A.
Kitab Naḥwa Tafsīr Maudhū’iy li Suwar Al-Qur’ān
al-Karīm
1.
Latar Belakang Pembukuan
Munculnya berbagai macam kitab
tafsir menunjukkan bahwa betapa pentingnya mempelajari dan memahami
petunjuk agama yang terdapat dalam al-Qur’an.
Para mufassir
dalam menulis kitab tafsir pada umumnya mempunyai motifasi tertentu untuk
menulisnya. Sebagian mufassir menulis kitab tafsir karena ingin
meringkas sebuah kitab tafsir yang telah ada yang dalam pandangan mufassir
tersebut terlalu luas. Ada pula sebagian mufassir
yang terdorong karena adanya permintaan dari masyarakat sekitarnya supaya dia
menyusun kitab tafsir. Di sisi lain ada juga yang mempunyai motifasi menyusun
karyanya karena ingin menguatkan suatu mazhab
baik dalam bidang theologi maupun fiqh sebagaimana
yang dilakukan oleh Al-Zamakhsyariy
dalam kitabnya Al-Kasysyāf dan Al-Jasas dalam
kitabnya Aḥkām Al-Qur’ān. Ada juga yang
disebabkan oleh ketidakpuasan seorang mufassir
dengan karya tafsir sebelumnya, yang belum mampu mengungkap hidayah al-Qur’an sehingga perlu
adanya penafsiran yang mampu mengungkapkannya. Seperti penafsiran yang
dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Rida dengan kitab Al-Manār.[1]
Dengan demikian penyusunan sebuah
kitab, terkadang mempunyai tujuan yang hendak dicapai oleh mufassir-nya
baik dilihat dari sisi internal (dorongan dari diri sendiri) atau eksternal (dorongan dari luar
dirinya atau dari situasi dan kondisi yang menuntut dirinya untuk menulis
sebuah kitab).
Dalam hal ini Muhammad
al-Ghazali dengan sangat sungguh-sungguh menjelaskan betapa umat Islam sangat membutuhkan al-Qur’an, agar umat Islam mengetahui
falsafah umum tentang agama dan kehidupan. Keputusan
Muhammad al-Ghazali meneruskan penulisan kitab tafsirnya adalah karena untuk
kepentingan umat Islam dalam hal ini para pembaca, yang pada
akhirnya masyarakat Islam mampu membangun,
pandangan-pandangan yang benar tentang manusia dan alam semesta serta Yang Maha
Pencipta dengan berpijak pada al-Qur’an.[2]
2.
Sistematika Penulisan Kitab Tafsir Karya Muhammad al-Ghazali.
Setiap karya tafsir memiliki
sistematika yang berbeda-beda dalam sistem penafsirannya, yang dimaksud dengan
sistematika penafsiran al-Qur’an
adalah aturan penyusunan atau tata cara dalam menafsirkan al-Qur’an. Misalnya yang berkaitan dengan
teknik penyusunan atau penulisan sebuah tafsir, jadi sistematika penafsiran lebih
menenekankan pada prosedur penafsiran yang dilalui atau lebih menekankan pada
aturan-aturan penanganan ayat-ayat al-Qur’an.[3]
Sistematika yang berkembang dalam
penafsiran al-Qur’an
ada tiga. Pertama, sistematika tartīb
al-musḥāfī, yaitu penafsiran ayat al-Qur’an sesuai dengan
urutan dalam musḥāf al-Qur’an.
