Monday, March 4, 2019

Metode Pemahaman hadis


A.    Metode Pemahaman hadis
Dalam pengamalan agama, sangat dibutuhkan pemahaman yang benar terhadap syari’at itu sendiri. Sehingga syari’at itu bisa tetap teraplikasikan sesuai dengan karakter agama Islam yang syumûl atau komprehensif. Orang yang beramal tanpa pemahaman yang benar kadang lebih banyak merusaknya daripada memperbaiki. Sebagaimana perkataan Umar Bin Abdul Aziz
قال عمر بن عبد العزيز : " من عبد الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح "[1] .
Artinya; Berkata Umar Bin Abdul ziz: siapa yang menyembah Allah tanpa ilmu, maka ia akan lebih banyak merusak dari pada memperbaiki.

            Di antara upaya ulama dalam membimbing ummat dalam memahami hadis dengan benar, adalah dengan menyusun beberapa pola pendekatan yang bisa dilakukan seperti: pemahaman hadis dengan pendekatan isyarat Quran,  tekstual dan kontekstual, sosiologis antropologis serta pendekatan ushul fiqh dan lainnya.

1.      Memahami hadis dengan pendekatan isyarat Quran.
Untuk dapat memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, interpretasi yang salah, maka sebaiknya sunnah terlebih dahulu dipahami sesuai dengan petunjuk Quran, karena Quran merupakan sumber pertama dalam Islam. Kepadanya dikembalikan segala bentuk perundang-undangan dalam Islam. Sedangkan hadis merupakan penjelas (bayan) dan merinci tentang isi Quran.
Secara logika tidak mungkin sesuatu yang merupakan pemberi penjelasan bertentangan dengan apa yang hendak dijelaskan. Karena hadis merupakan penjelas dan penafsir Quran, maka hadis pasti tidak bertentangan dengan Quran dan tidak pernah ada hadis shahîh yang bertentangan dengan Quran. Apabila ditemukan hadis shahîh yang tampak bertentanngan dengan Quran, maka boleh jadi hadis tersebut shahîh tapi tidak tegas dan jelas petunjuknya (dilâlahnya). Hadis yang tidak tegas petunjuknya harus di takwîlkan sehingga sesuai dengan Quran .[2]
Ibnul Qayyim  mengatakan dalam bukunya I’lam al-Muwaqqi’în tentang hubungan antara al-Quran dan sunnah sebagai berikut: pertama, sunnah harus sesuai dengan Quran dari segala sisi, sehingga Quran dan sunnah sama-sama menetapkan satu hukum dengan berbagai dalilnya. Kedua, sunnah sebagai pemberi penjelasan dari apa yang diinginkan Quran dan penafsirannya. Ketiga, sunnah mewajibkan atas persoalan yang tidak disebutkan  kewajibannya dalam Quran dan mengharamkan apa yang tidak disebutkan pengharamannya di dalam Quran. Hubungan yang ketiga ini bukan berarti sunnah menyelahi Quran, melainkan penjabaran lebih lanjut tentang hukum asal yang ada dalam Quran.[3]
Alasan lain sunnah harus dipahami berdasarkan Quran adalah bahwa segala sesuatu yang diucapkan Rasulullah Saw merujuk kepada Quran, karena Quran merupakan asalnya, secara dekat maupun jauh. Oleh karena itu tidak satupun sunnah yang bertentangan dengan Quran.
Dari alasan-alasan di atas, maka tidak mungkin sebuah hadis shahîh kandungannya bertentangan dengan Quran yang muhkamât (yang berisikan keterangan yang pasti). Apabila ada maka bisa disebabkan oleh beberapa kemungkinan; 1) hampir dapat dipastikan hadis tersebut tidak berkualitas shahîh, 2) boleh jadi pemahaman yang diberikan kepada hadis tidak tepat dan salah, 3) apa yang dikira bertentangan dan kontradiksi tersebut hanyalah semu, bukan pertentangan haqîqi , karena setelah diteliti keduanya dapat dikompromikan.
Contohnya :
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لِعَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ أَلَا تَنْهَى عَنْ الْبُكَاءِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ[4]
Artinya; Abdullah Bin Umar menasehati Amru Bin Utsman: tidakkah kamu bisa berhenti menangis, sesungguhnya Rasulullah Saw berkata: sesungguhnya mayat dalam kubur disiksa karena tangisan keluarganya untuknya.(HR Al Bukhari)

Di dalam riwayatnya Aisyah r.a menyebutkan bahwa mayat yang diazab itu adalah mayat yahudi.[5] Karena ayat dengan tegas mengatakan
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39)  (النجم)
Artinya; Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain, setiap orang hanya akan mendapatkan balasan dari apa yang dia lakukan.

