Monday, March 4, 2019

Muhammad al-Ghazali


A.      Biografi Muhammad al-Ghazali
1.         Latar Belakang Kehidupan dan Intelektual Muhammad Al-Ghazali
a.         Riwayat Hidup
Nama lengkapnya Syaikh Muhammad al-Ghazali al-Siqa’, nama tersebut di berikan oleh ayahnya karena meneladani Imam Abu Hamid al-Ghazali. Lahir pada hari sabtu tanggal 5 Dzul Hijjah 1335 H./22 September 1917 M, di Nakla al-Inab, di sebuah desa di propinsi Buhairah Mesir. Ia tumbuh dalam keluarga miskin dan agamis, tepatnya di perkampungan Itay al-Barud.[1]
Dari daerah tempat kelahirannya inilah lahir tokoh-tohoh terkemuka, di antaranya adalah Mujahid dan penyair Mahmud Sami al-Barudiy, Syaikh Salim al-Bisyriy, Syaikh Ibrahim Hanirusyi, Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Mahmud Syalthut, Syaikh Hasan al-Banna, Muhammad al-Bahiy, Syaikh Muhammad al-Midaniy, Syaikh Abdullah al-Mursyid. Muhammad al-Ghazali adalah saudara tertua dari tujuh saudaranya yang lain. Muhammad al-Ghazali tumbuh dan berkembang bersama keluarganya yang menggantungkan cita-cita dan harapan kepadanya.[2]
b.        Kehidupan Intelektual
Pada usia 10 tahun Muhammad al-Ghazali telah menyelesaikan hafalan al-Qur’an 30 juz. Perjalanan pendidikannya dimulai di Ma’had al-Dīni al-Azhār. Di madrasah ini Muhammad al-Ghazali menempuh pendidikan dasar hingga sekolah menengah. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas pada tahun 1937, Muhammad al-Ghazali melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo. Di antara guru Muhammad al-Ghazali di Al-Azhar adalah Syaikh al-‘Adzim al-Zarqaniy dan Syaikh Mahmud Syalthut serta dalam banyak kegiatan bertemu dengan Hasan al-Banna, pendiri gerakan Islam al-Ikhwān al-Muslīmin.[3] Muhammad al-Ghazali mengalami banyak peristiwa dan perubahan penting dalam perjalanan pemikiran serta aktifitas jihadnya setelah pertemuan itu.[4]
Muhammad al-Ghazali menikah ketika dia masih menjadi mahasiswa di Fakutas Ushuluddin. Setelah melalui perjalanan panjang akhirnya Muhammad al-Ghazali meraih gelar sarjana dan mendapatkan Syahādah ‘Alimiyah (doktoral) pada tahun 1941. Pada tahun 1942 Muhammad al-Ghazali mulai aktif di wizārah al-auqūf (Kementerian Agama), disini Muhammad al-Ghazali sering menjadi imam dan khatib masjid al-‘Atbah al-Hadra’ di jantung kota Kairo. Pada tahun berikutnya (1943) Muhammad al-Ghazali berhasil meraih ijazah Dakwah dari Fakultas Ushuluddin Al-Azhar. Kemudian jabatannya meningkat di bagian Da’wah wa al-Wa’dz wa al-Irsyād di kementrian wakaf. Dengan jabatan tersebut dia dapat mengontrol, dan menjadi penasehat di Al-Azhār al-Syarīf sekaligus menjadi direktur Al-Da’wah wa al-Irsyād, sekaligus menjadi trainer.[5]
Muhammad al-Ghazali banyak membimbing mahasiswa-mahasiswanya dengan selalu menjaga keseimbangan (al-Mizān), yang dimaksud adalah keseimbangan dalam menggunakan akal dan sumber agama. Dalam memandang dunia dan agama Muhammad al-Ghazali adalah orang yang moderat, berpendirian di tengah-tengah, menyeimbangkan antara dunia dan agama, antara wahyu dan akal. Muhammad al-Ghazali juga sering menghimbau para pembaharu Islam “mengapa kalian tidak menuntut kemajuan sambil menjadi muslim”. Menjadi muslim tidak membuat manusia berpikir luas dan kritis, tapi justeru dengan Islam dapat menjadikan dunia surga bagi kehidupan dan kebudayaan manusia.[6]
Al-Qur’an dan hadis sebagai dasar bagi ide-ide Muhammad al-Ghazali yang penuh dengan obyektifitas dan kajian ilmiah, piawai dan profesional. Kehati-hatian dan sikap tidak memudahkan dalam mengadopsi pendapat para ulama pendahulunya merupakan salah satu bukti pendirian Muhammad al-Ghazali dalam menunjukkan pemikiran Islam yang maju dan terbuka terhadap ilmu-ilmu modern dalam mendekati kajian-kajian keagamaan.[7]
Dalam perjalanan karirnya Muhammad al-Ghazali banyak aktif di bidang dakwah, selain juga menggeluti dunia pendidikan dan kebudayaan.

