A.
Perkembangan Metodologi Tafsir
1.
Tafsir pada masa Nabi Muhammad
Pada saat
al-Qur’an diturunkan, Nabi Muhammad berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan kepada sahabt-sahabatnya tentang arti dan makna
kandungan al-Qur’an, khususnya ayata-ayat yang tidak dapat dipahami atau samar
artinya. Keadaan seperti ini berlangsung sampai wafatnya Nabi Muhammad.
Meskipun diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua diketahui akibat dari
tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya, atau memang Nabi Muhammad tidak
menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.
Terdapat dua
pendapat ulama mengenai apakah Nabi Muhammad menafsirkan semua al-Qur’an atau
tidak. Pertama, bahwa Rasulullah menjelaskan setiap lafaz dan makna al-Qur’an
kepada para sahabat. Kedua, Rasulullah tidak menjelaskan makna al-Qur’an kepada
sahabatnya, kecuali sangat sedikit.[1]
Pendapat
pertama didasarkan kepada pendapat Ibnu Taimiyyah. Dala hal ini, beliau
berkata, “harus diketahui bahwa Rasulullah telah menjelaskan makna al-Qur’an
kepada para sahabatnya sebagaimana beliau menerangkan pengertian lafaznya.
Firman Allah:
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# wÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmÏù Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 cqãZÏB÷sã ÇÏÍÈ
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[2] dan supaya mereka memikirkan (Qs. Al-Nahl:64)
Sementara pendapat kedua didasarkan kepada al-Khaubi, beliau mengatakan
bahwa adapun penafsiran secara qath’i (pasti) hanya dapat diketahui
dengan langsung mendengarkannya dari Rasulullah, kecuali dalam jumlah yang
sedikit. Pendapat kedua ini diperkuat dengan pendapat lain yang mengatakan
bahwa sesungguhnya orang yang menyaksikan turunnya al-Qur’an secara
berangsur-angsur (para sahabat) dan menyaksikan langsung sebab turunnya sebuah
ayat serta mengetahui mana yang turun awal dan akhir, pasti mereka tidak
membutuhkan lagi penjelasan-penjelasan hukum al-Qur’an yang berkaitan dengan
masalah khusus, umum, nasihk dan mansuhk dan lainnya.[3]
Pada masa nabi
Muhammad,
perkembangan tafsir masih dalam tatanan yang sangat sederhana. Artinya, masih
pada tatanan praktik dan belum menjadi
sebuah ilmu yang berdiri sendiri.
2.
Tafsir pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah Nabi
wafat dan persoalan mulai bertambah banyak, para sahabat berusaha memecahkan
persolan-persoalan dengan mengambil rujukan al-Quran dan sabda Nabi. Namun jika
tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis, para sahabat melakukan ijtihad,
khususnya mereka yang memiliki kemampuan, seperi Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ûd.[4]
Sementara
sahabat ada juga yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah-sejarah
para Nabi-Nabi, kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur’an kepada tokoh-tokoh
ahlul Kitab, seperti Ka’ab al-Akhbar, Abdullah bin Salam, dan lainnya.[5]
Telah maklum
diketahui, bahwa para sahabat Nabi adalah generasi terbaik, mereka adalah
murid-murid Nabi yang banyak menjadi mufafssir. Jika diseleksi setidaknya ada
sepuluh sahabat yang menjadi mufassir. Diantaranya adalah, Abu Bakar al-Siddiq,
Umar bin Khattab, Usman bin Affân, Ali bin Abi Thâlib, Abdullah bin Mas’ûd,
Abdullâh bin Abbâs, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abû Mûsâ al-Āsy’ari, dan
Abdullah bin Zubair.[6]
Empat orang
diantaranya adalah khalîfah al-Râsyidîn. Dari keempat tersebut, Ali bin
Abi Thâlib yang banyak menafsirkan al-Qur’an, karena sahabat lainnya telah
dahulu wafat sedangkan tafsir pada masa itu belum banyak mengalami
perkembangan.
