Monday, March 4, 2019

Penyelesaian dan Pemahaman Hadis-Hadis Mukhtalif.


1.      Penyelesaian dan Pemahaman Hadis-Hadis Mukhtalif.
Secara bahasa menurut Ibn Manzhûr, ihktilâf merujuk pada makna لم يتفق (tidak serasi/tidak cocok) dan (segala sesuatu yang tidak sama/beragam), hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’ân surat al-An’âm ayat 141:[1]  Sedangkan menurut Lois Ma’lûf, ikhtilâf mempunyai beberapa makna diantaranya, تعارض  (bertentangan),[2] تنوع (beragam) atau تعدد (bermacam-macam), dan تردد (saling bertolak belakang).[3] Dengan melihat pengertian yang dikemukakan di atas, pada istilah yang dipakai mengandung dua makna, yaitu, تعارض  dan تنوع .
Secara istilah ada beberapa rumusan defenisi hadis mukhtalif diantaranya:
Al-Nawâwiy (dikutib oleh al-Syuyûthiy)
Hadis mukhtalif ialah dua hadis yang saling bertentangan pada makna zahirnnya, maka kedua hadis tersebut dikompromikan atau di-tarjîh  (untuk diambil mana yang kuat dari salah satunya).

Edi Safri mengkritik defenisi ini dengan menyebutkan bahwa defenisi ini sebenarnya mengendung kelemahan yakni kekurangtegasan di dalam rumusannya. Dikatakan demikian karena rumusan defenisi tersebut mencakup semua hadis yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya, baik hadis-hadis dalam kategori maqbûl atau mardûd, tanpa ada batasan. Padahal, tidak semua hadis yang tampak saling bertentangan perlu dikaji untuk dapat ditemukan pengkompromian atau penyelesaiannya, melainkan apabila hadis-hadis tersebut sama-sama maqbûl. Apabila salah satunya maqbûl dan yang lainnya mardûd, maka dalam hal ini pertentangan yang tampak tidak perlu diindahkan. Cukuplah dipegang yang maqbûl dan ditinggalkan yang mardûd.[4]
Walaupun defenisi yang dikemukan al-Nawâwiy terdapat kekurangan, namun ia telah menawarkan dua cara dalam menyelesaikan hadis mukhtalif yakni kompromi dan tarjîh . Menurut al-Nawâwiy, ada hadis-hadis mukhtalif yang memungkinkan untuk dikompromikan, dan ada hadis-hadis mukhtalif yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Untuk kategori yang kedua ini, apabila tidak diketahui antara salah-satu hadis-hadis tersebut ada yang nâsakh dan yang mansûkh maka ditempuh jalan tarjîh .[5] Artinya al-Nawâwiy juga menempuh cara nasakh dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif di samping cara kompromi dan tarjîh , namun ia tidak menjelaskan secara tegas dalam rumusan defenisinya.
Menurut Tahanuwiy (dikutib oleh Edi Safri)
Hadis mukhtalif ialah dua hadis yang maqbûl saling bertentangan pada makna zahirnnya, di mana memungkinkan untuk dikompromikan maksud yang dituju oleh kedua hadis tersebut dengan cara tidak dipaksakan (tidak dicari-cari).[6]

Sepertinya Tahanuwiy hendak menyuguhkan penyelesaian hadis-hadis mukhtalif dengan cara kompromi saja, padahal ada di antara hadis harus diselesaikan dengan cara tarjîh  dan naskh. Walaupun demikian, berbeda dengan al-Nawâwiy, dalam defenisi di atas Tahanuwiy mensyaratkan hadis-hadis mukhtalif itu hendaknya dapat diterima sebagai hujjah atau maqbûl.
Edi Safri menyimpulkan defenisi Hadis mukhtalif ialah hadis shahîh atau hadis hasan yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan dengan hadis shahîh atau hadis hasan lainnya. Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan atau dicari jalan penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau tarjîh .[7]