Kedua,
sistematika tartīb al-nuzūl,
yaitu penafsiran berdasarkan urutan turunnya ayat. Ketiga,
sistematika maudhū’, yaitu penafsiran berdasarkan tema yang telah
ditetapkan dan biasanya ditempuh oleh mufassir
yang menafsirkan al-Qur’an
dengan metode maudhū’iy.[4]
Sistematika yang
digunakan oleh Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya Naḥwa
Tafsīr Maudhū’iy li Suwar al-Qur’ān al-Karīm seperti layaknya
sistematika al-tartīb
al-musḥāfī, yakni menafsirkan
seluruh ayat al-Qur’an berdasarkan urutan surat yang terdapat dalam musḥāf. Dalam
hal ini Muhammad al-Ghazali merampungkan penafsiran seluruhnya dimulai dari
surat al-Fatihah sampai
dengan surat al-Nas. [5]
Islah Gusmian dalam buku Khazanah
Tafsir Indonesia, dari Hemeneutika Hingga Ideologi berpendapat sistematika
tafsir musḥāfī termasuk dalam sistematika penyajian runtut. Sistematika
runtut adalah model sistematika penyajian penulisan tafsir yang rangkaian
penyajiannya mengacu pada, Pertama, urutan
surat yang ada dalam model musḥāf standar, dan Kedua,
mengacu pada urutan turunnya wahyu.[6]
Model
musḥāfī yang pertama telah umum dipakai oleh para mufassir.
Di antaranya dari tafsir-tafsir klasik sepeti
tafsīr Jalālain,
dan dari tafsir kontemporer seperti tafsīr Al-Manār.
Kitab-kitab tafsir ini menggunakan sistematika penulisan yang pertama.
Sedangkan model kedua yakni menurut urutan turunnya wahyu, tidak banyak dipakai
oleh para mufassir. Salah satu yang menggunakan sistematika model ini
adalah kitab Al-Tafsīr al-Bayān li al-Qur’ān al-Karīm
karya Bintu Syathi’.[7]
Muhammad al-Ghazali lebih
menerapkan metode maudhū’iy
denga tafsir surat. Lebih
lanjut dijelaskan yang dimaksud tafsir surat adalah menjelaskan satu surat
secara keseluruhan dengan menjelaskan isi kandungan surat tersebut, baik yang
bersifat umum maupun khusus dan menjelaskan keterkaitan antara tema yang satu
dengan yang lainnya. Sehingga surat tersebut nampak merupakan suatu pembahasaan
yang sangat kokoh dan cermat.[8]
Muhammad al-Ghazali lebih
menegaskan lagi, menurut pendekatan ini masing-masing surat al-Qur’an disuguhkan
sebagai satu keseluruhan unit. Penjelasan tematik (maudhū’iy), atau
gambaran ringkas dari masing-masing surat kemudian dijelaskan, lalu mengidentifikasi
tema utamanya atau tema-tema serta pengertian dan ide-ide yang tajam dikaitkan
dengan persoalan subyeknya.[9]
Secara teknis Muhammad al-Ghazali
menafsirkan surat dengan model penulisan yang dilakukan dengan mengelompokkan
tema yang tedapat dalam surat dan dikerucutkan dalam tema besar yang dibahas
dalam surat tersebut. Menurut Muhammad al-Ghazali setiap surat memiliki satu
pesan yang ingin disampaikan, jadi dalam satu surat terdapat satu kesatuan
maksud dan tujuan. Inilah yang dimaksudkan Muhammad al-Ghazali dalam tafsir
tematiknya. Muhammad al-Ghazali menafsirkan ayat-ayat tertentu dan diuraikan
dengan mengkorelasikan antara satu ayat dengan ayat lain, baik dengan ayat yang
terdapat dalam satu surat maupun yang terdapat dalam surat lainnya.[10]
Untuk lebih jelasnya penulis
mencoba untuk mengutip kajian yang digunakan Muhammad al-Ghazali:
1.
Pada
surat al-Baqarah
Dalam setiap surat Muhammad
al-Ghazali selalu memulainya dengan menyebutkan fokus permasalahan yang lebih
dominan dibahas dalam surat tersebut. Pada surat al-Baqarah ini dimulai dengan
pemaparan permasalahan yang merupakan bagian dari asbāb al-nuzūl dan
sosio historis masyarakat ketika surat al-Baqarah pertama kali diturunkan.
