Monday, March 4, 2019

METODE ANALISIS MAKNA ETIMOLOGIS LAFAZ AL-QUR’AN DENGAN PENDEKATAN TAQLÎB MAKÂN


METODE ANALISIS MAKNA ETIMOLOGIS LAFAZ AL-QUR’AN
DENGAN PENDEKATAN TAQLÎB MAKÂN

A.    Konsep Metode Analisis Makna Etimologis Lafaz Al-Qur’an dengan Pendekatan Taqlîb Makân
1.      Tafsir Etimologis
Metode pembahasan yang dilakukan secara etimologis atau dalam arti lain adalah pembahasan yang menitik beratkan pada pembahasan bahasa dalam al-Qur’an, dan hanya mengkaji pada perubahan kosa kata, pecahan yang timbul dari perubahan huruf, dan pembahasan syakl secara harakat maupun sukunnya, kemudian menghubungkannya dengan kaedah bahasa nahwu, shorf, dan kaedah qirâat. serta membahas masalah dhomîr (kata ganti)  yang tampak dan yang tersembunyi, kemudian pemakaian-pemakaian dalam ucapan bangsa Arab.
Dalam perjalanan sejarahnya, perkembangan berbagai model bahasa yang dilakukan untuk pembahasan akan al-Qur’an, kemudian dijadikan menjadi sebuah kaedahز
Pada akhirnya para ulama, mulai menseriuskan dalam pengembangannya dengan mendirikan sekolah khusus dalam pembelajaran bahasa pada al-Qur’an, yang terdidi dari majaz al-Qur’an, kata-kata asing dalam al-Qur’an, serta kosa kata dan makna dalam al-Qur’an. Hingga para ulama tafsir yang condong pada pembahasan bahasa, mereka membedah penafsiran al-qur’an dengan memfokuskan pada kaedah bahasa sebelum metode lainnya.[1]

2.      Tafsir dengan Pendekatan Taqlîb Makân
Metode dengan taqlîb makân yang penulis angkat dalam masalah ini adalah metode yang diambil dari cabang pembahasan kaedah bahasa yaitu dari sisi shorf , meneliti permasalahan dalam perubahan –perubahan kata  dari ayat al-Qur’an. Para ulama tafsir yang berkecimpung dalam manhaj lughowi membahas ayt-ayat al-Qur’an dari segi Tashrîf atau Sighat kata yang ada.
Adapun pembahasan perubahasan bentuk bahasa secara Taqlîb Makân sangat langka bahkan bisa dikatakan belum ada mufasir yang membahas secara khusus tentang masalah dengan kaedah tersebut, namun bukan berarti tidak ada ulama yang membicarakan masalah ini. Ibn Faris adalah bagian dari ulama Kufah yang pada dasarnya mengakui adanya qalbu al-makân akan tetapi menolak penerapannya dalam al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh Syekh Muhammad ‘Abd al-Khalik ‘Adzimah. Menurutnya pemakaian qalbu al-Makân berlaku terhadap al-Qur’an,  bahkan al-Qur’an sendiri mempergunakan qalbu al-makân dalam beberapa ayat. Selanjutnya dia menjelaskan bahwasanya ditemukan dalam al-Qur’an Qirâ’ah Sab’ah yang mutâwatir mempergunakan metode qalbu al-makân.
Syekh Muhammad ‘Abd al-Khâlik ‘adzîmah memaparkan contoh ayat-ayat yang mempurgunakan qalbu al-makân dalam al-Qur’an:
a.       QS. Al-Isra [] : 83
!$oYôJyè÷Rr&#sŒÎ)ur n?tã Ç`»|¡SM}$# uÚ{ôãr& $t«tRur ¾ÏmÎ7ÏR$pg¿2 ( #sŒÎ)ur çm¡¡tB Ž¤³9$# tb%x. $Uqä«tƒ
Artinya: “dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila Dia ditimpa kesusahan niscaya Dia berputus asa.”

Ibn Amîr membaca kata (وناء) ada yang mengatakan kata ini taqlib dari (نأي) artinya: بعد dan ada yang mengatakan artinya : نهض dan ini bagian dari qirâ’at sab’ah.[2]
b.      QS. Al-An’am []: 138
(#qä9$s%ur ÿ¾ÍnÉ»yd ÒO»yè÷Rr& î^öymur ֍ôfÏm žw !$ygßJyèôÜtƒ žwÎ) `tB âä!$t±®S öNÎgÏJôãtÎ/ íO»yè÷Rr&ur ôMtBÌhãm $ydâqßgàß ÒO»yè÷Rr&ur žw tbrãä.õtƒ zOó$# «!$# $ygøŠn=tæ ¹ä!#uŽÏIøù$# Ïmøn=tã 4 OÎgƒÌôfuy $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 šcrçŽtIøÿtƒ ÇÊÌÑÈ  
Artinya: “Dan mereka mengatakan: "Inilah hewan ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang Kami kehendaki", menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan ada binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan”.

