A.
Biografi Muhammad
al-Ghazali
1.
Latar
Belakang Kehidupan dan Intelektual Muhammad Al-Ghazali
a.
Riwayat
Hidup
Nama lengkapnya Syaikh Muhammad
al-Ghazali al-Siqa’, nama tersebut di berikan oleh ayahnya karena meneladani Imam
Abu Hamid al-Ghazali. Lahir pada hari sabtu tanggal 5 Dzul Hijjah 1335 H./22
September 1917 M, di Nakla
al-Inab, di sebuah desa di
propinsi Buhairah Mesir. Ia tumbuh dalam keluarga miskin dan agamis, tepatnya
di perkampungan Itay al-Barud.[1]
Dari daerah tempat kelahirannya
inilah lahir tokoh-tohoh terkemuka, di antaranya adalah Mujahid dan penyair
Mahmud Sami al-Barudiy,
Syaikh Salim al-Bisyriy,
Syaikh Ibrahim Hanirusyi,
Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Mahmud
Syalthut, Syaikh Hasan al-Banna, Muhammad al-Bahiy, Syaikh Muhammad al-Midaniy, Syaikh Abdullah
al-Mursyid. Muhammad al-Ghazali adalah saudara tertua dari tujuh saudaranya
yang lain. Muhammad al-Ghazali tumbuh dan berkembang bersama keluarganya yang menggantungkan
cita-cita dan harapan kepadanya.[2]
b.
Kehidupan
Intelektual
Pada usia 10 tahun Muhammad
al-Ghazali telah menyelesaikan hafalan al-Qur’an
30 juz. Perjalanan pendidikannya dimulai di Ma’had al-Dīni al-Azhār. Di madrasah ini Muhammad al-Ghazali
menempuh pendidikan dasar hingga sekolah menengah. Setelah menyelesaikan
pendidikan menengah atas pada tahun 1937, Muhammad al-Ghazali melanjutkan
pendidikannya di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo. Di antara guru
Muhammad al-Ghazali di
Al-Azhar adalah Syaikh al-‘Adzim al-Zarqaniy dan Syaikh Mahmud Syalthut serta dalam banyak
kegiatan bertemu dengan Hasan al-Banna,
pendiri gerakan Islam al-Ikhwān al-Muslīmin.[3] Muhammad
al-Ghazali mengalami banyak peristiwa dan perubahan penting dalam perjalanan
pemikiran serta aktifitas jihadnya setelah pertemuan itu.[4]
Muhammad al-Ghazali menikah ketika
dia masih menjadi mahasiswa di Fakutas Ushuluddin. Setelah melalui perjalanan
panjang akhirnya Muhammad al-Ghazali meraih gelar sarjana dan mendapatkan Syahādah ‘Alimiyah (doktoral) pada tahun 1941. Pada
tahun 1942 Muhammad al-Ghazali mulai aktif di wizārah al-auqūf
(Kementerian Agama), disini Muhammad al-Ghazali sering menjadi imam dan khatib
masjid al-‘Atbah al-Hadra’ di
jantung kota Kairo. Pada tahun berikutnya (1943) Muhammad al-Ghazali berhasil
meraih ijazah Dakwah dari Fakultas Ushuluddin Al-Azhar. Kemudian jabatannya
meningkat di bagian Da’wah wa al-Wa’dz wa al-Irsyād di kementrian wakaf.
