FITRAH DAN KUALIFIKASI PEREMPUAN
A. Fitrah Perempuan
Fitrah berarti sifat asal, bakat, dan pembawaan [1].
Fitrah perempuan adalah keadaan atau bawaan yang ada pada diri seorang
perempuan. Fitrah perempuan terbagi kepada:
1.
Haid, Hamil, Melahirkan dan
Mandul
a) Haid
Diantara fitrah yang
dikhususkan Allah untuk perempuan adalah haid. Haid yaitu darah kotor yang
keluar dari rahim perempuan pada tiap-tiap bulan, paling cepat sehari semalam,
dan biasanya enam atau tujuh hari, dan paling lama lima belas hari, hal ini dapat
dilihat dalam QS. al-Baqarah [2]: 222
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila
mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Sebab turun ayat ini
disebutkan dalam sebuah Hadits dari Muslim yang bersumber dari Anas bin Malik,
bahwa orang-orang Yahudi tidak mau makan dan minum bersama-sama ataupun
mencampuri istrinya yang sedang haid, bahkan keluar dari rumahnya. Para sahabat
bertanya kepada Nabi SAW tentang hal itu. Maka turunlah ayat tersebut diatas.[2]
Ayat ini menjelaskan
bahwa bersetubuh diwaktu haid dapat mendatangkan dampak tidak baik dan
penyakit, sebab itu hendaklah para suami
menjauhi istrinya diwaktu sedang haid. Janganlah kalian mendekati mereka
(bersetubuh) sampai mereka suci, yaitu berhentinya darah Haid. Apabila mereka
telah mandi Janabah maka datangilah mereka dengan cara-cara yang diperbolehkan
Allah.
Pada akhir ayat
tersebut diterangkan bahwa Allah menyayangi orang-orang yang mau bertobat dari
kesalahannya, dan orang-orang yang selalu menjaga kebersihan.[3]
b) Hamil dan Melahirkan
Hamil adalah mengandung
janin dalam rahim perempuan.
Melahirkan adalah
mengeluarkan anak dari dalam rahim perempuan.[4]
Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang hamil dan melahirkan adalah QS.
Ali Imran [3]: 35-36, QS. al Ra’du [13]: 8,
QS. Lukman [31]: 14, QS. Fatir [35]: 11, QS. Fusshilat [41]: 47, QS. al Ahqaf [46]: 15, QS. al Zumar [39]: 6,
QS. al Najm [53]: 32, QS. al Ambiya’
[21]: 90.
Di sini penulis akan
mengemukakan QS. Ali-Imran [3]: 35-36
øÎ) ÏMs9$s% ßNr&tøB$# tbºtôJÏã Éb>u ÎoTÎ) ßNöxtR s9 $tB Îû ÓÍ_ôÜt/ #Y§ysãB ö@¬7s)tGsù ûÓÍh_ÏB ( y7¨RÎ) |MRr& ßìÉK¡¡9$# ÞOÎ=yèø9$# ÇÌÎÈ $£Jn=sù $pk÷Jyè|Êur ôMs9$s% Éb>u ÎoTÎ) !$pkçJ÷è|Êur 4Ós\Ré& ª!$#ur ÞOn=÷ær& $yJÎ/ ôMyè|Êur }§øs9ur ãx.©%!$# 4Ós\RW{$%x. ( ÎoTÎ)ur $pkçJø£Jy zOtötB þÎoTÎ)ur $ydäÏãé& Î/ $ygtGÍhèur z`ÏB Ç`»sÜø¤±9$# ÉOÅ_§9$# ÇÌÏÈ
35. (ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku,
Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi
hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah
(nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui". 36. Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun
berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak
perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak
laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia
Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada
(pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk."
