai sesuai dengan keahlian
masing-masing mufassir.[8]
b.
Metode Taĥlilî (analitis)
Menurut al-Farmawi dalam al-Bidâyah
fiŷ al-Tafâsir al-Maudlû’i, metode taĥlilî adalah cara menafsirkan
al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[9]
Adapun langkah-langkahnya adalah
menguraikan makna yang terkandung dalam al-Qur’an ayat demi ayat, surat demi
surat sesuai urutan dalam al-Qur’an, yang dimana uraian tersebut menyangkut
berbagai aspek yang dikandung suatu ayat, misalnya pengertian, kosa kata,
konotasi kalimat, asbâb al-nuzûl, munâsabat, dan
pendapat-pendapat yang diberikan berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan dari
Nabi, sahabat, tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.
Sebagaimana metode sebelumnya,
metode taĥlili memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dari
metode ini adalah:
1)
Ruang Lingkup yang Luas
Metode ini memiliki cakupan yang
cukup luas, karena sang mufassir bisa mengapresiasikan sesuai keahlian yang
dimiliki. Metode ini bisa digunakan dalam dua bentuk: ma’tsûr dan ra’yi.
Bentuk ra’yi misalnya, seorang mufassir memiliki peluang luas untuk
menafsirkan al-Qur’an dari pemahaman kebahasaan, ilmu qirā’at, filsafat,
sains dan teknologi dan lain-lainnya.[10]
2)
Memuat Berbagai Ide
Sebagaimana diterangkan diatas, bahwa metode
tafsir tahlili memiliki peluang yang luas bagi seorang mufassir untuk
menuangkan gagasannya. Gagasan tersebut bisa saja ekstrim, bisa juga tasâhul
dalam berpendapat. Konsekuensinya adalah melahirkan karya-karya tafsir yang
berjilid-jilid.[11]
Kekurangan dari metode taĥlilî
ini adalah sebagai berikut:
1)
Menjadikan Petunjuk Al-Qur’an Parsial
Metode ini juga membuat petunjuk
al-Qur’an bersifat parsial. Artinya, pemahaman yang terpecah-pecah dan terkesan
seolah-olah al-Qur’an memberikan pedoman tidak utuh dan tidak konsisten. Hal
ini bisa terjadi karena penafsiran yang diberikan untuk suatu ayat berbeda dari
penafsiran ayat lain yang sama dengannya. Contohnya awal surat al-Nisa’:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا
اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا
Kata (نَفْسٍ وَاحِدَةٍ), Bisri Musthofa menafsirkan kata tersebut
dengan Adam.[12]
Adapun konsekuensinya, saat beliau menafsirkan lanjutan ayat (وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا) yakni siti Hawa.[13]
Secara sepintas, dalam penafsiran Bisri Musthofa tidak ada persoalan. Akan
tetapi jika dibandingkan dengan penafsiran terhadap kata yang sama pada ayat
lain, maka akan ditemukan perbedaan penafsiran seperti kata (أَنْفُسِكُمْ) dalam surat al-Taubah ayat 128, ditafsirkan
oleh Bisri Musthofa dengan bangsa.[14]
Ketidak konsistenan Bisri Musthofa sangat terasa karena kata nafsun dan anfus
dari akar kata yang sama. Perbedaannya hanya pada bentuk mufrad dan
bentuk jama’. Perubahan bentuk tunggal kepada jama’ hanya membawa
perubahan konotasi dari kata tersebut dan tidak membawa perubahan makna.
Dengan melihat penafsiran
sebagaimana yang diungkapkan oleh Bisri Musthofa pemahaman terhadap al-Qur’an
terkesan terpecah, parsial, dan tidak konsisten. Padahal yang tidak konsisten
adalah penafsirannya bukan al-Qur’annya.[15]
2)
Melahirkan Penafsiran Subjektif
Sebagaimana telah dijelaskan diatas,
bahwa metode tahlili ini memberikan peluang yang besar kepada mufassir
untuk mengemukakan gagasan dan pemikirannya. Sampai-sampai tidak menyadari
bahwa seorang mufassir tersebut menafsirkan al-Qur’an secara subyektif, dan
tidak menutup kemungkinan ada yang menafsirkan al-Qur’an mengikuti kemauan hawa
nafsunya belaka tanpa melihat dan mengindahkan kaidah-kaidah yang telah
berlaku. Selain itu, sifat subyektifitas ini juga bisa muncul disebabkan fanatik
yang berlebihan terhadap kelompok (firqah).[16]
3)
Masuknya Pemikiran Israiliyyat
Metode taĥlilî tidak
memberikan batasan dalam menuangkan gagasan saat menafsirkan al-Qur’an, maka
berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak terkecuali pemikiran isrāiliyāt.
Kisah-kisah isrāiliyāt ini tidak ada persoalan jika tidak dikaitkan
dengan pemahaman al-Qur’an. tapi jika dihubungkan, maka akan timbul opini
bahawa kisah-kisah yang diterangkan tersebut merupakan maksud dari firman
Allah, padahal belum tentu cocok dengan apa yang dimaksudkan Allah dalam
al-Qur’an.[17]
c.