Dengan jabatan tersebut dia dapat mengontrol, dan menjadi penasehat di Al-Azhār
al-Syarīf
sekaligus menjadi direktur Al-Da’wah
wa al-Irsyād, sekaligus menjadi trainer.[5]
Muhammad al-Ghazali
banyak membimbing mahasiswa-mahasiswanya dengan selalu menjaga keseimbangan (al-Mizān), yang dimaksud
adalah keseimbangan dalam menggunakan akal dan
sumber agama. Dalam memandang dunia dan
agama Muhammad al-Ghazali adalah orang yang moderat, berpendirian di tengah-tengah,
menyeimbangkan antara dunia dan agama, antara wahyu dan akal. Muhammad
al-Ghazali juga sering menghimbau para pembaharu Islam “mengapa kalian tidak
menuntut kemajuan sambil menjadi muslim”. Menjadi muslim tidak membuat
manusia berpikir luas dan kritis, tapi justeru dengan Islam dapat menjadikan
dunia surga bagi kehidupan dan kebudayaan manusia.[6]
Al-Qur’an dan hadis sebagai dasar
bagi ide-ide Muhammad al-Ghazali yang penuh dengan obyektifitas dan kajian
ilmiah, piawai dan profesional. Kehati-hatian dan sikap tidak memudahkan dalam mengadopsi
pendapat para ulama pendahulunya merupakan salah satu bukti pendirian Muhammad al-Ghazali dalam
menunjukkan pemikiran Islam yang maju dan terbuka terhadap ilmu-ilmu modern
dalam mendekati kajian-kajian keagamaan.[7]
Dalam perjalanan karirnya Muhammad
al-Ghazali banyak aktif di bidang dakwah, selain juga menggeluti dunia
pendidikan dan kebudayaan.
c.
Kehidupan Dakwah
Pada awal kemunculannya, Muhammad
al-Ghazali banyak berkecimpung di dunia dakwah, menjadi seorang da’i. Islam
adalah darah dagingnya, kesibukannya di siang hari, mimpinya di malam hari, dan
pusat perhatian hidupnya. Masa lalu dan masa kini Islam serta masa depan adalah
tema yang selalu dipikirkannya. Muhammad
al-Ghazali berjuang demi Islam dan selalu mengajak
kepada Islam serta mengambil
inspirasi dari Islam.
Akal dan hati, lidah dan pena,
kerja keras dan jihad, semuanya dipersembahkan
oleh Muhammad al-Ghazali kepada dakwah Islam.
[8]
Muhammad al-Ghazali hidup dan berjuang demi dakwah,
siap berperang demi dakwah. Tetapi dari dakwah, Muhammad al-Ghazali terkadang
mendapatkan cinta, tidak jarang merasakan amarah. Hidup dan mati Muhammad
al-Ghazali dipertaruhkan demi dakwah, karena keikhlasan dalam berbuat, Allah
memudahkan baginya menjalankan ajaran Islam.[9]
Muhammad
al-Gahazali mendapatkan pelajaran tentang adab dan
pemikiran dari Syaikh Hasan al-Banna. Muhammad
al-Ghazali banyak menulis di majalah organisasi Ikhwān al-Muslimīn
yang kemudian menjadi bagian dari buku-bukunya. Oleh karena itu, dia dijuluki
sebagai adīb ad-da’wah (sastrawan dakwah).[10]
Pada tahun 1974 Muhammad al-Ghazali
bersama Abu Zahrah menentang kebijakan perubahan-perubahan yang ada pada undang-undang aḥwāl al-syakhshiyyah
(undang-undang kekeluargaan). Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa
sesungguhnya masalah di Mesir
tergantung pada pihak laki-laki yang tidak mampu memberikan beban/nafkah rumah
tangganya, bukan pada permasalahan jumlah istri. Oleh karena itu pihak
pemerintah berusaha membendung pemikiran-pemikirannya dan melarangnya
berkhutbah di masjid Amr bin Ash. Di samping itu, legalitas Muhammad al-Ghazali
bekerja di dewan dakwah dicabut oleh pemerintah. Tidak cukup sampai disitu
pemerintah mencabut jabatan direktur umum Al-Da’wah.
