1.
Corak-corak Tafsir
Corak dalam
konteks sejarah tafsir seringkali digunakan sebagai terjemahan darai bahasa
Arab al-laūn, yang arti dasarnya adalah warna. Corak tafsir yang
dimaksud disini adalah nuansa khusus atau sifat khusus yang memberikan warna
tersendiri terhadap sebuah penafsiran.
Sebagaimana telah menjadi maklum, bahwa tafsir sebagai salah satu bentuk
ekspresi intelektual dari seorang mufassir dalam menjelaskan pengertian
ujaran-ujaran al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusianya tentu akan
menggambarkan minat dan horizon pengetahuan sang mufasirnya. Juga menyesuaikan muffasir yang hidup pada zamannya.[1]
Jika melihat
sejarah, tafsir yang di dominasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu muncul
permukaan pada periode pertengahan. Sebab munculnya tersebut dikarenakan
keanekaragaman disiplin ilmu yang berkembang saat itu yang menjadi minat sang
mufassir sebelum ia menafsirkan al-Qur’an.[2]
Ilmu-ilmu yang berkembang pada periode
pertengahan berhubungan langsung dengan ilmu-ilmu keIslaman seperti ilmu fiqih,
kalam, tasawuf, bahasa, sastra dan filsafat. Mengingat adanya orang-orang
tertentu diantara peminat studi masing-masing disiplin ilmu mencoba menggunakan
basis pengetahuannya untuk memahami al-Qur’an,
atau bahkan ada yang sengaja mencari dasar legitimasi teori-teorinya
dari al-Qur’an, maka muuncullah apa yang kemudian disebut dengan corak
tafsîr fiqhiŷ, tafsir
I’tiqâdi, tafsîr sūfiŷ, tafsîr ilmiŷ,
dan tafsîr falsafi,
bahkan yang paling ramai dikaji dan diaji zaman sekarang adalah tafsir feminis
yang sarat dengan aroma analisis gendernya.[3]
a.
Tafsir Corak Fiqhi
Tafsir ini dibangun berdasarkan
wawasan mufassirnya dalam bidang fiqih. Artinya, tafsir ayat al-Qur’an yang dipengaruhi oleh keilmuan mufassir
sebelum ia melakukan penafsiran. Tafsir fiqih ini seakan-akan melihat al-Qur’an
sebagai kitab suci yang berisi ketentuan-ketentuan undang-undang. Atau
menjadikan al-Qur’an sebagai kitab hukum.
Sejarah lahirnya corak tafsir ini
sebernarnya sejak Nabi wafat dan munculnya persoalan-persoalan yang tidak ada
pada masa Nabi, sehingga belum ada pemecahannya (problem solving).
Tuntutan untuk mendapatkan pemecahan yang benar sesuai syariat menyebabkan
mereka tertarik untuk menggali lebih dalam dasar-dasar hukumnya dari kitab
al-Qur’an. konsekuensinya adalah munculnya berbagai mazhab hukum dan cenderung
fanatik terhadap golongannya.[4]
Tokoh-tokoh tafsir corak fiqhi ini
sangat banyak. Disini akan diklasifikasikan lima kelompok:
-
Golongan Hanafiyah, Al-Râzi (w.370)
dan Ahmad Ibnu Sa’id
-
Golongan Syafi’iyah, Al-Tabarî (w
450 H), Âli ibn Âbdillah, dan Jalâluddin
al-Ŝuyuţi (w. 911)
-
Golongan Malikiyah, Abū Bakar Ibn
al-Ârabi (w. 543), Abū Âbdullah al-Qurthubiŷ (w.671)
-
Golongan Zaidiyah, Ĥusain Ibnu
Ahmad al-Najari dan Muĥammad Ibn Ĥusain Ibn Qâsim
b.
Tafsir Corak Teologis (Tafsîr al-I’tiqâdi)
Tafsir corak teologis adalah bentuk
penafsiran al-Qur’an yang tidak hanya dikarang atau ditulis oleh ahli atau
kelompok teologis tertentu, tapi lebih jauh merupakan tafsir yang dimanfaatkan
untuk membela sudut pandang sebuah aliran teologis. Tafsir model ini cenderung
lebih sektarian dan membela faham-faham yang menjadi referensi para
mufassirnya. Ayat-ayat al-Qur’an seringkali dijadikan sebagai alat pembenar
atas faham-faham teologis.[6]
c.
