1. Penyelesaian dan Pemahaman
Hadis-Hadis Mukhtalif.
Secara bahasa menurut Ibn Manzhûr, ihktilâf merujuk
pada makna لم يتفق (tidak serasi/tidak cocok) dan (segala sesuatu yang tidak
sama/beragam), hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’ân surat al-An’âm ayat
141:[1]
Sedangkan menurut Lois
Ma’lûf, ikhtilâf mempunyai beberapa makna diantaranya, تعارض (bertentangan),[2] تنوع (beragam) atau تعدد (bermacam-macam), dan تردد (saling bertolak belakang).[3] Dengan melihat pengertian yang dikemukakan di atas, pada istilah
yang dipakai mengandung dua makna, yaitu, تعارض dan
تنوع .
Secara istilah ada beberapa rumusan defenisi hadis
mukhtalif diantaranya:
Al-Nawâwiy
(dikutib oleh al-Syuyûthiy)
Hadis mukhtalif ialah dua hadis yang saling bertentangan pada makna
zahirnnya, maka kedua hadis tersebut dikompromikan atau di-tarjîh (untuk diambil mana yang kuat dari salah
satunya).
Edi Safri mengkritik defenisi ini dengan menyebutkan
bahwa defenisi ini sebenarnya mengendung kelemahan yakni kekurangtegasan di
dalam rumusannya. Dikatakan demikian karena rumusan defenisi tersebut mencakup
semua hadis yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan antara satu
dengan lainnya, baik hadis-hadis dalam kategori maqbûl atau mardûd,
tanpa ada batasan. Padahal, tidak semua hadis yang tampak saling
bertentangan perlu dikaji untuk dapat ditemukan pengkompromian atau
penyelesaiannya, melainkan apabila hadis-hadis tersebut sama-sama maqbûl.
Apabila salah satunya maqbûl dan yang lainnya mardûd, maka
dalam hal ini pertentangan yang tampak tidak perlu diindahkan. Cukuplah
dipegang yang maqbûl dan ditinggalkan yang mardûd.[4]
Walaupun defenisi yang dikemukan al-Nawâwiy terdapat
kekurangan, namun ia telah menawarkan dua cara dalam menyelesaikan hadis
mukhtalif yakni kompromi dan tarjîh . Menurut al-Nawâwiy, ada hadis-hadis
mukhtalif yang memungkinkan untuk dikompromikan, dan ada hadis-hadis
mukhtalif yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Untuk kategori yang kedua
ini, apabila tidak diketahui antara salah-satu hadis-hadis tersebut ada
yang nâsakh dan yang mansûkh maka ditempuh jalan tarjîh .[5] Artinya al-Nawâwiy juga menempuh cara nasakh dalam
menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif di samping cara kompromi dan tarjîh
, namun ia tidak menjelaskan secara tegas dalam rumusan defenisinya.
Menurut Tahanuwiy (dikutib oleh Edi Safri)
Hadis mukhtalif ialah dua hadis yang maqbûl saling bertentangan pada
makna zahirnnya, di mana memungkinkan untuk dikompromikan maksud yang dituju
oleh kedua hadis tersebut dengan cara tidak dipaksakan (tidak dicari-cari).[6]
Sepertinya Tahanuwiy hendak menyuguhkan penyelesaian hadis-hadis
mukhtalif dengan cara kompromi saja, padahal ada di antara hadis harus
diselesaikan dengan cara tarjîh dan naskh. Walaupun demikian, berbeda
dengan al-Nawâwiy, dalam defenisi di atas Tahanuwiy mensyaratkan hadis-hadis mukhtalif
itu hendaknya dapat diterima sebagai hujjah atau maqbûl.
Edi Safri menyimpulkan defenisi Hadis mukhtalif
ialah hadis shahîh atau hadis hasan yang secara
lahiriyahnya tampak saling bertentangan dengan hadis shahîh atau
hadis hasan lainnya. Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang
dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan yang
lainnya dapat dikompromikan atau dicari jalan penyelesaiannya dalam bentuk nasakh
atau tarjîh .[7]
Di dalam defenisi di atas, Edi Safri menawarkan tiga
cara, seperti yang diungkapkan oleh al-Nawâwiy, yaitu kompromi, nashk, dan
tarjîh . Ketiga defenisi di atas mengandung perbedaan dan persamaan yang
mendasar. Dari segi subjek (hadis-hadis mukhtalif), Tahanuwiy dan
Edi Safri mensyaratkan hadis-hadis yang bertentangan itu harus maqbûl,
baik berkualitas shahîh maupun hasan.