Setelah semua jabatan yang disandangnya dicabut oleh pemerintah, dia kemudian
meneruskan perjuangannya lewat menulis buku-buku di kawasan Sandrah dekat mesjid Shalah ad-Din
Kairo.[11]
Terkenalnya Syaikh Muhammad al-Ghazali
di kalangan dunia Arab dan Islam terhitung sangat dini pada tahun 1952-1953 M. Muhammad
al-Ghazali berkiprah menjadi pimpinan Al-Takiyyah al-Mashriyyah
di Mekkah al-Mukarramah. Pada tahun-tahun berikutnya sekitar 1968 hingga 1973 di bulan Ramadhan, Muhammad
al-Ghazali telah pergi ke negara-negara Islam semisal Kuwait, Qatar, Sudan, dan
Maroko. Di Aljazair dia aktif dalam seminar-seminar pemikiran Islam yang
bersifat tahunan semenjak tahun 1980. Di negara Qatar, antara tahun 1982 hingga
1985 Muhammad al-Ghazali juga menjadi dosen tamu.[12]
Muhammad al-Ghazali mulai memiliki
kebebasan pemikiran dan pembaharuan semenjak awal tahun 1950-an. Tepatnya
ketika dia mengundurkan diri dari gerakan Ikhwān al- Muslimīn, karena
perselisihan pendapatnya dengan penasehat umum gerakan tersebut yang saat itu dipegang
oleh Ustadz Hasan Hudhaibiy.
Setelah pengundurannya tersebut, Muhammad al-Ghazali banyak mencurahkan
waktunya untuk berdakwah dan mengarang buku-buku. Muhammad al-Ghazali terus melestarikan
kebebasan pemikirannya. Kebebasan pemikiran terus di gelutinya hingga ia
bergabung kembali bersama gerakan Ikhwān al-Muslimīn di tahun-tahun
terakhir menjelang wafatnya.[13]
d.
Karya-Karya
Ilmiah
Dalam rangka memperbaharui inti
ajaran-ajaran Islam, Muhammad al-Ghazali telah menulis puluhan buku dan kitab. Selain kitab tafsir Naḥwa Tafsīr Maudhū’iy
li Suwar al-Qur’ān al-Karīm yang menjadi fokus penelitian ini masih banyak
karya-karya ilmiah yang dihasilkan oleh Muhammad al-Ghazali, di antara
karya-karya tersebut antara lain:
1.
Al-Islām wa al-Awda’ al-lqtishādiyah (Islam dan kondisi ekonomi) diterbitkan oleh Dār
al-Kutub al-Hadītsah, tahun 1947. Dalam buku ini,
Muhammad al-Ghazali menyoroti perekonomian umat Islam dan mengkritik para
penguasa yang hidup dalam gelimangan harta, sementara rakyatnya hidup dalam
kemiskinan.
2.
Al-Islām
wa al-Istibdād al-Siyāsi (Islam dan kediktatoran
politik), diterbitkan Dār
al-Kutub al- Hadītsah
Kairo tahun 1949.
3.
Al-Islām
wa al-Muftara’ ‘alaihi Bayna al-Syuyū’iyin wa al-Ra’sumāliyin (Islam
yang disalahpahami: antara kaum komunis dan kapitalis), diterbitkan oleh Mansyurah
Dār al-Bayan, Kuwait. Dalam buku
ini Muhammad al-Ghazali mengungkap tentang kapitalisme dan komunisme, dan
menyatakan bagaimana sikap umat Islam terhadap keduanya. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul “Islam Di antara Komunisme dan Kapitalisme” oleh Khudhari
Thaib, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985).
4.
Min Hudā Na’lam
(dari sini kita memahami), sebuah buku yang ditulis sebagai
bantahan terhadap buku The Former Khalid Muhammad Khalid, Min Huna Nabda’, tentang sekularisme.
5.
Khulūq
al-Muslīm (akhlak-akhlak muslim), diterbitkan oleh Dār
al-Kitāb al-‘Arabi tahun 1954 di Kairo.
6.
Al-Ta’āshub
wa al-Tasāmuh bayna
al-Masihiyyah wa al-Islām (fanatisme dan toleransi: antara kristen dan Islam), diterbitkan
oleh Dār al-Bayān di Kuwait.
7.
Fiqh
al-Sirah (metode
membaca sejarah Nabi Saw.)
diterbitkan oleh Dār
al-Kitāb al-Arabi di Kairo.
