METODE ANALISIS MAKNA ETIMOLOGIS LAFAZ AL-QUR’AN
DENGAN PENDEKATAN TAQLÎB MAKÂN
A.
Konsep Metode Analisis
Makna Etimologis Lafaz Al-Qur’an dengan Pendekatan Taqlîb Makân
1.
Tafsir
Etimologis
Metode pembahasan yang dilakukan secara etimologis
atau dalam arti lain adalah pembahasan yang menitik beratkan pada pembahasan
bahasa dalam al-Qur’an, dan hanya mengkaji pada perubahan kosa kata, pecahan
yang timbul dari perubahan huruf, dan pembahasan syakl secara harakat
maupun sukunnya, kemudian menghubungkannya dengan kaedah bahasa nahwu, shorf,
dan kaedah qirâat. serta membahas masalah dhomîr (kata ganti) yang tampak dan yang tersembunyi, kemudian
pemakaian-pemakaian dalam ucapan bangsa Arab.
Dalam perjalanan sejarahnya, perkembangan berbagai
model bahasa yang dilakukan untuk pembahasan akan al-Qur’an, kemudian dijadikan
menjadi sebuah kaedahز
Pada akhirnya para ulama, mulai menseriuskan dalam
pengembangannya dengan mendirikan sekolah khusus dalam pembelajaran bahasa pada
al-Qur’an, yang terdidi dari majaz al-Qur’an, kata-kata asing dalam
al-Qur’an, serta kosa kata dan makna dalam al-Qur’an. Hingga para ulama tafsir
yang condong pada pembahasan bahasa, mereka membedah penafsiran al-qur’an
dengan memfokuskan pada kaedah bahasa sebelum metode lainnya.[1]
2.
Tafsir dengan Pendekatan
Taqlîb Makân
Metode dengan taqlîb makân yang penulis
angkat dalam masalah ini adalah metode yang diambil dari cabang pembahasan
kaedah bahasa yaitu dari sisi shorf , meneliti permasalahan dalam perubahan
–perubahan kata dari ayat al-Qur’an.
Para ulama tafsir yang berkecimpung dalam manhaj lughowi membahas
ayt-ayat al-Qur’an dari segi Tashrîf atau Sighat kata yang ada.
Adapun pembahasan perubahasan bentuk bahasa secara Taqlîb
Makân sangat langka bahkan bisa dikatakan belum ada mufasir yang membahas
secara khusus tentang masalah dengan kaedah tersebut, namun bukan berarti tidak
ada ulama yang membicarakan masalah ini. Ibn Faris adalah bagian dari ulama
Kufah yang pada dasarnya mengakui adanya qalbu al-makân akan tetapi
menolak penerapannya dalam al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh Syekh Muhammad
‘Abd al-Khalik ‘Adzimah. Menurutnya pemakaian qalbu al-Makân berlaku
terhadap al-Qur’an, bahkan al-Qur’an
sendiri mempergunakan qalbu al-makân dalam beberapa ayat. Selanjutnya
dia menjelaskan bahwasanya ditemukan dalam al-Qur’an Qirâ’ah Sab’ah yang mutâwatir
mempergunakan metode qalbu al-makân.
Syekh Muhammad ‘Abd al-Khâlik ‘adzîmah memaparkan contoh
ayat-ayat yang mempurgunakan qalbu al-makân dalam al-Qur’an:
a.
QS. Al-Isra [] :
83
!$oYôJyè÷Rr&#sÎ)ur
n?tã
Ç`»|¡SM}$#
uÚ{ôãr&
$t«tRur
¾ÏmÎ7ÏR$pg¿2
(
#sÎ)ur
çm¡¡tB
¤³9$#
tb%x.
$Uqä«t
Artinya: “dan
apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan
membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila Dia ditimpa kesusahan
niscaya Dia berputus asa.”
Ibn
Amîr membaca kata (وناء) ada yang mengatakan kata ini taqlib dari (نأي)
artinya: بعد dan ada yang mengatakan artinya : نهض
dan ini bagian dari qirâ’at sab’ah.[2]
b.
