A.
Metode
Tafsir Maudhū’iy Dalam Pandangan Para Mufassir
Disepakati oleh para ulama, kecuali beberapa
gelintir di antara mereka bahwa mukjizat utama al-Qur’an yang dihadapkan
kepada masyarakat yang ditemui Rasul Saw.
adalah dari segi bahasa dan sastranya yang
mengungguli sastra bahasa yang dikenal masyarakat Arab ketika itu. Hal ini
mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap metode al-Qur’an. Jika ditelusuri
tafsir-tafsir al-Qur’an sejak masa Muhammad bin Jarir al-Thabariy (251-310 H) sampai
kepada masa Muhammad Rasyid Rida (1865-1935 M), dan ciri utama yang menghimpun
kitab-kitab tafsir tersebut adalah analisis redaksi. Agaknya hal ini merupakan
salah satu usaha untuk meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi pemahaman umat Islam
terhadap kemukjizatan tersebut, setelah ketinggian nilai sastranya tidak lagi
dipahami secara instink-fitri (alamiah) oleh orang-orang Arab sekalipun. Ini akhirnya
menimbulkan pendapat bahwa redaksi al-Qur’an bukanlah sesuatu yang luar biasa seperti teori al-Sirfah yang dikemukakan oleh al-Nazam (w. 835 H).
Tetapi harus diakui bahwa usaha-usaha ulama untuk menafsirkan al-Qur’an dengan metode
analisis-redaksi tersebut, bahkan dengan metode komparasi yang kemudian
dikembangkan Abu Bakar Al-Baqillaniy (w. 403 H) dalam rangka kemukjizatannya, juga tidak dapat
bertahan lama setelah semakin mundurnya penguasaan sastra dan kaidah-kaidah
bahasa orang Arab sendiri.[1]
Menurut para ulama yang lelah memberikan definisi
terhadap metode ini, jika dilihat secara umum terdapat banyak kesamaan dalam
pengertiannya, tetapi juga terdapat perbedaan dalam langkah-langkah yang
dilakukan oleh seorang mufassir. Penafsiran yang beragam berangkat dari perbedaan sudut pandang dan spesifikasi di bidang
apa yang mereka teliti (tafsirkan).
Abd al-Hayy al-Farmawiy mendefinisikan metode
ini dengan metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan,
semua ayat yang berkaitan, dihimpun kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas
dari berbagai aspek yang terkait dengannya. Seperti asbāb
al-nuzūl, kosa kata ayat dan lain
sebagainya. Semua hal tersebut berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun
pemikiran rasional.[2]
Menurut Abd al-Hayy al-Farmawiy langkah-langkah atau
cara kerja metode ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Memilih atau menetapkan
masalah al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhū’iy
(tematik).
2.
Melacak dan menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan (ayat makiyyah dan
madaniyyah).
3.
Menyusun ayat-ayat
tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, yang disertai
pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbāb
al-nuzūl.
4.
Mengetahui
korelasi (munāsabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing- masing suratnya.
5.
Menyusun tema-tema
bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh.
6.
Melengkapi pembahasan dan
uraian dengan hadis bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin
sempurna dan jelas.
7.
Mempelajari
ayat-ayat secara tematik dan menyeluruh dengan menghimpun ayat-ayat yang
mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘ām
dan khās, muthlaq dan
muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat
yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan nasīkh dan
mansūkh, sehingga
bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan
pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak
tepat.[3]
M. Quraish Shihab mempunyai beberapa catatan
dalam rangka pengembangan metode tafsir maudhū’iy dan langkah-langkah yang
diusulkan di atas, antara lain berhubungan dengan penetapan masalah yang
dibahas, penyusunan runtutan turunnya ayat, penjelasan kosakata yang digunakan al-Qur’an,
dan asbāb al-nuzūl.[4] Dengan begitu kesempurnaan penafsiran dapat dicapai dengan mempelajari
problem-problem masyarakat sebelum penetapan masalah, memperhatikan runtutan
ayat hanya dibutuhkan untuk mengetahui perkembangan petunjuk al-Qur’an, dan memiliki pemahaman makna kosakata.
