Monday, March 4, 2019

Perkembangan Metodologi Tafsir


A.    Perkembangan Metodologi Tafsir
1.      Tafsir pada masa Nabi Muhammad
Pada saat al-Qur’an diturunkan, Nabi Muhammad berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabt-sahabatnya tentang arti dan makna kandungan al-Qur’an, khususnya ayata-ayat yang tidak dapat dipahami atau samar artinya. Keadaan seperti ini berlangsung sampai wafatnya Nabi Muhammad. Meskipun diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua diketahui akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya, atau memang Nabi Muhammad tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.
Terdapat dua pendapat ulama mengenai apakah Nabi Muhammad menafsirkan semua al-Qur’an atau tidak. Pertama, bahwa Rasulullah menjelaskan setiap lafaz dan makna al-Qur’an kepada para sahabat. Kedua, Rasulullah tidak menjelaskan makna al-Qur’an kepada sahabatnya, kecuali sangat sedikit.[1]
Pendapat pertama didasarkan kepada pendapat Ibnu Taimiyyah. Dala hal ini, beliau berkata, “harus diketahui bahwa Rasulullah telah menjelaskan makna al-Qur’an kepada para sahabatnya sebagaimana beliau menerangkan pengertian lafaznya. Firman Allah:
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ
Artinya: Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[2] dan supaya mereka memikirkan (Qs. Al-Nahl:64)
Sementara pendapat kedua didasarkan kepada al-Khaubi, beliau mengatakan bahwa adapun penafsiran secara qath’i (pasti) hanya dapat diketahui dengan langsung mendengarkannya dari Rasulullah, kecuali dalam jumlah yang sedikit. Pendapat kedua ini diperkuat dengan pendapat lain yang mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang menyaksikan turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur (para sahabat) dan menyaksikan langsung sebab turunnya sebuah ayat serta mengetahui mana yang turun awal dan akhir, pasti mereka tidak membutuhkan lagi penjelasan-penjelasan hukum al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah khusus, umum, nasihk dan mansuhk dan lainnya.[3]
Pada masa nabi Muhammad, perkembangan tafsir masih dalam tatanan yang sangat sederhana. Artinya, masih pada tatanan praktik dan  belum menjadi sebuah ilmu yang berdiri sendiri.
2.      Tafsir pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah Nabi wafat dan persoalan mulai bertambah banyak, para sahabat berusaha memecahkan persolan-persoalan dengan mengambil rujukan al-Quran dan sabda Nabi. Namun jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis, para sahabat melakukan ijtihad, khususnya mereka yang memiliki kemampuan, seperi Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ûd.[4]
Sementara sahabat ada juga yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah-sejarah para Nabi-Nabi, kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur’an kepada tokoh-tokoh ahlul Kitab, seperti Ka’ab al-Akhbar, Abdullah bin Salam, dan lainnya.[5]
Telah maklum diketahui, bahwa para sahabat Nabi adalah generasi terbaik, mereka adalah murid-murid Nabi yang banyak menjadi mufafssir. Jika diseleksi setidaknya ada sepuluh sahabat yang menjadi mufassir. Diantaranya adalah, Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affân, Ali bin Abi Thâlib, Abdullah bin Mas’ûd, Abdullâh bin Abbâs, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abû Mûsâ al-Āsy’ari, dan Abdullah bin Zubair.[6]
Empat orang diantaranya adalah khalîfah al-Râsyidîn. Dari keempat tersebut, Ali bin Abi Thâlib yang banyak menafsirkan al-Qur’an, karena sahabat lainnya telah dahulu wafat sedangkan tafsir pada masa itu belum banyak mengalami perkembangan.
Disamping itu, terdapat sahabat yang paling dalam pengetahuannya mengenai tafsir al-Qura’n yakni Ibnu ‘Abbâs. Beliau diberi gelar tarjuman al-Qur’an (orang yang menterjemahkan al-Qur’an). Dalam doa Rasulullah pernah beliau ucapkan sebagaimana berikut:
