Monday, March 4, 2019

B. Kitab Naḥwa Tafsīr Maudhū’iy li Suwar Al-Qur’ān al-Karīm


  A.      Kitab Naḥwa Tafsīr Maudhū’iy li Suwar Al-Qur’ān al-Karīm


1.         Latar Belakang Pembukuan
Munculnya berbagai macam kitab tafsir menunjukkan bahwa betapa pentingnya mempelajari dan memahami petunjuk agama yang terdapat dalam al-Qur’an. Para mufassir dalam menulis kitab tafsir pada umumnya mempunyai motifasi tertentu untuk menulisnya. Sebagian mufassir menulis kitab tafsir karena ingin meringkas sebuah kitab tafsir yang telah ada yang dalam pandangan mufassir tersebut terlalu luas. Ada pula sebagian mufassir yang terdorong karena adanya permintaan dari masyarakat sekitarnya supaya dia menyusun kitab tafsir. Di sisi lain ada juga yang mempunyai motifasi menyusun karyanya karena ingin menguatkan suatu mazhab baik dalam bidang theologi maupun fiqh sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Zamakhsyariy dalam kitabnya Al-Kasysyāf dan Al-Jasas dalam kitabnya Aḥkām Al-Qur’ān. Ada juga yang disebabkan oleh ketidakpuasan seorang mufassir dengan karya tafsir sebelumnya, yang belum mampu mengungkap hidayah al-Qur’an sehingga perlu adanya penafsiran yang mampu mengungkapkannya. Seperti penafsiran yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Rida dengan kitab Al-Manār.[1]
Dengan demikian penyusunan sebuah kitab, terkadang mempunyai tujuan yang hendak dicapai oleh mufassir-nya baik dilihat dari sisi internal (dorongan dari diri sendiri) atau eksternal (dorongan dari luar dirinya atau dari situasi dan kondisi yang menuntut dirinya untuk menulis sebuah kitab).
Dalam hal ini Muhammad al-Ghazali dengan sangat sungguh-sungguh menjelaskan betapa umat Islam sangat membutuhkan al-Qur’an, agar umat Islam mengetahui falsafah umum tentang agama dan kehidupan. Keputusan Muhammad al-Ghazali meneruskan penulisan kitab tafsirnya adalah karena untuk kepentingan umat Islam dalam hal ini para pembaca, yang pada akhirnya masyarakat Islam mampu membangun, pandangan-pandangan yang benar tentang manusia dan alam semesta serta Yang Maha Pencipta dengan berpijak pada al-Qur’an.[2]

