A. Metode Pemahaman hadis
Dalam pengamalan agama, sangat
dibutuhkan pemahaman yang benar terhadap syari’at itu sendiri. Sehingga syari’at
itu bisa tetap teraplikasikan sesuai dengan karakter agama Islam yang syumûl
atau komprehensif. Orang yang beramal tanpa pemahaman yang benar kadang lebih
banyak merusaknya daripada memperbaiki. Sebagaimana perkataan Umar Bin Abdul
Aziz
Artinya;
Berkata Umar Bin Abdul ziz:
siapa yang menyembah Allah tanpa ilmu, maka ia akan lebih banyak merusak dari
pada memperbaiki.
Di
antara upaya ulama dalam membimbing ummat dalam memahami hadis dengan benar, adalah
dengan menyusun beberapa pola pendekatan yang bisa dilakukan seperti: pemahaman
hadis dengan pendekatan isyarat Quran, tekstual
dan kontekstual, sosiologis antropologis serta pendekatan ushul fiqh dan
lainnya.
1. Memahami hadis
dengan pendekatan isyarat Quran.
Untuk
dapat memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh dari
penyimpangan, pemalsuan, interpretasi yang salah, maka sebaiknya sunnah
terlebih dahulu dipahami sesuai dengan petunjuk Quran, karena Quran merupakan sumber
pertama dalam Islam. Kepadanya dikembalikan segala bentuk perundang-undangan
dalam Islam. Sedangkan hadis merupakan penjelas (bayan) dan merinci
tentang isi Quran.
Secara
logika tidak mungkin sesuatu yang merupakan pemberi penjelasan bertentangan dengan
apa yang hendak dijelaskan. Karena hadis merupakan penjelas dan penafsir Quran,
maka hadis pasti tidak bertentangan dengan Quran dan tidak pernah ada hadis shahîh
yang bertentangan dengan Quran. Apabila ditemukan hadis shahîh yang
tampak bertentanngan dengan Quran, maka boleh jadi hadis tersebut shahîh
tapi tidak tegas dan jelas petunjuknya (dilâlahnya). Hadis yang tidak
tegas petunjuknya harus di takwîlkan sehingga sesuai dengan Quran .[2]
Ibnul
Qayyim mengatakan dalam bukunya I’lam
al-Muwaqqi’în tentang hubungan antara al-Quran dan sunnah sebagai
berikut: pertama, sunnah harus sesuai dengan Quran dari segala sisi,
sehingga Quran dan sunnah sama-sama menetapkan satu hukum dengan
berbagai dalilnya. Kedua, sunnah sebagai pemberi penjelasan dari apa
yang diinginkan Quran dan penafsirannya. Ketiga, sunnah mewajibkan atas
persoalan yang tidak disebutkan
kewajibannya dalam Quran dan mengharamkan apa yang tidak disebutkan
pengharamannya di dalam Quran. Hubungan yang ketiga ini bukan berarti sunnah
menyelahi Quran, melainkan penjabaran lebih lanjut tentang hukum asal yang ada
dalam Quran.[3]
Alasan
lain sunnah harus dipahami berdasarkan Quran adalah bahwa segala sesuatu
yang diucapkan Rasulullah Saw merujuk kepada Quran, karena Quran merupakan
asalnya, secara dekat maupun jauh. Oleh karena itu tidak satupun sunnah
yang bertentangan dengan Quran.
Dari
alasan-alasan di atas, maka tidak mungkin sebuah hadis shahîh
kandungannya bertentangan dengan Quran yang muhkamât (yang berisikan
keterangan yang pasti). Apabila ada maka bisa disebabkan oleh beberapa
kemungkinan; 1) hampir dapat dipastikan hadis tersebut tidak berkualitas shahîh,
2) boleh jadi pemahaman yang diberikan kepada hadis tidak tepat dan salah, 3)
apa yang dikira bertentangan dan kontradiksi tersebut hanyalah semu, bukan
pertentangan haqîqi , karena setelah diteliti keduanya dapat
dikompromikan.
Contohnya
:
قَالَ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لِعَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ
أَلَا تَنْهَى عَنْ الْبُكَاءِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ[4]
Artinya;
Abdullah Bin Umar menasehati Amru Bin Utsman: tidakkah
kamu bisa berhenti menangis, sesungguhnya Rasulullah Saw berkata: sesungguhnya
mayat dalam kubur disiksa karena tangisan keluarganya untuknya.(HR Al Bukhari)
Di dalam
riwayatnya Aisyah r.a menyebutkan bahwa mayat yang diazab itu adalah mayat
yahudi.[5] Karena ayat dengan tegas mengatakan
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ
أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39) (النجم)
Artinya;
Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain, setiap
orang hanya akan mendapatkan balasan dari apa yang dia lakukan.