Sementara al-Nawâwiy tidak mensyaratkannya. Dalam aspek metode penyelesaiannya,
Tahanuwiy hanya menempuh cara kompromi. Sementara al-Nawâwiy dan Edi Safri
menawarkan kompromi, nasakh dan tarjîh .
Untuk mengawali pembahasan tentang metode atau cara
menyelesaikan hadis mukhtalif, sengaja dikutip pernyataan Imam Asy
Syafi’i sebagai peringatan yang tegas dalam memahami hadis-hadis mukhtalif, yaitu:
Jangan mempertentangkan hadis Rasulullah Saw satu dengan yang lainnya, apabila
mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan hadis-hadis tersebut dapat sama-sama
diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya
kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan jadikan hadis-hadis
bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selain harus meninggalkan
salah satu darinya.[8]
Peringatan ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip
bahwa tidak mungkin Rasulullah Saw menyampaikan ajaran Islam yang antara satu
dengan yang lainnya benar-benar saling bertentangan. Jika ada penilaian yang
menyatakan bahwa satu hadis dengan hadis lainnya saling bertentangan,
maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, salah satu dari hadis
tersebut bukanlah hadis maqbûl, karena hadis mardûd, baik dha’îf
maupun mawdhû’, besar kemungkinan bertentangan dengan hadis shahîh
atau hasan. Kedua, karena pemahaman yang keliru terhadap maksud
yang dituju oleh hadis-hadis tersebut.[9] Karena bisa saja masing-masing hadis tersebut memiliki maksud dan
orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud
masing-masing.
Berdasarkan hasil penelitian Edi Safri mengenai metode
penyelesaian hadis-hadis mukhtalif menurut Imam Asy Syafi’i, ada tiga
cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian
dengan cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh . Di mana
ketiga cara tersebut dilakukan dengan berurutan.[10] Artinya jika cara pertama tidak menemukan jalan keluar, maka
ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga diperoleh solusi, maka ditempuh
cara ketiga. Berikut penjelasan lebih lanjut:
a)
Penyelesaian
dengan Cara Kompromi
Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi dalam
menyelesaikan hadis mukhtalif ialah menghilangkan pertentangan yang
tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna
masing-masingnya, sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang
lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang
menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat
diamalkan sesuai dengan tuntutannya. Untuk menemukan benang merah antara kedua hadis
yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu: (1) Pemahaman
dengan Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushûl, diantara kaidah ushûl yang
terkait seperti âm, khash, muthlaq, dan muqayyad. (2) Pemahaman
Kontekstual, dengan memperhatikan asbâb al-wurûd hadis-hadis tersebut.
Dengan kata lain memperhatikan konteks. (3) Pemahaman
Korelatif, memperhatikan keterkaitan makna antara satu hadis dengan hadis lainnya
yang dipandang mukhtalif yang membahas permasalahan yang sama sehingga
pertentangan yang tampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. (4) Menggunakan
cara ta’wîl, ini dilakukan jika makna
lahiriyah yang ditampilkan oleh lafaz hadis dinilai tidak tepat untuk menjelaskan
makna yang ditujunya.[11] Keempat cara tersebut sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.
b)
Penyelesaian
dengan Cara Nasakh
Penyelesaian dalam bentuk nasakh dipandang
sebagai bentuk penyelesaian hadis-hadis mukhtalif non-kompromi.
Dikatakan demikian, karena salah satu dari hadis tidak lagi dapat
diamalkan, hal ini sesuai dengan ungkapan imam Asy Syafi’i terdahulu yakni: ”Dan
jangan jadikan hadis-hadis bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan
selain harus meninggalkan salah satu darinya.” Di sini terungkap bahwa cara
kompromi tidak membuahkan penyelesaian. Oleh sebab itu, ditempuh cara nasakh.