2.         Sistematika Penulisan Kitab Tafsir Karya Muhammad al-Ghazali.
Setiap karya tafsir memiliki sistematika yang berbeda-beda dalam sistem penafsirannya, yang dimaksud dengan sistematika penafsiran al-Qur’an adalah aturan penyusunan atau tata cara dalam menafsirkan al-Qur’an. Misalnya yang berkaitan dengan teknik penyusunan atau penulisan sebuah tafsir, jadi sistematika penafsiran lebih menenekankan pada prosedur penafsiran yang dilalui atau lebih menekankan pada aturan-aturan penanganan ayat-ayat al-Qur’an.[3]
Sistematika yang berkembang dalam penafsiran al-Qur’an ada tiga. Pertama, sistematika tartīb al-musḥāfī, yaitu penafsiran ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan dalam musḥāf al-Qur’an. Kedua, sistematika tartīb al-nuzūl, yaitu penafsiran berdasarkan urutan turunnya ayat. Ketiga, sistematika maudhū’, yaitu penafsiran berdasarkan tema yang telah ditetapkan dan biasanya ditempuh oleh mufassir yang menafsirkan al-Qur’an dengan metode maudhū’iy.[4]
Sistematika yang digunakan oleh Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya Naḥwa Tafsīr Maudhū’iy li Suwar al-Qur’ān al-Karīm seperti layaknya sistematika al-tartīb al-musḥāfī, yakni menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an berdasarkan urutan surat yang terdapat dalam musḥāf. Dalam hal ini Muhammad al-Ghazali merampungkan penafsiran seluruhnya dimulai dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas. [5]
Islah Gusmian dalam buku Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hemeneutika Hingga Ideologi berpendapat sistematika tafsir musḥāfī termasuk dalam sistematika penyajian runtut. Sistematika runtut adalah model sistematika penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada, Pertama, urutan surat yang ada dalam model musḥāf standar, dan Kedua, mengacu pada urutan turunnya wahyu.[6]
Model musḥāfī yang pertama telah umum dipakai oleh para mufassir. Di antaranya dari tafsir-tafsir klasik sepeti tafsīr Jalālain, dan dari tafsir kontemporer seperti tafsīr Al-Manār. Kitab-kitab tafsir ini menggunakan sistematika penulisan yang pertama. Sedangkan model kedua yakni menurut urutan turunnya wahyu, tidak banyak dipakai oleh para mufassir. Salah satu yang menggunakan sistematika model ini adalah kitab Al-Tafsīr al-Bayān li al-Qur’ān al-Karīm karya Bintu Syathi’.[7]
Muhammad al-Ghazali lebih menerapkan metode maudhū’iy denga tafsir surat. Lebih lanjut dijelaskan yang dimaksud tafsir surat adalah menjelaskan satu surat secara keseluruhan dengan menjelaskan isi kandungan surat tersebut, baik yang bersifat umum maupun khusus dan menjelaskan keterkaitan antara tema yang satu dengan yang lainnya. Sehingga surat tersebut nampak merupakan suatu pembahasaan yang sangat kokoh dan cermat.[8]
Muhammad al-Ghazali lebih menegaskan lagi, menurut pendekatan ini masing-masing surat al-Qur’an disuguhkan sebagai satu keseluruhan unit. Penjelasan tematik (maudhū’iy), atau gambaran ringkas dari masing-masing surat kemudian dijelaskan, lalu mengidentifikasi tema utamanya atau tema-tema serta pengertian dan ide-ide yang tajam dikaitkan dengan persoalan subyeknya.[9]
Secara teknis Muhammad al-Ghazali menafsirkan surat dengan model penulisan yang dilakukan dengan mengelompokkan tema yang tedapat dalam surat dan dikerucutkan dalam tema besar yang dibahas dalam surat tersebut. Menurut Muhammad al-Ghazali setiap surat memiliki satu pesan yang ingin disampaikan, jadi dalam satu surat terdapat satu kesatuan maksud dan tujuan. Inilah yang dimaksudkan Muhammad al-Ghazali dalam tafsir tematiknya. Muhammad al-Ghazali menafsirkan ayat-ayat tertentu dan diuraikan dengan mengkorelasikan antara satu ayat dengan ayat lain, baik dengan ayat yang terdapat dalam satu surat maupun yang terdapat dalam surat lainnya.[10]
Untuk lebih jelasnya penulis mencoba untuk mengutip kajian yang digunakan Muhammad al-Ghazali:
1.        Pada surat al-Baqarah
Dalam setiap surat Muhammad al-Ghazali selalu memulainya dengan menyebutkan fokus permasalahan yang lebih dominan dibahas dalam surat tersebut. Pada surat al-Baqarah ini dimulai dengan pemaparan permasalahan yang merupakan bagian dari asbāb al-nuzūl dan sosio historis masyarakat ketika surat al-Baqarah pertama kali diturunkan. Dalam surat al-Baqarah setelah menyebutkan surat yang dibahas (nama surat), Muhammad al-Ghazali menyebutkan permasalahan sekitar hijrah masyarakat muslim yang tinggal di Makkah ke Madinah sekitar tahun 622 M.[11] Disini Muhammad al-Ghazali seolah-olah memberikan prolog pada permasalahan inti yang akan dibahas dalam surat tersebut.
Lebih lanjut Muhammad al-Ghazali menyebutkan pada masa pasca hijrah tersebut semua perhatian lebih dipokuskan pada pembangunan masyarakat otonom muslim. Dengan memeluk agama baru (Islam), anggota masyarakat memiliki hak mereka masing-masing, berhasil memisahkan diri dari pemujaan berhala, politeisme dan bentuk-bentuk lain dari tradisi keberhalaan dan amalan bangsa Arab masa itu. Dilanjutkan dengan kondisi dan konflik yang terjadi seputar hijrah Nabi Muhammad Saw. dan kaum muslimin.[12]
Persekutuan dengan kaum Yahudi yang pada waktu itu merasa bahwa merekalah yang berhak atas agama dan mereka memonopoli sebagai kaum terpilih. Dalam hal ini kaum Yahudi merasa terganggu dan tidak senang dengan kedatangan Nabi Muhammad Saw. ke Madinah dan pengikutnya yang memeluk agama Islam. Orang-orang Yahudi ini dengan cepat mempersiapkan diri bagaimana caranya untuk bereaksi terhadap ancaman itu dan mempersiapkan diri untuk mengadakan perundingan-perundingan. Rencana busuk, tindakan dengan bermaksud jahat, juga tindakan tersembunyi telah bermula.[13]
Dalam suasana dan atmosfir seperti inilah surat al-Baqarah turun, surat terpanjang dan paling banyak jenis ajaran yang dikandungnya. Muhammad al-Ghazali menyebutkan, dengan sindiran, surat ini mengisyaratkan kesalahan apa yang ada di tangan kaum Yahudi, Firman Allah:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.[14]