Pengamatan
terhadap pengertian kosakata, demikian juga pesan-pesan vang dikandung oleh
satu ayat, hendaknya diarahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata
yang digunakan, subjek dan objeknya, serta konteks pembicaraannya. Bentuk kata
dan kedudukan i’rab,
misalnya, mempunyai makna tersendiri. Bentuk isim memberi kesan kemantapan,
yang mengandung arti pergerakan, bentuk rafa’ menunjukkan subjek atau upaya, nasab yang menjadi objek dapat mengandung arti ketiadaan upaya,
sedang al-jar memberi kesan keterkaitan
dalam keikutan.[5]
Dengan
tersusunnya langkah-langkah tersebut, bahkan dengan penerapan yang dicontohkan
oleh Al-Farmawiy dalam karyanya dengan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan
dengan pemeliharaan anak yatim, arti ummiyat al-‘Arab (kebuta-hurufan orang Arab), etika meminta izin, dan menundukkan
mata dan memelihara alat kelamin dalam al-Qur’an, maka lahirlah bentuk kedua
dari metode tafsir maudhū’iy.[6]
Bentuk pertama, ialah penafsiran menyangkut
satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan
khusus, serta hubungan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat
tersebut antara satu dengan lainnya, sehingga kesemua persoalan tersebut
kait-mengkait bagaikan satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh Mahmud
Syaltut dalam kitab tafsirnya. Kedua, menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah
tertentu dari berbagai surat al-Qur’an, kemudian menjelaskan pengertian
menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai
jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya.[7]
Dalam karyanya Tārikh Al-Tafsīr
wa Manāhij Al-Mufassirīn, ‘Ali Hasan al-Aridh
menyebutkan bahwa metode tafsir maudhū’iy merupakan
metode yang
ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara menghimpun
seluruh ayat al-Qur’an (tema) tertentu serta mengarah kepada satu yang berbicara
tentang satu masa
pengertian dan satu tujuan. Meskipun proses turunnya ayat-ayat tersebut berbeda-beda, tersebar
pada berbagai surat dalam al-Qur’an serta berbeda waktu dan
tempat turunnya. Mengemukakan asbāb dengan sempurna
sepanjang diperlukan, menguraikan dengan sempurna, menjelaskan makna dan
tujuan serta mengkaji seluruh segi dan apa yang
dapat diistibatkan darinya. Seperti i’rab-nya,
balāghah-nya, i’jas-nya, dan lain-lain. Tema yang diambil dapat
dipecahkan secara tubtas berdasarkan ayat al-Qur’an dan karenanya tidak
diperlukan ayat lain.[8]
Aisyah bintu
al-Syathi’ juga berpendapat mengenai prinsip-prinsip metode ini dari tulisan Amin al-Khuliy dalan bukunya Manāḥij
al-Tajdīd. Bintu al-Syathi’ mengklasifikannya sebagai berikut:
1.
Mengumpulkan surat dan ayat mengenai topik yang sama dari al-Qur’an.
2.
Menyusun ayat-ayat tersebut secara kronologis pewahyuannya
untuk memahami gagasan yang terkandung dalam al-Qur’an
menurut wahyu dan
tempat terdapat konteksnya, sehingga keterangan mengenai wahyu dan tempat dapat
diketahui.
3.
Mencari makna linguistik yang asli, yang memiliki rasa keakraban
kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya.
4.
Memahami pernyataan-peryataan sulit dalam susunan al-Qur’an
dengan
mempelajari naskah yang ada dalam susunan al-Qur’an untuk mengetahui kemungkinan
maksudnya, dengan memperhatikan
bentuk lahir maupun semangat teks. Apa yang dikatakan para mufassir,
dengan demikian diuji kaitannya dengan naskah yang sedang dibahas, hanya yang
sejalan dengan
naskah itulah yang bisa diterima. Seluruh penafsiran yang bersifat sektarian dan
isra’ilayāt yang mengacaukan, dan biasanya dipaksakan masuk ke dalam
tafsir al-Qur’an, harus ditepikan.[9]
Dalam hal ini
Bintu al-Syathi’ bermaksud untuk menjelaskan perbedaan antara metode penafsiran
klasik dengan metode yang digunakan oleh generasi sekarang, yang mencakup I’jāz al-Qur’an (kemukjizatan al-Qur’an) dan juga menjelaskan dengan dirinya sendiri (al-Qur’ān yufassiru ba’dhuhu ba’dhan).[10]
[7]
Ibid., h. 74.
Lihat juga M. Quraish Shihab. Wawasan
al-Qur’an, Tafsir Maudhū’iy atas Perbagai Persoalan
Umat. (Bandung:
Mizan, 1997), h.
xiii.
[8]
‘Ali Hasan al-Aridh,
Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad
Akrom, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), h. 78.
[9]
Aisyah ‘Abdurrahan, Tafsīr Bintu al-Syāthi’, Terj.
Mudzakkir Abdussalam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 12-13.
No comments:
Post a Comment