Ayat ini menerangkan
kisah istri Imran (ibu Maryam) saat merasa bahwa dirinya mengandung dia berkata, ”Ya Tuhanku sesungguhnya aku
menazarkan kepadaMu anak yang ada dalam kandunganku ini untuk menjadi hamba
yang sholeh dan ikhlas kepadaMu, hidupnya dicurahkan untuk berkhidmat di Baitul
Maqdis. Karena itu terimalah nazarku ini. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mendengar do’a lagi maha mengetahui niat dan tujuan”.[5]
Setelah istri Imran melahirkan dan ternyata anaknya
perempuan, padahal yang diharapakan anak laki-laki nampaklah di wajahnya
kesedihan dan putuslah harapannya untuk melaksanakan nazarnya. Dia berkata:”Ya
Tuhanku, aku melahirkan anak perempuan”. Seolah-olah ia minta ampun kepada
Tuhan bahwa anak perempuan itu tidak patut untuk berkhidmat di Baitul Maqdis.
Tetapi Allah SWT lebih mengetahui martabat bayi perempuan yang dilahirkan itu,
bahkan dia jauh lebih baik dari bayi laki-laki yang dimohonkannya.[6]
Pada ayat 36 Allah SWT
menegaskan tentang kemuliaan putri yang dilahirkan itu, dan menolak persangkaan
bahwa bayi yang dilahirkan itu lebih rendah martabatnya dari bayi laki-laki
seperti yang diharapkan oleh istri Imran. Setelah istri Imran menyadari bahwa demikian
lah kenyataan anaknya dan meyakini adanya hikmah dibalik kenyataan itu. Maka
dia menyatakan bahwa bayi itu akan diberi nama Maryam. Dia tidak akan menarik
kembali apa yang telah dinazarkannnya walaupun bayi itu wanita, yang menurutnya
tidak pantas untuk menjaga Baitul Maqdis. Namun ia akan menjadi seorang abdi
Tuhan yang khusyuk. Dan istri Imran memohon supaya Allah SWT menjaga dan
melindungi bayi itu dari godaan syetan yang mungkin menjuhkannya dari
kebajikan.[7]
Dari uraian di atas
dapat dilihat bahwa diantara fitrah yang dikhususkan Allah untuk perempuan
adalah haid, hamil dan melahirkan. Allah melarang para suami untuk menggauli
isterinya yang sedang haid sampai isterinya suci, karena haid itu adalah darah
kotor dan penyakit yang keluar dari rahim perempuan yang dapat mendatangkan
mudarat. Hamil dan melahirkan adalah suatu keadaan yang dialami oleh perempuan
seperti kisah isteri Imran yang hamil
dan melahirkan anak perempuan yang diberi nama Maryam, yang diberi Allah
keutamaan dan kemuliaan.
c) Mandul
Selain fitrah perempuan
haid, hamil, dan melahirkan Allah juga menjadikan suatu keadaan yang berbeda
yaitu perempuan yang mandul. Mandul adalah tidak dapat memiliki keturunan.
Ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai perempuan yang mandul ini adalah QS.
al Syu’ara’ [42]: 50, QS. Ali Imran [3]:40, dan QS. Maryam [19] 5,8. Disini
penulis akan mengemukakan QS. al-Syura [42]: 50
÷rr& öNßgã_Íirtã $ZR#tø.è $ZW»tRÎ)ur ( ã@yèøgsur `tB âä!$t±o $¸JÉ)tã 4 ¼çm¯RÎ) ÒOÎ=tæ ÖÏs% ÇÎÉÈ
Atau Dia menganugerahkan kedua jenis
laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan
mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha
Kuasa.
Dalam ayat ini Allah
SWT menerangkan bahwa Dialah yang menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan
perempuan kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan Dia menjadikan mandul siapa
yang kehendakiNya, sehingga tidak memiliki keturunan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui MakhlukNya lagi Maha Kuasa
terhadap segala sesuatu, berbuat sesuai dengan kemaslahatan dan hikmahNya.[8]
Dari uraian di atas
dapat dipahami bahwa mandul atau tidak mempunyai keturunan adalah salah satu
keadaan yang dialami oleh sebagian perempuan. Allah memberikan jenis laki-laki
dan perempuan kepada siapa yang dikehendakinya dan menjadikan mandul
orang-orang yang dikehendakinya sehingga tidak mempunyai keturunan.
2.