Dengan cara demikian, menyorot pada pandangan bahwa kitab lain tidak viable sebagai sumber panduan hukum, dan tidak otoritatif sebagai acuan atau ekspresi kehendak suci.[15]
Di lebih tiga puluh tempat berbeda, surat ini mengkolaborasikan secara ekstensif fitur-fitur dan kebaikan karena ketakutan manusia terhadap Allah. Aspek ini adalah keunikan dari surat ini. Ketakutan (kemungkinan lain, sadar) terhadap Tuhan adalah kualitas yang dikehendaki manusia oleh semua agama.[16] Allah berfirman:
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ôs)s9ur $uZøŠ¢¹ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNà6Î=ö6s% öNä.$­ƒÎ)ur Èbr& (#qà)®?$# ©!$# 4 bÎ)ur (#rãàÿõ3s? ¨bÎ*sù ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 tb%x.ur ª!$# $ÏZxî #YŠÏHxq ÇÊÌÊÈ    
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.[17]

Di antara persoalan penting yang dibahas dalam al-Qur’an adalah permasalahan keluarga. Permasalahan keluarga ini dibahas secara panjang lebar dalam surat al-Baqarah. Salah satu topik yang menjadi fokus penting dalam persoalan keluarga adalah persamaan gender.[18]
Sebagaimana diperlihatkan dalam surat al-Nahl dengan kalimat
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ  
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[19]

 Prinsip yang sama didukung oleh orang-orang yang beriman dari generasi Nabi Musa as. yang menentang Fir’aun di Mesir dan pengikut-pengikutnya. Dikutif pada tempat lain dalam al-Qur’an:
ô`tB Ÿ@ÏJtã Zpy¥ÍhŠy Ÿxsù #tøgä žwÎ) $ygn=÷WÏB ( ô`tBur Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4s\Ré& uqèdur ÑÆÏB÷sãB y7Í´¯»s9'ré'sù šcqè=äzôtƒ sp¨Ypgø:$# tbqè%yöãƒ $pkŽÏù ÎŽötóÎ/ 5>$|¡Ïm ÇÍÉÈ  
Orang yang melakukan kejahatan akan mendapatkan balasan kejahatan pula, tapi siapa yang berbuat kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dan mereka beriman ganjaran adalah surga dan akan menerima rahmat yang tiada batasnya.[20]

Dalam menafsirkan surat al-Baqarah ini Muhammad al-Ghazali menutupnya dengan sebuah kesimpulan singkat. Disebutkan di atas bahwa perhatiannya lebih tertuju pada fenomena sejarah bahwa umat ini mencapai pengaruh dan supremasi, ini terlihat dari kondisi masyarakat yang arogansi dan lebih congkak serta memandang rendah kepada umat yang lebih lemah. Berkurangnya kecongkaan pada masa-masa dewasa ini adalah merupakan contoh kehidupan yang lebih baik. [21]
Kaum muslimin disini disebutkan sebagai satu umat terkemuka, bagaimanapun dan pada puncak pencapaiannya, mereka sepenuhnya tunduk memohon ampunan kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, Muhammad al-Ghazali menyebutkan do’anya.[22]

