a.
Metode Penafsiran Al-Alûsiy dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani
1.
Sistematika
penafsiran
Adapun sismatika penafsiran yang digunakan dalam kitab
ini al-Alûsiy menempuh langkah sebagai berikut :
a.
Setiap awal surat dimulai dengan menyebutkan kategori
surat, apakah makkiyah dan madaniyah, setelah itu menjelaskan
keutamaan surat yang diambil dari hadis Rasulullah SAW dengan sanad langsung
dari sahabat dengan disertai tarjîh. Contohnya ketika menjelaskan surat
al-‘Ashr : 1-3
ÎóÇyèø9$#ur ÇÊÈ
¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 Aô£äz ÇËÈ
wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur Îö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
“Demi masa,Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian,Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Contohnya ketika al-Alûsiy
menjelaskan tentang surat al-‘ashr
Surat ini tergolong makkiyah menurut
perkataan Ibn Abbas, Zubair dan jumhur ulama dan ada juga yang menggolongkannya
dengan madaniyah menurut perkataan Mujahid, Qatadah dan Maqatil. Surat ini
terdiri dari tiga ayat tanpa ada perbedaan tentang itu, di dalamnya terdapat
banyak ilmu-ilmu seperti yang dikatakan Al-Syafi’i ra bahwa : kalaulah tidak
diturunkannya surat ini, tidak akan sempurna kehidupan manusia karena surat ini
mencakup seluruh ilmu-ilmu al-Qur’an. Berkata Thabraniy dalam kitab al-Awsat
dan Baihaqiy dalam kitab al-Sya’ab dari Abi Huzaifah : adalah dua laki-laki
dari sahabat Nabi apabila mereka bertemu, mereka tidak akan berpisah sampai
salah satu dari mereka membaca surat al-‘ashr kemudian mereka mendo’akan satu
dari yang lainnya. Ayat ini merupakan isyarat terhadap keadaan orang-orang yang
tidak bermegah-megah dalam surat al-takatsur yang dijelaskan setelah surat ini.
Penulis
melihat awalnya al-Alûsiy menggolongkan apakah surat tersebut tergolong makkiyah,
madaniyah ataupun tergolong diantara keduanya, kemudian dijelaskan juga
pendapat beberapa ulama dan penjelas
langsung dari riwayat-riwayat para sahabat.[1]
b.
Al-Alûsiy menampilkan juga pada setiap ayat perbedaan
pendapat dikalangan ulama tentang qira’at, tetapi ia tidak terpaku pada qira’at yang mutawatir saja. Contohnya ketika
menjelaskan kata قرح surat Ali Imran : 140. al-Alûsiy
menjelaskan qira’at dari beberapa
ulama qira’at, yaitu :
{ إِن
يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ القوم قَرْحٌ مّثْلُهُ } قرأ حمزة والكسائي وابن
عياش عن عاصم بضم القاف والباقون بالفتح ، وهما لغتان كالدف والدف ، والضعف والضعف
وقال الفراء : القرح بالفتح الجراحة ، وبالضم ألمها ، ويقرأ بضم القاف والراء على
الاتباع كاليسر واليسر ، والطنب والطنب وقرأ أبو السمال بفتحهما وهو مصدر قرح يقرح
إذا صار له قرحة والمعنى إن نالوا منكم يوم أحد فقد نلتم منهم قبله يوم بدر
“ Jika kamu pada (perang uhud) mendapat
luka maka kaum (kafir) itupun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa.
Hamzah, Kasa’iy, dan Ibn Ayyasy dari ‘Ashim qira’atnya dengan mendhamahkan
huruf qaf, sedangkan al-baqut dengan menfatahkan huruf qaf, qira’at ini seperti
kata dhuffa, dhaffa dan dha’ifa, dhu’afa.Pendapat Fara’ jika difatahkan huruf
qaf dengan arti luka (melukai), jika didhammahkan huruf qaf bermakna
sakit(menyakiti). Dan ia membaca dengan didhammahkan huruf qaf dan ra. Abu
al-Samal dengan menfathahkan huruf qaf dan ha yaitu qaraha, yaqrahu maka
masdarnya qarhatun dengan makna jika mendapatkan sakit dari mereka (kaum kafir)
pada perang uhud, maka mereka juga mendapatkan hal serupa di perang badar”.
