Friday, April 5, 2019

Metode Penafsiran Al-Alûsiy dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani


a.      Metode Penafsiran Al-Alûsiy dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani
1.    Sistematika penafsiran
Adapun sismatika penafsiran yang digunakan dalam kitab ini al-Alûsiy menempuh langkah sebagai berikut :
                                     a.      Setiap awal surat dimulai dengan menyebutkan kategori surat, apakah makkiyah dan madaniyah, setelah itu menjelaskan keutamaan surat yang diambil dari hadis Rasulullah SAW dengan sanad langsung dari sahabat dengan disertai tarjîh. Contohnya ketika menjelaskan surat al-‘Ashr : 1-3
ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ   ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
  
Demi masa,Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Contohnya ketika al-Alûsiy menjelaskan  tentang surat al-‘ashr
Surat ini tergolong makkiyah menurut perkataan Ibn Abbas, Zubair dan jumhur ulama dan ada juga yang menggolongkannya dengan madaniyah menurut perkataan Mujahid, Qatadah dan Maqatil. Surat ini terdiri dari tiga ayat tanpa ada perbedaan tentang itu, di dalamnya terdapat banyak ilmu-ilmu seperti yang dikatakan Al-Syafi’i ra bahwa : kalaulah tidak diturunkannya surat ini, tidak akan sempurna kehidupan manusia karena surat ini mencakup seluruh ilmu-ilmu al-Qur’an. Berkata Thabraniy dalam kitab al-Awsat dan Baihaqiy dalam kitab al-Sya’ab dari Abi Huzaifah : adalah dua laki-laki dari sahabat Nabi apabila mereka bertemu, mereka tidak akan berpisah sampai salah satu dari mereka membaca surat al-‘ashr kemudian mereka mendo’akan satu dari yang lainnya. Ayat ini merupakan isyarat terhadap keadaan orang-orang yang tidak bermegah-megah dalam surat al-takatsur yang dijelaskan setelah surat ini.

            Penulis melihat awalnya al-Alûsiy menggolongkan apakah surat tersebut tergolong makkiyah, madaniyah ataupun tergolong diantara keduanya, kemudian dijelaskan juga pendapat beberapa ulama  dan penjelas langsung dari riwayat-riwayat para sahabat.[1]
                                     b.      Al-Alûsiy menampilkan juga pada setiap ayat perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang qira’at, tetapi ia tidak terpaku pada qira’at  yang mutawatir saja. Contohnya ketika menjelaskan kata قرح surat Ali Imran : 140. al-Alûsiy menjelaskan qira’at  dari beberapa ulama qira’at, yaitu :
{ إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ القوم قَرْحٌ مّثْلُهُ } قرأ حمزة والكسائي وابن عياش عن عاصم بضم القاف والباقون بالفتح ، وهما لغتان كالدف والدف ، والضعف والضعف وقال الفراء : القرح بالفتح الجراحة ، وبالضم ألمها ، ويقرأ بضم القاف والراء على الاتباع كاليسر واليسر ، والطنب والطنب وقرأ أبو السمال بفتحهما وهو مصدر قرح يقرح إذا صار له قرحة والمعنى إن نالوا منكم يوم أحد فقد نلتم منهم قبله يوم بدر
Jika kamu pada (perang uhud) mendapat luka maka kaum (kafir) itupun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. Hamzah, Kasa’iy, dan Ibn Ayyasy dari ‘Ashim qira’atnya dengan mendhamahkan huruf qaf, sedangkan al-baqut dengan menfatahkan huruf qaf, qira’at ini seperti kata dhuffa, dhaffa dan dha’ifa, dhu’afa.Pendapat Fara’ jika difatahkan huruf qaf dengan arti luka (melukai), jika didhammahkan huruf qaf bermakna sakit(menyakiti). Dan ia membaca dengan didhammahkan huruf qaf dan ra. Abu al-Samal dengan menfathahkan huruf qaf dan ha yaitu qaraha, yaqrahu maka masdarnya qarhatun dengan makna jika mendapatkan sakit dari mereka (kaum kafir) pada perang uhud, maka mereka juga mendapatkan hal serupa di perang badar”.