c.         Kehidupan Dakwah
Pada awal kemunculannya, Muhammad al-Ghazali banyak berkecimpung di dunia dakwah, menjadi seorang da’i. Islam adalah darah dagingnya, kesibukannya di siang hari, mimpinya di malam hari, dan pusat perhatian hidupnya. Masa lalu dan masa kini Islam serta masa depan adalah tema yang selalu dipikirkannya. Muhammad al-Ghazali berjuang demi Islam dan selalu mengajak kepada Islam serta mengambil inspirasi dari Islam. Akal dan hati, lidah dan pena, kerja keras dan jihad, semuanya dipersembahkan oleh Muhammad al-Ghazali kepada dakwah Islam. [8]
Muhammad al-Ghazali hidup dan berjuang demi dakwah, siap berperang demi dakwah. Tetapi dari dakwah, Muhammad al-Ghazali terkadang mendapatkan cinta, tidak jarang merasakan amarah. Hidup dan mati Muhammad al-Ghazali dipertaruhkan demi dakwah, karena keikhlasan dalam berbuat, Allah memudahkan baginya menjalankan ajaran Islam.[9]
Muhammad al-Gahazali mendapatkan pelajaran tentang adab dan pemikiran dari Syaikh Hasan al-Banna. Muhammad al-Ghazali banyak menulis di majalah organisasi Ikhwān al-Muslimīn yang kemudian menjadi bagian dari buku-bukunya. Oleh karena itu, dia dijuluki sebagai adīb ad-da’wah (sastrawan dakwah).[10]
Pada tahun 1974 Muhammad al-Ghazali bersama Abu Zahrah menentang kebijakan perubahan-perubahan yang ada pada undang-undang aḥwāl al-syakhshiyyah (undang-undang kekeluargaan). Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa sesungguhnya masalah di Mesir tergantung pada pihak laki-laki yang tidak mampu memberikan beban/nafkah rumah tangganya, bukan pada permasalahan jumlah istri. Oleh karena itu pihak pemerintah berusaha membendung pemikiran-pemikirannya dan melarangnya berkhutbah di masjid Amr bin Ash. Di samping itu, legalitas Muhammad al-Ghazali bekerja di dewan dakwah dicabut oleh pemerintah. Tidak cukup sampai disitu pemerintah mencabut jabatan direktur umum Al-Da’wah. Setelah semua jabatan yang disandangnya dicabut oleh pemerintah, dia kemudian meneruskan perjuangannya lewat menulis buku-buku di kawasan Sandrah dekat mesjid Shalah ad-Din Kairo.[11]
Terkenalnya Syaikh Muhammad al-Ghazali di kalangan dunia Arab dan Islam terhitung sangat dini pada tahun 1952-1953 M. Muhammad al-Ghazali berkiprah menjadi pimpinan Al-Takiyyah al-Mashriyyah di Mekkah al-Mukarramah. Pada tahun-tahun berikutnya sekitar 1968 hingga 1973 di bulan Ramadhan, Muhammad al-Ghazali telah pergi ke negara-negara Islam semisal Kuwait, Qatar, Sudan, dan Maroko. Di Aljazair dia aktif dalam seminar-seminar pemikiran Islam yang bersifat tahunan semenjak tahun 1980. Di negara Qatar, antara tahun 1982 hingga 1985 Muhammad al-Ghazali juga menjadi dosen tamu.[12]
