A.
Sejarah
Perkembangan Metode Tafsir Maudhū’iy
Al-Qur’an
adalah sumber ajaran Islam kitab suci ini, menempati posisi sentral, bukan saja
dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan
inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas
abad sejarah pergerakan umat ini.[1]
Jika
demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an, melalui
penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi
maju-mundumya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan
perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Dalam
khazanah ilmu tafsir, metodologi penafsiran al-Qur’an
merupakan obyektititas penelitian yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Istilah metode di dalam bahasa Arab menggunakan kata manhaj yang berarti
metode, prosedur, approach dan pendekatan. Adapun arah dan kecenderungan
menggunakan istilah ittijāh.[2]
Istilah
metodologi dalam bahasa Indonesia berarti ilmu yang membahas tentang
metode-metode, sedangkan metode maksudnya adalah cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai maksud.[3]
Istilah ini merupakan serapan dari bahasa inggris “methodology” yang berarti seperangkat metode dan dasar
yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan khusus.[4]
Dengan demikian metodologi tafsir adalah ilmu yang menjelaskan tentang
seperangkat metode dan dasar yang digunakan dalam melakukan aktifitas
penafsiran al-Qur’an.
Tidak diragukan lagi bahwa kitab suci al-Qur’an merupakan pegangan, dan pedoman bagi umat
Islam yang obyektif. Namun obyektifitas sumber ajaran ini tidak menutup
kemungkinan pemahamannya secara subyektif. Karena itu untuk memahami al-Qur’an diperlukan ketentuan-ketentuan yang tegas
yang menjamin bagaimana warisan ini dapat dipahami dengan benar. Dengan demikian
tentu saja metodologi yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an harus sejalan dengan semangat
universalitas al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang terakhir.
Tafsir maudhū’iy
memiliki defenisi pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud sama, dalam arti satu topik
masalah, dan menyusunnya sesuai kronologis asbāb al-nuzūl, sehingga
dapat memberikan keterangan penjelas dan kesimpulan.[5] Kemudian,
mufassir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh.
Keunggulan dari metode ini
menurut hemat penulis adalah lebih pada nilai efisiensinya saja. Terkadang pembaca merasa kesulitan jika harus mengikuti ayat demi
ayat untuk mencari sumber jawaban akan sebuah permasalahan. Beranjak dari
fenomena metode maudhū’iy cukup banyak
dipakai oleh para mufassir dan ahli-ahli
ilmu lainnya dalam menyebarkan dan mengamalkan
tujuan diturunkannya al-Qur’an itu sendiri.
Metode maudhū’iy bertujuan untuk mengungkap berbagai permasalahan
yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam hal ini al-Farmawiy menyebutkan, bahwa
metode tafsir maudhū’iy terbagi
menjadi dua macam:
Pertama, Fakhruddin al-Raziy dan Muhammad Mahmud
Hijaziy mengkaji surat dalam al-Qur’an sebagai satu kesatuan, di dalamnya
dijelaskan secara umum dan khusus; serta keterkaitan antara tema-tema yang ada, sehingga tampak
keseragamannya. Al-Syathibiy dalam kitabnya Al-Muwāfaqat menulis sebuah kajian yang menarik tentang persoalan lain “satu surat walaupun
memiliki, hukum, dan makna yang berbeda, sesungguhnya memiliki tujuan yang seragam”.
Metode penafsiran per-surat dan menjadi satu kesatuan yang utuh.[6]
Kedua, metode penafsiran yang berusaha menghimpun
ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang permasalahan yang
sama. Permasalahan-permasalahan tersebut diletakkan dalam satu judul (tema
besar), lalu ditafsirkan dengan metode maudhū’iy. Pada umumnya metode
tafsir maudhū’iy seperti inilah
yang lebih dikenal oleh masyarakat.[7]
Setelah Tafsīr al-Thabāriy, dapat
dikatakan bahwa kitab-kitab tafsir sesudahnya memiliki corak tertentu yang
dirasakan bahwa penulisnya memaksakan sesuatu terhadap al-Qur’an.[8] Kalau hal tersebut bukan suatu paham akidah, fiqih, atau tasawuf,
maka paling tidak salah satu aliran kaidah bahasa. Hal ini dapat dilihat dengan
jelas pada Tafsīr al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyariy (467-538 H), Anwār Al-Tanzīl
karya Al-Baidhawiy (w. 791 H), Rūh al-Ma’āniy
karya Al-Alusiy (w. 1270 H), Al-Baḥr al-Muḥīth karya Abu Hayyan (w. 745
H), dan sebagainya. Cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan
petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang tadinya dipahami secara mudah,
menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan
kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun
gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal.[9]
Metode yang selama ini digunakan para mufassir sejak masa kodifikasi tafsir, yang oleh
sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra’ (w. 207 H), sampai tahun 1960
adalah menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan susunannya
dalam musḥaf. Bentuk demikian menjadikan
petunjuk-petunjuk al-Qur’an terpisah-pisah dan tidak disodorkan
kepada pembacanya secara menyeluruh. Fakhruddin al-Raziy (w. 606 H./1210 M)
misalnya, walaupun menyadari betapa pentingnya korelasi antara ayat, dan dia
mengajak para mufassir untuk mencurahkan perhatian kepada hal itu, namun dia sendiri