QS. Al-An’am []:
138
(#qä9$s%ur ÿ¾ÍnÉ»yd
ÒO»yè÷Rr&
î^öymur
ÖôfÏm
w
!$ygßJyèôÜt
wÎ)
`tB
âä!$t±®S
öNÎgÏJôãtÎ/
íO»yè÷Rr&ur
ôMtBÌhãm
$ydâqßgàß
ÒO»yè÷Rr&ur
w
tbrãä.õt
zOó$#
«!$#
$ygøn=tæ
¹ä!#uÏIøù$#
Ïmøn=tã
4
OÎgÌôfuy
$yJÎ/
(#qçR$2
crçtIøÿt
ÇÊÌÑÈ
Artinya: “Dan
mereka mengatakan: "Inilah hewan ternak dan tanaman yang dilarang; tidak
boleh memakannya, kecuali orang yang Kami kehendaki", menurut anggapan
mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan ada binatang
ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah waktu menyembelihnya, semata-mata
membuat-buat kedustaan terhadap Allah. kelak Allah akan membalas mereka terhadap
apa yang selalu mereka ada-adakan”.
Ubay dan sebagian ahli qirâ’at
membaca kata (حجر) dengan (حرج)[3] yang
artinya sama yaitu (التضييق) penyempitan.
c.
QS. Al-Isra’ :
36
wur ß#ø)s?
$tB
}§øs9
y7s9
¾ÏmÎ/
íOù=Ïæ
4
¨bÎ)
yìôJ¡¡9$#
u|Çt7ø9$#ur
y#xsàÿø9$#ur
@ä.
y7Í´¯»s9'ré&
tb%x.
çm÷Ytã
Zwqä«ó¡tB
ÇÌÏÈ
Artinya:
“dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.”
Mu’az membaca (ولا تَقَفْ)[4]
seperti (تقل), penulis buku al-Lawamih berpendapat bahwa (قاف)
adalah kata taqlîb dari (قفا).
Taqîib Makân al-Harf
dalam defenisi ilmu shorf menjelaskan; perubahan makna kata dari sebuah kalimat
dengan cara memindahkan huruf satu ketempat huruf lain atau mengubah bentuk
huruf satu ke model
huruf yang lain dalam kaedah Bina’ dikhususkan pada huruf mu’tal dan
hamzah.
Setelah mendapatkan beberapa perubahan kata dari
pergantian huruf dan telah dicocokkan dengan kosa kata yang ada dalam kamus,
kemudian mencoba mencari ayat-ayat yang mempunyai bentuk dan makna yang sama
dimaksudkan al-Qur’an. Dari kata-kata yang terkumpul kemudian mencoba
mengkorelasikan kata satu dengan yang lainnya hingga mendapatkan satu maksud
dari beberapa ayat yang ada.
B.
Konsepsi
tentang Metode Analisis Makna Etimologis Lafaz Al-Qur’an dengan Pendekatan Taqîib
Makân
1.
Pemikiran Ulama
tentang Taqlîb Makân dalam Tafsir
Dari semua metode
tafsir yang ada, penulis mengambil tiga mufasir yang membahas dalam kitab
tafsir mereka sebagian permasalahan dikaji dengan metode taqlîb makân, sekalian
contoh ayat yang bahasnya sebagai berikut:
a.
Kitab Tafsir
al-Qur’an al-Hakim karya Sayyid Muhammad ‘Abduh.
Dalam kitab ini ketika
menjelaskan penafsiran surat al-Fatihah:
1
ÉOó¡Î0 «!$#
Ç`»uH÷q§9$#
ÉOÏm§9$# ÇÊÈ
Dengan menyebut nama
Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Dalam penafsiran ayat Fatihah beliau mengatakan: nama adalah suatu lafaz
yang menjelaskan akan zat seperti batu, pohon, dan Zaid atau menjelaskan dari
berbagai makna seperti ilmu, senang. Ibn Sayyidih mengatakan Ism adalah suatu
lafaz yang disandarkan kepada zat yang fisika (berbentuk) dan metafisika (tidak
berbentuk). Adapun al-raghib menjelaskan nama
adalah sesuatu yang dapat diketahui dengan suatu dzat beserta asalnya.