Dalam surat al-Baqarah setelah menyebutkan surat yang dibahas (nama surat),
Muhammad al-Ghazali menyebutkan permasalahan sekitar hijrah masyarakat muslim
yang tinggal di Makkah ke Madinah sekitar tahun 622 M.[11]
Disini Muhammad al-Ghazali seolah-olah memberikan prolog pada permasalahan inti
yang akan dibahas dalam surat tersebut.
Lebih lanjut Muhammad al-Ghazali
menyebutkan pada masa pasca hijrah tersebut semua perhatian lebih dipokuskan
pada pembangunan masyarakat otonom muslim. Dengan memeluk agama baru (Islam),
anggota masyarakat memiliki
hak mereka masing-masing, berhasil memisahkan diri dari pemujaan berhala,
politeisme dan bentuk-bentuk lain dari tradisi keberhalaan dan amalan bangsa
Arab masa itu. Dilanjutkan dengan kondisi dan konflik yang terjadi seputar hijrah
Nabi Muhammad Saw. dan kaum muslimin.[12]
Persekutuan dengan kaum Yahudi yang
pada waktu itu merasa bahwa merekalah yang berhak atas agama dan mereka memonopoli
sebagai kaum terpilih. Dalam hal ini kaum Yahudi merasa terganggu dan tidak
senang dengan kedatangan Nabi Muhammad Saw. ke Madinah dan pengikutnya yang
memeluk agama Islam. Orang-orang Yahudi ini dengan cepat mempersiapkan diri
bagaimana caranya untuk bereaksi terhadap ancaman itu dan mempersiapkan diri
untuk mengadakan perundingan-perundingan. Rencana busuk, tindakan dengan bermaksud jahat, juga
tindakan tersembunyi telah bermula.[13]
Dalam suasana dan atmosfir seperti
inilah surat al-Baqarah turun, surat terpanjang dan paling banyak jenis ajaran
yang dikandungnya. Muhammad al-Ghazali menyebutkan, dengan sindiran, surat ini
mengisyaratkan kesalahan apa yang ada di tangan kaum Yahudi, Firman Allah:
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Kitab (Al-Qur’an) ini
tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.[14]
Dengan cara demikian, menyorot pada
pandangan bahwa kitab lain tidak viable sebagai sumber panduan hukum,
dan tidak otoritatif sebagai acuan atau ekspresi kehendak suci.[15]
Di lebih tiga puluh tempat berbeda,
surat ini mengkolaborasikan secara ekstensif fitur-fitur dan kebaikan karena
ketakutan manusia terhadap Allah. Aspek ini adalah keunikan dari surat ini.
Ketakutan (kemungkinan lain, sadar) terhadap Tuhan adalah kualitas yang dikehendaki
manusia oleh semua agama.[16]
Allah berfirman:
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ôs)s9ur $uZø¢¹ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNà6Î=ö6s% öNä.$Î)ur Èbr& (#qà)®?$# ©!$# 4 bÎ)ur (#rãàÿõ3s? ¨bÎ*sù ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 tb%x.ur ª!$# $ÏZxî #YÏHxq ÇÊÌÊÈ
Dan kepunyaan Allah-lah
apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan
kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu;
bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah),
Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah
dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.[17]
Di antara persoalan penting yang
dibahas dalam al-Qur’an
adalah permasalahan keluarga. Permasalahan keluarga ini dibahas secara panjang
lebar dalam surat al-Baqarah. Salah
satu topik yang menjadi fokus penting dalam persoalan keluarga adalah persamaan
gender.[18]
Sebagaimana diperlihatkan dalam
surat al-Nahl dengan kalimat
ô`tB @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhsÛ ( óOßg¨YtÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÒÐÈ
Barangsiapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman,
Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.[19]
Prinsip yang sama didukung oleh orang-orang
yang beriman dari generasi Nabi Musa as.