Metode
yang dipakai Ummul Mukmini Aisyah inilah yang dipakai ulama sebagai metode
kritik matan hadis.
Pemahaman
hadis berdasarkan Quran ini sudah ada sejak zaman sahabat. Ketika sahabat
menemukan kontradiksi hadis dengan Quran maka Quran-lah yang didahulukan,
adakalanya hadis ditolak atau dikompromikan melalui takwîl jika
memungkinkan.[6]
2.
Memahami
hadis dengan pendekatan bahasa
Sebagaimana lumrahnya bahwa cara memahami ungkapan
tentang sesuatu hal terbagi dua, yaitu secara haqîqi dan majâzi. Haqîqi
adalah makna yang sebenarnya, sementara
majâzi adalah makna yang tidak sebenarnya/ kiasan.
Contohnya:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ[7]
Artinya; “Dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda: Dunia itu penjara
bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir” (HR Muslim)
Secara tekstual ulama menjelaskan bahwa bagi orang
beriman, dunia ini adalah tempat susah payah karena ia adalah penjara, seolah-olah
ulama dahulu ingin mengatakan bahwa kesusahan dunia itu diterima saja,
kabahagiaan hanya ada di akhirat di surga. Sebaliknya bagi orang kafir dunia
adalah tempat bersenang senang sebelum sampai ke akhirat tempat siksaan mereka.
Dengan pemahaman tekstual ini banyak ulama tidak
menerima hadis ini karena bertentangan dengan Quran yang menyuruh untuk meraih
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Menurut Syuhudi Ismail, hadis ini bias
dipahami secara kontekstual, bahwa orang beriman di dunia hidup seperti di
penjara, ruang gerak terbatas, penuh aturan dan norma yang mengikat setiap
perilaku mereka. Tidak semua keinginan mereka terpenuhi. Bagi orang kafir dunia
tempat kebebasan seperti di surga, tanpa aturan agama, sehingga hidup merdeka.[8]
Pendekatan bahasa perlu dilakukan untuk mendapatkan
pemaknaan yang komprehensif dan objektif. Beberapa metode yang digunakan dalam
pendekatan bahasa adalah :
a.
Mendeteksi
hadis yang memiliki lafaz yang sama.
Ini dilakukan untuk mengetahui beberapa hal:[9]
1)
Adanya idrâj
(sisipan lafaz hadis yang bukan berasal dari Nabi)
2)
Adanya idhthirâb
(pertentangan antara dua riwayat yang sama kualitasnya yang tidak mungkin
dilakukan tarjîh )
3)
Adanya al-qalbu
(pemutarbalikan matan hadis)
4)
Adanya az-ziyâdah
(penambahan lafaz dalam sebagian riwayat)
b.
Membedakan
makna haqîqi dan makna majâzi.
Bahasa Arab dikenal sebagai bahasa yang banyak menggunakan
uangkapan-ungkapan. Ungkapan majâz menurut ilmu balâghah akan
lebih mengesankan daripada ungkapan haqîqi. Rasulullah Saw sendiri juga
menggunakan ungkapan majâz ini dalam beberapa sabdanya.
Majâz dalam hal ini termasuk majâz lughawi, ‘aqli, isti’ârah, kinâyah dan tamtsîl
atau ungkapan lain yang tidak menunjukkan makna sebenarnya. Makna majâz dalam ungkapan hanya dapat diketahui dari qarînah
yang menunjukkan makna yang dimaksud.[10]
Dalam ilmu hadis pendeteksian seperti ini disebut dengan ilmu gharîb
al-hadis, yaitu ilmu untuk mengatahui lafazh-lafazh dalam matan hadis
yang sulit dipahami karena jarang digunakan. Begitulah Ibnu shalah menuturkan.[11] Terkadang juga digunakan pendekatan nahwu, sharaf sebagai
dasar keilmuan dalam bahasa Arab.
3.