Sebab, pada hadis-hadis mukhtalif yang pertentangannya tidak saja
pada makna lahiriyahnya, tetapi juga pada makna yang dikandungnya, dalam
masalah seperti ini mungkin sekali antara hadis-hadis tersebut telah terjadi nasakh.[12] Oleh karena itu, ia mesti dipahami
dengan melihat ketentuan-ketentuan nasakh, yakni mengamalkan yang nâsakh
dan meninggalkan yang mansûkh.[13]
Secara etimologi nasakh mengandung dua makna,
yaituالإزالة (menghilangkan)
dan النقل (memindahkan).[14] Secara Istilah ulama ushûl merumuskan sebagai: Pembatalan
hukum syar’iy oleh syar’iy berdasarkan dalil syar’iy yang datang kemudian. [15]Sebagai contoh dapat dilihat dalam persoalan hukum makan daging
kuda:
عَنْ خَالِدِ بْنِ
الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ
أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ
السِّبَاعِ[16]
Artinya;
Dari Khalid Bin Walid r.a bahwasanya Rasulullah Saw
melarang memakan daging kuda dan bighal dan keledai dan semua yang bertaring
dari binatang buas. HR An Nasa’i.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ
أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ
وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.[17]
Artinya;
Dari Jabir r.a berkata: Rasulullah Saw menghidangkan
makanan daging kuda untuk kami, dan melarang memakan keledai. HR Turmuzi.
Dua hadis di atas terlihat saling bertentangan, hadis
pertama berisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia
haram. Hadis kedua menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini
mesti dihilangkan dengan cara nasakh. Hukum keharaman makan daging kuda
pada hadis pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kebolehan makan daging
kuda pada hadis Jâbir Ibn ‘Abdullah yang datang setelahnya.
c)
Penyelesaian
dengan Cara Tarjîh .
Secara etimologi tarjîh berarti “menguatkan”,
sedangkan secara terminologi tarjîh menurut
defenisi jumhur ulama ialah: menguatkan
salah satu indikator dalil yang zhanniy atas yang lainnya untuk diamalkan.[18]
Dalam masalah penyelesaian hadis-hadis mukhtalif dengan
cara tarjîh , dimaksudkan
membandingkan hadis-hadis yang tampak bertentangan yang tidak dapat
dikompromikan dan tidak pula ditemukan adanya indikasi nasakh, maka
dengan perbandingan tersebut diambil hadis yang lebih kuat yang memiliki
nilai hujjah lebih tinggi dari hadis yang lainnya, di mana yang
lebih kuat diamalkan dan yang lemah ditinggalkan.[19] Dengan mengadu data kehujjahan dapat diketahui mana yang râjih,
dan mana yang marjûh-nya sehingga mengakibatkan pertentangan yang
terjadi hilang, dan sekaligus melahirkan konsekwensi baru, yakni
ditinggalkannya yang lemah/marjûh.
Sebelum masuk pada pembahasan berikutnya perlu
dijelaskan bahwa konsep penyelesaian hadis mukhtalif di atas, menurut Imam
Asy Syafi’i dilakukan dengan berurutan. Namun, menurut Hanafiyah, urutannya
tidak seperti yang diungkapkan Imam Asy Syafi’i, bahkan Hanafiyah memiliki
metode lain yang tidak ditemukan dalam pendapat Imam Asy Syafi’i. Hanafiyah
mendahulukan penyelesaian hadis mukhtalif dengan terlebih dahulu
menerapkan metode nasakh, jika tidak ditemukan indikasi nasakh dan
mansûkh, maka diteruskan dengan tarjîh, jika dengan cara tarjîh
tidak juga berbuah solusi atas
pertentangan yang terjadi barulah digunakan jalan kompromi, terakhir ketika
ketiga cara tidak juga menuai hasil yang pasti, maka Hanafiyah menempuh jalan
yang tidak ada dalam konsep Asy Syafi’i, yakni tasâqut al-dalîlain. Tasâqut
al-dalîlain mengandung arti menggugurkan dua dalîl yang bertentangan, maka dalam problem hadis mukhtalif, kedua hadis
yang saling bertentangan tersebut digugurkan segugur-gugurnya, untuk
kemudian merujuk pada dalil yang derajatnya di bawah derajat dalîl yang saling bertentangan tersebut.[20]
Di sinilah letak perbedaan Imam Asy Syafi’i dengan
Hanafiyah dalam menyelesaikan pertentangan antara satu dalîl dengan dalîl lainnya. Hal ini didasari oleh cara pandang yang berbeda, Hanafiyah
mendahulukan nasakh, hal ini bisa saja dilakukan agar kerja tidak
berulang, karena jika ditempuh kompromi terlebih dahulu, ternyata pertentangan
yang terjadi sudah ada kejelasan nasakh-nya, maka cara kompromi
dipandang dapat menyita waktu. Namun Asy Syafi’i dalam pernyataan
terdahulu telah dijelaskan bahwa ia memilki prinsip mengamalkan kedua dalîl lebih baik daripada meninggalkan salah satu darinya, apalagi
meninggalkan kedua dalîl tersebut.
