Monday, March 4, 2019

FITRAH DAN KUALIFIKASI PEREMPUAN


FITRAH DAN KUALIFIKASI PEREMPUAN
                                                                                              
A.    Fitrah Perempuan
Fitrah berarti sifat asal, bakat, dan pembawaan [1]. Fitrah perempuan adalah keadaan atau bawaan yang ada pada diri seorang perempuan. Fitrah perempuan terbagi kepada:
1.      Haid, Hamil, Melahirkan dan Mandul
a)      Haid
Diantara fitrah yang dikhususkan Allah untuk perempuan adalah haid. Haid yaitu darah kotor yang keluar dari rahim perempuan pada tiap-tiap bulan, paling cepat sehari semalam, dan biasanya enam atau tujuh hari, dan paling lama lima belas hari, hal ini dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah [2]: 222
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Sebab turun ayat ini disebutkan dalam sebuah Hadits dari Muslim yang bersumber dari Anas bin Malik, bahwa orang-orang Yahudi tidak mau makan dan minum bersama-sama ataupun mencampuri istrinya yang sedang haid, bahkan keluar dari rumahnya. Para sahabat bertanya kepada Nabi SAW tentang hal itu. Maka turunlah ayat tersebut diatas.[2]
Ayat ini menjelaskan bahwa bersetubuh diwaktu haid dapat mendatangkan dampak tidak baik dan penyakit,  sebab itu hendaklah para suami menjauhi istrinya diwaktu sedang haid. Janganlah kalian mendekati mereka (bersetubuh) sampai mereka suci, yaitu berhentinya darah Haid. Apabila mereka telah mandi Janabah maka datangilah mereka dengan cara-cara yang diperbolehkan Allah.
Pada akhir ayat tersebut diterangkan bahwa Allah menyayangi orang-orang yang mau bertobat dari kesalahannya, dan orang-orang yang selalu menjaga kebersihan.[3]  
b)      Hamil dan Melahirkan
Hamil adalah mengandung janin dalam rahim perempuan.
Melahirkan adalah mengeluarkan anak dari dalam rahim perempuan.[4] Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang hamil dan melahirkan adalah QS. Ali Imran [3]: 35-36, QS. al Ra’du [13]: 8,  QS. Lukman [31]: 14, QS. Fatir [35]: 11, QS.  Fusshilat [41]: 47, QS.  al Ahqaf [46]: 15, QS. al Zumar [39]: 6, QS.  al Najm [53]: 32, QS. al Ambiya’ [21]: 90.
Di sini penulis akan mengemukakan QS. Ali-Imran [3]: 35-36
øŒÎ) ÏMs9$s% ßNr&tøB$# tbºtôJÏã Éb>u ÎoTÎ) ßNöxtR šs9 $tB Îû ÓÍ_ôÜt/ #Y§ysãB ö@¬7s)tGsù ûÓÍh_ÏB ( y7¨RÎ) |MRr& ßìŠÉK¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$# ÇÌÎÈ   $£Jn=sù $pk÷Jyè|Êur ôMs9$s% Éb>u ÎoTÎ) !$pkçJ÷è|Êur 4Ós\Ré& ª!$#ur ÞOn=÷ær& $yJÎ/ ôMyè|Êur }§øŠs9ur ãx.©%!$# 4Ós\RW{$%x. ( ÎoTÎ)ur $pkçJø£Jy zOtƒötB þÎoTÎ)ur $ydäŠÏãé& šÎ/ $ygtG­ƒÍhèŒur z`ÏB Ç`»sÜø¤±9$# ÉOŠÅ_§9$# ÇÌÏÈ 

35. (ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". 36. Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk."

Ayat ini menerangkan kisah istri Imran (ibu Maryam) saat merasa bahwa dirinya mengandung  dia berkata, ”Ya Tuhanku sesungguhnya aku menazarkan kepadaMu anak yang ada dalam kandunganku ini untuk menjadi hamba yang sholeh dan ikhlas kepadaMu, hidupnya dicurahkan untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Karena itu terimalah nazarku ini. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar do’a lagi maha mengetahui niat dan tujuan”.[5]
            Setelah istri Imran melahirkan dan ternyata anaknya perempuan, padahal yang diharapakan anak laki-laki nampaklah di wajahnya kesedihan dan putuslah harapannya untuk melaksanakan nazarnya. Dia berkata:”Ya Tuhanku, aku melahirkan anak perempuan”. Seolah-olah ia minta ampun kepada Tuhan bahwa anak perempuan itu tidak patut untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Tetapi Allah SWT lebih mengetahui martabat bayi perempuan yang dilahirkan itu, bahkan dia jauh lebih baik dari bayi laki-laki yang dimohonkannya.[6]
Pada ayat 36 Allah SWT menegaskan tentang kemuliaan putri yang dilahirkan itu, dan menolak persangkaan bahwa bayi yang dilahirkan itu lebih rendah martabatnya dari bayi laki-laki seperti yang diharapkan oleh istri Imran. Setelah istri Imran menyadari bahwa demikian lah kenyataan anaknya dan meyakini adanya hikmah dibalik kenyataan itu. Maka dia menyatakan bahwa bayi itu akan diberi nama Maryam. Dia tidak akan menarik kembali apa yang telah dinazarkannnya walaupun bayi itu wanita, yang menurutnya tidak pantas untuk menjaga Baitul Maqdis. Namun ia akan menjadi seorang abdi Tuhan yang khusyuk. Dan istri Imran memohon supaya Allah SWT menjaga dan melindungi bayi itu dari godaan syetan yang mungkin menjuhkannya dari kebajikan.[7]
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa diantara fitrah yang dikhususkan Allah untuk perempuan adalah haid, hamil dan melahirkan. Allah melarang para suami untuk menggauli isterinya yang sedang haid sampai isterinya suci, karena haid itu adalah darah kotor dan penyakit yang keluar dari rahim perempuan yang dapat mendatangkan mudarat. Hamil dan melahirkan adalah suatu keadaan yang dialami oleh perempuan seperti  kisah isteri Imran yang hamil dan melahirkan anak perempuan yang diberi nama Maryam, yang diberi Allah keutamaan dan kemuliaan.
c)      Mandul
Selain fitrah perempuan haid, hamil, dan melahirkan Allah juga menjadikan suatu keadaan yang berbeda yaitu perempuan yang mandul. Mandul adalah tidak dapat memiliki keturunan. Ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai perempuan yang mandul ini adalah QS. al Syu’ara’ [42]: 50, QS. Ali Imran [3]:40, dan QS. Maryam [19] 5,8. Disini penulis akan mengemukakan QS. al-Syura [42]: 50
÷rr& öNßgã_Íirtム$ZR#tø.èŒ $ZW»tRÎ)ur ( ã@yèøgsur `tB âä!$t±o $¸JÉ)tã 4 ¼çm¯RÎ) ÒOŠÎ=tæ ֍ƒÏs% ÇÎÉÈ  

Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.

Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa Dialah yang menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan Dia menjadikan mandul siapa yang kehendakiNya, sehingga tidak memiliki keturunan, sesungguhnya Allah  Maha Mengetahui MakhlukNya lagi Maha Kuasa terhadap segala sesuatu, berbuat sesuai dengan kemaslahatan dan hikmahNya.[8]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa mandul atau tidak mempunyai keturunan adalah salah satu keadaan yang dialami oleh sebagian perempuan. Allah memberikan jenis laki-laki dan perempuan kepada siapa yang dikehendakinya dan menjadikan mandul orang-orang yang dikehendakinya sehingga tidak mempunyai keturunan.

2.      Penciptaan Perempuan
Al-Qur’an berbicara mengenai penciptaan atau kejadian perempuan, ayat-ayat yang menjelaskan tentang penciptaan perempuan ini adalah QS. al Nisa’ [4]: 1, 4, QS. al Hujurat [49]: 13, QS.  al Najm [53]: 45, QS. al Qiyamah [75]: 39, QS. al Lail  [92]: 3, QS. al Syu’ara’ [26]: 166, QS. al A’raf [7]: 189, QS. al Zumar [39]: 6, QS. al Nahl [16]: 72. Untuk mewakili ayat-ayat tersebut penulis akan menjelaskan QS. al-A’raf [7]: 189
* uqèd Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur Ÿ@yèy_ur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry z`ä3ó¡uŠÏ9 $pköŽs9Î) ( $£Jn=sù $yg8¤±tós? ôMn=yJym ¸xôJym $ZÿÏÿyz ôN§yJsù ¾ÏmÎ/ ( !$£Jn=sù Mn=s)øOr& #uqt㨊 ©!$# $yJßg­/u ÷ûÈõs9 $oYtGøŠs?#uä $[sÎ=»|¹ ¨ûsðqä3uZ©9 z`ÏB šúï̍Å3»¤±9$# ÇÊÑÒÈ

Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur".

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan dari jenis yang satu, dan dari jenis yang satu itu, diciptakan istrinya, maka hiduplah mereka berpasangan pria dan wanita (suami istri) dan tentramlah dia dengan istrinya itu. Hidup berpasangan suami istri merupakan tuntutan kodrati manusia, ruhaniyah dan jasmaniyah. Islam mensyari’atkan manusia agar mereka hidup berpasangan suami istri karena dalam situasi hidup demikian itu manusia menemukan ketentraman dan kebahagiaan rohani dan jasmani.[9]
Bila kedua suami istri itu berkumpul, mulailah istrinya mengemban benih. Saat permulaan dari pertumbuhan benih itu terasa ringan. Pertama-pertama terhentinya haid dan selanjutnya benih itu meneruskan proses pertumbuhannya, perlahan-lahan tanpa memberatkan ibu yang mengandungnya dan tidak pula menganggu pekerjaannya sehari-hari. Maka ketika kandungannya mulai berat ibu bapak memanjatkan do’a kepada Allah SWT agar keduanya dianugrahi anak yang soleh, sempurna jasmani, berbudi luhur, cakap melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai manusia. Kedua suami istri itu berjanji untuk bersyukur kepada Allah SWT sesudah menerima nikamt itu dengan perkataan, perbuatan, dan keyakinan.[10]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Allah menciptakan manusia dari jenis yang satu (Adam as), dari jenis yang satu itu diciptakan isterinya (Hawa). Mereka merasakan ketentraman hidup sebagai suami isteri, kemudian isterinya hamil dan kehamilannya bertambah besar, mereka pun berdoa kepada Allah agar dikaruniai anak yang shaleh.


[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), th. 1990, cet.  ketiga, h. 282
[2] Abu Hasan Ali Bin Ahmad al Wahidi al Naisaburi, Asbaab Al Nuzul, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama),  h. 46
[3] Dewan Penyelenggara Penafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, al Qur’an dan Tafsirnya, ( Semarang: Citra Effhar),  th. 1993,  Jilid I, h. 377
[4] W.J.S Poerwadarminta, op cit., h. 551
[5] Wahbah Zuhaili, Tafsir al Wajiz, Penj. Tim Kuwais, ( Jakarta: Gema Insani), th. 2007, hlm. 55
[6]  Depag RI, op cit., hlm. 564
[7] Ibid, h. 565
[8] Wahbah Zuhaili, op cit., h. 489
[9] Departemen Agama RI, op cit., Jilid III,  h.674
[10] Ibid, 

No comments:

Post a Comment