Metode yang dipakai Ummul Mukmini Aisyah inilah yang dipakai ulama sebagai metode kritik matan hadis.
Pemahaman hadis berdasarkan Quran ini sudah ada sejak zaman sahabat. Ketika sahabat menemukan kontradiksi hadis dengan Quran maka Quran-lah yang didahulukan, adakalanya hadis ditolak atau dikompromikan melalui takwîl jika memungkinkan.[6]

2.      Memahami hadis dengan pendekatan bahasa
Sebagaimana lumrahnya bahwa cara memahami ungkapan tentang sesuatu hal terbagi dua, yaitu secara haqîqi dan majâzi. Haqîqi  adalah makna yang sebenarnya, sementara majâzi adalah makna yang tidak sebenarnya/ kiasan.
Contohnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ[7]
Artinya;Dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda: Dunia itu penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir” (HR Muslim)

Secara tekstual ulama menjelaskan bahwa bagi orang beriman, dunia ini adalah tempat susah payah karena ia adalah penjara, seolah-olah ulama dahulu ingin mengatakan bahwa kesusahan dunia itu diterima saja, kabahagiaan hanya ada di akhirat di surga. Sebaliknya bagi orang kafir dunia adalah tempat bersenang senang sebelum sampai ke akhirat tempat siksaan mereka.
Dengan pemahaman tekstual ini banyak ulama tidak menerima hadis ini karena bertentangan dengan Quran yang menyuruh untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Menurut Syuhudi Ismail, hadis ini bias dipahami secara kontekstual, bahwa orang beriman di dunia hidup seperti di penjara, ruang gerak terbatas, penuh aturan dan norma yang mengikat setiap perilaku mereka. Tidak semua keinginan mereka terpenuhi. Bagi orang kafir dunia tempat kebebasan seperti di surga, tanpa aturan agama, sehingga hidup merdeka.[8]
Pendekatan bahasa perlu dilakukan untuk mendapatkan pemaknaan yang komprehensif dan objektif. Beberapa metode yang digunakan dalam pendekatan bahasa adalah :
a.       Mendeteksi hadis yang memiliki lafaz yang sama.
Ini dilakukan untuk mengetahui beberapa hal:[9]
1)      Adanya idrâj (sisipan lafaz hadis yang bukan berasal dari Nabi)
2)      Adanya idhthirâb (pertentangan antara dua riwayat yang sama kualitasnya yang tidak mungkin dilakukan tarjîh )
3)      Adanya al-qalbu (pemutarbalikan matan hadis)
4)      Adanya az-ziyâdah (penambahan lafaz dalam sebagian riwayat)
b.      Membedakan makna haqîqi  dan makna majâzi.
Bahasa Arab dikenal sebagai bahasa yang banyak menggunakan uangkapan-ungkapan. Ungkapan majâz menurut ilmu balâghah akan lebih mengesankan daripada ungkapan haqîqi. Rasulullah Saw sendiri juga menggunakan ungkapan majâz ini dalam beberapa sabdanya.
Majâz  dalam hal ini termasuk majâz  lughawi, ‘aqli, isti’ârah, kinâyah dan tamtsîl atau ungkapan lain yang tidak menunjukkan makna sebenarnya. Makna majâz  dalam ungkapan hanya dapat diketahui dari qarînah yang menunjukkan makna yang dimaksud.[10]
Dalam ilmu hadis pendeteksian seperti ini disebut dengan ilmu gharîb al-hadis, yaitu ilmu untuk mengatahui lafazh-lafazh dalam matan hadis yang sulit dipahami karena jarang digunakan. Begitulah Ibnu shalah menuturkan.[11] Terkadang juga digunakan pendekatan nahwu, sharaf sebagai dasar keilmuan dalam bahasa Arab.