Disamping itu,
terdapat sahabat yang paling dalam pengetahuannya mengenai tafsir al-Qura’n
yakni Ibnu ‘Abbâs. Beliau diberi gelar tarjuman al-Qur’an (orang yang
menterjemahkan al-Qur’an). Dalam doa Rasulullah pernah beliau ucapkan sebagaimana
berikut:
“Ya Allah
berikan paham mengenai keagamaan kepadanya (Ibnu Ābbās) dan ajarkanlah padanya
takwil.[7]
Pada
perkembangan selanjutnya, banyak riwayat-riwayat tafsir yang didasarkan kepada
sahabat Ibnu Ābbās, dan ada juga yang mencampuradukkan perkataannya dengan
perkataan Ibnu ‘Abbâs.[8]
Selain
sahabat-sahabat yang tersebut di atas, masih banyak para sahabat yang banyak
jasanya dalam perkembangan ilmu tafsir al-Qur’an. Diantaranya adalah Abu
Hurairah, Anas bin Mâlik, ‘Abdullah bin ‘Umar,
Jabir bin Abdullah, Aisyah Ummul Mu’minîn. Dalam bidang tafsir, penjelasan
mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an lebih sedikit dibandingkan dengan
sahabat-sahabat sebelumnya, sahabat-sahabat
inilah yang mengembangkan tafsir al-Qur’an kepada generasi setelahnya yakni
tabi’in, mereka yang menyebarkan ke kota-kota besar Islam.[9]
Pada masa
sahabat, ilmu tafsir mulai berkembang, namun perkembangannya masih dalam
batas-batas tertentu, yakni masih menggunakan sumber al-Qur’an, sabda Nabi, dan
keterangan-keterangan sahabat sendiri. Istilah ini dikemudian hari disebut
dengan tafsir bi al-mat’sûr. Selain itu, tafsir masa sahabat bisa dikatakan
masih sama dengan tafsir periode Nabi. Belum menjadi keilmuan yang berdiri
sendiri dan masih dalam tatanan praktik.
Kemudian
dilanjutkan pada masa tabi’in. para sahabat telah banyak mengajarkan kepada
tabi’in tentang ilmu tafsir, adalah Ibnu Ābbās sahabat yang sangat berjasa
dalam mengambangkan ilmu tafsir karena para tabi’in banyak yang berguru
kepadanya. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu
Taimiyyah.
Orang yang
paling mengerti
tafsir adalah penduduk Makkah sebab mereka adalah sahabat-sahabat Ibnu Ābbās,
seperti Mujahid, Ātha’ ibnu Rabah, Ikrimah Maula Ibnu Ābbās, Sa’id Ibn Jubair,
Thawus, dan lain-lainnya. Demikian pula di Kufah, mereka adalah sahabat-sababat
Ibnu Mas’ud, dan ulama madinah seperti Zaid bin Aslam.[10]
Setelah
berakhirnya masa tabi’in, muncul juga tabi’tabi’in. Mereka adalah orang-orang
yang belajar kepada tabi’in. Kelompok inilah yang mula-mula menysun kitab-kitab
tafsir secara sederhana yang dikumpulkan dari perkataan sahabat dan tabi’in.
Diantara mufassir pada masa ini adalah Sufyan bin Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah,
Su’bah ibn Hajjaj, yazid Ibnu Harun, dan Abdu Ibnu Humaki.[11]
3.
Tafsir pada abad II Hijriah
Usaha untuk
membukukan kitab-kitab tafsir baru dimulai abad ke II Hijriah, hal ini maklum,
karena pada masa sebelumnya belum ada, karena tafsir pada periode tersebut
masih pada tatanan mulut ke mulut, generasi, ke generasi, sejak zaman Nabi,
sahabat,
dan tabi’in.
Pembukuan kitab
tafsir ini dilakukan karena banyaknya orang yang memeluk agama Islam dari
kalangan non Arab, bahasa Arab mulai dipengaruhi oleh bahasa non Arab, dan
diperlukannya pembukuan kitab-kitab tafsir.
Langkah-langkah pembukuan kitab
tafsir ini melalui beberapa tahap.[12]
a.
Mengumpulkan semua hadis-hadis yang berkenaan dengan tafsir yang
diterima dari sahabat dan tabi’in, mereka menyusun tafsir yang diterimanya
dengan cara meyebutkan suatu ayat yang kemudian diiringi dengan hadis yang
menjadi penafsirannya. Kitab tafsir pada masa ini belum menemukan bentuknya dan
belum dicetak dalam bentuk buku. Hadis-hadis tafsir masih bercampur aduk dengan
hadis-hadis yang membicarakan persoalan-persoalan lain, sehingga diperlukan
usaha kuat untuk menyeleksinya.
b.