Muhammad al-Ghazali mulai memiliki kebebasan pemikiran dan pembaharuan semenjak awal tahun 1950-an. Tepatnya ketika dia mengundurkan diri dari gerakan Ikhwān al- Muslimīn, karena perselisihan pendapatnya dengan penasehat umum gerakan tersebut yang saat itu dipegang oleh Ustadz Hasan Hudhaibiy. Setelah pengundurannya tersebut, Muhammad al-Ghazali banyak mencurahkan waktunya untuk berdakwah dan mengarang buku-buku. Muhammad al-Ghazali terus melestarikan kebebasan pemikirannya. Kebebasan pemikiran terus di gelutinya hingga ia bergabung kembali bersama gerakan Ikhwān al-Muslimīn di tahun-tahun terakhir menjelang wafatnya.[13]

d.        Karya-Karya Ilmiah
Dalam rangka memperbaharui inti ajaran-ajaran Islam, Muhammad al-Ghazali telah menulis puluhan buku dan kitab. Selain kitab tafsir Naḥwa Tafsīr Maudhū’iy li Suwar al-Qur’ān al-Karīm yang menjadi fokus penelitian ini masih banyak karya-karya ilmiah yang dihasilkan oleh Muhammad al-Ghazali, di antara karya-karya tersebut antara lain:
1.        Al-Islām wa al-Awda’ al-lqtishādiyah (Islam dan kondisi ekonomi) diterbitkan oleh Dār al-Kutub al-Hadītsah, tahun 1947. Dalam buku ini, Muhammad al-Ghazali menyoroti perekonomian umat Islam dan mengkritik para penguasa yang hidup dalam gelimangan harta, sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan.
2.        Al-Islām wa al-Istibdād al-Siyāsi (Islam dan kediktatoran politik), diterbitkan Dār al-Kutub al- Hadītsah Kairo tahun 1949.
3.                  Al-Islām wa al-Muftara’ ‘alaihi Bayna al-Syuyū’iyin wa al-Ra’sumāliyin (Islam yang disalahpahami: antara kaum komunis dan kapitalis), diterbitkan oleh Mansyurah Dār al-Bayan, Kuwait. Dalam buku ini Muhammad al-Ghazali mengungkap tentang kapitalisme dan komunisme, dan menyatakan bagaimana sikap umat Islam terhadap keduanya. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Islam Di antara Komunisme dan Kapitalisme oleh Khudhari Thaib, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985).
4.        Min Hudā Na’lam (dari sini kita memahami), sebuah buku yang ditulis sebagai bantahan terhadap buku The Former Khalid Muhammad Khalid, Min Huna Nabda’, tentang sekularisme.
5.                  Khulūq al-Muslīm (akhlak-akhlak muslim), diterbitkan oleh Dār al-Kitāb al-‘Arabi tahun 1954 di Kairo.
6.        Al-Ta’āshub wa al-Tasāmuh bayna al-Masihiyyah wa al-Islām (fanatisme dan toleransi: antara kristen dan Islam), diterbitkan oleh Dār al-Bayān di Kuwait.
7.        Fiqh al-Sirah (metode membaca sejarah Nabi Saw.) diterbitkan oleh Dār al-Kitāb al-Arabi di Kairo. Dalam buku ini Muhammad Al-Ghazali mengisahkan berbagai peristiwa mengenai kehidupan Rasulullah Saw. Dalam mengisahkan kehidupan Rasulullah Saw., Muhammad al-Ghazali menempuh cara langsung maupun tak langsunng menunjuk pada keadaan sekarang. Buku ini telah dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abu Laila dan Muh. Thahir dengan judul Fiqh al-Sirah (menghayati nilai-nilai hidup Muhammad Rasul Allah Saw.) (Bandung: PT. Ma’arif, t.th.).