yang menentang Fir’aun di Mesir dan
pengikut-pengikutnya. Dikutif pada tempat lain dalam al-Qur’an:
ô`tB @ÏJtã Zpy¥Íhy xsù #tøgä wÎ) $ygn=÷WÏB ( ô`tBur @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @2s ÷rr& 4s\Ré& uqèdur ÑÆÏB÷sãB y7Í´¯»s9'ré'sù cqè=äzôt sp¨Ypgø:$# tbqè%yöã $pkÏù ÎötóÎ/ 5>$|¡Ïm ÇÍÉÈ
Orang yang melakukan
kejahatan akan mendapatkan balasan kejahatan pula, tapi siapa yang berbuat kebaikan, baik laki-laki
maupun perempuan dan mereka beriman ganjaran adalah surga dan akan menerima
rahmat yang tiada batasnya.[20]
Dalam menafsirkan surat al-Baqarah
ini Muhammad al-Ghazali menutupnya dengan sebuah kesimpulan singkat. Disebutkan
di atas bahwa perhatiannya lebih tertuju pada fenomena sejarah bahwa umat ini
mencapai pengaruh dan supremasi, ini terlihat dari kondisi masyarakat yang
arogansi dan lebih congkak serta memandang rendah kepada umat yang lebih lemah. Berkurangnya
kecongkaan pada masa-masa dewasa ini adalah merupakan contoh kehidupan yang
lebih baik. [21]
Kaum muslimin
disini disebutkan sebagai satu umat terkemuka, bagaimanapun dan pada puncak
pencapaiannya, mereka sepenuhnya tunduk memohon ampunan
kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, Muhammad al-Ghazali menyebutkan do’anya.[22]
2.
Penafsiran
Surat Ali Imran (Keluarga Imran)
Dalam surat ini permasalahan yang
dibahas adalah berkisar pada dua isu utama: perdebatan dengan Ahli Kitab,
Yahudi dan Nasrani, orang-orang Yahudi Madinah menghasut menentang Islam; dan
meninjau dan menilai kekalahan tragis dan memalukan yang diderita oleh karun muslimin
di perang Uhud pada tahun 625 M.
Dua isu itu dikemukakan secara
terpisah menurut isu masing-masing sehingga menjadi satu subyek. Hasil dari
keseluruhan diskusi tampaknya bertumpu pada keteguhan hati dan ketabahan yang
diperlukan untuk menghadapi isu
itu: perencanaan memantapkan kedudukan orang Yahudi di dalam kota Madinah dan
diserang orang kafir dari luar Madinah.[23]
Islam adalah agama yang ditujukan
kepada umat manusia tanpa terkecuali. Bagi yang menganutnya tentu akan memegang
teguh keyakinan mereka, sedangkan yang menolaknya dan melakukakan agresi
terhadap Islam dan kaum musliminin
maka akan dihadapi dengan tegas. Hal ini jelas dibahas dalam ayat berikut.
÷bÎ*sù x8q_!%tn ö@à)sù àM÷Kn=ór& }Îgô_ur ¬! Ç`tBur Ç`yèt7¨?$# 3 @è%ur tûïÏ%©#Ïj9 (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# z`¿ÍhÏiBW{$#ur óOçFôJn=ór&uä 4 ÷bÎ*sù (#qßJn=ór& Ïs)sù (#rytF÷d$# ( cÎ)¨r (#öq©9uqs? $yJ¯RÎ*sù øn=tã à÷»n=t6ø9$# 3 ª!$#ur 7ÅÁt/ Ï$t6Ïèø9$$Î/ ÇËÉÈ
Kemudian jika mereka
mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: “Aku menyerahkan
diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. Dan
katakanlah kepada orang-orang
yang ummy: “Apakah kamu (mau) masuk Islam”. Jika mereka masuk Islam,
sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka
kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah maha melihat
akan hamba-Nya.[24]
Surat ini dimulai dengan menekankan
bahwa Islam adalah sebuah panduan universal, dan al-Qur’an merupakan sebuah konfirmasi
dari semua wahyu yang telah diturunkan sebelumnya. Wahyu Allah adalah satu
dalam pengertian bahwa ia ditentukan tanpa kesalahan tajam dan mengadung
persoalan-persoalan yang tegas. Surat ini menyoroti fakta bahwa Musa as. dan Muhammad Saw. telah menempuh jalan
yang sama, dan bahwa ruang lingkup Islam mencakupi semua wahyu agama lain tanpa
memperhatikan waktu dan tempat.