Tafsir Corak Sufistik (Tafsîr al-Ŝhūfi)
Berkembangnya sufisme dalam dunia
Islam ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam sejak
munculnya konflik politis sepeninggal Nabi. Praktik-praktik ini berlangsung
dan berkembang sampai generasi ke generasi hingga sekarang. Bahkan oleh
kalangan tertentu praktek ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori
mistiknya. Implikasinya memunculkan teori-teori sufisme, misalnya khauf, maĥabbah,
ma’rifah, ĥulūl, dan wihdatul wujūd. Dengan demikian berkembang dua sufisme dalam Islam yaitu sufi yang
lebih mengedepankan sifat praktis untuk taqarrub kepada Allah, dan sufi
yang lebih konsen dengan teori-teori mistik.[7]
Kedua model sufisme tersebut membawa dampak
kedalam dua penafsiran al-Quran, yang kemudian melahirkan dua model penafsiran
sufistik yang dikenal istilah tafsîr isyarî[8]
dan tafsîr ŝhufi nażhâri[9].
d.
Tafsir Corak Falsafi (al-tafsîr al-Falsafi)
Setelah buku-buku filsafat
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan dikonsumsi oleh kaum muslimin, berdampak
dengan munculnya reaksi dari kaum muslimin. Sehingga terbentuk dua kubu, ada
yang menolak teori-teori filsafat dengan alasan teori-teori ini bertentangan
dengan keyakinan teologis, dan yang menerima karena kagum dengan teori-teori
dan merasa mampu mengkompromikan
antara ĥikmah dan aqîdah, antara filsafat dan agama.
Untuk mengkompromikan
keduanya dengan cara mentakwilkan teks-teks keagamaan sesuai dengan pandangan
para filosof. Maksudnya usaha untuk menundukkan teks-teks al-Qur’an kepada
pandangan-pandangan filosof sehingga keduanya tampak
sejalan. Kemudian, dengan cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan
menggunakan berbagai pandangan dan teori filsafat.
Kedua model tersebut yang membentuk
tafsir falsafi, yakni tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat
atau tafsir yang menempatkan teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Tafsir
ini pada akhirnya dianggap tidak lebih hanya deskripsi tentang teori-teori
filsafat.[10]
e.
Tafsir Corak Ilmi (tafsîr al-Ilmiŷ)
Tafsir ilmiŷ ini dapat
diartikan sebagai tafsir yang berusaha menempatkan barbagai istilah ilmiah
dalam ayat-ayat tertentu al-Qur’an. Tafsir ini dibangun berdasarkan asumsi
bahwa al-Qur’an mengandung berbagai jenis ilmu baik yang telah ditemukan atau
yang belum ditemukan.
Selain itu, munculnya tafsir ilmi
juga berdampak kepada kelompok yang setuju dan yang tidak. Dikalangan ulama,
kelompok yang tidak setuju mengatakan bahwa al-Qur’an bukanlah kitab ilmu
pengetahuan melainkan kitab hudan yang berisi petunjuk kepada umat
manusia. Hal ini dikhawatirkan jika saat ditemukan suatu teori dan terkesan
‘relevan’ dengan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian ditemukan teori baru yang
meruntuhkan teori sebelumnya, dan tentu akan berdampak pada kesan bahwa ayat
yang sesuai denga teori sebelumnya juga akan runtuh. Untuk itu tidak diperlukan
penafsiran dengan corak ilmi. Karena teori-teori yang ditemukan hanya
bersifat nisbi.
Pro kontra tersebut sebenarnya bisa
dicari jalan tengahnya. Caranya adalah dengan memahami bahwa al-Qur’an memang
bukan kitab ilmu pengetahuan, namun tidak disangkal bahwa isyarat-isyarat atau
pesan-pesan moral akan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan.[11]
[1]
Abdul Mustaqim, Mazâhibut Tafsîr, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an
Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta:Nun Pustaka, 2003), h. 81
[8] Menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya, dan
disesuaikandenga petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi anatar
kedua makna tersebut bisa dikomromikan.
[9]
Sebuah penafsiran yang dibangun untuk mempromosikan salah satu diantara sekian
teori mistik dengan menggeser tujuan al-Qur’an kepada tujuan dan target mistis
mufassirnya.
No comments:
Post a Comment