A.
MENGENAL TENTANG TAFSIR
AL-MISHBAH
1.
Latar
Belakang Penulisan Tafsir Al-Mishbah
Tafsir al-Mishbah merupakan karya besar
Quraish Shihab dalam kajian tafsir, karena buku karyanya ini di bedah dan
dianalisis sesuai dengan norma pembahasan tentang karya tafsir. Quraish mulai
menulisnya pada hari jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420 H / 18 Juni 1999 di Cairo dan
selsai pada hari jum’at 8 Rajab 1423 H / 5 September 2003 di Jakarta.[1]
Pada pembahasan ini penulis akan menguraikan latar belakang pemilihan nama al-Misbah
motivasi penulisan tafsir al-Mishbah, dan sumber-sumber yang
dijadikan rujukan dalam menyusun kitab ini.
a.
Pengenalan
Tafsir al-Mishbah
Kitab tafsir ini diberi nama tafsir
al-mishbah : pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, yang kemudian disingkat
dengan tafsir al-Mishbah. Pemilihan nama ini tentulah melalui berbagai
pertimbangan, hal ini dapat dianalisis dari uraian-uraian yang diungkapkan M.
Quraish Shihab dalam kata sambutannya, yang judulnya “sekapur sirih” kemudian
pada “pengantar” dari karya ini. Bila diteliti dengan cermat maka akan tersirat
argument yang mendasari pemilihan nama ini, seperti ungkapannya:
Hidangan ini membantu manusia untuk
memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita bagi
umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Bahasanya yang demikian
mempesona, redaksinya yang demikian teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang
demikian agung, telah mengantar kalbu masyarakat yang ditemuinya berdecak
kagum, walaupun nalar mengantar kalbu masyarakat yang ditemuinya berdecak
kagum, walapun nalar sebagian mereka menolaknya. maka terhadap yang menolak itu
al-Qur’an tampil sebagai mukjizat, sedang fungsinya sebagai hudan ditujukan
kepada seluruh umat manusia, namun yang memfungsikannya dengan baik hanyalah
orang-orang yang bertqwa”.[2]
Jelaslah bahwa pemilihan nama al-Mishbah
bukanlah tanpa dasar sama sekali. Nama ini berasal dari bahasa Arab yang
artinya lampu, pelita,[3]
lentera atau benda lain yang berfungsi sama dan serupa yang berguna untuk
menerangi kegelapan. Jika dilihat dari makna, padanan kata, dan fungsinya itu,
paling tidak ada dua hal yang dapat dijadikan alasan.
Pertama, bahwa
pemilihan nama itu berdasarkan pada fungsinya, Mishbah berarti lampu
yang gunanya untuk menerangi kegelapan. Dengan memilih nama ini penulisnya
berharap agar karyanya ini dapat dijadikan sebagai penerang bagi mereka yang
ada dalam suasana kegelapan yang mencari petunjuk dan dapat dijadikan pedoman
hidup. Bukankah al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia menuju al-shirath
al-mustaqim atau untuk mendapatkan hidayah dari Allah SWT karena al-Qur’an
diturunkan dengan berbahasa Arab jadi tidak semua orang dapat memahaminya. Maka
disinilah manfaat dari kitab tafsir ini, yaitu dapat membantu mereka dalam
menemukan petunjuk ilahi, sehingga kegelapan tersebut dapat dihilangkan dengan
bantuan tafsir al-Misbah.[4]
Kedua, didasarkan
pada awal kegiatan
Quraish dalam hal tulis menulis. Pada tahun 1980-an ia diminta sebagai pengasuh
di rubric “Pelita Hati” pada harian Pelita. Tampaknya uraian-uraian yang
disajikannya menarik banyak pihak, karena memberikan nuansa yang sejuk, tidak
bersifat mengurui dan menghakimi. Pada tahun 1994, kumpulan dari tulisannya
tersebut diterbitkan oleh Mizan dengan judul Lentera Hati, yang ternyata
menjadi best seller dan mengalami cetak ulang beberapa kali.[5]
Dari sinilah tampaknya pengambilan al-Mishbah itu berasal, yaitu bila
dilihat ari maknanya.
Analisis yang dapat
dikemukakan adalah bahwa kumpulan tulisan pada rubric “Pelita Hati” diterbitkan
dengan judul “Lentera Hati”, merupakan padanan kata pelita yang arti dan fungsinya sama karena dalam bahasa Arab,
lentera, pelita, lampu disebut dengan mishbah.
Dari uraian di
atas, disimpulkan bahwa pengambilan nama tafsir al-Mishbah bukan
tanpa dasar sama sekali, nama ini diambil sesuai dengan fungsi dan tujuan
Quraish menulis Tafsir al-Mishbah yaitu untuk membantu umat dalam
memahami dan mengambil petunjuk al-Qur’an sebagai penerang dalam menjalani
kehidupan dunia dan akhirat.
b.