Di sini al-Alûsiy menjelaskan arti dari luka (qarh), ulama
berbeda pendapat tentang qira’atnya yaitu dengan mendhammahkan huruf qaf (qaruha)
dengan arti menyakiti dan menfathahkan huruf qaf (qaraha) dengan arti
melukai. Penulis melihat bahwa arti dari kata ini adalah sama dan menceritakan
tentang orang-orang yang tidak disukai Allah
yaitu orang-orang yang zhalim sehingga apa yang dialami kaum muslimin
bisa juga dirasakan kaum kafir karena
memang Allah membedakan antara orang yang beriman dengan orang kafir dan menjadikan sebahagian
dari mereka sebagai syuhada’.[2]
c.
Apabila sebuah ayat atau surat memiliki asbab al-nuzul
maka Al-Alûsiy menyebutkan sebab turun
ayat tersebut. Contoh ketika menjelaskan surat al-A’raf : 31
{ يابنى
ءادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ } أي ثيابكم لمواراة عوراتكم لأن المستفاد من الأمر
الوجوب والواجب إنما هو ستر العورة { عِندَ كُلّ مَسْجِدٍ } أي طواف أو صلاة ،
وإلى ذلك ذهب مجاهد وأبو الشيخ وغيرهما ، وسبب النزول على ما روي عن ابن عباس رضي
الله تعالى عنهما أنه كان أناس من الأعراب يطوفون بالبيت عراة حتى إن كانت المرأة
لتطوف بالبيت
“(hai anak Adam, pakailah pakaianmu) artinya
pakailah pakaianmu untuk menutup auratmu, ayat ini memfaedahkan amr yaitu
mewajibkan menutup aurat. (ketika masuk mesjid) yaitu thawaf atau shalat dan
pendapat mujahid, Abu syaikh dan yang lainnya, bahwa sebab turunnya ayat ini
adalah seperti diriwayatkan oleh ibnu abbas ra. Bahwa seorang perempuan dari
orang Arab melakukan thawaf dengan tidak menutup auratnya sehingg nampaklah
auratnya..”.
Disini sudah jelas bahwa setiap ayat yang mengandung asbab
al-nuzul biasanya al-Alûsiy akan menjelaskan di dalam kitab tafsirnya.[3]
d.
al-Alûsiy berupaya menjelaskan sisi munasabah antara ayat
dan antar surat. Contohnya ketika membahas tentang munasabah antara surat al-Baqarah : 281 dengan surat al-baqarah : 3 dan surat al-fathihah, yaitu :
(dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua
dikembalikan kepada Allah) (al-baqarah :281) adapun munasabah ayat ini dengan
surat al-fathihah yaitu surat ini mencakup pertama, penjelasan rububiyah,
kedua, penjelasan ‘ubudiyah. Ketiga, meminta hidayah dalam hal agama dan
kenyakinan. Sedangkan surat al-baqarah mencakup penjelasan pertama tentang rabb
yang terdapat dalam surat al-baqarah : 3 kedua dalam hal ibadah....[4]
e.
Al-Alûsiy juga banyak menambah tafsirannya dengan
syair-syair Arab sebagai istisyhadi (bukti dan penguat). Contohnya
ketika menjelaskan surat al-baqarah :7
zNtFyz ª!$# 4n?tã öNÎgÎ/qè=è% 4n?tãur öNÎgÏèôJy ( #n?tãur öNÏdÌ»|Áö/r& ×ouq»t±Ïî ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOÏàtã ÇÐÈ
“Allah telah
mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan
bagi mereka siksa yang Amat berat.”
f.