dalam kedua kitab tafsirnya tidak menyinggung banyak tentangnya. Karena
perhatiannya tercurah kepada pembahasan-pembahasan filsafat (theology) dan ilmu
falak.[10]
Pembahasan masalah seperti ini mencapai puncaknya dibawah
usaha Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’iy (809-885 H). Tetapi korelasi di sini ternyata menyangkut
sistematika penyusunan ayat dan surat al-Qur’an sesuai dengan urutan-urutannya dalam musḥaf bukan dari segi korelasi ayat-ayatnya
yang membahas masalah-masalah yang sama dan terkadang bagian-bagiannya
terpencar dalam sekian surat. Di lain segi, maksud pembahasan al-Biqa’iy ini adalah untuk
menjelaskan kemukjizatan al-Qur’an dari segi sistematika penyusunan
ayat-ayat dan surat-suratnya, serta sebab pemilihan sesuai redaksi terhadap
redaksi lainnya,[11] bukan untuk menggambarkan segi-segi petunjuk al-Qur’an yang dapat dipetik dan dimanfaatkan
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Syathibiy menjelaskan bahwa satu
surat walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut
berkaitan antara satu dengan lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya
mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir
surat, atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud
ayat-ayat yang diturunkan itu.[12]
Tidak
dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan,
kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu
kosakata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti
tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh
pembicaraan dari awal hingga akhir.[13]
Metode baru yang banyak digandrungi penafsir
kontemporer adalah metode tafsir tematik. Metode analitik yang menjadi mainstreem
tafsir klasik tidak mendapat perhatian seberuntung tafsir tematik di era
kontemporer. Sesungguhnya tasir tematik, bukanlah hal baru. Ulama-ulama
terdahulu telah melakukan penafsiran tematik. Sementara kajian tafsir tematik
kontemporer mencoba mengkaitkan kata atau tema yang sama dalam satu surat atau
beberapa surat dan memahaminya sebagai satu kesatuan yang koheren.
Tafsir tematik baru mendapatkan teorisasi metodologisnya setelah diperkenalkannya
konsep “kesatuan tema dalam al-Qur’an” oleh Muhammad
Mahmud Hijaziy.[14]
Taraf hidup dan kemampuan daya pikir manusia semakin meningkat dan hal tersebut sangat
berpengaruh terhadap peningkatan keilmuan, dalam hal ini ilmu tafsir[15]
yang pada akhirnya melahirkan metode-metode penafsiran yang beragam. Dari sini pula para ahli ke-Islaman
mengarahkan pandangan mereka kepada problem-problem baru dan berusaha untuk
memberikan jawaban-jawabannya melalui petunjuk-petunjuk al-Qur’an.
Tafsir tematik sebagai salah satu solusi menjadi metode
penafsiran yang digemari saat ini berkembang begitu pesat. Bila dicermati
kembali kecenderungan kepada tafsir tematik ini telah ada semenjak awal
lahirmya tafsir itu sendiri. Lebih jelasnya benih dan bibit pertama kajian tafsir maudhū’iy sebenarnya sudah ada dan tumbuh di lahan yang suci yang ditanam
oleh Rasulullah Saw. sendiri. Abd. Al-Hayy Al-Farmawiy menyebutkan bahwasannva
semua penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an disamping sebagai tafsīr bi al-Ma’tsūr, juga merupakan tafsir maudhū’iy. Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an ini merupakan tonggak awal bagi munculnya tafsir maudhū’iy.[16]
Syeikh Syaltut menambahkan seperti dikutif al-Farmawiy bahwa metode tafsir maudhū’iy ini dibandingkan
dengan metode lain merupakan metode tafsir yang paling ideal dan sangat
perlu untuk diperkenalkan kepada khalayak umum dengan maksud untuk membimbing
mereka mengenal berbagai macam petunjuk yang dikandung oleh al-Qur’an. Selain itu juga untuk menegaskan kepada mereka
bahwa masalah-masalah yang dikandung oleh al-Qur’an tidak hanya bersifat teoritis semata tanpa memilik hubungan yang riil dengan apa yang
dialami oleh manusia dalam segala aspek kehidupan mereka.[17]
[2]
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum PP. Krapvak, 1998). Bandingkan dengan Salman Harun (ed), Pengembangan
dan Pengajaran Tafsir di Perguruan Tinggi Agama,
(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1992), h. 30-31.
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 653.
[4] A. S. Hornby, Oxford
Advanced Learn's Dictionary of Current English, (New York: L. Oxford University Press, 2000), h. 803.
[6]
Al-Farmawiy, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Penerapannya, (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), h. 42.
[8]
Mahmud Syaltuth, dalam Pengantar
Muhammad al-Bahiy, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, (Mesir: Dār al-Qalam, t.th), h. 7.
[9]
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an:
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996), cet. ke-13, h. 112.
[12]
Abu Bakar Ishaq al-Syatibiy, Al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Syarī’ah,
Tahqīq: Abdullah Dirraz, ( Kairo: Haiah
al-Misriah al-A’mmah, 2006), vol.3, h. 350-351.
[14]
Abdurrahman al-Hajj Ibrahim, Al-Manāhij
al-Mu’āṣirah fī Tafsīr al-Qur’ān
al-Karīm wa Ta’Wīlih, (tt: Risālat al-Masjīd, 2002), h. 6.
[15]
Ahmad al-Syirbasyi, Sejarah
Tafsir al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), cet. ke-3, h. 115).
No comments:
Post a Comment