“Ya Allah berikan paham mengenai keagamaan kepadanya (Ibnu Ābbās) dan ajarkanlah padanya takwil.[7]
Pada perkembangan selanjutnya, banyak riwayat-riwayat tafsir yang didasarkan kepada sahabat Ibnu Ābbās, dan ada juga yang mencampuradukkan perkataannya dengan perkataan Ibnu ‘Abbâs.[8]
Selain sahabat-sahabat yang tersebut di atas, masih banyak para sahabat yang banyak jasanya dalam perkembangan ilmu tafsir al-Qur’an. Diantaranya adalah Abu Hurairah, Anas bin Mâlik, ‘Abdullah bin ‘Umar, Jabir bin Abdullah, Aisyah Ummul Mu’minîn. Dalam bidang tafsir, penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an lebih sedikit dibandingkan dengan sahabat-sahabat sebelumnya, sahabat-sahabat inilah yang mengembangkan tafsir al-Qur’an kepada generasi setelahnya yakni tabi’in, mereka yang menyebarkan ke kota-kota besar Islam.[9]
Pada masa sahabat, ilmu tafsir mulai berkembang, namun perkembangannya masih dalam batas-batas tertentu, yakni masih menggunakan sumber al-Qur’an, sabda Nabi, dan keterangan-keterangan sahabat sendiri. Istilah ini dikemudian hari disebut dengan tafsir bi al-mat’sûr. Selain itu, tafsir masa sahabat bisa dikatakan masih sama dengan tafsir periode Nabi. Belum menjadi keilmuan yang berdiri sendiri dan masih dalam tatanan praktik.
Kemudian dilanjutkan pada masa tabi’in. para sahabat telah banyak mengajarkan kepada tabi’in tentang ilmu tafsir, adalah Ibnu Ābbās sahabat yang sangat berjasa dalam mengambangkan ilmu tafsir karena para tabi’in banyak yang berguru kepadanya.  Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah.
Orang yang paling mengerti tafsir adalah penduduk Makkah sebab mereka adalah sahabat-sahabat Ibnu Ābbās, seperti Mujahid, Ātha’ ibnu Rabah, Ikrimah Maula Ibnu Ābbās, Sa’id Ibn Jubair, Thawus, dan lain-lainnya. Demikian pula di Kufah, mereka adalah sahabat-sababat Ibnu Mas’ud, dan ulama madinah seperti Zaid bin Aslam.[10]
Setelah berakhirnya masa tabi’in, muncul juga tabi’tabi’in. Mereka adalah orang-orang yang belajar kepada tabi’in. Kelompok inilah yang mula-mula menysun kitab-kitab tafsir secara sederhana yang dikumpulkan dari perkataan sahabat dan tabi’in. Diantara mufassir pada masa ini adalah Sufyan bin Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Su’bah ibn Hajjaj, yazid Ibnu Harun, dan Abdu Ibnu Humaki.[11]
3.      Tafsir pada abad II Hijriah
Usaha untuk membukukan kitab-kitab tafsir baru dimulai abad ke II Hijriah, hal ini maklum, karena pada masa sebelumnya belum ada, karena tafsir pada periode tersebut masih pada tatanan mulut ke mulut, generasi, ke generasi, sejak zaman Nabi, sahabat, dan tabi’in.
Pembukuan kitab tafsir ini dilakukan karena banyaknya orang yang memeluk agama Islam dari kalangan non Arab, bahasa Arab mulai dipengaruhi oleh bahasa non Arab, dan diperlukannya pembukuan kitab-kitab tafsir.
Langkah-langkah pembukuan kitab tafsir ini melalui beberapa tahap.[12]
a.       Mengumpulkan semua hadis-hadis yang berkenaan dengan tafsir yang diterima dari sahabat dan tabi’in, mereka menyusun tafsir yang diterimanya dengan cara meyebutkan suatu ayat yang kemudian diiringi dengan hadis yang menjadi penafsirannya. Kitab tafsir pada masa ini belum menemukan bentuknya dan belum dicetak dalam bentuk buku. Hadis-hadis tafsir masih bercampur aduk dengan hadis-hadis yang membicarakan persoalan-persoalan lain, sehingga diperlukan usaha kuat untuk menyeleksinya.
b.      Setelah ada pemisahan-pemisahan hadis-hadis yang menaafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis lain, barulah tafsir itu memiliki bentuk yang susunannya berdasarkan urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an.
c.       Menurut Ibnu Nadzim, orang yang pertama menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan cara ayat per ayat, menurut tartib mushaf adalah al-Farra’. 