Berkaitan dengan kisah-kisah israiliyyat yang lumrah
tersebar di dalam kitab-kitab tafsir dan dipandang sebagai sesuatu yang benar, al-Alûsiy
berupaya melakukan penilaian dan penyeleksian dengan sedemikian ketat, ia tidak
tergesa-gesa membenarkannya. Bahkan menurut Al-Shabuni, Al-Alûsiy begitu destruktif dalam menghadapi
riwayat-riwayat israiliyyat. Ia menyatakan bahwa cerita ini tidak
berdasar, dibuat-buat oleh Ahl kitab dan tidak pernah ada pada masa Nuh AS dan
tidak seorangpun dari orang kafir yang patut dipercaya. Dan selanjutnya al-Alûsiyy
mengatakan
“tidaklah keberanian orang untuk
memalsukan hadis serta berdusta terhadap Allah itu mengherankan.yang lebih
mengherankan adalah terhadap orang-orang yang memasukkan kisah-kisah ini ke
dalam buku-buku ilmiah semacam tafsir, dengan tidak mengetahui kejelasannnya”.
Kemudian ia mengatakan, tidak ragu lagi, kitab-kitab semacam ini adalah
perbuatan kaum zindik ahl kitab yang bermaksud mengejek dan memperolok para
Rasul yang mulia serta pengikutnya.[5]
contoh ketika Al-Alûsiy menafsirkan surat al-Maidah : 12
ôs)s9ur xyzr& ª!$# t,»sWÏB û_Í_t/ @ÏäÂuó Î) $uZ÷Wyèt/ur ÞOßg÷YÏB óÓo_øO$# u|³tã $Y7É)tR ( tA$s%ur ª!$# ÎoTÎ) öNà6yètB ( ÷ûÈõs9 ãNçFôJs%r& no4qn=¢Á9$# ãNçF÷s?#uäur no4q2¨9$# NçGYtB#uäur Í?ßãÎ/ öNèdqßJè?ö¨tãur ãNçGôÊtø%r&ur ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¨btÏeÿ2c{ öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy öNà6¨Zn=Åz÷_{ur ;M»¨Yy_ ÌøgrB `ÏB $ygÏFøtrB ã»yg÷RF{$# 4 `yJsù txÿ2 y÷èt/ Ï9ºs öNà6YÏB ôs)sù ¨@|Ê uä!#uqy È@Î6¡¡9$#
“Dan Sesungguhnya Allah
telah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara
mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya aku beserta
kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta
beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada
Allah pinjaman yang baik[406] Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu. dan
Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya
sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu,
Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus”.
Menurut Al-Baidhawiy dalam tafsirnya Anwar al-Tanzil
wa Asrar al-Ta’wil bahwa ini adalah kisah tentang seseorang dari Bani
Israil yaitu Auj bin ‘Anaq, tetapi menurut Ibnu hajar bahwa kisah ini tidak ada
dalil syar’i yang mengisahkannya, Ibn Qayyim juga menjelaskan bahwa hadis
tentang Auj bin ‘Anaq adalah palsu. Al-Alûisy secara tegas mengatakan
bahwa cerita tentang Auj bin ‘Anaq ini adalah kurafat yang dibuat-buat karena
tidak ada dalil syar’i[6]
g.
Sehubungan dengan ayat-ayat hukum, Al-Alûsiy senantiasa
menemukan secara merata pendapat dan pandangan ulama mazhab fikih disertai
dalil-dalilnya dengan tidak fanatik terhadap mazhab tertentu. Contohnya
sebagaimana dijelaskan dalam surat al-baqarah ; 236
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ
“Tidak ada kewajiban
membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ayat ini menjelaskan tentang masalah suami yang
menceraikan istrinya sebelum bercampur dengannya. Al-Alûsiy menjelaskan di
dalam tafsirnya pendapat dari ulama-ulama fikih seperti imam Malik yaitu sunat
bagi suami memberi mahar terhadap istri yang belum dicampuri, sedangkan syafi’i
menjelaskan bahwa wajib seorang suami memberikan istrinya mahar walaupun
dicampuri jika perceraian itu suami yang menghendaki. Al-Alûsiy sendiri
menjelaskan bahwa yang dipandang baik oleh imam malik belum tentu hukumnya
menjadi sunat karena amar dalam ayat ini.[7]
h.
Berkenaan dengan
ayat-ayat kauniah, al-Alûsiy banyak membahasnya dengan mengambil pendapat Dan
pandangan para ahli astronomi dan ilmu pengetahuan. Namun demikian ia berupaya
meneriam (mengakui) apa yang dinilainya benar dan menolak apa yang dinilainya
salah.[8]
i.