Di dalam defenisi di atas, Edi Safri menawarkan tiga cara, seperti yang diungkapkan oleh al-Nawâwiy, yaitu kompromi, nashk, dan tarjîh . Ketiga defenisi di atas mengandung perbedaan dan persamaan yang mendasar. Dari segi subjek (hadis-hadis mukhtalif), Tahanuwiy dan Edi Safri mensyaratkan hadis-hadis yang bertentangan itu harus maqbûl, baik berkualitas shahîh maupun hasan. Sementara al-Nawâwiy tidak mensyaratkannya. Dalam aspek metode penyelesaiannya, Tahanuwiy hanya menempuh cara kompromi. Sementara al-Nawâwiy dan Edi Safri menawarkan kompromi, nasakh dan tarjîh .
Untuk mengawali pembahasan tentang metode atau cara menyelesaikan hadis mukhtalif, sengaja dikutip pernyataan Imam Asy Syafi’i sebagai peringatan yang tegas dalam memahami hadis-hadis mukhtalif, yaitu: Jangan mempertentangkan hadis Rasulullah Saw satu dengan yang lainnya, apabila mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan hadis-hadis tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan jadikan hadis-hadis bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selain harus meninggalkan salah satu darinya.[8]
Peringatan ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasulullah Saw menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang lainnya benar-benar saling bertentangan. Jika ada penilaian yang menyatakan bahwa satu hadis dengan hadis lainnya saling bertentangan, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, salah satu dari hadis tersebut bukanlah hadis maqbûl, karena hadis mardûd, baik dha’îf maupun mawdhû’, besar kemungkinan bertentangan dengan hadis shahîh atau hasan. Kedua, karena pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut.[9] Karena bisa saja masing-masing hadis tersebut memiliki maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud masing-masing.
Berdasarkan hasil penelitian Edi Safri mengenai metode penyelesaian hadis-hadis mukhtalif menurut Imam Asy Syafi’i, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh . Di mana ketiga cara tersebut dilakukan dengan berurutan.[10] Artinya jika cara pertama tidak menemukan jalan keluar, maka ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga diperoleh solusi, maka ditempuh cara ketiga. Berikut penjelasan lebih lanjut:

a)      Penyelesaian dengan Cara Kompromi
Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi dalam menyelesaikan hadis mukhtalif ialah menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya, sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya. Untuk menemukan benang merah antara kedua hadis yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu: (1) Pemahaman dengan Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushûl, diantara kaidah ushûl yang terkait seperti âm, khash, muthlaq, dan muqayyad. (2) Pemahaman Kontekstual, dengan memperhatikan asbâb al-wurûd hadis-hadis tersebut. Dengan kata lain memperhatikan konteks. (3) Pemahaman Korelatif, memperhatikan keterkaitan makna antara satu hadis dengan hadis lainnya yang dipandang mukhtalif yang membahas permasalahan yang sama sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. (4) Menggunakan  cara ta’wîl, ini dilakukan jika makna lahiriyah yang ditampilkan oleh lafaz hadis dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujunya.[11] Keempat cara tersebut sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.

b)      Penyelesaian dengan Cara Nasakh
Penyelesaian dalam bentuk nasakh dipandang sebagai bentuk penyelesaian hadis-hadis mukhtalif non-kompromi. Dikatakan demikian, karena salah satu dari hadis tidak lagi dapat diamalkan, hal ini sesuai dengan ungkapan imam Asy Syafi’i terdahulu yakni: ”Dan jangan jadikan hadis-hadis bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selain harus meninggalkan salah satu darinya.” Di sini terungkap bahwa cara kompromi tidak membuahkan penyelesaian. Oleh sebab itu, ditempuh cara nasakh. Sebab, pada hadis-hadis mukhtalif yang pertentangannya tidak saja pada makna lahiriyahnya, tetapi juga pada makna yang dikandungnya, dalam masalah seperti ini mungkin sekali antara hadis-hadis tersebut telah terjadi nasakh.[12] Oleh karena itu, ia mesti dipahami dengan melihat ketentuan-ketentuan nasakh, yakni mengamalkan yang nâsakh dan meninggalkan yang mansûkh.[13]
Secara etimologi nasakh mengandung dua makna, yaituالإزالة (menghilangkan) dan النقل (memindahkan).[14] Secara Istilah ulama ushûl merumuskan sebagai: Pembatalan hukum syar’iy oleh syar’iy berdasarkan dalil syar’iy yang datang kemudian. [15]Sebagai contoh dapat dilihat dalam persoalan hukum makan daging kuda:
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ[16]
Artinya; Dari Khalid Bin Walid r.a bahwasanya Rasulullah Saw melarang memakan daging kuda dan bighal dan keledai dan semua yang bertaring dari binatang buas. HR An Nasa’i.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.[17]
Artinya; Dari Jabir r.a berkata: Rasulullah Saw menghidangkan makanan daging kuda untuk kami, dan melarang memakan keledai. HR Turmuzi.