Dalam buku ini Muhammad Al-Ghazali mengisahkan berbagai peristiwa mengenai
kehidupan Rasulullah Saw. Dalam mengisahkan kehidupan Rasulullah Saw., Muhammad
al-Ghazali menempuh cara langsung maupun tak langsunng menunjuk pada keadaan
sekarang. Buku ini telah dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abu
Laila dan Muh. Thahir dengan judul Fiqh al-Sirah (menghayati nilai-nilai
hidup Muhammad Rasul Allah Saw.) (Bandung: PT. Ma’arif, t.th.).
8.
Jaddid
Hayātak (perbahruilah hidupmu), diterbitkan oleh Dār
al-Kitab al-Ḥadītsah di Kairo.
9.
Kaifa
Nafhamu al-Islām (bagaimana memahami Islam), diterbitkan Dār al-Kitāb
al-‘Arabi Kairo tahun
1954.
10.
Hadzā
Dīnuna (inilah agama kita) diterbitkan oleh Dār
al-Kitāb al-‘Arabi Kairo tahun 1965.
11.
Al-Islām
fī Wajḥ al-Zāf al-Ahmar (Islam menantang
komunisme), diterbitkan oleh Matabah
al-Amtsāl di Kuwait tahun 1996.
12.
Humūm
Da’iyah (obsesi seorang da’i), diterbitkan oleh Dār
al-Sabit Kairo tahun 1949. Dalam buku ini,
Muhammad al-Ghazali menulis tentang berbagai pengalamannya aktif dalam bidang
dakwah di berbagai negara Islam. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Jamaluddin dengan judul “Keperihatinan Seorang Juru Dakwah”
(Bandung: Mizan, 1991).
13.
Mī’ah
Sū’āl fī al-Islām (seratus pertanyaan
tentang islam), diterbitkan oleh Dār
as-Sabit Kairo tahun 1983. Dalam buku ini,
Muhammad al-Ghazali menuliskan pengalaman yang ditemuinya selama aktif di
bidang dakwah, telah dialih bahasakan kedalam bahasa Indonesia oleh Muh. Thahir
dan Abu Laila dengan judul “Muhammad al-Ghazali 40 soal tentang Islam Abad
20” (Bandung: Mizan, 1993).
14.
Al-Sunnah
Nabawiyah bayna
Ahli al-Fiqh wa Ahli al-Hadīts (sunnah Nabi
antara ahli fiqh dan ahli hadis), diterbitkan
oleh Dār al-Syuruq Kairo tahun 1989. Dalam buku ini,
Muhammad al-Ghazali mempersoalkan hadis-hadis yang selama ini dianggap sebagai
hadis shahīh tetapi menurutnya tidak shahīh karena bertentangan
dengan al-Qur’an. Buku ini
telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi
Kritis Atas hadis Nabi SAW: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
(Bandung: Mizan, 1991).
15.
Kayfa
Nata’ammal Ma’a al-Qur’ān
(metode berdialog dengan al-Qur’an), diterbutkan oleh
Al-Ma’had al-Islāmiy
li al-Fikr al-Islamiy
tahun 1991. Buku ini membahas pengamalan ajaran al-Qur’an dengan tepat,
syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi untuk meluruskan kesalahan
interpretasi terhadap al-Qur’an
yang telah berlangsung lama. Buku
ini menjadi upaya membumikan al-Qur’an dan meletakkannya
pada perspektif yang benar, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[14]
Masih banyak karya ilmiah Muhammad
al-Ghazali yang belum penulis sebutkan,
baik yang diterbitkan atau yang tidak diterbitkan, seperti Aqīdah al-Muslīm,
Wa Kaifa Nufhim al-Islām, Al-Janib al-‘Athifi min al-Islām, Sirru
Ta’akhkhur al-‘Arab,
dan buku-buku lainnya.