3.      Memahami hadis dengan pendekatan Kaidah Ushûl
Maksudnya adalah memahami hadis dengan memperhatikan dan berpedoman kepada ketentuan atau kaidah ushûl yang telah dirumuskan oleh para ulama.[12]
Hal ini disebabkan karena di dalam bahasa Arab ada redaksi yang bersifat umum yang memang diberlakukan untuk umum (‘am yurâdu bihi al-‘âm), disamping itu ada lafaz yang umum namun yang dimaksud adalah khusus (‘âm yurâdu bihi khâs), dan ada juga lafaz yang umum namun ditangguhkan berlakunya pada makna khusus (‘âm yurâdu bihi al-makhsûs).
Contohnya :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ[13]
Artinya; Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata, bersabda Rasulullah Saw: Air itu suci , tidak dikotori oleh apapun. (HR Tarmizi)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ[14]
Artinya; Dari Ibnu Umar, Rasululah bersabda: apabila air mencapai dua kulah maka dia tidak mengandung kotoran.(HR At Tirmizi)

            Secara zâhir hadis ini bertentangan, maka penjelasannya adalah hadis pertama ditakhsîskan oleh hadis kedua, maksudnya air itu pada dasarnya suci dan tidak ternodai, namun itu dalam kondisi lebih dari dua kullah. Bila kurang dari itu maka salah satu dari unsur air seperti rasa, bau, dan warnanya pasti akan berubah bila dimasuki najis. Maka sesuai dengan kaidah ushûl bahwa bila bertemu dalîl yang umum dengan yang khusus maka dalîl yang umum ditangguhkan pengamalannya, berlakulah yang khusus untuk diamalkan.

4.      Memahami hadis dengan pendekatan tematis dan korelatif (mawdhû’i)
Pada awalnya metode ini dipakai oleh ulama tafsir dalam memahami ayat al-Quran. Dengan cara mengumpulkan semua ayat yang membahas tema yang ditentukan, kemudian dihubungkan kandungan satu ayat dengan ayat yang lain sehingga menjadi sebuah kesatuan pemahaman yang tidak bisa dipidahkan, karena yang satu menafsirkan yang lain.[15]
Walaupun belum popular dalam dunia hadis namun tidak berrarti tidak ada ulama hadis yang mengetahuinya. Imam Asy Syafi’i dapat dianggap sebagai ulama hadis yang pertama merumuskan metode ini, yang oleh Edi Safri disebut dengan “pemahaman korelatif”. Metode ini digunakan imam Asy Syafi’i dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif.[16]
Dengan metode ini banyak hadis yang kesannya bertentangan secara zahir namun bisa dikompromikan sehingga memberikan pemahaman yang utuh tentang syarî’at Islam.
Tokoh lain yang juga memakai metode ini dan mengembangkannya adalah Yusuf al Qardhawiy. Seorang ulama kontemporer, menurut beliau, dengan mengumpulkan hadis-hadis shahîh yang membicarakan tema yang sama, maka akan lahirlah sebuah kesimpulan yang berkaitan satu sama lainnya, kadang yang mukhtalif dijelaskan oleh yang muhkam, yang muthlaq dibatasi dengan muqayyad dan lainnya, sehingga kesan hadis bertentangan dapat dihindarkan.[17]

Contohnya :
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي  صلى الله عليه وسلم  قال ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار [18] 
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Dari rasul SAW, beliau bersabda : ‘’Sarung yang (dilebihkan ) di bawah mata kaki, maka tempatnya di neraka.

Hadis lain
عن ابن عمر أن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  قال لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء[19]
Artinya : dari Ibn Umar : Bahwa Rasul SAW bersabda: “Allah SWT tidak melihat kepada orang yang melabuhkan pakaiannya karena sombong”.