Metode Komparatif (Muqâran)
Pengertian metode komparatif ini
secara umum dibagi menjadi tiga. Pertama, membandingkan teks ayat-ayat
al-Qur’an yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau
lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda untuk satu kasus yang sama. Kedua, membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
hadis yang lahirnya tanpak bertentangan (ta’ārudh). Ketiga,
membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.[18]
Adapun langkah-langkah yang ditempuh
ketika menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:[19]
1)
Mengumpulkan ayat yang akan dikaji
2)
Mengemukakan penjelasan mufassir baik salaf maupun khalaf,
baik tafsir yang bi al-ma’tsûr ataupun bi al-ra’yi
3)
Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing yang
tujuannya untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan, aliran-aliran yang
mempengaruhi mereka, bidang keilmuan yang mereka kuasai.
Metode komparatif sebagaimana
metode-metode sebelumnya, memiliki kelebihan dan kekurangan. Diantara
kelebihan-kelebihan tersebut adalah:
1)
Memberikan wawasan penafsiran yang relatif luas
2)
Membuka pintu untuk selalu bersifat toleran terhadap perbedaan
pendapat. Sehingga mengurangi sifat fanatisme kepada mazhab atau golongan
tertentu
3)
Mengetahui berbagai pendapat tentang penafsiran suatu ayat
4)
Mendorong mufassir untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis serta
pendapat ulama-ulama tafsir lain secara valid dan dapat dipertanggung jawabkan.
Adapun kekurangan-kekurangannya
adalah sebagai berikut:
1)
Penafsiran yang terlalu luas, sehingga menyulitkan pemula untuk
memahami pesan-pesan al-Qur’an
2)
Tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial di masyarakat.
Karena metode ini cenderung dominan dalam membandingkan bukan pemecahan
masalah.
3)
Cenderung mengutip pendapat ulama-ulama tafsir sebelumnya dan belum
memberikan penafsiran-penafsiran baru.[20]
d.
Metode Tematik (maudlû’i)
Istilah metode tematik ini dapat
diartikan dengan membahas ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan tema atau
judul (maudlū) yang telah ditentukan. Semua ayat yang berkaitan
dikumpulkan kemudian dikaji secara tuntas dari berbagai aspek yang terkait
dengannya (asbâb al-nuzūl, tafsîr mufradāt dan lain-lain). Lalu
didukung dengan dalil-dalil yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah,
baik argument dari al-Qur’an, hadis Nabi, maupun pemikiran rasional.[21]
Ciri-ciri utama dari metode tafsir
tematik ini adalah dengan menonjolkan tema yang akan dibahas. Setidaknya ada
dua ulama yang memberikan langkah-langkah operasional yang harus ditempuh
ketika menggunakan metode tematik ini.
[1]
Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), cet III, h.13
[2]Abdul
Hay Al-Farmawi, al-Bidâyah fiŷ al-Tafsîr al-Maudlû’i (Kairo:al-Hadarah
al-Arabiyah, 1977), cet II, h. 67
[3]
Nashrudin Baidan, op.cit. h. 21
[5]Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak
merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
[6]Allah tidak mencabut nikmat yang Telah dilimpahkan-Nya kepada
sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.
[9] al-Farmawi, al-Bidâyah fiŷ al-Tafâsir al-Maudlū’i, h. 24.
Metode tafsir taĥlilî ini oleh Baqir Shadr disebut metode tajz’iy
yang maksudnya adalah suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan
ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan urutan ayat-ayat
al-Qur’an sebagaimana urutan dalam mushaf al-Qur’an. lebih lanjut Muhammad
Bagir al-Sadhar, Tafsîr Maudlūi wa al-Tafsîr Tajzi’iy li al-Qur’ân al-Karîm(Bairut:Dar
al-Ta’ruf li al-Mathbuah, 1980), h.10
[10]Dari pemahaman kebahasaan (tafsîr al-Nasafi karya Abu al-Su’ud),
ilmu qira’at (Abu Hayyan dengan tafsirnya Baĥr al-Muhîţh ),
filsafat (tafsir al-Razi dengan Mafâtih al-Ghaib), sains dan teknologi (tafsir
al-Jawâhir karya Thanthawi Jauhari), lebih lanjut baca, Nashrudin Baidan, Metodologi
Penafsiran al-Qur’an, hal. 53
[11] Seperti tafsir Jâmi al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’an karya al-Tabari
yang berjumlah 15 jilid, tafsir Rūh al-Ma’âni fiŷ Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm
wa Sab’ al-Matsâni karya al-Alusi yang berjumlah 16 jilid. Tafsir
Mafâtih al-Ghaib yang dikenal dengan tafsir al-Kabîr karya
al-Razi yang berjumlah 17 jilid. Dan tafsîr al-Marâghi karya al-Maraghi
yang berjumlah 10 jilid.
[12]
Bisri Musthofa, al-Ibrîz li Ma’rifati Tafsir al-Qur’an
al-Azîz
(Kudus: Menara Kudus, tth), h. 193
[13] Ibid,
h. 193
[14] Ibid,
h. 581
[19] Ibid.
h. 46-47
No comments:
Post a Comment