Mengemukakan kajian tafsir isyari dan shufi, mengutip
ungkapan ahli hikmah dan tasauf dalam menafsirkan ayat-ayat terkait. Contohnya
ketika menjelaskan panjang lebar tentang surat ali imran : 31 yang membahas
tentang mahabbah (cinta) yangmana ini banyak oleh ahli sufiy.
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósã ª!$# öÏÿøótur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRè 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Pertama al-Alûsiy menjelaskan
tentang pengertian dari mahabbah, cabang (furu’) dari mahabbah dan lalu
menjelaskan tentang macam-macam dari mahabbah. Kemudian al-Alûsiy mengutip
perkataan dari Rabiah, seorang ahli tasauf yaitu :
وقال ربيعة رحمها الله تعالي أحبك حبين حب
الهوي وحب لأنك أهل لذاكا
Rabi’ah semoga Allah merahmatinya berkata : “Aku mencintai Engkau dengan
sebenar-benar cinta seperti kecintaan terhadap nyawa, karena Engkau pemilik
semuanya. [9]
Langkah-langkah tersebut merupakan langkah yang digunakan
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qura’an dengan mengacu pada suasana ayat, juga
susunan surat yang ada dalam al-Qur’an.[10]
Apabila ditinjau kembali sistematika yang ditempuh oleh Al-Alûsiy dalam menafsirkan
ayat-ayat, maka dapatlah dikatakan bahwa metode tafsir ini adalah metode tahlili,
karena Al-Alûsiy menjelaskan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur’an dari sekian banyak seginya dengan
menjelaskan ayat-ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mushaf, munasabah
serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan Al-Alûsiy.[11]
Akan tetapi ditinjau dari segi yang lain
dapatlah dikatakan bahwa kitab ini juga mempunyai metode muqqarin,
karena Al-Alûsiy menyebutkan beberapa ayat atau hadis, kemudian melihat
beberapa tafsir dari penafsiran para mufassir terhadap ayat tersebut baik dari
ulama salaf maupun khalaf, baik jenis tafsir manqul maupun ijtihad,
kemudian berusaha untuk menarik kesimpulan yang lebih tepat dan menghindarkan
yang dianggap kurang tepat.[12] Adapun corak penafsiran dari kitab ini Al-Dzahabi
berpendapat bahwa coraknya adalah tafsir al-ra’yi al-mahmud, dan
menyetujui pendapat ulama yang lain termasuk Ali Al-Shabuni yang berpendapat bahwa corak
tafsir Al-Alûsiy adalah isyari, riwayah dan dirayah.
Adapun alasan yang dikemukakan oleh Al-Zhahabi walaupun di dalam tafsir al-Alûsiy
terdapat corak isyari sebagai mana dalam tafsir Al-Naisaburi, tapi maksud penafsirannya
bukanlah untuk ditafsirkan secara isyari. Dengan mengambil tafsir-tafsir
terdahulu maka corak penafsirannya ikut terbawa dan mengimbas pada corak tafsir
al-Alûsiy.[13]
[1] Al-Alûsiy, Ruh al-Ma’aniy, (Beirut :
Dar al-Kutb al-Ilmiyah,2001),Juz 30, h.227
[2] Al-Alûsiy, Ibid,
Juz 4, h. 67
[3] Al-Alûsiy, Ibid,
Juz 8, h.109
[4] Ibid, Jilid
I, h.101
[5]Al-Dzahabi,op.cit,h.360
[6]Al-Alûsiy,Op.cit,Jilid
6, h.86-87
[7] Ibid, Jilid
2, h. 154
[8] Ibid,h.
11
[9] Ibid, Jilid
2, h. 136
[10] Hamim Ilyas,
Studi Kitab Tafsir (Jogjakarta: Teras, 2004), hlm 157
[12] Ridwan
Nasir, Diktat Mata Kuliah Studi al Qur’an, IAIN Sunan Ampel,
Surabaya,2004, h. 24
[13]Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo:
Darul Hadis, 2005), h. 303