d)
Masalah
Tanawwu’ al-‘Ibâdah
Tanawwu’ al-‘Ibâdah merupakan
salah satu cara yang ditempuh Imam Asy Syafi’i dalam menyelesaikan hadis
mukhtalif dengan catatan mukhtalif tidak pada makna ta’âruth tapi
tanawwu’. Adapun yang dimakud dengan hadis-hadis tanawwu’ al-ibâdah ialah
hadis-hadis yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw, akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan,
bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah
tersebut.[21]
Manakah yang lebih utama untuk diamalkan? Dalam
masalah ini perlu disimak tiga hal: (1) ragam ibadah yang sering dilakukan oleh
Rasulullah Saw dan sahabat. (2) memperhatikan ajaran yang dibawa oleh hadis itu
sendiri, manakah yang lebih tepat dan lengkap sesuai dengan situasi dan
kondisi. (3) memperhatikan manakah diantara hadis-hadis tersebut yang
lebih tinggi tingkat ke-shahîh-annya.[22] Maka dalam hal ini tingkat kesempurnaan lebih penting untuk
dijadikan yang utama. Contoh: tentang ragam bacaan dalam rukû’ dan sujûd:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا
وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ[23]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يَقُولُ فِي سُجُودِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ
وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ[24]
ابْنُ
جُرَيْجٍ قَالَ قُلْتُ لِعَطَاءٍ كَيْفَ تَقُولُ أَنْتَ فِي الرُّكُوعِ قَالَ
أَمَّا سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَأَخْبَرَنِي ابْنُ
أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ افْتَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ
نِسَائِهِ فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ
يَقُولُ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَقُلْتُ
بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي إِنِّي لَفِي شَأْنٍ وَإِنَّكَ لَفِي آخَرَ[25]
Tiga contoh bacaan dalam rukû’ dan sujûd
di atas merupakan ragam ibadah yang ketiganya diajarkan oleh Rasulullah Saw.
dan diriwayatkan dengan isnad yang shahîh. Dalam
mengamalkannya tergantung pada orang yang mengamalkannya, mana yang lebih tepat untuknya, baik dari kebiasaan, hafalan,
maupun makna yang dikandung oleh bacaan itu sesuai dengan doa yang ingin ia
panjatkan ketika sujûd dan rukû’ itu. Banyak lagi bacaan lain
yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. menyangkut bacaan rukû’ dan sujûd,
ataupun bacaan yang lainnya.
Dalam pemahaman hadis-hadis tentang memakai pakaian dari
sutra, penulis memilih menggunakan metode kompromi (al-jam’u). Sebab
metode ini lebih mengakomodasi dan proporsional dalam mengamalkan dan memahami hadis.
Sebab dengan memahami teks dan konteks hadis akan ditemukan kandungan makna
yang adakalanya universal (kapan dan dimana saja), adakalanya temporal (pada
waktu tertentu), dan bisa jadi hanya berlaku lokal (pada wilayah tertentu saja).[26]
Dalam pelaksanaannya, cara ini akan menggunakan empat
jalan yang ditempuh Imam Asy Syafi’i dalam memahami hadis-hadis mukhtalif.
Keempat jalan tersebut adalah 1) pemahaman dengan pendekatan kaedah ushûl,
2) pemahaman dengan pendekatan kontekstual, 3) pemahaman dengan pendekatan
korelatif, 4) pemahaman dengan pendekatan takwîl.[27]
1.
Pemahaman
dengan pendekatan kaedah ushûl.
Yaitu dengan mempertimbangkan kaedah-kaedah ushûl
yang telah dirumuskan oleh ulama ushûl. Dengan ini akan lebih tepat
dalam mengistimbat hukum dari hadis-hadis yang ada.
2.
Pemahaman
dengan pendekatan kontekstual
Yaitu dengan menelusuri dan mempertimbangkan
situasi kondisi yang melatarbelakangi lahirnya suatu hadis (sabab al-wurûd).
