Monday, March 4, 2019

Metode Tafsir Maudhū’iy Dalam Pandangan Para Mufassir


A.      Metode Tafsir Maudhū’iy Dalam Pandangan Para Mufassir
Disepakati oleh para ulama, kecuali beberapa gelintir di antara mereka bahwa mukjizat utama al-Qur’an yang dihadapkan kepada masyarakat yang ditemui Rasul Saw. adalah dari segi bahasa dan sastranya yang mengungguli sastra bahasa yang dikenal masyarakat Arab ketika itu. Hal ini mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap metode al-Qur’an. Jika ditelusuri tafsir-tafsir al-Qur’an sejak masa Muhammad bin Jarir al-Thabariy (251-310 H) sampai kepada masa Muhammad Rasyid Rida (1865-1935 M), dan ciri utama yang menghimpun kitab-kitab tafsir tersebut adalah analisis redaksi. Agaknya hal ini merupakan salah satu usaha untuk meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi pemahaman umat Islam terhadap kemukjizatan tersebut, setelah ketinggian nilai sastranya tidak lagi dipahami secara instink-fitri (alamiah) oleh orang-orang Arab sekalipun. Ini akhirnya menimbulkan pendapat bahwa redaksi al-Qur’an bukanlah sesuatu yang luar biasa seperti teori al-Sirfah yang dikemukakan oleh al-Nazam (w. 835 H). Tetapi harus diakui bahwa usaha-usaha ulama untuk menafsirkan al-Qur’an dengan metode analisis-redaksi tersebut, bahkan dengan metode komparasi yang kemudian dikembangkan Abu Bakar Al-Baqillaniy (w. 403 H) dalam rangka kemukjizatannya, juga tidak dapat bertahan lama setelah semakin mundurnya penguasaan sastra dan kaidah-kaidah bahasa orang Arab sendiri.[1]
Menurut para ulama yang lelah memberikan definisi terhadap metode ini, jika dilihat secara umum terdapat banyak kesamaan dalam pengertiannya, tetapi juga terdapat perbedaan dalam langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang mufassir. Penafsiran yang beragam berangkat dari perbedaan sudut pandang dan spesifikasi di bidang apa yang mereka teliti (tafsirkan).
Abd al-Hayy al-Farmawiy mendefinisikan metode ini dengan metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan, semua ayat yang berkaitan, dihimpun kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya. Seperti asbāb al-nuzūl, kosa kata ayat dan lain sebagainya. Semua hal tersebut berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.[2]
Menurut Abd al-Hayy al-Farmawiy langkah-langkah atau cara kerja metode ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.         Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhū’iy (tematik).
2.         Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan (ayat makiyyah dan madaniyyah).
3.         Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, yang disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbāb al-nuzūl.
4.         Mengetahui korelasi (munāsabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing- masing suratnya.
5.         Menyusun tema-tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh.
6.         Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan jelas.
7.         Mempelajari ayat-ayat secara tematik dan menyeluruh dengan menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘ām dan khās, muthlaq dan muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan nasīkh dan mansūkh, sehingga bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.[3]
M. Quraish Shihab mempunyai beberapa catatan dalam rangka pengembangan metode tafsir maudhū’iy dan langkah-langkah yang diusulkan di atas, antara lain berhubungan dengan penetapan masalah yang dibahas, penyusunan runtutan turunnya ayat, penjelasan kosakata  yang digunakan al-Qur’an, dan asbāb al-nuzūl.[4] Dengan begitu kesempurnaan penafsiran dapat dicapai dengan mempelajari problem-problem masyarakat sebelum penetapan masalah, memperhatikan runtutan ayat hanya dibutuhkan untuk mengetahui perkembangan petunjuk al-Qur’an, dan memiliki pemahaman makna kosakata.