Dua hadis di atas terlihat saling bertentangan, hadis pertama berisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadis kedua menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadis pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kebolehan makan daging kuda pada hadis Jâbir Ibn ‘Abdullah yang datang setelahnya.

c)      Penyelesaian dengan Cara Tarjîh .
Secara etimologi tarjîh berarti “menguatkan”, sedangkan secara terminologi tarjîh  menurut defenisi jumhur ulama ialah:  menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanniy atas yang lainnya untuk diamalkan.[18]
Dalam masalah penyelesaian hadis-hadis mukhtalif dengan cara tarjîh  , dimaksudkan membandingkan hadis-hadis yang tampak bertentangan yang tidak dapat dikompromikan dan tidak pula ditemukan adanya indikasi nasakh, maka dengan perbandingan tersebut diambil hadis yang lebih kuat yang memiliki nilai hujjah lebih tinggi dari hadis yang lainnya, di mana yang lebih kuat diamalkan dan yang lemah ditinggalkan.[19] Dengan mengadu data kehujjahan dapat diketahui mana yang râjih, dan mana yang marjûh-nya sehingga mengakibatkan pertentangan yang terjadi hilang, dan sekaligus melahirkan konsekwensi baru, yakni ditinggalkannya yang lemah/marjûh.
Sebelum masuk pada pembahasan berikutnya perlu dijelaskan bahwa konsep penyelesaian hadis mukhtalif di atas, menurut Imam Asy Syafi’i dilakukan dengan berurutan. Namun, menurut Hanafiyah, urutannya tidak seperti yang diungkapkan Imam Asy Syafi’i, bahkan Hanafiyah memiliki metode lain yang tidak ditemukan dalam pendapat Imam Asy Syafi’i. Hanafiyah mendahulukan penyelesaian hadis mukhtalif dengan terlebih dahulu menerapkan metode nasakh, jika tidak ditemukan indikasi nasakh dan mansûkh, maka diteruskan dengan tarjîh, jika dengan cara tarjîh  tidak juga berbuah solusi atas pertentangan yang terjadi barulah digunakan jalan kompromi, terakhir ketika ketiga cara tidak juga menuai hasil yang pasti, maka Hanafiyah menempuh jalan yang tidak ada dalam konsep Asy Syafi’i, yakni tasâqut al-dalîlain. Tasâqut al-dalîlain mengandung arti menggugurkan dua dalîl yang bertentangan, maka dalam problem hadis mukhtalif, kedua hadis yang saling bertentangan tersebut digugurkan segugur-gugurnya, untuk kemudian merujuk pada dalil yang derajatnya di bawah derajat dalîl yang saling bertentangan tersebut.[20]
Di sinilah letak perbedaan Imam Asy Syafi’i dengan Hanafiyah dalam menyelesaikan pertentangan antara satu dalîl dengan dalîl lainnya. Hal ini didasari oleh cara pandang yang berbeda, Hanafiyah mendahulukan nasakh, hal ini bisa saja dilakukan agar kerja tidak berulang, karena jika ditempuh kompromi terlebih dahulu, ternyata pertentangan yang terjadi sudah ada kejelasan nasakh-nya, maka cara kompromi dipandang dapat menyita waktu. Namun Asy Syafi’i dalam pernyataan terdahulu telah dijelaskan bahwa ia memilki prinsip mengamalkan kedua dalîl lebih baik daripada meninggalkan salah satu darinya, apalagi meninggalkan kedua dalîl tersebut.
d)     Masalah Tanawwu’ al-‘Ibâdah
Tanawwu’ al-‘Ibâdah merupakan salah satu cara yang ditempuh Imam Asy Syafi’i dalam menyelesaikan hadis mukhtalif dengan catatan mukhtalif tidak pada makna ta’âruth tapi tanawwu’. Adapun yang dimakud dengan hadis-hadis tanawwu’ al-ibâdah ialah hadis-hadis yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.[21]
Manakah yang lebih utama untuk diamalkan? Dalam masalah ini perlu disimak tiga hal: (1) ragam ibadah yang sering dilakukan oleh Rasulullah Saw dan sahabat. (2) memperhatikan ajaran yang dibawa oleh hadis itu sendiri, manakah yang lebih tepat dan lengkap sesuai dengan situasi dan kondisi. (3) memperhatikan manakah diantara hadis-hadis tersebut yang lebih tinggi tingkat ke-shahîh-annya.[22] Maka dalam hal ini tingkat kesempurnaan lebih penting untuk dijadikan yang utama. Contoh: tentang ragam bacaan dalam rukû’ dan sujûd:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ[23]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ[24]
ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ قُلْتُ لِعَطَاءٍ كَيْفَ تَقُولُ أَنْتَ فِي الرُّكُوعِ قَالَ أَمَّا سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَأَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ افْتَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ نِسَائِهِ فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ يَقُولُ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي إِنِّي لَفِي شَأْنٍ وَإِنَّكَ لَفِي آخَرَ[25]
Tiga contoh bacaan dalam rukû’ dan sujûd di atas merupakan ragam ibadah yang ketiganya diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan diriwayatkan dengan isnad yang shahîh. Dalam mengamalkannya tergantung pada orang yang mengamalkannya, mana yang lebih  tepat untuknya, baik dari kebiasaan, hafalan, maupun makna yang dikandung oleh bacaan itu sesuai dengan doa yang ingin ia panjatkan ketika sujûd dan rukû’ itu. Banyak lagi bacaan lain yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. menyangkut bacaan rukû’ dan sujûd, ataupun bacaan yang lainnya.
Dalam pemahaman hadis-hadis tentang memakai pakaian dari sutra, penulis memilih menggunakan metode kompromi (al-jam’u). Sebab metode ini lebih mengakomodasi dan proporsional dalam mengamalkan dan memahami hadis. Sebab dengan memahami teks dan konteks hadis akan ditemukan kandungan makna yang adakalanya universal (kapan dan dimana saja), adakalanya temporal (pada waktu tertentu), dan bisa jadi hanya berlaku lokal (pada wilayah tertentu saja).[26]
Dalam pelaksanaannya, cara ini akan menggunakan empat jalan yang ditempuh Imam Asy Syafi’i dalam memahami hadis-hadis mukhtalif. Keempat jalan tersebut adalah 1) pemahaman dengan pendekatan kaedah ushûl, 2) pemahaman dengan pendekatan kontekstual, 3) pemahaman dengan pendekatan korelatif, 4) pemahaman dengan pendekatan takwîl.[27]
1.      Pemahaman dengan pendekatan kaedah ushûl.
Yaitu dengan mempertimbangkan kaedah-kaedah ushûl yang telah dirumuskan oleh ulama ushûl. Dengan ini akan lebih tepat dalam mengistimbat hukum dari hadis-hadis yang ada.
2.      Pemahaman dengan pendekatan kontekstual
Yaitu dengan menelusuri dan mempertimbangkan situasi kondisi yang melatarbelakangi lahirnya suatu hadis (sabab al-wurûd). Sehingga tidak dengan serta merta diambil sebuah hukum dari teks hadis yang ditemukan. Karena hukum akan lebih relefan bila mempertimbangkan situasi kondisi di sekitarnya.
3.      Pemahaman dengan pendekatan korelatif
Yaitu dengan mengumpulkan dan mancari titik terang yang mengakomodasi hadis-hadis yang ada. Terkadang apabila hadis itu berdiri sendiri ia seakan tidak sejalan satu sama lain, tetapi bila di hubungkan maka akan ditemukan makna yang lebih komprehensif.
4.      Pemahaman dengan pendekatan takwîl.
Yaitu dengan mencari makna lain yang masih terkait dengan makna aslinya sehingga hadis tetap bisa dipakai dan aplikatif. Tidak hanya melihat dari sisi pertentangannya saja sehingga akan banyak hadis yang ditinggalkan, namun berupaya untuk menyesuaikan maknanya.
Oleh karena itu, apabila dalam pembahasan hadis –hadis tentang memakai pakaian dari sutra ditemukan sebuah pertentangan, dengan terlebih dahulu memastikan kehujjahan hadis-hadisnya, maka walaupun tidak ada riwayat yang layak dijadikan hujjah dalam masalah ini, penelitian inipun bisa dilanjutkan dengan metode tematik tadi, sekedar mengungkap makna-makna yang dikandung masing-masing hadis sehingga munculah sebuah kesimpulan gabungan.