Di sini al-Alûsiy menjelaskan arti dari luka (qarh), ulama berbeda pendapat tentang qira’atnya yaitu dengan mendhammahkan huruf qaf (qaruha) dengan arti menyakiti dan menfathahkan huruf qaf (qaraha) dengan arti melukai. Penulis melihat bahwa arti dari kata ini adalah sama dan menceritakan tentang orang-orang yang tidak disukai Allah  yaitu orang-orang yang zhalim sehingga apa yang dialami kaum muslimin bisa juga dirasakan  kaum kafir karena memang Allah membedakan antara orang yang beriman  dengan orang kafir dan menjadikan sebahagian dari mereka sebagai syuhada’.[2]
                                     c.      Apabila sebuah ayat atau surat memiliki asbab al-nuzul maka       Al-Alûsiy menyebutkan sebab turun ayat tersebut. Contoh ketika menjelaskan surat  al-A’raf : 31
{ يابنى ءادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ } أي ثيابكم لمواراة عوراتكم لأن المستفاد من الأمر الوجوب والواجب إنما هو ستر العورة { عِندَ كُلّ مَسْجِدٍ } أي طواف أو صلاة ، وإلى ذلك ذهب مجاهد وأبو الشيخ وغيرهما ، وسبب النزول على ما روي عن ابن عباس رضي الله تعالى عنهما أنه كان أناس من الأعراب يطوفون بالبيت عراة حتى إن كانت المرأة لتطوف بالبيت
“(hai anak Adam, pakailah pakaianmu) artinya pakailah pakaianmu untuk menutup auratmu, ayat ini memfaedahkan amr yaitu mewajibkan menutup aurat. (ketika masuk mesjid) yaitu thawaf atau shalat dan pendapat mujahid, Abu syaikh dan yang lainnya, bahwa sebab turunnya ayat ini adalah seperti diriwayatkan oleh ibnu abbas ra. Bahwa seorang perempuan dari orang Arab melakukan thawaf dengan tidak menutup auratnya sehingg nampaklah auratnya..”.

Disini sudah jelas bahwa setiap ayat yang mengandung asbab al-nuzul biasanya al-Alûsiy akan menjelaskan di dalam kitab tafsirnya.[3]
                                    d.      al-Alûsiy berupaya menjelaskan sisi munasabah antara ayat dan antar surat. Contohnya ketika membahas tentang munasabah antara surat       al-Baqarah : 281 dengan surat al-baqarah : 3 dan surat    al-fathihah, yaitu :
(dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah) (al-baqarah :281) adapun munasabah ayat ini dengan surat al-fathihah yaitu surat ini mencakup pertama, penjelasan rububiyah, kedua, penjelasan ‘ubudiyah. Ketiga, meminta hidayah dalam hal agama dan kenyakinan. Sedangkan surat al-baqarah mencakup penjelasan pertama tentang rabb yang terdapat dalam surat al-baqarah : 3 kedua dalam hal ibadah....[4]

                                     e.      Al-Alûsiy juga banyak menambah tafsirannya dengan syair-syair Arab sebagai istisyhadi (bukti dan penguat). Contohnya ketika menjelaskan surat    al-baqarah :7
zNtFyz ª!$# 4n?tã öNÎgÎ/qè=è% 4n?tãur öNÎgÏèôJy ( #n?tãur öNÏd̍»|Áö/r& ×ouq»t±Ïî ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOŠÏàtã ÇÐÈ  
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang Amat berat.”