Hadis lainnya
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة  ,فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه  ,فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ثم إنك لست تصنع ذلك خيلاء[20]
Artinya : Dari Abdullah Ibn Umar ra., ia berkata : Telah bersabda Rasul SAW : “Barang siapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah SWT tidak akan memandangnya pada hari kiamat”. Kemudian Abu Bakar berkata : “Sesungguhnya seseorang mencela pakaianku karena ia (sarungnya) melorot, kecuali aku memeganginya. Lalu Rasul SAW bersabda: Engkau bukanlah orang yang melakukannya karena sombong”.
Jika dikaji hadis hadis di atas maka akan dapat pemahaman bahwa larangan memanjangkan pakaian bukanlah tanpa sebab, sehingga semua yang memanjangkan pakaian akan masuk neraka. Namun setelah dikumpulkan hadis lain yang sama temanya ternyata ada benang merah yang bisa ditarik bahwa inti dari hadis adalah larangan bersikap sombong, baik pakaiannya panjang atau tidak. Orang yang pakaiannya tidak panjangpun bila memiliki rasa sombong maka ia termasuk yang diancam dalam hadis ini.
5.      Memahami hadis dengan pendekatan kontekstual.
Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu, uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian.[21] Sedangkan yang dimaksud dengan kontekstual dalam pembahasan ini adalah dalam arti yang kedua, yaitu sesuatu yang ada hubungan dengan suatu kejadian.
Pemahaman kontekstual atas hadis menurut Edi Safri, adalah memahami hadis-hadis Rasulullah Saw dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut, atau dengan kata lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya (sabab al-wurûd).[22]
Menyangkut masalah sabab wurûd al-hadis ada hal-hal yang perlu diperhatikan sebagaimana disebutkan imam Asy Syafi’i: pertama, terkadang Rasulullah Saw ditanya tentang sesuatu, beliaupun memberikan jawaban sesuai dengan masalah yang ditannyakan. Akan tetapi periwayat tidak menyampaikan hadis tersebut secara lengkap (tidak menyebutkan pertanyaan yang menyebabkan lahirnya jawaban Rasulullah Saw). Atau hadis tersebut diriwayatkan oleh orang lain yang hanya mendengar atau mengetahui jawaban Rasulullah Saw (yang kemudian ia riwayatkan) namun tidak mengetahui pertanyaan yang melatarbelakangi jawaban tersebut. Di kalangan orang-orang yang menerima hadis dengan periwayatan yang tidak lengkap ini, dapat terjadi kekeliruan dalam memahami maksud yang sebenarnya yang dituju oleh hadis tersebut karena tidak mengetahui keterkaitannya dengan pertanyaan atau peristiwa yang melatarbelakangi. Bahkan kesimpulan atau pemahamannya terhadap hadis tersebut bisa mengandung pertentangan dengan hadis lainnya.
Kedua, adakalanya Rasulullah Saw menetapkan suatu ketentuan mengenai suatu masalah atau peristiwa. Kemudian, pada kesempatan lain, menyangkaut masalah yang sama, beliau menetapkan pula suatu ketentuan yang tanpak berbeda atau tampak bertentangan. Kedua ketetapan beliau tersebut sebenarnya beliau sampaikan dalam situasi yang berbeda. Akan tetapi, sebagian orang tidak mengetahui perbedaan situasi yang melatarbelakangi ketetapan-ketetapan Rasulullah Saw tersebut. Sehingga menilainya sebagai yang bertentangan, padahal sebenarnya bukanlah bertentangan.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa di antara faktor penyebab timbulnya suatu hadis bertentangan dengan lainnya adalah karena tidak mengetahui sabab wurûdnya atau dengan kata lain, tidak memperhatikan konteksnya. Sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap maksud sebenarnya yang dituju oleh hadis tersebut.
Sebaliknya memahami hadis dengan memperhatikan sabab al-wurûd atau konteksnya, niscaya akan mengantarkan kita untuk dapat memahami makna yang dikandung atau maksud sebenarnya yang dituju oleh hadis tersebut dengan baik. Sekaligus dengan cara ini, pertentangan lahiriah yang tampak antara satu hadis dengan hadis lain, akan ditemukan jalan keluar penyelesaian atau pengompromiannya.[23]
Memahami hadis secara kontekstual, artinya memahaminya menurut atau sesuai dengan lingkungan sosiohistoris. Ketika lingkungan sosiohistoris tersebut berubah, tentu saja harus diadakan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dan zaman barunya. Upaya seperti ini disebut dengan kontekstualisasi pemahaman hadis.
Contohnya hadis tentang perintah mandi sebelum pergi shalat jumat;
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ[24]
Artinya; Bercerita kepada kami Abdullah Bin Yusuf dia berkata: memberitakan kepada Kami Malik, dari Nafi’ dari Abdullah Bin Umar r.a bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: Apabila salah seorang dari kalian hendak pergi Jum’at hendaklah ia mandi. HR Al Bukhari.