Pengamatan terhadap pengertian kosakata, demikian juga pesan-pesan vang dikandung oleh satu ayat, hendaknya diarahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata yang digunakan, subjek dan objeknya, serta konteks pembicaraannya. Bentuk kata dan kedudukan i’rab, misalnya, mempunyai makna tersendiri. Bentuk isim memberi kesan kemantapan, yang mengandung arti pergerakan, bentuk rafa’ menunjukkan subjek atau upaya, nasab yang menjadi objek dapat mengandung arti ketiadaan upaya, sedang al-jar memberi kesan keterkaitan dalam keikutan.[5]
Dengan tersusunnya langkah-langkah tersebut, bahkan dengan penerapan yang dicontohkan oleh Al-Farmawiy dalam karyanya dengan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan pemeliharaan anak yatim, arti ummiyat al-‘Arab (kebuta-hurufan orang Arab), etika meminta izin, dan menundukkan mata dan memelihara alat kelamin dalam al-Qur’an, maka lahirlah bentuk kedua dari metode tafsir maudhū’iy.[6]
Bentuk pertama, ialah penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, serta hubungan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya, sehingga kesemua persoalan tersebut kait-mengkait bagaikan satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh Mahmud Syaltut dalam kitab tafsirnya. Kedua, menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat al-Qur’an, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya.[7]
Dalam karyanya Tārikh Al-Tafsīr wa Manāhij Al-Mufassirīn, ‘Ali Hasan al-Aridh menyebutkan bahwa metode tafsir maudhū’iy merupakan metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Qur’an (tema) tertentu serta mengarah kepada satu yang berbicara tentang satu masa pengertian dan satu tujuan. Meskipun proses turunnya ayat-ayat tersebut berbeda-beda, tersebar pada berbagai surat dalam al-Qur’an serta berbeda waktu dan tempat turunnya. Mengemukakan asbāb dengan sempurna sepanjang diperlukan, menguraikan dengan sempurna, menjelaskan makna dan tujuan serta mengkaji seluruh segi dan apa yang dapat diistibatkan darinya. Seperti i’rab-nya, balāghah-nya, i’jas-nya, dan lain-lain. Tema yang diambil dapat dipecahkan secara tubtas berdasarkan ayat al-Qur’an dan karenanya tidak diperlukan ayat lain.[8]
Aisyah bintu al-Syathi’ juga berpendapat mengenai prinsip-prinsip metode ini dari tulisan Amin al-Khuliy dalan bukunya Manāḥij al-Tajdīd. Bintu al-Syathi’ mengklasifikannya sebagai berikut:
1.         Mengumpulkan surat dan ayat mengenai topik yang sama dari al-Qur’an.
2.         Menyusun ayat-ayat tersebut secara kronologis pewahyuannya untuk memahami gagasan yang terkandung dalam al-Qur’an menurut wahyu dan tempat terdapat konteksnya, sehingga keterangan mengenai wahyu dan tempat dapat diketahui.
3.         Mencari makna linguistik yang asli, yang memiliki rasa keakraban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya.
4.         Memahami pernyataan-peryataan sulit dalam susunan al-Qur’an dengan mempelajari naskah yang ada dalam susunan al-Qur’an untuk mengetahui kemungkinan maksudnya, dengan memperhatikan bentuk lahir maupun semangat teks. Apa yang dikatakan para mufassir, dengan demikian diuji kaitannya dengan naskah yang sedang dibahas, hanya yang sejalan dengan naskah itulah yang bisa diterima. Seluruh penafsiran yang bersifat sektarian dan isra’ilayāt yang mengacaukan, dan biasanya dipaksakan masuk ke dalam tafsir al-Qur’an, harus ditepikan.[9]
Dalam hal ini Bintu al-Syathi’ bermaksud untuk menjelaskan perbedaan antara metode penafsiran klasik dengan metode yang digunakan oleh generasi sekarang, yang mencakup I’jāz al-Qur’an (kemukjizatan al-Qur’an) dan juga menjelaskan dengan dirinya sendiri (al-Qur’ān yufassiru ba’dhuhu ba’dhan).[10]


[1] M. Quraish Shihab, Op.cit., h. 111.
[2] Nasiruddin Baidan, Op.cit., h. 6.
[3] Al-Farmawiy, Op.cit,. Metode..., h. 45.
[4] M. Quraish Shihab, Op.cit., h. 74-75.
[5] Ibid. Lihat lebih jauh Hassan Hanafi, Op.cit., h. 105.
[6] M. Quraish Shihab, Op.cit., h. 114.
[7] Ibid., h. 74. Lihat juga M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhū’iy atas Perbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 1997), h. xiii.
[8] ‘Ali Hasan al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), h. 78.
[9] Aisyah Abdurrahan, Tafsīr Bintu al-Syāthi’, Terj. Mudzakkir Abdussalam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 12-13.
[10] Ibid., h. 14.

No comments:

Post a Comment