                                      f.      Berkaitan dengan kisah-kisah israiliyyat yang lumrah tersebar di dalam kitab-kitab tafsir dan dipandang sebagai sesuatu yang benar, al-Alûsiy berupaya melakukan penilaian dan penyeleksian dengan sedemikian ketat, ia tidak tergesa-gesa membenarkannya. Bahkan menurut Al-Shabuni, Al-Alûsiy begitu destruktif dalam menghadapi riwayat-riwayat israiliyyat. Ia menyatakan bahwa cerita ini tidak berdasar, dibuat-buat oleh Ahl kitab dan tidak pernah ada pada masa Nuh AS dan tidak seorangpun dari orang kafir yang patut dipercaya. Dan selanjutnya al-Alûsiyy mengatakan
“tidaklah keberanian orang untuk memalsukan hadis serta berdusta terhadap Allah itu mengherankan.yang lebih mengherankan adalah terhadap orang-orang yang memasukkan kisah-kisah ini ke dalam buku-buku ilmiah semacam tafsir, dengan tidak mengetahui kejelasannnya”. Kemudian ia mengatakan, tidak ragu lagi, kitab-kitab semacam ini adalah perbuatan kaum zindik ahl kitab yang bermaksud mengejek dan memperolok para Rasul yang mulia serta pengikutnya.[5]

contoh ketika Al-Alûsiy menafsirkan  surat al-Maidah : 12
ôs)s9ur xyzr& ª!$# t,»sWÏB û_Í_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) $uZ÷Wyèt/ur ÞOßg÷YÏB óÓo_øO$# uŽ|³tã $Y7É)tR ( tA$s%ur ª!$# ÎoTÎ) öNà6yètB ( ÷ûÈõs9 ãNçFôJs%r& no4qn=¢Á9$# ãNçF÷s?#uäur no4qŸ2¨9$# NçGYtB#uäur Í?ßãÎ/ öNèdqßJè?ö¨tãur ãNçGôÊtø%r&ur ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¨btÏeÿŸ2c{ öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy öNà6¨Zn=Åz÷Š_{ur ;M»¨Yy_ ̍øgrB `ÏB $ygÏFøtrB ㍻yg÷RF{$# 4 `yJsù txÿŸ2 y÷èt/ šÏ9ºsŒ öNà6YÏB ôs)sù ¨@|Ê uä!#uqy È@Î6¡¡9$#
  
“Dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik[406] Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus”.

Menurut Al-Baidhawiy dalam tafsirnya Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil bahwa ini adalah kisah tentang seseorang dari Bani Israil yaitu Auj bin ‘Anaq, tetapi menurut Ibnu hajar bahwa kisah ini tidak ada dalil syar’i yang mengisahkannya, Ibn Qayyim juga menjelaskan bahwa hadis tentang Auj bin ‘Anaq adalah palsu.     Al-Alûisy secara tegas mengatakan bahwa cerita tentang Auj bin ‘Anaq ini adalah kurafat yang dibuat-buat karena tidak ada dalil syar’i[6]
                                     g.      Sehubungan dengan ayat-ayat hukum, Al-Alûsiy senantiasa menemukan secara merata pendapat dan pandangan ulama mazhab fikih disertai dalil-dalilnya dengan tidak fanatik terhadap mazhab tertentu. Contohnya sebagaimana dijelaskan dalam surat               al-baqarah ; 236
žw yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ  
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Ayat ini menjelaskan tentang masalah suami yang menceraikan istrinya sebelum bercampur dengannya. Al-Alûsiy menjelaskan di dalam tafsirnya pendapat dari ulama-ulama fikih seperti imam Malik yaitu sunat bagi suami memberi mahar terhadap istri yang belum dicampuri, sedangkan syafi’i menjelaskan bahwa wajib seorang suami memberikan istrinya mahar walaupun dicampuri jika perceraian itu suami yang menghendaki. Al-Alûsiy sendiri menjelaskan bahwa yang dipandang baik oleh imam malik belum tentu hukumnya menjadi sunat karena amar dalam ayat ini.[7]
                                     h.       Berkenaan dengan ayat-ayat kauniah, al-Alûsiy banyak membahasnya dengan mengambil pendapat Dan pandangan para ahli astronomi dan ilmu pengetahuan. Namun demikian ia berupaya meneriam (mengakui) apa yang dinilainya benar dan menolak apa yang dinilainya salah.[8]
                                       i.      Mengemukakan kajian tafsir isyari dan shufi, mengutip ungkapan ahli hikmah dan tasauf dalam menafsirkan ayat-ayat terkait. Contohnya ketika menjelaskan panjang lebar tentang surat ali imran : 31 yang membahas tentang mahabbah (cinta) yangmana ini banyak oleh ahli sufiy.
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ  
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Pertama al-Alûsiy menjelaskan tentang pengertian dari mahabbah, cabang (furu’) dari mahabbah dan lalu menjelaskan tentang macam-macam dari mahabbah. Kemudian al-Alûsiy mengutip perkataan dari Rabiah, seorang ahli tasauf yaitu :
وقال ربيعة رحمها الله تعالي أحبك حبين حب الهوي وحب لأنك أهل لذاكا
Rabi’ah semoga Allah merahmatinya berkata :Aku mencintai Engkau dengan sebenar-benar cinta seperti kecintaan terhadap nyawa, karena Engkau pemilik semuanya. [9]