Sehingga tidak dengan serta merta diambil sebuah hukum dari teks hadis yang
ditemukan. Karena hukum akan lebih relefan bila mempertimbangkan situasi
kondisi di sekitarnya.
3.
Pemahaman
dengan pendekatan korelatif
Yaitu dengan mengumpulkan dan mancari titik
terang yang mengakomodasi hadis-hadis yang ada. Terkadang apabila hadis itu
berdiri sendiri ia seakan tidak sejalan satu sama lain, tetapi bila di
hubungkan maka akan ditemukan makna yang lebih komprehensif.
4.
Pemahaman
dengan pendekatan takwîl.
Yaitu dengan mencari makna lain yang masih
terkait dengan makna aslinya sehingga hadis tetap bisa dipakai dan aplikatif.
Tidak hanya melihat dari sisi pertentangannya saja sehingga akan banyak hadis
yang ditinggalkan, namun berupaya untuk menyesuaikan maknanya.
Oleh
karena itu, apabila dalam pembahasan hadis –hadis tentang memakai pakaian dari
sutra ditemukan sebuah pertentangan, dengan terlebih dahulu memastikan
kehujjahan hadis-hadisnya, maka walaupun tidak ada riwayat yang layak dijadikan
hujjah dalam masalah ini, penelitian inipun bisa dilanjutkan dengan metode
tematik tadi, sekedar mengungkap makna-makna yang dikandung masing-masing hadis
sehingga munculah sebuah kesimpulan gabungan.
[1] وَالنَّخْلَ
وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا
وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ (pohon
korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Lihat: Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn
Manzhûr al-Afriqiy al-Mishriy, Lisân al-‘Arab, (Bairût: Dâr Fikr, 1990),
Jilid IX, h. 91
[2] Secara bahasa kata تعارض merupakan mashdar dari
kata عارض
yang berarti: تضاد
(berlawanan) dan تباين
(saling berjauhan). Secara istilah, Lois Ma’lûf mengartikan dengan تضاد بين شيئين يبرز أحدهما الأخر
(dua hal yang saling berlawanan yang menimbulakan perbedaan antara satu dengan
yang lainnya) .Lihat: Lois Ma’lûf, al-Munjid fiy Lughah wa
al-I’lâm, (Bairût: Dâr al-Masyrûq, 1994), 966
[5] Al-Syuyûthiy, op.cit., h. 197-198
[6] Edi Safri, op.cit, h. 82,
Mengutip Syarf al-Dîn ‘Aliy al-Rajihi, Mushthalah al-Hadîts wa Atsaruh ‘ala al-Dâr
al-Lughawiy ‘Inda al-‘Arabiy, (Barût: Dâr al-Nahdhat al-‘Arabiyah, tth), h. 217
[7] Ibid. h. 218
[8] Muhammad Ibn Idris Asy Syafi’i, al-Umm,
(Bairût, Dâr al-Fikr, 1983) Cet Ke-3, Jilid VII, h. 196
[11] Keterangan lebih lanjut: lihat: Ibid., h.
121-122
[12] Lihat: Ajjâj al-Khatib, Ushûlul
Hadis ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh,
(Beirut, Dar al Fikr, 1426H/ 2006M), h. 288
[15] Ibid., lihat juga: Muhammad
Jamâl al-Dîn al-Qâsimiy, Qawâ’id al-Tahdîts min Funûn Mushthalah
al-Hadîts, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), h. 316
[16] An-Nasâ’i, Sunan An-Nasa’I, Kitab ash-shaid wa az-zaba’ih ,
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), Juz 7, h. 230.
[17] Tirmizi, op.cit, Juz 3, h. 569.
[18] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta:
Logos Wcana Ilmu, 1997), cetakan ke-2, h. 196
[19] Edi Safri, op.cit, h. 130
[20] Lebih lanjut lihat:
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wcana Ilmu, 1997), cetakan ke-2, h. 175-178
[21] Edi Safri, op.cit, h. 132
[22] Ibid., h. 138
[23] Muslim, op.cit, Cet-1,
h. 250.
[24] Ibid
[25] Muslim, op.cit, Cet-1,
h. 251.
[26] Edi Safri, op.cit, h.
84
[27] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual tela’ah
ma’ani al-hadis tentang ajaran Islam yang universal, temporal, local, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), h. 7
No comments:
Post a Comment