Muhammad al-Ghazali
menyampaikan bahwa Ahli Kitab adalah istilah yang mengacu kepada orang Yahudi
dan Nasrani. Berbeda dengan perdebatan orang Yahudi,
perdebatan (dengan orang
Nasrani di Madinah adalah tenang dan pelan. Pada masa Nabi Muhammad,
kapasitas kaum Yahudi untuk membawa wahyu Allah ke depan
telah mencapai titik nadirnya. Jantung rabbi mereka sangat keras, moral mereka
memburuk, dan sifat mementingkan diri sendiri lebih utama ketimbang
tangan mereka ke atas; ketamakan material dan keduniawian telah
menjadikan semata-mata keasyikan tersendiri bagi mereka.[25]
Muhammad al-Ghazali menganalisis
uraian surat dan memberikan gambaran umum yang ada di dalamnya. Muhammad
al-Ghazali menyebutkan pada pembahasan, bahwa para Rabbi
tidak senang dengan keputusan Allah untuk memberikan preferensi kepada orang
Arab dan memilih mereka pada masa ini untuk menjadi penjaga wahyu Allah.
Kajian dalam surat ini dimulai
dengan permasalahan Yahudi dan Ahli Kitab dan mulai bergulir pada kisah Maryam.
Konsep kelahiran Maryam dan Isa adalah bagian tersendiri yang dijelaskan
panjang lebar dalam surat ini. Mulai dari kelahiran Maryam, keadaan orang
tuanya yang ketika itu me-nadzar-kan bayi mereka antuk mengabdi di Bait al-Maqdis. Maryam pada
akhirnya diasuh oleh Nabi Zakaria
as. yang semakin hari merasakan keistimewaan Maryam dan
rahmat yang begitu besar bagi Maryam. Hingga kelahiran Isa yang membawa misi
bagi memperbaharui keadaan umat mereka,
menghilangkan kecongkakan
pemimpin mereka, dan mereka
memiliki komitmen untuk berperilaku rendah hati terhadap Allah dan kepada
manusia di antara mereka.[26]
Meskipun sebagian besar para
sarjana percaya bahwa Isa as.
hidup sampai ke Surga. Berbeda dengan Muhammad al-Ghazali yang lebih mempercayai
dengan pendapat para sarjana yang mengatakan bahwa Isa as. wafat dengan kematian yang normal, ia juga menyebutkan
pendapat Ibn Hazm, bahwa Isa
as. akan dihidupkan kembali
ke kehidupan yang normal untuk melanjutkan misinya menyebarkan keimanan monoteisme.[27]
Pada surat ini diakhiri dengan
penjelasan singkat tentang adanya dua subyek utama yang terdapat pada surat.