Langkah-langkah tersebut merupakan langkah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qura’an dengan mengacu pada suasana ayat, juga susunan surat yang ada dalam al-Qur’an.[10]
Apabila ditinjau kembali sistematika yang  ditempuh oleh            Al-Alûsiy dalam menafsirkan ayat-ayat, maka dapatlah dikatakan bahwa metode tafsir ini adalah metode tahlili, karena Al-Alûsiy menjelaskan tentang arti dan maksud ayat-ayat  al-Qur’an dari sekian banyak seginya dengan menjelaskan ayat-ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mushaf, munasabah serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan Al-Alûsiy.[11]
Akan tetapi ditinjau dari segi yang lain dapatlah dikatakan bahwa kitab ini juga mempunyai metode muqqarin, karena Al-Alûsiy menyebutkan beberapa ayat atau hadis, kemudian melihat beberapa tafsir dari penafsiran para mufassir terhadap ayat tersebut baik dari ulama salaf maupun khalaf, baik jenis tafsir manqul maupun ijtihad, kemudian berusaha untuk menarik kesimpulan yang lebih tepat dan menghindarkan yang dianggap kurang tepat.[12] Adapun corak penafsiran dari kitab ini Al-Dzahabi berpendapat bahwa coraknya adalah tafsir al-ra’yi al-mahmud, dan menyetujui pendapat ulama yang lain termasuk Ali    Al-Shabuni yang berpendapat bahwa corak tafsir Al-Alûsiy adalah isyari, riwayah dan dirayah. Adapun alasan yang dikemukakan oleh Al-Zhahabi walaupun di dalam tafsir al-Alûsiy terdapat corak isyari sebagai mana dalam tafsir      Al-Naisaburi, tapi maksud penafsirannya bukanlah untuk ditafsirkan secara isyari. Dengan mengambil tafsir-tafsir terdahulu maka corak penafsirannya ikut terbawa dan mengimbas pada corak tafsir al-Alûsiy.[13]


[1]  Al-Alûsiy, Ruh al-Ma’aniy, (Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah,2001),Juz 30, h.227
[2] Al-Alûsiy, Ibid, Juz 4, h. 67
[3] Al-Alûsiy, Ibid, Juz 8, h.109
[4] Ibid, Jilid I, h.101
[5]Al-Dzahabi,op.cit,h.360
[6]Al-Alûsiy,Op.cit,Jilid 6, h.86-87
[7] Ibid, Jilid 2, h. 154
[8] Ibid,h. 11
[9] Ibid, Jilid 2, h. 136
[10] Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir (Jogjakarta: Teras, 2004), hlm 157
[11]Ibid
[12] Ridwan Nasir, Diktat Mata Kuliah Studi al Qur’an, IAIN Sunan Ampel, Surabaya,2004, h. 24
[13]Adz-Dzahabi,  al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Darul Hadis, 2005), h. 303