Ubay dan sebagian ahli qirâ’at membaca kata (حجر) dengan (حرج)[3] yang artinya sama yaitu (التضييق) penyempitan.
c.       QS. Al-Isra’ : 36
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  
Artinya: “dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Mu’az membaca (ولا تَقَفْ)[4] seperti (تقل), penulis buku al-Lawamih berpendapat bahwa (قاف) adalah kata taqlîb dari (قفا).

Taqîib Makân al-Harf dalam defenisi ilmu shorf menjelaskan; perubahan makna kata dari sebuah kalimat dengan cara memindahkan huruf satu ketempat huruf lain atau mengubah bentuk huruf satu ke model huruf yang lain dalam kaedah Bina’ dikhususkan pada huruf mu’tal dan hamzah.
Setelah mendapatkan beberapa perubahan kata dari pergantian huruf dan telah dicocokkan dengan kosa kata yang ada dalam kamus, kemudian mencoba mencari ayat-ayat yang mempunyai bentuk dan makna yang sama dimaksudkan al-Qur’an. Dari kata-kata yang terkumpul kemudian mencoba mengkorelasikan kata satu dengan yang lainnya hingga mendapatkan satu maksud dari beberapa ayat yang ada.
B.     Konsepsi tentang Metode Analisis Makna Etimologis Lafaz Al-Qur’an dengan Pendekatan Taqîib Makân
1.      Pemikiran Ulama tentang Taqlîb Makân dalam Tafsir
Dari semua metode tafsir yang ada, penulis mengambil tiga mufasir yang membahas dalam kitab tafsir mereka  sebagian permasalahan  dikaji dengan metode taqlîb makân, sekalian contoh ayat yang bahasnya sebagai berikut:
a.       Kitab Tafsir al-Qur’an al-Hakim karya Sayyid Muhammad ‘Abduh.
Dalam kitab ini ketika menjelaskan penafsiran  surat al-Fatihah: 1
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ  
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Dalam penafsiran ayat Fatihah beliau mengatakan: nama adalah suatu lafaz yang menjelaskan akan zat seperti batu, pohon, dan Zaid atau menjelaskan dari berbagai makna seperti ilmu, senang. Ibn Sayyidih mengatakan Ism adalah suatu lafaz yang disandarkan kepada zat yang fisika (berbentuk) dan metafisika (tidak berbentuk). Adapun al-raghib menjelaskan nama  adalah sesuatu yang dapat diketahui dengan suatu dzat beserta asalnya. Dan banyak yang mengatakan bahwasanya nama itu berasal dari kata  السمو” kaata aslinya adalah “سمي” dan kata jama’nya adalah “ أسماء”.
Kata “السمو” artinya “العلو” bagaikan sebuah nama itu meninggikan atau memuliakan yang penamaannya tersebut, menjadikannya sebagai alamat atau tanda atasnya. Dan yang lainnya mengatakan bahwa kata nama berasal dari kata “السمة” artinya adalah identitas yang asal katanya “وسم
Dari penjelasan kitab ini ada beberapa perubahan kata yang penulis ketahui belum dicantumkan disini yaitu kata : “سماء, مساء,سوء”.[5]
b.      Kitab Tafsir al-Mishbah karangan M. Quraish Shihab
Beliau menjelaskan penafsiran surat al-Baqarah:30
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès?
Artinya: “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dalam bahasa Arab kata (ملائكة) adalah bentuk jama’ dari kata (ملك). Ada yang berpendapat bahwa kata malak terambil dari kata (ألك) atau kata (مألكة) yang berarti mengutus atau perutusan risâlah. Malaikat adalah utusan-utusan Tuhan untuk berbagai tugas. Ada juga yang berpendapat bahwa kata malak terambil dari kata(لأك) yang berarti menyampaikan sesuatu. Malaikat adalah makhluk yang menyampaikan sesuatu dari Allah swt.
Dari perkataan beliau terhadap perubahan kata dalam Malaikat, ada beberapa kata yang belum masuk yaitu: (وكل) sebagai mewakili urusan, (كيل) sebagai pertimbangan.[6]