Memahami hadis dengan pendekatan Kaidah Ushûl
Maksudnya adalah memahami hadis dengan memperhatikan dan
berpedoman kepada ketentuan atau kaidah ushûl yang telah dirumuskan oleh
para ulama.[12]
Hal ini disebabkan karena di dalam bahasa Arab ada
redaksi yang bersifat umum yang memang diberlakukan untuk umum (‘am yurâdu
bihi al-‘âm), disamping itu ada lafaz yang umum namun yang dimaksud adalah
khusus (‘âm yurâdu bihi khâs), dan ada juga lafaz yang umum namun
ditangguhkan berlakunya pada makna khusus (‘âm yurâdu bihi al-makhsûs).
Contohnya :
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ[13]
Artinya; Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata, bersabda Rasulullah
Saw: Air itu suci , tidak dikotori oleh apapun. (HR Tarmizi)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ
لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ[14]
Artinya; Dari Ibnu Umar, Rasululah bersabda:
apabila air mencapai dua kulah maka dia tidak mengandung kotoran.(HR At Tirmizi)
Secara
zâhir hadis ini bertentangan, maka penjelasannya adalah hadis pertama ditakhsîskan
oleh hadis kedua, maksudnya air itu pada dasarnya suci dan tidak ternodai,
namun itu dalam kondisi lebih dari dua kullah. Bila kurang dari itu maka
salah satu dari unsur air seperti rasa, bau, dan warnanya pasti akan berubah
bila dimasuki najis. Maka sesuai dengan kaidah ushûl bahwa bila bertemu dalîl yang umum
dengan yang khusus maka dalîl yang umum ditangguhkan pengamalannya,
berlakulah yang khusus untuk diamalkan.
4.
Memahami hadis dengan pendekatan tematis dan korelatif
(mawdhû’i)
Pada awalnya metode ini dipakai oleh ulama tafsir dalam
memahami ayat al-Quran. Dengan cara mengumpulkan semua ayat yang membahas tema
yang ditentukan, kemudian dihubungkan kandungan satu ayat dengan ayat yang lain
sehingga menjadi sebuah kesatuan pemahaman yang tidak bisa dipidahkan, karena
yang satu menafsirkan yang lain.[15]
Walaupun belum popular dalam dunia hadis namun tidak
berrarti tidak ada ulama hadis yang mengetahuinya. Imam Asy Syafi’i dapat
dianggap sebagai ulama hadis yang pertama merumuskan metode ini, yang oleh Edi
Safri disebut dengan “pemahaman korelatif”. Metode ini digunakan imam Asy
Syafi’i dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif.[16]
Dengan metode ini banyak hadis yang kesannya bertentangan
secara zahir namun bisa dikompromikan sehingga memberikan pemahaman yang utuh
tentang syarî’at Islam.
Tokoh lain yang juga memakai metode ini dan
mengembangkannya adalah Yusuf al Qardhawiy. Seorang ulama kontemporer, menurut
beliau, dengan mengumpulkan hadis-hadis shahîh yang membicarakan tema
yang sama, maka akan lahirlah sebuah kesimpulan yang berkaitan satu sama
lainnya, kadang yang mukhtalif dijelaskan oleh yang muhkam, yang muthlaq
dibatasi dengan muqayyad dan lainnya, sehingga kesan hadis bertentangan
dapat dihindarkan.[17]
Contohnya :
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن
النبي صلى الله عليه وسلم قال ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار [18]
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Dari rasul
SAW, beliau bersabda : ‘’Sarung yang (dilebihkan ) di bawah mata
kaki, maka tempatnya di neraka.
Hadis lain
Artinya : dari Ibn Umar : Bahwa Rasul SAW
bersabda: “Allah SWT tidak melihat kepada orang yang melabuhkan pakaiannya
karena sombong”.
Hadis lainnya
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة ,فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه ,فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم إنك لست تصنع ذلك خيلاء[20]
Artinya : Dari Abdullah Ibn Umar ra., ia berkata :
Telah bersabda Rasul SAW : “Barang siapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah SWT tidak akan
memandangnya pada hari kiamat”. Kemudian Abu Bakar berkata : “Sesungguhnya
seseorang mencela pakaianku karena ia (sarungnya) melorot, kecuali aku
memeganginya. Lalu Rasul SAW bersabda: Engkau bukanlah orang yang melakukannya
karena sombong”.