Berbagai lembaga
pemikiran dan keilmuan seperti Majma’ al-Buhūts al-Islāmiyyah milik Al-Azhar,
Majma’ al-Maliki li Buhūts al-Hadharah al-Islāmiyyah di Yordania, Al-Ma’ḥad al-‘Ālīm
li al-Fikr al-Islāmiy di Washington dan Al-Hai’ah al-Khairiyyah al-Islāmiyyah al-‘Alamiyyah
Kuwait dan lain-lainnya, merekrut Muhammad al-Ghazali menjadi anggota
kehormatan.[15]
Di antara penghargaan dan cindera
mata yang telah diraih
Muhammad al-Ghazali adalah:
1.
Wasam
al-Asir (1988), jenis penghargaan ini adalah penghargaan yang tertinggi.
2.
Penghargaan
tingkat internasional dari Raja
Faishal atas pengabdiannya terhadap agama Islam (1989).
3.
Penghargaan
istimewa Ja’īzah al-Imtiyāz dari
Pakistan (1991).
4.
Penghargaan
tingkat nasional, dari
Mesir (1991).
Kemudian Muhammad al-Ghazali
kembali lagi ke Mesir dan bermukim disana untuk selama-lamanya di Maidan Doktor
Sulaiman, Dokki-Kairo, tahun 1988. Muhammad al-Ghazali pergi keluar negeri hanya untuk mengisi
seminar-seminar keilmuan dan pemikiran. Terakhir kalinya sebelum meninggal, Muhammad
al-Ghazali pergi ke Amerika Serikat untuk berceramah bertepatan dengan hari
ulang tahun Amerika Serikat sebagai utusan dari Al-Azhar al-Syarif, tahun 1996. Muhammad
al-Ghazali juga berdialog dengan umat
Islam Amerika selama tiga minggu.[17]
Setelah kembali dari Amerika, Muhammad
al-Ghazali kembali ke Saudi Arabia atas undangan Pangeran Kebudayaan Nasional Al-Janadariyah.
Disana Muhammad al-Ghazali meninggal dunia di salah satu ruangan istana kerajaan raja Faishal, dalam keadaan
memegang pena. Ketika itu Muhammad al-Ghazali sedang menulis buku tentang Al-Difa’ ‘an al-Islām,
pada petang hari Jum’at, 17 Syawwal
1416 H. bertepatan 9 Maret 1996 M. Jasad
Muhammad al-Ghazali dimakamkan di Baqi’, Madinah al-Munawwarah.[18]
Semoga Allah memberikan rahmat dan keselamatan kepadanya.
[1]
Muhammad Al-Ghazali, Berdialog Dengan al-Qur’an, Memahami
Pesan Kitab Suci Dalam Keidupan Masa Kini, terj. Masykur
Hakim dan Ubaidillah (Bandung: Mizan, 1997), h. 5.
[3] Al-lkhwan
al-Muslimin adalah persaudaraan kaum muslimin yang merupakan
nama sebuah organisasi yang bertujuan “malaksanakan perintah agama yang hakiki,
menjelaskan pesan al-Qur’an dan keyakinan Islam yang benar”. Tonggak pendiri gerakan ini adalah Syeikh Hasan al-Banna (1906-1949). Organisasi ini sendiri didirikan pada Maret 1928 di
Isma’iliyyah, mesir.
[4]
Aunur Rofiq Ma’ruf, “Muhammad al-Ghazali dan Gerakan Reformasi Pasca Muhammad
Abduh: Dari Pembaharuan Fiqih Hingga Feminisme”, dalam Islam Garda Depan,
Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), h. 169.
[7]
Muhammad al-Ghazali, Analisis Polemik
Hadis Tranformasi Modernisasi, terj. Muh. Munawir az-Zahidi, (Surabaya:
Dunia Ilmu, 1997), h. v.
[12]
Anis Talib, Syaikh Muhammad al-Ghazali Berdialog dengan Al-Qur’an, terj.
Masykur Hakim & Ubaidillah, (Bandung:
Mizan, 1999). h. 5.
[14]
Bustamin dkk, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 100-101.
[17]
Muhammad Imarah, Gejolak Pemikiran Syaikh Muhammad al-Ghazali , 2013, h.
7, e-Book dari http://www.Kaunee.com.
No comments:
Post a Comment