2.        Penafsiran Surat Ali Imran (Keluarga Imran)
Dalam surat ini permasalahan yang dibahas adalah berkisar pada dua isu utama: perdebatan dengan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, orang-orang Yahudi Madinah menghasut menentang Islam; dan meninjau dan menilai kekalahan tragis dan memalukan yang diderita oleh karun muslimin di perang Uhud pada tahun 625 M.
Dua isu itu dikemukakan secara terpisah menurut isu masing-masing sehingga menjadi satu subyek. Hasil dari keseluruhan diskusi tampaknya bertumpu pada keteguhan hati dan ketabahan yang diperlukan untuk menghadapi isu itu: perencanaan memantapkan kedudukan orang Yahudi di dalam kota Madinah dan diserang orang kafir dari luar Madinah.[23]
Islam adalah agama yang ditujukan kepada umat manusia tanpa terkecuali. Bagi yang menganutnya tentu akan memegang teguh keyakinan mereka, sedangkan yang menolaknya dan melakukakan agresi terhadap Islam dan kaum musliminin maka akan dihadapi dengan tegas. Hal ini jelas dibahas dalam ayat berikut.
÷bÎ*sù x8q_!%tn ö@à)sù àM÷Kn=ór& }Îgô_ur ¬! Ç`tBur Ç`yèt7¨?$# 3 @è%ur tûïÏ%©#Ïj9 (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# z`¿ÍhÏiBW{$#ur óOçFôJn=ór&uä 4 ÷bÎ*sù (#qßJn=ór& Ïs)sù (#rytF÷d$# ( cÎ)¨r (#öq©9uqs? $yJ¯RÎ*sù šøn=tã à÷»n=t6ø9$# 3 ª!$#ur 7ŽÅÁt/ ÏŠ$t6Ïèø9$$Î/ ÇËÉÈ  
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang ummy: “Apakah kamu (mau) masuk Islam”. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah maha melihat akan hamba-Nya.[24]

Surat ini dimulai dengan menekankan bahwa Islam adalah sebuah panduan universal, dan al-Qur’an merupakan sebuah konfirmasi dari semua wahyu yang telah diturunkan sebelumnya. Wahyu Allah adalah satu dalam pengertian bahwa ia ditentukan tanpa kesalahan tajam dan mengadung persoalan-persoalan yang tegas. Surat ini menyoroti fakta bahwa Musa as. dan Muhammad Saw. telah menempuh jalan yang sama, dan bahwa ruang lingkup Islam mencakupi semua wahyu agama lain tanpa memperhatikan waktu dan tempat.
Muhammad al-Ghazali menyampaikan bahwa Ahli Kitab adalah istilah yang mengacu kepada orang Yahudi dan Nasrani. Berbeda dengan perdebatan orang Yahudi, perdebatan (dengan orang Nasrani di Madinah adalah tenang dan pelan. Pada masa Nabi Muhammad, kapasitas kaum Yahudi untuk membawa wahyu Allah ke depan telah mencapai titik nadirnya. Jantung rabbi mereka sangat keras, moral mereka memburuk, dan sifat mementingkan diri sendiri lebih utama ketimbang tangan mereka ke atas; ketamakan material dan keduniawian telah menjadikan semata-mata keasyikan tersendiri bagi mereka.[25]
Muhammad al-Ghazali menganalisis uraian surat dan memberikan gambaran umum yang ada di dalamnya. Muhammad al-Ghazali menyebutkan pada pembahasan, bahwa para Rabbi tidak senang dengan keputusan Allah untuk memberikan preferensi kepada orang Arab dan memilih mereka pada masa ini untuk menjadi penjaga wahyu Allah.
Kajian dalam surat ini dimulai dengan permasalahan Yahudi dan Ahli Kitab dan mulai bergulir pada kisah Maryam. Konsep kelahiran Maryam dan Isa adalah bagian tersendiri yang dijelaskan panjang lebar dalam surat ini. Mulai dari kelahiran Maryam, keadaan orang tuanya yang ketika itu me-nadzar-kan bayi mereka antuk mengabdi di Bait al-Maqdis. Maryam pada akhirnya diasuh oleh Nabi Zakaria as. yang semakin hari merasakan keistimewaan Maryam dan rahmat yang begitu besar bagi Maryam. Hingga kelahiran Isa yang membawa misi bagi memperbaharui keadaan umat mereka, menghilangkan kecongkakan pemimpin mereka, dan mereka memiliki komitmen untuk berperilaku rendah hati terhadap Allah dan kepada manusia di antara mereka.[26]
Meskipun sebagian besar para sarjana percaya bahwa Isa as. hidup sampai ke Surga. Berbeda dengan Muhammad al-Ghazali yang lebih mempercayai dengan pendapat para sarjana yang mengatakan bahwa Isa as. wafat dengan kematian yang normal, ia juga menyebutkan pendapat Ibn Hazm, bahwa Isa as. akan dihidupkan kembali ke kehidupan yang normal untuk melanjutkan misinya menyebarkan keimanan monoteisme.[27]
Pada surat ini diakhiri dengan penjelasan singkat tentang adanya dua subyek utama yang terdapat pada surat. Ayat yang pertama membicarakan tentang Ahli Kitab dan pendirian yang diharapkan dari Ahli Kitab melalui Nabi Muhammad Saw. Untuk menegaskan hal ini Muhammad al-Ghazaii mengutip ayat:
¨bÎ)ur ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# `yJs9 ß`ÏB÷sム«!$$Î/ !$tBur tAÌRé& öNä3ös9Î) !$tBur tAÌRé& öNÍköŽs9Î) tûüÏèϱ»yz ¬! Ÿw tbrçŽtIô±o ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# $YYyJrO ¸xŠÎ=s% 3 šÍ´¯»s9'ré& öNßgs9 öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u 3 žcÎ) ©!$# ßìƒÎŽ|  É>$|¡Åsø9$# ÇÊÒÒÈ  
Sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kamu dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya. [28]
Ayat di atas menyampaikan kepada kaum Yahudi dan Nasrani sebuah undangan yang terbuka untuk memperhatikan panggilan Islam dan menerima pesan yang disampaikan atas nama Allah kepada seluruh umat manusia.
Ayat kedua dan ayat penutup surat ini ditujukan kepada kaum Muslimin.
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#rçŽÉ9ô¹$# (#rãÎ/$|¹ur (#qäÜÎ/#uur (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè?  
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.[29]
Ayat ini ditujukan secara terarah kepada orang-orang yang mempercayai Muhammad Saw. dan mengikutinya untuk mempertahankan erat-erat pesan yang disampaikannya dan Allah akan memuliakan mereka.[30]