c.       Kitab Tafsir Majma’ al-Bayan oleh Abu Fadhl al-tabarsyi
Kitab ini ketika menjelaskan penafsiran Surat al-Maidah :55
$uK¯RÎ) ãNä3ŠÏ9ur ª!$# ¼ã&è!qßuur tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# tbqßJÉ)ムno4qn=¢Á9$# tbqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# öNèdur tbqãèÏ.ºu ÇÎÎÈ  
Artinya: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
Dalam menjelaskan ayat ini al-Thabarsiy memulai dengan makna kata “الولي” dari pendekatan bahasa. Al-Waliyالولي” adalah yang mewakilkan suatu bantuan dan pertolongan, dan al-waliy itu sendiri adalah yang mewakili dalam pengurusan suatu permasalahan, sebagaimana ungkapan “fulan sebagai wali perempuan yaitu ketika dia memiliki hak untuk mengurusi pernikahannya”. Demikian juga dalam pengertian al-waliy apabila kepadanya dimintai untuk mengurusi pemerintahan. Al-Shulthân adalah pemimpin (al-waliy) dalam kepengurusan (negara). Ada yang mengatakan bahwa al-waliy adalah orang yang diamanatkan untuk memegang tampuk kekhalifahan setelahnya yang berarti yang berhak menjadi khalifah setelahnya: adalah yang mewakilkan urusan orang-orang muslim. Seperti ungkapan al-Kumayl:
ونعم ولي الأمر بعد وليه         ومنتجع التقوى ونعم المؤدب
“Sebaik-baik wali setelah Nabi Muhammad adalah orang yang sangat mengidamkan ketakwaan dan yang sebaik-baik adab.”. Kata al-Waliy sendiri adalah yang paling utama “أولي / aula” atau “أحق”/ yang paling berhak seperti “المولى”.[7]
Dari penjelasana al-Thabarsiy melalui pendekatan bahasa, terlihat bahwa kata “al-waliy”adalah kata yang ditujukan kepada orang yang mendapat amanah untuk memegang kepemimpinan baik kepemimpinan negara maupun urusan umat Islam, karena “al-waliy”adalah orang yang bertakwa dan beradab. Di samping itu dari penjelasan secara bahasa juga dapat dilihat, bahwa kata “al-waliy” memiliki  pengertian yang beragam, yaitu pemimpin, penolong, wakil, dan lain-lain, yang berarti, seorang “al-wali” harus mendedikasikan dirinya untuk memimpin, menolong, sebagai wakil Tuhan dan ia haruslah memiliki ketakwaan dan adab yang tinggi.
Selanjutnya al-Thabarsiy menegaskan bahwa ayat ini adalah sebagai dalil yang kuat dan tak terbantahkan tentang imâmah Ali setelah Rasullullah Saw. Penggunaan kata al-waliy yang berarti mengarah kepada “aulâ” / yang paling berhak dalam segala urusan umat oleh karena itu merupakan kewajiban untuk taat kepadanya. makanya di penghujung ayat ditutup dengan kata “ويعطون الزكاة وهم راكعون / dan mereka menunaikan zakat dalam keadaan rukuk[8]
2.      Analisis tentang Makna Etimologis Lafaz Al-Qur’an dengan Pendekatan Taqlîb Makân Al-Harf
Penulis mengambil sebagai contoh analisis dari ayat al-Fatihah:2
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ  
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Pada ayat diatas yang kita bahas adalah kalimat (الحمد) yang asal katanya (ح م د), kemudian dilakukan pentaqlîban huruf yang ada menjadi beberapa model kata yaitu:
حمد, حدم, مدح, محد, دحم, دمح
        Dari model-model kata yang ada dicari kata-kata yang mempunyai arti dan maknanya dalam kamus bahasa, hingga tinggal beberapa kata yang ada artinya dalam bahasa Arab:
حمد : pujian
حدم : memanaskan
مدح : syukur
دحم : menolak, mendorong
دمح : menundukkan kepala
            Kemudian mencoba menghubungkan dengan kata-kata yang ada dalam ayat al-Qur’an, dan dari ayat-ayat yang didapatkan penulis  mencoba mencari korelasi ayat satu dengan ayat yang lain, adapun kata yang tidak didapati dalam ayat juga dicantumkan untuk membantu penambahan makna hingga mendapatkan suatu maksud penafsiran yang sama. Seperti contoh:
Kata (الحمد) alhamdu dengan arti segala puji. memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah dalam arti: menyanjung-Nya karena perbuatanNya yang mulia. lain halnya dengan kata (مدح) syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah adalah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji. Dan dengan kata (دحم) yaitu mendorong, yakni mendorong seorang untuk selalu berbuat kebaikan karna nikmat yang didapatkan, disamping itu dengan kata (دمح) yang arti tunduk, yakni menjadikan manusia tunduk dan taat setiap perintah yang diberikan dan akhir dari kenikmatan menbuat manusia Qonâ’ah.



[1] Sayid Muhammad ‘Ali Iyazi, al-Mufassirun Hayâtuhum wa Minhâjuhum, (Teheran, Wizarâh al-tsaqâfah wa al-Irsyâd al-Islâmiy, 1373)hl. 44.
[2] Ibn Jarir al-Thabary, Tafsi’rJAmi’ al-Bayan fi Ta’wil Ayi al-Qur’an, (Beirut, Dar al-Fikr, 2000), J.17 H. 359
[3] Ibid., J. 12 H. 139
[4] Ibid., h. J. 17, h. 446
[5] Sayid Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, (Mesir, Matba’ah al-Manar, 1342H), hlm. 40
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta, lentera Hati, 2002), hlm. 173
[7] Abu Fadhl al-Tabarsyi, Majma’ al-Bayân fiy Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), hlm.359
[8] Ibid, h. 360-363

No comments:

Post a Comment