4.      Tafsir pada Masa Pembukuan [13]
Pembukuan masa ini dimulai pada akhir masa bani Umaiyah dan permulaan masa Abbasiyah. Pada masa ini menafsirkan al-Qur’an  dengan hadis menduduki tempat utama. Menulis dan membukukan ini juga meliputi pengumpulan hadis dalam bermacam-macam bab. Tafsir merupakan salah satu dari bab-babnya. Dan belum tersusun secara khusus dalam menafsirkan al-Qur’an, baik surat demi surat, ayat demi ayat dari awal sampai akhir.[14]
Ada golongan yang mencurahkan perhatiannya kepada riwayat tafsir yang dinisbahkan kepada Nabi dan sahabat atau tabi’in. Begitu juga dengan hadis, mereka mencurahkan sepenuhnya kepada hadis yang disandarkan kepada Nabi. Namun tafsir mereka tidak sampai ke tangan kita, hanya ada riwayat yang mengutip sanad dari mereka  dalam kitab-kitab tafsir mat’sur.
Selain golongan tersebut, ada juga golongan yang mencoba menyusun kitab tafsir dan dijadikan ilmu yang berdiri sendiri, dipisah dengan hadis, serta penafsirannya berdasarkan urutan mushaf. Tafsir mereka dirawikan dan disandarkan kepada Rasulullah, sahabat, dan tabi’in, serta orang yang menjadi pengikut tabi’in. Kadang juga ditarjih tentang apa yang dirawikan oleh orang belakangan, juga mengambil kesimpulan sebagian hukum dan mengi’rabkan jika diperlukan.
Ada pula sebagian golongan ahli tafsir yang tidak melampaui batas-batas tafsir dengan mengambil jalur mat’sur, mengupulkan pendapat-pendapat tanpa menyebutkan sumbernya, dan tidak membedakan antara yang sahih atau dla’if.
Semakin meluasnya ilmu pengetahuan, maka menulis dan membukukannya semakin disempurnakan. Implikasinya semakin banyak cabang semakin banyak pula perbedaan pendapat mempengaruhi penafsiran. Yang kemudian melahirkan sikap fanatik mazhab yang membela golongannya. Bercampur aduk antara yang riwayat dan dirayat. Masalah ini berpengaruh kepada tafsir. Para ahli tafsir hanya mengambil pendapat seorang mufassir ketika menghadapi suatu persoalan. Selain itu, timbul juga akidah-akidah mazhab dan falsafat dan kemudian memunculkan corak atau aliran tafsir.


[1] Muhammad Abdurrahim Muhammad, Tafsir Nabawi, terj(Jakarta:Pustaka Azzam, 2001), h.18-19
[2]  Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
[3] Ibid., h.20
[4] Quraish Shihab, Sejarah Perkembangan Tafsir (Bandung:Mizan, 1994), h. 71
[5] Ibid. h. 7
[6] Imam al-Badruddîn Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi, Mabâhist Fi Ulûm al-Qur’ân (Mesir:Babi al-Halabi, tth), h.289
[7] Ibid. h. 289-290
[8] Dr. Armen Mukhtar, Ulûm al-Qur’an (Padang:IAIN-IB Padang, 2001), h. 87
[9] Ibid. h.88
[10]Al-Zarkasyi, op.cit., h. 290
[11] Armen Muhktar, ibid., h. 88
[12]Ibid., h. 94
[13] Muhammad Abu Salma, Sejarah Tafsir dan Perkembangannya, terj (Islam House, 2009), h. 4-5. Baca juga Manna Khalil al-Qattân, Mabâhîs fi Ulûm al-Qur’ân (Makkah:Riyâdh, tth), h.334-340
[14] Manna Khalil al-Qattân, Mabāhîs fi Ulûm al-Qur’ân (Makkah:Riyadh, tth), h.334-340


No comments:

Post a Comment