Setelah ada pemisahan-pemisahan hadis-hadis yang menaafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis lain, barulah tafsir itu memiliki bentuk
yang susunannya berdasarkan urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an.
c.
Menurut Ibnu Nadzim, orang yang pertama menafsirkan al-Qur’an
dengan menggunakan cara ayat per ayat, menurut tartib mushaf adalah
al-Farra’.
Pembukuan masa
ini dimulai pada akhir masa
bani Umaiyah
dan permulaan masa Abbasiyah. Pada masa ini menafsirkan al-Qur’an
dengan hadis menduduki tempat utama. Menulis dan membukukan ini juga
meliputi pengumpulan hadis dalam bermacam-macam bab. Tafsir merupakan salah
satu dari bab-babnya. Dan belum tersusun secara khusus dalam menafsirkan
al-Qur’an, baik surat demi surat, ayat demi ayat dari awal sampai akhir.[14]
Ada golongan yang mencurahkan perhatiannya kepada riwayat tafsir yang
dinisbahkan kepada Nabi dan sahabat atau tabi’in. Begitu juga dengan hadis,
mereka mencurahkan sepenuhnya kepada hadis yang disandarkan kepada Nabi. Namun
tafsir mereka tidak sampai ke tangan kita, hanya ada riwayat yang mengutip
sanad dari mereka dalam kitab-kitab
tafsir mat’sur.
Selain golongan tersebut, ada juga golongan yang mencoba menyusun kitab
tafsir dan dijadikan ilmu yang berdiri sendiri, dipisah dengan hadis, serta
penafsirannya berdasarkan urutan mushaf. Tafsir mereka dirawikan dan
disandarkan kepada Rasulullah, sahabat, dan tabi’in, serta orang yang menjadi
pengikut tabi’in. Kadang juga ditarjih tentang apa yang dirawikan oleh orang
belakangan, juga mengambil kesimpulan sebagian hukum dan mengi’rabkan jika diperlukan.
Ada pula sebagian golongan ahli tafsir yang tidak melampaui batas-batas
tafsir dengan mengambil jalur mat’sur, mengupulkan pendapat-pendapat tanpa
menyebutkan sumbernya, dan tidak membedakan antara yang sahih atau dla’if.
Semakin meluasnya ilmu pengetahuan, maka menulis dan membukukannya semakin
disempurnakan. Implikasinya semakin banyak cabang semakin banyak pula perbedaan
pendapat mempengaruhi penafsiran. Yang kemudian melahirkan sikap fanatik mazhab
yang membela golongannya. Bercampur aduk antara yang riwayat dan dirayat.
Masalah ini berpengaruh kepada tafsir. Para ahli tafsir hanya mengambil
pendapat seorang mufassir ketika menghadapi suatu persoalan. Selain itu, timbul
juga akidah-akidah mazhab dan falsafat dan kemudian memunculkan corak atau
aliran tafsir.
[1]
Muhammad Abdurrahim Muhammad, Tafsir Nabawi, terj(Jakarta:Pustaka Azzam,
2001), h.18-19
[2] Yakni: perintah-perintah,
larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
[3] Ibid.,
h.20
[4]
Quraish Shihab, Sejarah Perkembangan Tafsir (Bandung:Mizan, 1994), h. 71
[5] Ibid.
h. 7
[6] Imam
al-Badruddîn Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi, Mabâhist
Fi Ulûm al-Qur’ân (Mesir:Babi al-Halabi, tth), h.289
[7] Ibid.
h. 289-290
[8] Dr.
Armen Mukhtar, Ulûm al-Qur’an (Padang:IAIN-IB Padang, 2001), h. 87
[9] Ibid.
h.88
[10]Al-Zarkasyi,
op.cit., h. 290
[11]
Armen Muhktar, ibid., h. 88
[13]
Muhammad Abu Salma, Sejarah Tafsir dan Perkembangannya, terj (Islam
House, 2009), h. 4-5. Baca juga Manna Khalil al-Qattân, Mabâhîs fi
Ulûm
al-Qur’ân (Makkah:Riyâdh, tth), h.334-340
No comments:
Post a Comment