Dan banyak yang mengatakan bahwasanya nama itu berasal dari kata “السمو” kaata
aslinya adalah “سمي” dan kata jama’nya adalah “
أسماء”.
Kata “السمو” artinya “العلو” bagaikan sebuah nama itu meninggikan atau memuliakan yang
penamaannya tersebut, menjadikannya sebagai alamat atau tanda atasnya. Dan yang
lainnya mengatakan bahwa kata nama berasal dari kata “السمة” artinya
adalah identitas yang asal katanya “وسم”
Dari penjelasan kitab ini ada beberapa perubahan kata yang penulis ketahui
belum dicantumkan disini yaitu kata : “سماء, مساء,سوء”.[5]
b.
Kitab Tafsir
al-Mishbah karangan M. Quraish Shihab
Beliau menjelaskan
penafsiran surat al-Baqarah:30
øÎ)ur tA$s% /u
Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ)
×@Ïã%y` Îû
ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz (
(#þqä9$s%
ã@yèøgrBr& $pkÏù
`tB
ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our
uä!$tBÏe$!$#
ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2
â¨Ïds)çRur y7s9
( tA$s% þÎoTÎ)
ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès?
Artinya: “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui."
Dalam bahasa Arab kata (ملائكة) adalah bentuk jama’ dari kata (ملك). Ada yang berpendapat bahwa kata malak terambil
dari kata (ألك) atau kata (مألكة) yang berarti mengutus atau perutusan risâlah. Malaikat adalah utusan-utusan Tuhan untuk
berbagai tugas. Ada juga yang berpendapat bahwa kata malak terambil dari
kata(لأك) yang berarti menyampaikan sesuatu. Malaikat
adalah makhluk yang menyampaikan sesuatu dari Allah swt.
Dari perkataan beliau
terhadap perubahan kata dalam Malaikat, ada beberapa kata yang belum masuk
yaitu: (وكل) sebagai mewakili urusan, (كيل) sebagai pertimbangan.[6]
c.
Kitab Tafsir
Majma’ al-Bayan oleh Abu Fadhl al-tabarsyi
Kitab ini ketika
menjelaskan penafsiran Surat al-Maidah :55
$uK¯RÎ)
ãNä3Ï9ur ª!$# ¼ã&è!qßuur
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä
tûïÏ%©!$#
tbqßJÉ)ã no4qn=¢Á9$# tbqè?÷sãur no4qx.¨9$# öNèdur tbqãèÏ.ºu
ÇÎÎÈ
Artinya: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
Dalam
menjelaskan ayat ini al-Thabarsiy memulai dengan makna kata “الولي” dari pendekatan bahasa. Al-Waliy
“الولي”
adalah yang mewakilkan suatu bantuan dan pertolongan, dan al-waliy itu
sendiri adalah yang mewakili dalam pengurusan suatu permasalahan, sebagaimana
ungkapan “fulan sebagai wali perempuan yaitu ketika dia memiliki hak untuk
mengurusi pernikahannya”. Demikian juga dalam pengertian al-waliy
apabila kepadanya dimintai untuk mengurusi pemerintahan. Al-Shulthân
adalah pemimpin (al-waliy) dalam kepengurusan (negara). Ada yang
mengatakan bahwa al-waliy adalah orang yang diamanatkan untuk memegang
tampuk kekhalifahan setelahnya yang berarti yang berhak menjadi khalifah
setelahnya: adalah yang mewakilkan urusan orang-orang muslim. Seperti ungkapan
al-Kumayl:
ونعم ولي الأمر بعد وليه ومنتجع التقوى ونعم المؤدب
“Sebaik-baik wali setelah Nabi
Muhammad adalah orang yang sangat mengidamkan ketakwaan dan yang sebaik-baik
adab.”. Kata al-Waliy
sendiri adalah yang paling utama “أولي / aula” atau “أحق”/ yang paling berhak seperti “المولى”.[7]
Dari penjelasana al-Thabarsiy
melalui pendekatan bahasa, terlihat bahwa kata “al-waliy”adalah kata
yang ditujukan kepada orang yang mendapat amanah untuk memegang kepemimpinan
baik kepemimpinan negara maupun urusan umat Islam, karena “al-waliy”adalah
orang yang bertakwa dan beradab. Di samping itu dari penjelasan secara bahasa
juga dapat dilihat, bahwa kata “al-waliy” memiliki pengertian yang beragam, yaitu pemimpin,
penolong, wakil, dan lain-lain, yang berarti, seorang “al-wali” harus
mendedikasikan dirinya untuk memimpin, menolong, sebagai wakil Tuhan dan ia
haruslah memiliki ketakwaan dan adab yang tinggi.