[1] وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ (pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Lihat: Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhûr al-Afriqiy al-Mishriy, Lisân al-‘Arab, (Bairût: Dâr Fikr, 1990), Jilid IX, h. 91  
[2] Secara bahasa kata تعارض merupakan mashdar dari kata عارض yang berarti: تضاد (berlawanan) dan تباين (saling berjauhan). Secara istilah, Lois Ma’lûf mengartikan dengan تضاد بين شيئين يبرز أحدهما الأخر (dua hal yang saling berlawanan yang menimbulakan perbedaan antara satu dengan yang lainnya) .Lihat: Lois Ma’lûf, al-Munjid fiy Lughah wa al-I’lâm, (Bairût: Dâr al-Masyrûq, 1994), 966
[3] Lihat: Ibid., h. 417-418
[4] Edi Safri, op.cit, h. 81-82.
[5] Al-Syuyûthiy, op.cit., h. 197-198
[6] Edi Safri, op.cit, h. 82, Mengutip Syarf al-Dîn ‘Aliy al-Rajihi, Mushthalah al-Hadîts wa Atsaruh ‘ala al-Dâr al-Lughawiy ‘Inda al-‘Arabiy, (Barût: Dâr al-Nahdhat al-‘Arabiyah, tth), h. 217
[7] Ibid. h. 218
[8] Muhammad Ibn Idris Asy Syafi’i, al-Umm, (Bairût, Dâr al-Fikr, 1983) Cet Ke-3, Jilid VII, h. 196
[9] Edi Safri, op.cit, h.97
[10] Ibid.
[11] Keterangan lebih lanjut: lihat: Ibid., h. 121-122
[12] Lihat: Ajjâj al-Khatib, Ushûlul Hadis ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, (Beirut, Dar al Fikr, 1426H/ 2006M), h. 288
[13] Edi Safri, op.cit, h. 125
[14] Ajjâj al-Khatib, op.cit,  h. 287.
[15] Ibid., lihat juga: Muhammad Jamâl al-Dîn al-Qâsimiy, Qawâ’id al-Tahdîts min Funûn Mushthalah al-Hadîts, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), h. 316
[16] An-Nasâ’i, Sunan An-Nasa’I, Kitab ash-shaid wa az-zaba’ih , (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), Juz 7, h. 230.
[17] Tirmizi, op.cit,  Juz 3, h. 569.
[18] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wcana Ilmu, 1997), cetakan ke-2, h. 196
[19] Edi Safri, op.cit,  h. 130
[20] Lebih lanjut lihat: Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wcana Ilmu, 1997), cetakan ke-2, h. 175-178
[21] Edi Safri, op.cit, h. 132
[22] Ibid., h. 138
[23] Muslim, op.cit,  Cet-1, h. 250.
[24] Ibid
[25] Muslim, op.cit,  Cet-1, h. 251.
[26] Edi Safri, op.cit,  h. 84
[27] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual tela’ah ma’ani al-hadis tentang ajaran Islam yang universal, temporal, local, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 7

No comments:

Post a Comment