3.        Surat al-Nisa’ (wanita)
Surat ini dimulai dengan pemaparan seputar nukleus masyarakat, keluarga, dan isu-isu yang berhubungan dengannya. Subyek keseluruhan surat kemudian hubungan sosial manusia dan bagaimana mereka berkelakuan untuk saling berhubungan.
Pembukaan surat ini dimulai dengan ayat yang memerintahkan manusia untuk bertakwa, dan menekankan kemahakuasaan-Nya dan total mengendalikan manusia. Selain itu dalam surat ini juga terdapat kalimat yang menggalakkan optimisme untuk meraih harapan dalam kebaikan dan kemurahan Allah.
Pada ayat 31 disebutkan:
bÎ) (#qç6Ï^tFøgrB tÍ¬!$t6Ÿ2 $tB tböqpk÷]è? çm÷Ytã öÏeÿs3çR öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy Nà6ù=ÅzôçRur WxyzôB $VJƒÌx. ÇÌÊÈ  
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kamu hapus kesalahan-kesalahan (dosa-dosa yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia.[31]
Selain itu ayat 110 menyebutkan:
`tBur ö@yJ÷ètƒ #¹äþqß ÷rr& öNÎ=ôàtƒ ¼çm|¡øÿtR ¢OèO ̍ÏÿøótGó¡o ©!$# ÏÉftƒ ©!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊÊÉÈ  
Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah. niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[32]
Bagian surat yang berhubungan dengan persoalan-persoalan keluarga dimulai dengan menentukan hak-hak anak yatim dalam masyarakat muslim. Obyek ini dipilih Muhammad al-Ghazali karena anak-anak yatim dari dulu hingga sekarang selalu menjadi sasaran empuk bagi banyak individual atau kelompok dengan berbagai ideologi maupun demi kepentingan politik. Anak-anak yatim tersebut menjadi obyek yang dipengaruhi, didominasi dan dieksploitasi untuk banyak kepentingan tersebut. Karenanya Islam sangat memperdulikan posisi mereka dalam masyarakat, termasuk juga menjaga hak-hak dan kebaikan mereka.[33]
Selanjutnya surat ini membicarakan persoalan perkawinan dan poligami yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Disebutkan bahwa laki-laki diizinkan untuk memiliki empat istri. Tetapi laki-laki yang ingin mengambil istri kedua tidak disarankan kecuali kalau mereka memenuhi syarat-syaratnya, yaitu memperlihatkan tindakan yang adil terhadap kedua istrinya. Lebih jauh lagi Muhammad al-Ghazali menjelaskan bahwa dalam Islam sebuah perkawinan tidak diizinkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, dan setiap wanita yang tidak menghendaki perkawinan poligami, memiliki hak untuk menolaknya. Hukum Islam bahkan menenetapkan lebih jauh lagi dari itu dan memberikan istri hak untuk menolak dimadu dalam kontrak perkawinan itu. Menurut ahli hukum yakni Ahmad ibn Hanbal, suami diwajibkan mematuhi kondisi seperti itu atau istri boleh minta cerai dan dibenarkan.[34]
Surat ini kemudian beralih pada pelaksanaan pengalokasian harta warisan dan seputar pembagiannya di antara anggota keluarga dan saudara yang masih hidup. Selain itu permasalahan kaum ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani juga masih dibahas dalam surat ini, lalu surat ini kembali mendiskusikan hubungan keluarga dengan topik pada awal surat. Dimulai dengan prinsip umum keadilan dan rekonsiliasi terhadap hubungan-hubungan ini.[35]
Setelah membahas surat, Muhammad al-Ghazali selalu menyelipkan analisanya di antara bahasan tema-tema yang terdapat dalam surat dengan menggunakan bahasa yang akrab seolah sedang berbincang dengan audiens. [36]
Selanjutnya Muhammad al-Ghazali selalu mengakhiri kajian surat dengan memberikan kesimpulan ringkas tentang tema-tema yang dibahas dalam surat. Kaitan antara tema awal dan akhirnya yang saling menyatu dalam sebuah tema besar.
Surat ini diakhiri dengan satu ayat berangkat dengan masalah kewarisan sehubungan dengan suami istri yang tidak mempunyai anak dan tentang anak yatim. Perkara ini menjelaskan tentang lingkaran subyek peristiwa-peristiwa keluarga pada pembukaan surat. Jadi dapat dilihat subyek persoalan surat ini berkisar tema kehidupan sosial dan hubungan sosial secara umum dan bermacam-macam kelompok yang membentuk masyarakat dan budayanya serta struktur agamanya. Unit keluarga adalah satu model miniatur bagi masyarakat secara keseluruhan, sedangkan masyarakat adalah satu model dari satu keluarga besar, dan dengan kemurahan Allah dan bimbingan-Nya mencakup mereka semuanya. Bagi orang-orang yang kurang dalam persepsi, bagaimanapun surat ini telah menunjukkan susunan koleksi dari bagian-bagian yang terputus-putus itu, yang telah membuat mereka salah paham.[37]