Penciptaan Perempuan
Al-Qur’an berbicara mengenai penciptaan atau kejadian perempuan,
ayat-ayat yang menjelaskan tentang penciptaan perempuan ini adalah QS. al Nisa’
[4]: 1, 4, QS. al Hujurat [49]: 13, QS.
al Najm [53]: 45, QS. al Qiyamah [75]: 39, QS. al Lail [92]: 3, QS. al Syu’ara’ [26]: 166, QS. al
A’raf [7]: 189, QS. al Zumar [39]: 6, QS. al Nahl [16]: 72. Untuk mewakili
ayat-ayat tersebut penulis akan menjelaskan QS. al-A’raf [7]: 189
* uqèd Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur @yèy_ur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry z`ä3ó¡uÏ9 $pkös9Î) ( $£Jn=sù $yg8¤±tós? ôMn=yJym ¸xôJym $ZÿÏÿyz ôN§yJsù ¾ÏmÎ/ ( !$£Jn=sù Mn=s)øOr& #uqt㨠©!$# $yJßg/u ÷ûÈõs9 $oYtGøs?#uä $[sÎ=»|¹ ¨ûsðqä3uZ©9 z`ÏB úïÌÅ3»¤±9$# ÇÊÑÒÈ
Dialah yang menciptakan kamu dari diri
yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang
kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang
ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia
merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya
berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah
Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur".
Dalam
ayat ini Allah menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan dari jenis yang satu,
dan dari jenis yang satu itu, diciptakan istrinya, maka hiduplah mereka
berpasangan pria dan wanita (suami istri) dan tentramlah dia dengan istrinya
itu. Hidup berpasangan suami istri merupakan tuntutan kodrati manusia,
ruhaniyah dan jasmaniyah. Islam mensyari’atkan manusia agar mereka hidup
berpasangan suami istri karena dalam situasi hidup demikian itu manusia
menemukan ketentraman dan kebahagiaan rohani dan jasmani.[9]
Bila kedua suami istri itu berkumpul, mulailah istrinya mengemban benih.
Saat permulaan dari pertumbuhan benih itu terasa ringan. Pertama-pertama
terhentinya haid dan selanjutnya benih itu meneruskan proses pertumbuhannya,
perlahan-lahan tanpa memberatkan ibu yang mengandungnya dan tidak pula
menganggu pekerjaannya sehari-hari. Maka ketika kandungannya mulai berat ibu
bapak memanjatkan do’a kepada Allah SWT agar keduanya dianugrahi anak yang
soleh, sempurna jasmani, berbudi luhur, cakap melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai manusia. Kedua suami istri itu berjanji untuk bersyukur kepada Allah
SWT sesudah menerima nikamt itu dengan perkataan, perbuatan, dan keyakinan.[10]
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa Allah menciptakan manusia dari jenis yang
satu (Adam as), dari jenis yang satu itu diciptakan isterinya (Hawa). Mereka
merasakan ketentraman hidup sebagai suami isteri, kemudian isterinya hamil dan
kehamilannya bertambah besar, mereka pun berdoa kepada Allah agar dikaruniai
anak yang shaleh.
[1]
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka), th. 1990, cet. ketiga, h.
282
[2]
Abu Hasan Ali Bin Ahmad al Wahidi al Naisaburi, Asbaab Al Nuzul, (Jakarta:
Dinamika Berkah Utama), h. 46
[3]
Dewan Penyelenggara Penafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, al Qur’an dan Tafsirnya, ( Semarang:
Citra Effhar), th. 1993, Jilid I, h. 377
[4]
W.J.S Poerwadarminta, op cit., h. 551
[5]
Wahbah Zuhaili, Tafsir al Wajiz, Penj. Tim Kuwais, ( Jakarta: Gema
Insani), th. 2007, hlm. 55
[6] Depag RI, op cit., hlm. 564
[7] Ibid,
h. 565
[8]
Wahbah Zuhaili, op cit., h. 489
[9]
Departemen Agama RI, op cit., Jilid III,
h.674
[10] Ibid,
No comments:
Post a Comment