Hadis ini mempunyai sebab yang khusus, pada saat itu perekonomian para sahabat umumnya masih dalam keadaan sulit, sehingga mereka hanya mampu memiliki baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka juga banyak yang bekerja di kebun sebagai petani. Setelah berladang, mereka banyak yang langsung ke mesjid. Pada suatu jumat, cuaca sedang panas, sementara mejid sempit. Ketika Nabi berkhutbah, aroma keringat orang yang berbaju wol kasar dan belum mandi itu menerpa hidung Nabi. Suasana hening dalam mesjid menjadi terganggu oleh aroma tidak sedap itu, karenanya muncullah perintah mandi. Maka bisa disimpulkan bahwa mandi jumat itu hanya wajib bagi orang-orang yang berbadan kotor.[25]
Ada juga dengan melihat geografis saat mengucapkannya. Pada dasarnya pemahaman model ini hanya bertujuan untuk melihat tempat di mana hadis itu disabdakan sehingga penerapannya tepat. Misalnya hadis tentang kiblat yang Rasullullah Saw ucapkan di kota Madinah dengan ungkapan beliau arah antara timur dan barat adalah kiblat. Hadis ini tidak berlaku bagi orang yang tinggal di Indonesia yang secara geografis berbeda dengan Madinah. Secara kontekstual hadis itu dapat dipahami bahwa untuk masyarakat Indonesia, arah kiblat mereka berada di antara Utara dan Selatan, bukan antara Timur dan Barat.
Sosiologis dan antropologis juga bagian yang menjadi pertimbangan dalam bagian ini. Sosiologi adalah pandangan dari sudut posisi manusia yang membawanya berprilaku seperti itu, sementara antropologi adalah budaya atau prilaku yang sudah mengikat masyarakat.
Seperti hadis tentang larangan patung yang pada zaman dahulu karena identik dengan kemusyrikan dan masyarakat punya keterikatan yang kuat sebelumnya dengan patung sebagai benda yang berpengaruh di dalam kehidupan mereka, berbeda dengan sekarang.[26]
     
6.      Memahami hadis dengan pendekatan takwîl
التأويل صرف اللفظ عن معناه الظاهر إلى معنى يحتمله إذا كان المحتمل الذي يراه موافقا للكتاب و السنة[27]
Artinya; Takwîl adalah: memalingkan lafazh dari makna zhahir kepada makna lain yang dikandungnya selagi makna itu sesuai dengan Quran dan Sunnah.

والتأويل هو صرف اللفظ عن ظاهره الراجح إلى معنى مرجوح لوجود دليل مقتض لذلك، فهو خلاف الأصل[28]
Artinya; Takwîl adalah memalingkan makna dari zhahirnya yang kuat kepada makna yang tidak kuat karena ada petunjuk yang mengharuskannya untuk itu. Dan dia berbeda dengan makna aslinya.

Langkah awal dalam melakukan takwîl adalah menemukan qarînah (indikasi) yang mengharuskan  seseorang menarik makna lain di luar makna aslinya. Seperti kata kucing besar ditakwîlkan dengan harimau dapat diterima karena kedua kata tersebut berkaitan di mana kucing besar adalah makna majâzi dari harimau. Tetapi kucing besar ditakwîlkan dengan gajah maka ini tidak dapat diterima karena tidak terkait sama sekali. Contoh penggunaan takwîl dalam pemahaman hadis;
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (البخاري)[29]
Artinya; Dari Anas bin Malik r.a dia berkata; bahwa saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia bersilaturrahim.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ َإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ (الترمذي)[30]
Artinya; Dari Abu Hurairah r.a , dari Nabi Saw bersabda: sesungguhnya shilaturrahim itu mendatangkan rasa cinta pada keluarga dan menambah pada harta dan memperpanjang usia.

Sebagian ulama sulit memahami frase يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ  dan مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ dengan makna diakhirkan ajalnya. Qarinahnya adalah bila dipahami dengan makna aslinya maka akan bertentangan dengan ayat Quran yang menjelaskan ajal tidak dapat dimajukan atau ditunda. (QS Al A’raf :34)    
Oleh karena itu frase ini harus dipalingkan dari makna aslinya, tentunyan makna lain yang akan dipakai harus terkait dengan makna aslinya. Dari kitab syarah hadis didapati para ulama memberkan takwîl  sebagai berikut:[31]
a)      Makna frase “meng-akhir-kan ajal” dalam hadis dipahami dengan penambahan keberkatan umur dan taufîq untuk tha’at kepada Allah. Artinya dengan umurnya yang ada bisa melahirkan produktifitas amal yang luar biasa.
b)      Makna frase itu juga bisa dipahami makna kekal namanya dalam keharuman, sepertinya dia belum mati karena masih dikenang di dalam ingatan masyarakat.