Jika dikaji hadis hadis di atas maka akan dapat
pemahaman bahwa larangan memanjangkan pakaian bukanlah tanpa sebab, sehingga
semua yang memanjangkan pakaian akan masuk neraka. Namun setelah dikumpulkan hadis
lain yang sama temanya ternyata ada benang merah yang bisa ditarik bahwa inti
dari hadis adalah larangan bersikap sombong, baik pakaiannya panjang atau
tidak. Orang yang pakaiannya tidak panjangpun bila memiliki rasa sombong maka
ia termasuk yang diancam dalam hadis ini.
5.
Memahami hadis dengan pendekatan kontekstual.
Kata
“kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu, uraian atau kalimat yang dapat
mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan
suatu kejadian.[21] Sedangkan yang dimaksud dengan kontekstual dalam pembahasan ini
adalah dalam arti yang kedua, yaitu sesuatu yang ada hubungan dengan suatu
kejadian.
Pemahaman
kontekstual atas hadis menurut Edi Safri, adalah memahami hadis-hadis Rasulullah
Saw dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau
situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut, atau dengan kata
lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya (sabab al-wurûd).[22]
Menyangkut
masalah sabab wurûd al-hadis ada hal-hal yang perlu diperhatikan
sebagaimana disebutkan imam Asy Syafi’i: pertama, terkadang Rasulullah Saw
ditanya tentang sesuatu, beliaupun memberikan jawaban sesuai dengan masalah
yang ditannyakan. Akan tetapi periwayat tidak menyampaikan hadis tersebut
secara lengkap (tidak menyebutkan pertanyaan yang menyebabkan lahirnya jawaban Rasulullah
Saw). Atau hadis tersebut diriwayatkan oleh orang lain yang hanya mendengar
atau mengetahui jawaban Rasulullah Saw (yang kemudian ia riwayatkan) namun
tidak mengetahui pertanyaan yang melatarbelakangi jawaban tersebut. Di kalangan
orang-orang yang menerima hadis dengan periwayatan yang tidak lengkap ini,
dapat terjadi kekeliruan dalam memahami maksud yang sebenarnya yang dituju oleh
hadis tersebut karena tidak mengetahui keterkaitannya dengan pertanyaan atau
peristiwa yang melatarbelakangi. Bahkan kesimpulan atau pemahamannya terhadap hadis
tersebut bisa mengandung pertentangan dengan hadis lainnya.
Kedua,
adakalanya Rasulullah Saw menetapkan suatu ketentuan mengenai suatu masalah
atau peristiwa. Kemudian, pada kesempatan lain, menyangkaut masalah yang sama,
beliau menetapkan pula suatu ketentuan yang tanpak berbeda atau tampak
bertentangan. Kedua ketetapan beliau tersebut sebenarnya beliau sampaikan dalam
situasi yang berbeda. Akan tetapi, sebagian orang tidak mengetahui perbedaan
situasi yang melatarbelakangi ketetapan-ketetapan Rasulullah Saw tersebut.
Sehingga menilainya sebagai yang bertentangan, padahal sebenarnya bukanlah
bertentangan.
Dari
keterangan di atas dapat dipahami bahwa di antara faktor penyebab
timbulnya suatu hadis bertentangan dengan lainnya adalah karena tidak
mengetahui sabab wurûdnya atau dengan kata lain, tidak memperhatikan
konteksnya. Sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap maksud
sebenarnya yang dituju oleh hadis tersebut.
Sebaliknya
memahami hadis dengan memperhatikan sabab al-wurûd atau konteksnya,
niscaya akan mengantarkan kita untuk dapat memahami makna yang dikandung atau
maksud sebenarnya yang dituju oleh hadis tersebut dengan baik. Sekaligus dengan
cara ini, pertentangan lahiriah yang tampak antara satu hadis dengan hadis
lain, akan ditemukan jalan keluar penyelesaian atau pengompromiannya.[23]
Memahami
hadis secara kontekstual, artinya memahaminya menurut atau sesuai dengan
lingkungan sosiohistoris. Ketika lingkungan sosiohistoris tersebut berubah,
tentu saja harus diadakan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dan zaman
barunya. Upaya seperti ini disebut dengan kontekstualisasi pemahaman hadis.
Contohnya hadis tentang perintah mandi sebelum pergi shalat jumat;
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ
فَلْيَغْتَسِلْ[24]
Artinya;
Bercerita kepada kami Abdullah Bin Yusuf dia berkata:
memberitakan kepada Kami Malik, dari Nafi’ dari Abdullah Bin Umar r.a
bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: Apabila salah seorang dari kalian hendak
pergi Jum’at hendaklah ia mandi. HR Al Bukhari.