[1] Mahmud Syalthut, dalam Pengantar Muhammad al-Bahiy, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Mesir: Dar Al-Qalam, t.th), h. 7. Lihat juga M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), cet. ke-13, h. 112.
[2] Muhammad al-Ghazali, Naḥwa, Op.cit., h. 5. Lihat juga Yusuf Qardhawi, Op.cit., h. 154.
[3] Ahsin Muhammad Asyrafuddin, Corak Dan Metode Yang Perlu Dikembangkan: Dalam Pengembangan Dan Pengajaran Tafsir di PTA, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1992), h. 30.
[4] Ibid.
[5] Muhammad al-Ghazali, A Thematic Interpretation on the Qur’an, (Malaysia: Islamic Book Trust, 2001), h. 55. Lihat juga halaman daftar isi kitab Muhammad al-Ghazali, Naḥwa Tafsīr Maudhū’iy li Suwar Al-Qur’ān al-Karīm, (Birut: Dār al-Syurūq, 1995).
[6] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hemeneutika Hingga Ideologi, (Bandung: Teraju, 2003), h. 121.
[7] Ibid., h. 123.
[8] Muhammad al-Ghazali, Naḥwa, Op.cit., h. 5.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid., h. 11.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Q.S. al-Baqarah: 2.
[15] Muhammad al-Ghazali, Naḥwa, Loc.cit., h. 11.
[16] Ibid.
[17] QS. An-Nisa: 131.
[18] Muhammad al-Ghazali, Naḥwa. Op.cit., h. 20.
[19] QS. Al-Nahl: 97.
[20] QS. Al-Mu’min: 40.
[21] Muhammad al-Ghazali, Naḥwa. Op.cit., h. 25.
[22] Ibid.
[23] Ibid., h. 27.
[24] QS. Ali Imran: 20.
[25] Muhammad al-Gahazali, Naḥwa. Op.cit., h. 28.
[26] Ibid., h. 27.
[27] Ibid., h. 36-37.
[28] Ibid., h. 45. QS. Ali Imran: 199.
[29] QS. Ali Imran: 200.
[30] Muhammad al-Ghazali, Naḥwa. Loc.cit, h. 45
[31] QS. An-Nisa: 31.
[32] QS. An-Nisa: 110.
[33] Muhammad al-Ghazali, Naḥwa. Op.cit., h. 48.
[34] Ibid.
[35] Ibid., h. 48.
[36] Ibid., h. 66.
[37] Ibid., h. 70.