Selanjutnya al-Thabarsiy menegaskan
bahwa ayat ini adalah sebagai dalil yang kuat dan tak terbantahkan tentang imâmah
Ali setelah Rasullullah Saw. Penggunaan kata al-waliy yang berarti
mengarah kepada “aulâ” / yang paling berhak dalam segala urusan umat
oleh karena itu merupakan kewajiban untuk taat kepadanya. makanya di penghujung
ayat ditutup dengan kata “ويعطون الزكاة وهم راكعون / dan mereka menunaikan zakat dalam keadaan rukuk”[8]
2.
Analisis tentang
Makna Etimologis Lafaz Al-Qur’an dengan Pendekatan Taqlîb Makân Al-Harf
Penulis mengambil
sebagai contoh analisis dari ayat al-Fatihah:2
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Pada ayat diatas yang kita bahas adalah kalimat (الحمد) yang asal katanya (ح م د),
kemudian dilakukan pentaqlîban huruf yang ada menjadi
beberapa model kata yaitu:
حمد, حدم, مدح, محد, دحم, دمح
Dari model-model kata yang ada dicari kata-kata
yang mempunyai arti dan maknanya dalam kamus bahasa, hingga tinggal beberapa
kata yang ada artinya dalam bahasa Arab:
حمد : pujian
حدم : memanaskan
مدح : syukur
دحم : menolak, mendorong
دمح : menundukkan kepala
Kemudian
mencoba menghubungkan dengan kata-kata yang ada dalam ayat al-Qur’an, dan dari
ayat-ayat yang didapatkan penulis mencoba mencari korelasi ayat satu dengan ayat
yang lain, adapun kata yang tidak didapati dalam ayat juga dicantumkan untuk membantu
penambahan makna hingga mendapatkan suatu maksud penafsiran yang sama. Seperti
contoh:
Kata (الحمد) alhamdu dengan arti segala puji. memuji
orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan
sendiri. Maka memuji Allah dalam arti: menyanjung-Nya karena perbuatanNya yang
mulia. lain halnya dengan kata (مدح) syukur yang berarti:
mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita
menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah adalah sumber dari
segala kebaikan yang patut dipuji. Dan dengan kata (دحم) yaitu mendorong, yakni mendorong seorang untuk
selalu berbuat kebaikan karna nikmat yang didapatkan, disamping itu dengan kata
(دمح) yang
arti tunduk, yakni menjadikan manusia tunduk dan taat setiap perintah yang
diberikan dan akhir dari kenikmatan menbuat manusia Qonâ’ah.
[1] Sayid
Muhammad ‘Ali Iyazi, al-Mufassirun Hayâtuhum wa Minhâjuhum, (Teheran,
Wizarâh al-tsaqâfah wa al-Irsyâd al-Islâmiy, 1373)hl. 44.
[2] Ibn Jarir
al-Thabary, Tafsi’rJAmi’ al-Bayan fi Ta’wil Ayi al-Qur’an, (Beirut, Dar
al-Fikr, 2000), J.17 H. 359
[7] Abu Fadhl al-Tabarsyi, Majma’ al-Bayân fiy Tafsîr
al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), hlm.359
[8] Ibid, h.
360-363
No comments:
Post a Comment