Hadis
ini mempunyai sebab yang khusus, pada saat itu perekonomian para sahabat
umumnya masih dalam keadaan sulit, sehingga mereka hanya mampu memiliki baju
wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka juga banyak yang bekerja di kebun
sebagai petani. Setelah berladang, mereka banyak yang langsung ke mesjid. Pada
suatu jumat, cuaca sedang panas, sementara mejid sempit. Ketika Nabi
berkhutbah, aroma keringat orang yang berbaju wol kasar dan belum mandi itu
menerpa hidung Nabi. Suasana hening dalam mesjid menjadi terganggu oleh aroma
tidak sedap itu, karenanya muncullah perintah mandi. Maka bisa disimpulkan
bahwa mandi jumat itu hanya wajib bagi orang-orang yang berbadan kotor.[25]
Ada
juga dengan melihat geografis saat mengucapkannya. Pada dasarnya pemahaman
model ini hanya bertujuan untuk melihat tempat di mana hadis itu disabdakan sehingga
penerapannya tepat. Misalnya hadis tentang kiblat yang Rasullullah Saw ucapkan
di kota Madinah dengan ungkapan beliau arah antara timur dan barat adalah
kiblat. Hadis ini tidak berlaku bagi orang yang tinggal di Indonesia yang secara
geografis berbeda dengan Madinah. Secara kontekstual hadis itu dapat dipahami
bahwa untuk masyarakat Indonesia, arah kiblat mereka berada di antara Utara dan
Selatan, bukan antara Timur dan Barat.
Sosiologis
dan antropologis juga bagian yang menjadi pertimbangan dalam bagian ini. Sosiologi
adalah pandangan dari sudut posisi manusia yang membawanya berprilaku seperti
itu, sementara antropologi adalah budaya atau prilaku yang sudah mengikat
masyarakat.
Seperti
hadis tentang larangan patung yang pada zaman dahulu karena identik dengan
kemusyrikan dan masyarakat punya keterikatan yang kuat sebelumnya dengan patung
sebagai benda yang berpengaruh di dalam kehidupan mereka, berbeda dengan
sekarang.[26]
6. Memahami hadis
dengan pendekatan takwîl
التأويل صرف اللفظ عن معناه الظاهر إلى معنى يحتمله إذا كان المحتمل الذي
يراه موافقا للكتاب و السنة[27]
Artinya;
Takwîl adalah: memalingkan lafazh dari makna zhahir
kepada makna lain yang dikandungnya selagi makna itu sesuai dengan Quran dan Sunnah.
Artinya;
Takwîl adalah memalingkan makna dari zhahirnya yang
kuat kepada makna yang tidak kuat karena ada petunjuk yang mengharuskannya
untuk itu. Dan dia berbeda dengan makna aslinya.
Langkah awal dalam melakukan takwîl adalah
menemukan qarînah (indikasi) yang mengharuskan seseorang menarik makna lain di luar makna
aslinya. Seperti kata kucing besar ditakwîlkan dengan harimau dapat
diterima karena kedua kata tersebut berkaitan di mana kucing besar adalah makna
majâzi dari harimau. Tetapi kucing besar ditakwîlkan dengan gajah
maka ini tidak dapat diterima karena tidak terkait sama sekali. Contoh
penggunaan takwîl dalam pemahaman hadis;
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَرَّهُ
أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
(البخاري)[29]
Artinya; Dari Anas bin Malik r.a dia
berkata; bahwa saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, siapa yang ingin
dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia bersilaturrahim.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ َإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ
مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ (الترمذي)[30]
Artinya; Dari Abu Hurairah r.a , dari
Nabi Saw bersabda: sesungguhnya shilaturrahim itu mendatangkan rasa cinta pada
keluarga dan menambah pada harta dan memperpanjang usia.
Sebagian
ulama sulit memahami frase يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ dan مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ dengan makna diakhirkan ajalnya.
Qarinahnya adalah bila dipahami dengan makna aslinya maka akan bertentangan
dengan ayat Quran yang menjelaskan ajal tidak dapat dimajukan atau
ditunda. (QS Al A’raf :34)
Oleh
karena itu frase ini harus dipalingkan dari makna aslinya, tentunyan makna lain
yang akan dipakai harus terkait dengan makna aslinya. Dari kitab syarah hadis
didapati para ulama memberkan takwîl sebagai berikut:[31]
a)
Makna
frase “meng-akhir-kan ajal” dalam hadis dipahami dengan penambahan
keberkatan umur dan taufîq untuk tha’at kepada Allah. Artinya dengan
umurnya yang ada bisa melahirkan produktifitas amal yang luar biasa.
b)
Makna
frase itu juga bisa dipahami makna kekal namanya dalam keharuman, sepertinya
dia belum mati karena masih dikenang di dalam ingatan masyarakat.