[1] An-Nawawi, Al-Arba’un an-Nawawiyah, Al-Maktabah asy-Syamilah, Juz 1, h. 99.
[2] Yusuf al-Qardhawiy, Quran dan Sunnah referensi tertinggi Umat Islam, judul asli al-Marja’iyyah al-‘ulya fiy al-Islam li al-Quran wa as-sunnah, penterjemah Bahruddin Fannani, (Jakarta: Robbani press, 1997), cet-1, h. 202.
[3] Ibid.
[4]  Al-Al Bukhari, op.cit,  juz 1, h. 396
[5] Badruddin az-Zarkasyi, Al-Ijabah li Iradi ma iftarakathu Aisyah ‘ala shahabah, (Beirut: Al-Maktabah al-Islami, 1970), h. 59.
[6] Musfar Azmillah ad Dhamini, Maqayis Naqdi Mutu as-Sunnah, (Riyadh: tp, 1984), cet-1, h. 65.
[7] Muslim, op.cit, h. 1582.
[8] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (op, cit), h. 9.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), cet-1, h. 364.
[10] Qardhawi, studi kritis,…. 185.
[11] Fachrur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al-hadis, (Bandung : PT Al-Ma’araif, 1984), cet-10, h. 321.
[12] Edi Safri, al-Imâm al-Syâfi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 4.
[13]  Turmuzi, al-Jami’ al-Kabir Sunan at-Tarmizi, Abwab Thaharah (Dar ar-Risalah al-‘lamiyah, tt, th), juz 1, h. 84.
[14] Ibid, h. 85
[15] Musthafa Muslim, Mabahits fi at-tafsir al-maudhu’I, (Damaskus: dar al-Qalam, 1418H/ 1997M), cet-2, h. 16. Abdul Hay al-Farmawy, Metode tafsir maudhu’I suatu pengantar, diterjemahkan oleh Surya A jamrah, judul Asli, al-Bidayat fi at-tafsir al-maudhu’I Dirasat Manhajiyah Maudhu’iyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), cet-1, h. 33-34.
[16] Edi Safri, op.cit, h. 111.
[17] Yusuf qardhawi, Kaifa nata’amal ma’a as-sunnah an-nabawiyah, (Virgina: al ma’had al-‘aly li al-fikri al-islamiy, 1989), h. 103.
[18] Al Bukhari, op.cit, juz 4, h. 53
[19] Ibid, h. 54.
[20] Ibid. h. 53.
[21] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1998), h. 458
[22] Edi Safri, op.cit,  h. 103
[23] Ibid.
[24] Al Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih,  Kitab al-Jum’ah, bab fadhlu al-ghusli  yaumal Jaum’ah, (Kairo, Al-Mathba’ah As-Salafiyah wa Maktabatuha, 1400 H), Cet-1, juz 1, h. 280
[25]Ibnu Hajar al asqalani, Fathul Barri syarah shahih al Al Bukhari, (Beirut:Daar al Khutub al ilmiyah,T.Th) Juz 3,H.278-27
[26] Abdul Mustaqim, Ilmu ma’anil Hadis (paradigm Interkoneksi), (Yogyakarta, Idea Press, 2009), h. 70.
[27] Ali ibn Muhammad ibn Ali Al Jurjani, At Ta’rifat, (Beirut, Dar al Kitab Al Arabi, 1405H), hal 72.
[28] Ibrahim Muhammad Thaha, Al Maktabah Asy Syamilah, Tesis, At Takwil baina dhawabith ushuliyin wa al qira’at mu’ashirin, Bab takwil, (Al Quds, 2001) juz 1 hal 4.
[29] Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, Bab man ahabba al bashatha fi ar rizq,  Al Maktabah Asy Syamilah, juz 7 hal 228.
[30] At Tirmizi, Sunan at Turmudzi, Bab ta’lim an nasab,  Al Maktabah Asy Syamilah, juz 7 hal 247.
[31] Maizuddin, Metodologi Pemahaman hadis, (Padang: Hayfa Press, 2008), h. 97

No comments:

Post a Comment