8.        Jaddid Hayātak (perbahruilah hidupmu), diterbitkan oleh Dār al-Kitab al-Ḥadītsah di Kairo.
9.        Kaifa Nafhamu al-Islām (bagaimana memahami Islam), diterbitkan Dār al-Kitāb al-‘Arabi Kairo tahun 1954.
10.    Hadzā Dīnuna (inilah agama kita) diterbitkan oleh Dār al-Kitāb al-‘Arabi Kairo tahun 1965.
11.    Al-Islām fī Wajḥ al-Zāf al-Ahmar (Islam menantang komunisme), diterbitkan oleh Matabah al-Amtsāl di Kuwait tahun 1996.
12.    Humūm Da’iyah (obsesi seorang da’i), diterbitkan oleh Dār al-Sabit Kairo tahun 1949. Dalam buku ini, Muhammad al-Ghazali menulis tentang berbagai pengalamannya aktif dalam bidang dakwah di berbagai negara Islam. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Jamaluddin dengan judul “Keperihatinan Seorang Juru Dakwah” (Bandung: Mizan, 1991).
13.    Mī’ah Sū’āl fī al-Islām (seratus pertanyaan tentang islam), diterbitkan oleh Dār as-Sabit Kairo tahun 1983. Dalam buku ini, Muhammad al-Ghazali menuliskan pengalaman yang ditemuinya selama aktif di bidang dakwah, telah dialih bahasakan kedalam bahasa Indonesia oleh Muh. Thahir dan Abu Laila dengan judul “Muhammad al-Ghazali 40 soal tentang Islam Abad 20” (Bandung: Mizan, 1993).
14.    Al-Sunnah Nabawiyah bayna Ahli al-Fiqh wa Ahli al-Hadīts (sunnah Nabi antara ahli fiqh dan ahli hadis), diterbitkan oleh Dār al-Syuruq Kairo tahun 1989. Dalam buku ini, Muhammad al-Ghazali mempersoalkan hadis-hadis yang selama ini dianggap sebagai hadis shahīh tetapi menurutnya tidak shahīh karena bertentangan dengan al-Qur’an. Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis Atas hadis Nabi SAW: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1991).
15.    Kayfa Nata’ammal Ma’a al-Qur’ān (metode berdialog dengan al-Qur’an), diterbutkan oleh Al-Ma’had al-Islāmiy li al-Fikr al-Islamiy tahun 1991. Buku ini membahas pengamalan ajaran al-Qur’an dengan tepat, syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi untuk meluruskan kesalahan interpretasi terhadap al-Qur’an yang telah berlangsung lama. Buku ini menjadi upaya membumikan al-Qur’an dan meletakkannya pada perspektif yang benar, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[14]
Masih banyak karya ilmiah Muhammad al-Ghazali yang belum penulis sebutkan, baik yang diterbitkan atau yang tidak diterbitkan, seperti Aqīdah al-Muslīm, Wa Kaifa Nufhim al-Islām, Al-Janib al-‘Athifi min al-Islām, Sirru Ta’akhkhur al-Arab, dan buku-buku lainnya.
Berbagai lembaga pemikiran dan keilmuan seperti Majma’ al-Buhūts al-Islāmiyyah milik Al-Azhar, Majma’ al-Maliki li Buhūts al-Hadharah al-Islāmiyyah di Yordania, Al-Ma’ḥad al-‘Ālīm li al-Fikr al-Islāmiy di Washington dan Al-Hai’ah al-Khairiyyah al-Islāmiyyah al-‘Alamiyyah Kuwait dan lain-lainnya, merekrut Muhammad al-Ghazali menjadi anggota kehormatan.[15]
Di antara penghargaan dan cindera mata yang telah diraih Muhammad al-Ghazali adalah:
1.        Wasam al-Asir (1988), jenis penghargaan ini adalah penghargaan yang tertinggi.
2.        Penghargaan tingkat internasional dari Raja Faishal atas pengabdiannya terhadap agama Islam (1989).
3.        Penghargaan istimewa Jaīzah al-Imtiyāz dari Pakistan (1991).
4.        Penghargaan tingkat nasional, dari Mesir (1991).
5.        Penghargaan Ali dan Utsman Hafidz, sebagai tokoh pemikiran (1991).[16]
Kemudian Muhammad al-Ghazali kembali lagi ke Mesir dan bermukim disana untuk selama-lamanya di Maidan Doktor Sulaiman, Dokki-Kairo, tahun 1988. Muhammad al-Ghazali pergi keluar negeri hanya untuk mengisi seminar-seminar keilmuan dan pemikiran. Terakhir kalinya sebelum meninggal, Muhammad al-Ghazali pergi ke Amerika Serikat untuk berceramah bertepatan dengan hari ulang tahun Amerika Serikat sebagai utusan dari Al-Azhar al-Syarif, tahun 1996. Muhammad al-Ghazali juga berdialog dengan umat Islam Amerika selama tiga minggu.[17]
Setelah kembali dari Amerika, Muhammad al-Ghazali kembali ke Saudi Arabia atas undangan Pangeran Kebudayaan Nasional Al-Janadariyah. Disana Muhammad al-Ghazali meninggal dunia di salah satu ruangan istana kerajaan raja Faishal, dalam keadaan memegang pena. Ketika itu Muhammad al-Ghazali sedang menulis buku tentang Al-Difa’ ‘an al-Islām, pada petang hari Jum’at, 17 Syawwal 1416 H. bertepatan 9 Maret 1996 M. Jasad Muhammad al-Ghazali dimakamkan di Baqi’, Madinah al-Munawwarah.[18] Semoga Allah memberikan rahmat dan keselamatan kepadanya.


[1] Muhammad Al-Ghazali, Berdialog Dengan al-Quran, Memahami Pesan Kitab Suci Dalam Keidupan Masa Kini, terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah (Bandung: Mizan, 1997), h. 5.
[2] Ibid.
[3] Al-lkhwan al-Muslimin adalah persaudaraan kaum muslimin yang merupakan nama sebuah organisasi yang bertujuan “malaksanakan perintah agama yang hakiki, menjelaskan pesan al-Qur’an dan keyakinan Islam yang benar”. Tonggak pendiri gerakan ini adalah Syeikh Hasan al-Banna (1906-1949). Organisasi ini sendiri didirikan pada Maret 1928 di Isma’iliyyah, mesir.
[4] Aunur Rofiq Ma’ruf, “Muhammad al-Ghazali dan Gerakan Reformasi Pasca Muhammad Abduh: Dari Pembaharuan Fiqih Hingga Feminisme”, dalam Islam Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), h. 169.
[5] Ibid.
[6] Muhammad Al-Ghazali, Op.cit., h. 2-3.
[7] Muhammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis Tranformasi Modernisasi, terj. Muh. Munawir az-Zahidi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. v.
[8] Aunur Rofiq Ma’ruf, Op.cit., h. 169.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Anis Talib, Syaikh Muhammad al-Ghazali Berdialog dengan Al-Qur’an, terj. Masykur Hakim & Ubaidillah, (Bandung:  Mizan, 1999). h. 5.
[13] Aunur Rofiq Ma’ruf, Op.cit., h. 169.
[14] Bustamin dkk, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 100-101.
[15] Anis Talib, Op.cit., h. 12.
[16] Ibid., h. 9.
[17] Muhammad Imarah, Gejolak Pemikiran Syaikh Muhammad al-Ghazali , 2013, h. 7, e-Book dari http://www.Kaunee.com.
[18] Anis Talib, Op.cit., h. 12.

No comments:

Post a Comment