[1] An-Nawawi, Al-Arba’un an-Nawawiyah, Al-Maktabah
asy-Syamilah, Juz 1, h. 99.
[2] Yusuf al-Qardhawiy, Quran dan Sunnah referensi tertinggi Umat
Islam, judul asli al-Marja’iyyah al-‘ulya fiy al-Islam li al-Quran wa
as-sunnah, penterjemah Bahruddin Fannani, (Jakarta: Robbani press, 1997),
cet-1, h. 202.
[3] Ibid.
[4] Al-Al Bukhari, op.cit, juz 1, h. 396
[5] Badruddin az-Zarkasyi, Al-Ijabah li Iradi ma iftarakathu Aisyah
‘ala shahabah, (Beirut: Al-Maktabah al-Islami, 1970), h. 59.
[6] Musfar Azmillah ad Dhamini, Maqayis Naqdi Mutu as-Sunnah,
(Riyadh: tp, 1984), cet-1, h. 65.
[7] Muslim, op.cit, h. 1582.
[8] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual,
(op, cit), h. 9.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya,
2001), cet-1, h. 364.
[10] Qardhawi, studi kritis,…. 185.
[11] Fachrur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al-hadis, (Bandung : PT
Al-Ma’araif, 1984), cet-10, h. 321.
[12] Edi Safri, al-Imâm al-Syâfi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-hadis
Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 4.
[13] Turmuzi, al-Jami’
al-Kabir Sunan at-Tarmizi, Abwab Thaharah (Dar ar-Risalah al-‘lamiyah, tt,
th), juz 1, h. 84.
[14] Ibid, h. 85
[15] Musthafa Muslim, Mabahits fi at-tafsir al-maudhu’I,
(Damaskus: dar al-Qalam, 1418H/ 1997M), cet-2, h. 16. Abdul Hay al-Farmawy, Metode
tafsir maudhu’I suatu pengantar, diterjemahkan oleh Surya A jamrah, judul
Asli, al-Bidayat fi at-tafsir al-maudhu’I Dirasat Manhajiyah Maudhu’iyah,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), cet-1, h. 33-34.
[16] Edi Safri, op.cit, h. 111.
[17] Yusuf qardhawi, Kaifa nata’amal ma’a as-sunnah an-nabawiyah,
(Virgina: al ma’had al-‘aly li al-fikri al-islamiy, 1989), h. 103.
[22] Edi Safri, op.cit, h.
103
[23] Ibid.
[24] Al Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih, Kitab al-Jum’ah, bab fadhlu
al-ghusli yaumal Jaum’ah, (Kairo,
Al-Mathba’ah As-Salafiyah wa Maktabatuha, 1400 H), Cet-1, juz 1, h. 280
[25]Ibnu Hajar al asqalani, Fathul Barri syarah shahih al Al Bukhari,
(Beirut:Daar al Khutub al ilmiyah,T.Th) Juz 3,H.278-27
[26] Abdul Mustaqim, Ilmu ma’anil Hadis (paradigm Interkoneksi),
(Yogyakarta, Idea Press, 2009), h. 70.
[27] Ali ibn Muhammad ibn Ali Al Jurjani, At Ta’rifat, (Beirut,
Dar al Kitab Al Arabi, 1405H), hal 72.
[28] Ibrahim Muhammad Thaha, Al Maktabah Asy Syamilah, Tesis, At
Takwil baina dhawabith ushuliyin wa al qira’at mu’ashirin, Bab takwil, (Al
Quds, 2001) juz 1 hal 4.
[29] Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, Bab man ahabba al bashatha fi ar
rizq, Al Maktabah Asy Syamilah, juz
7 hal 228.
[30] At Tirmizi, Sunan at Turmudzi, Bab ta’lim an nasab, Al Maktabah Asy Syamilah, juz 7 hal 247.
[31] Maizuddin, Metodologi Pemahaman hadis, (Padang: Hayfa Press,
2008), h. 97
No comments:
Post a Comment