Ayat yang pertama membicarakan tentang Ahli Kitab dan pendirian yang diharapkan
dari Ahli Kitab melalui Nabi Muhammad Saw. Untuk menegaskan hal ini Muhammad al-Ghazaii
mengutip ayat:
¨bÎ)ur ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# `yJs9 ß`ÏB÷sã «!$$Î/ !$tBur tAÌRé& öNä3ös9Î) !$tBur tAÌRé& öNÍkös9Î) tûüÏèϱ»yz ¬! w tbrçtIô±o ÏM»t$t«Î/ «!$# $YYyJrO ¸xÎ=s% 3 Í´¯»s9'ré& öNßgs9 öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u 3 cÎ) ©!$# ßìÎ| É>$|¡Åsø9$# ÇÊÒÒÈ
Sesungguhnya di antara ahli kitab ada
orang yang beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kamu dan apa
yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka
tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga sedikit. Mereka memperoleh pahala
di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya. [28]
Ayat di atas menyampaikan
kepada kaum Yahudi dan Nasrani sebuah undangan yang terbuka untuk memperhatikan
panggilan Islam dan menerima pesan yang disampaikan atas nama Allah kepada
seluruh umat manusia.
Ayat kedua dan ayat penutup surat
ini ditujukan kepada kaum Muslimin.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#rçÉ9ô¹$# (#rãÎ/$|¹ur (#qäÜÎ/#uur (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè?
Hai orang-orang yang beriman,
bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di
perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.[29]
Ayat ini ditujukan secara terarah
kepada orang-orang yang mempercayai Muhammad Saw. dan mengikutinya untuk mempertahankan
erat-erat pesan yang disampaikannya dan Allah akan memuliakan mereka.[30]
3.
Surat
al-Nisa’ (wanita)
Surat ini dimulai dengan pemaparan
seputar nukleus masyarakat, keluarga, dan isu-isu yang berhubungan dengannya. Subyek keseluruhan surat
kemudian hubungan sosial manusia dan bagaimana mereka berkelakuan untuk saling
berhubungan.
Pembukaan surat ini dimulai dengan
ayat yang memerintahkan manusia untuk bertakwa, dan menekankan
kemahakuasaan-Nya dan total mengendalikan manusia. Selain itu dalam surat ini
juga terdapat kalimat yang menggalakkan optimisme untuk meraih harapan dalam
kebaikan dan kemurahan Allah.
Pada ayat 31 disebutkan:
bÎ) (#qç6Ï^tFøgrB tͬ!$t62 $tB tböqpk÷]è? çm÷Ytã öÏeÿs3çR öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy Nà6ù=ÅzôçRur WxyzôB $VJÌx. ÇÌÊÈ
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di
antara dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kamu hapus
kesalahan-kesalahan (dosa-dosa yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat
yang mulia.[31]
Selain itu ayat 110 menyebutkan:
`tBur ö@yJ÷èt #¹äþqß ÷rr&
öNÎ=ôàt ¼çm|¡øÿtR ¢OèO ÌÏÿøótGó¡o ©!$# ÏÉft ©!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊÊÉÈ
Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan
dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah. niscaya ia mendapati
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[32]
Bagian surat yang berhubungan
dengan persoalan-persoalan keluarga dimulai
dengan menentukan hak-hak anak yatim dalam masyarakat muslim. Obyek ini dipilih
Muhammad al-Ghazali karena anak-anak yatim dari dulu hingga sekarang selalu menjadi
sasaran empuk bagi banyak individual atau kelompok dengan
berbagai ideologi maupun demi kepentingan politik. Anak-anak yatim tersebut
menjadi obyek yang dipengaruhi, didominasi dan
dieksploitasi untuk banyak kepentingan tersebut. Karenanya Islam sangat
memperdulikan posisi mereka dalam masyarakat, termasuk juga menjaga hak-hak dan
kebaikan mereka.[33]
Selanjutnya surat ini membicarakan
persoalan perkawinan dan poligami yang masih menjadi perdebatan hingga saat
ini. Disebutkan bahwa laki-laki diizinkan untuk memiliki empat istri. Tetapi
laki-laki yang ingin mengambil istri kedua tidak disarankan kecuali kalau mereka
memenuhi syarat-syaratnya, yaitu
memperlihatkan tindakan yang adil terhadap kedua istrinya. Lebih jauh lagi
Muhammad al-Ghazali menjelaskan bahwa dalam Islam sebuah perkawinan tidak
diizinkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, dan setiap wanita yang tidak
menghendaki perkawinan poligami, memiliki hak untuk menolaknya. Hukum Islam
bahkan menenetapkan lebih jauh lagi dari itu dan memberikan istri hak untuk
menolak dimadu dalam kontrak perkawinan itu. Menurut ahli hukum yakni Ahmad ibn
Hanbal, suami diwajibkan mematuhi kondisi seperti itu atau istri boleh minta
cerai dan dibenarkan.[34]
Surat ini kemudian beralih pada
pelaksanaan pengalokasian harta
warisan dan seputar pembagiannya di antara anggota keluarga dan saudara yang
masih hidup. Selain itu permasalahan kaum ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani juga
masih dibahas dalam surat ini, lalu surat ini kembali mendiskusikan hubungan keluarga
dengan topik pada awal surat. Dimulai dengan prinsip umum keadilan dan
rekonsiliasi terhadap hubungan-hubungan ini.[35]
Setelah membahas surat, Muhammad
al-Ghazali selalu menyelipkan analisanya di antara bahasan tema-tema yang
terdapat dalam surat dengan menggunakan bahasa yang akrab seolah sedang
berbincang dengan audiens. [36]
Selanjutnya Muhammad al-Ghazali
selalu mengakhiri
kajian surat dengan memberikan kesimpulan ringkas
tentang tema-tema yang dibahas dalam surat. Kaitan antara tema awal dan akhirnya
yang saling menyatu dalam sebuah tema
besar.
Surat ini diakhiri dengan satu ayat
berangkat dengan masalah kewarisan sehubungan dengan suami istri yang tidak
mempunyai anak dan tentang anak yatim. Perkara ini menjelaskan tentang
lingkaran subyek peristiwa-peristiwa keluarga pada pembukaan surat. Jadi dapat dilihat subyek persoalan surat
ini berkisar tema kehidupan sosial dan hubungan sosial secara umum dan bermacam-macam kelompok yang
membentuk masyarakat dan budayanya serta struktur agamanya. Unit keluarga
adalah satu model miniatur bagi masyarakat secara keseluruhan, sedangkan
masyarakat adalah satu model dari satu keluarga besar, dan dengan kemurahan
Allah dan bimbingan-Nya mencakup mereka semuanya. Bagi orang-orang yang kurang
dalam persepsi, bagaimanapun surat ini telah
menunjukkan susunan koleksi dari bagian-bagian yang terputus-putus itu, yang
telah membuat mereka salah paham.[37]
[1]
Mahmud Syalthut, dalam
Pengantar Muhammad al-Bahiy, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Mesir: Dar
Al-Qalam, t.th), h. 7. Lihat juga M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), cet. ke-13, h. 112.
[3] Ahsin Muhammad Asyrafuddin, Corak Dan Metode Yang Perlu
Dikembangkan: Dalam Pengembangan Dan Pengajaran Tafsir di PTA, (Jakarta: IAIN
Syarif Hidayatullah, 1992), h. 30.
[5]
Muhammad al-Ghazali,
A Thematic Interpretation on the
Qur’an, (Malaysia: Islamic Book Trust, 2001), h. 55. Lihat juga halaman daftar
isi kitab Muhammad al-Ghazali, Naḥwa Tafsīr Maudhū’iy li Suwar
Al-Qur’ān al-Karīm, (Birut: Dār al-Syurūq, 1995).
[6]
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari
Hemeneutika Hingga Ideologi, (Bandung: Teraju, 2003), h. 121.
[14]
Q.S. al-Baqarah: 2.
[17]
QS. An-Nisa: 131.
[19]
QS. Al-Nahl: 97.
[20]
QS. Al-Mu’min: 40.
[24] QS. Ali Imran: 20.
[29] QS. Ali Imran: 200.
[31] QS. An-Nisa: 31.
[32] QS. An-Nisa: 110.