Motivasi
penulisan Tafsir al-Mishbah
Di dalam menulis sebuah karya tulis
tentulah mempunyai motivasi, karena hal ini dapat mendorong dalam penulisan
sebuah karya tulis. Demikian juga dalam penulisan kitab tafsir. Tafsir
al-Mishbah motivasi dalam penulisannya. Sejauh penelitian yang penulis
lakukan, motivasi itu didasarkan pada tanggung jawab penulisnya sebagai ulama
yang wajib memberikan penerangan kepada umat sesuai dengan bidangnya. Ini
tergambar dalam ungkapannya : “Adalah kewajiban para ulama untuk memperkanalkan
al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesannya yang terkandung di dalam al-Qur’an
sesuai dengan harapa dan kebutuhan itu”.[6]
Quraish Shihab menyadari bahwa
al-Qur’an yang merupakan petunjuk bagi manusia yang harus dipahami dan
dimengerti maknanya. Sementara itu, ternyata banyak umat Islam yang hanya puas
dengan membacanya saja tanpa diikuti dengan pemahaman dan penghayatan akan makna
dan petunjuk yang terkandung di dalamnya. Bahkan ada pula diantara mereka yang
memang tidak memahami isi dan maknanya dengan benar, sementara itu sebagian
yang lain sudah berupaya untuk mengerti dan memahami kandungannya, namun mereka
terkendala dengan bahasa al-Qur’an, ada pula yang terkendala dengan berbagai
hal yang sulit diatasi, seperti keterbatasan waktu untuk menelaah, kekurangan
ilmu dasar untuk menganalisis, kelangkaan buku rujukan dan lain-lain. Semua itu
merupakan fenomena yang terjadi bahkan telah membuat umat jauh dari pemahaman
dan pelaksanaan petunjuk al-Qur’an yang dapat membawa mereka kepada al-shirath
al-mustaqim.[7]
Menyadari hal yang demikian sudah sewajarnya umat memperhatikan para ulama
untuk membantunya dalam memahami al-Qur’an. Dengan rasa tanggung jawab inilah
Quraish Shihab menulis kitab Tafsir al-Mishbah.
Al-Qur’an merupakan
wahyu Allah yang hendaknya didengarkan oleh siapa saja dengan seksama khususnya
tentang halal dan haramnya, dijadikan rujukan dari setiap kegiatan yang
dilakukan, di teliti dan dipahami maknanya, dan dijadikan sebagai obat bagi
semua penyakit kejiwaan. Namun adakalanya
sebagian umat Islam tidak memperhatikan salah satu atau semua hal di atas. Hal
inilah yang juga menjadi kekhawatiran M. Quraish Shihab, bila ia berdiam diri
tanpa berbuat sesuatu, padahal ia memiliki kemampuan. Oleh sebab itu, ia
menegaskan bahwa kita semua (termasuk ia sendiri) tidak ingin termasuk ke dalam
kleompok yang demikian.
c.
Sumber-Sumber
Penafsiran
Yang dimaksud dengan sumber
penafsiran adalah hal-hal atau materi yang dipergunakan untuk menjelaskan makna
dan kandungan ayat. Dalam hal ini Nashruddin Baidan, menjelaskan dalam bukunya Metode
Penafsiran al-Qur’an, bahwa hal ini disebut dengan bentuk dari penafsiran,[8]
ia membaginya kepada dua bentuk yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan bi
al-ra’yi.[9] Pendapat
ini juga didukung oleh uraian Hasbi Ashshiddiqie dalam karyanya yang berjudul Sejarah
dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir.[10]
Sumber penafsiran
Quraish Shihab dalam menulis Tafsir al-Mishbah dapat dilihat dari
ungkapannya yang terdapat pada akhir “Sekapur Sirih” yang merupakan sambutan
sari karya ini. Ungkapannya berbunyi sebagai berikut:
“Akhirnya, penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa
yag di hidangkan di sini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama-ulama
terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak
penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Umar bin Biqa’i (w. 885
H / 1480 M) yang karya tafsirnya ketika masih terbentuk manuskip menjadi bahan
disertasi penulis di Universitas al-Azhar, Kairo, dua puluh tahun yang lalu.
Demikian juga karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid
Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi dan tidak ketinggalan pula
Sayyid Quthub, Muhammad Thahir ibn Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i,
serta beberapa pakar tafsir lain”.[11]
Ungkapan Quraish Shihab di atas
mengisyaratkan paling tidak ada dua hal penting. Pertama, bahwa sumber
penafsiran yang di pergunakan dalam Tafsir al-Mishbah adalah dengan
melakukan ijtihad, kemudian dia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang
berasal dari pendapat dan fatwa para ulama baik yang terdahulu maupun
kontemporer, diantaranya : Ibrahim Umar bin Biqa’i, Sayyid Muhammad Thanthawi,
Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, Sayyid Quthub, Muhammad Thahir ibn Asyur, Sayyid
Muhammad Husein Thabathaba’i, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, serta beberapa
pakar tafsir lain.
Selanjutnya
kitab-kitab yang dijadikan sumber dalam penulisan Tafsir al-Mishbah yaitu
: Mifatih Al-Ghaib karya Fakhruddin Al-Razi (606 H / 1210 M), kitab Nazhm
al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya Ibrahim bin Umar al-Biqa’i
(809-885 H / 1406-1480 M), al-Mu’allim bi al-Burhan fi Tartib Suwar
al-Qur’an karya Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubair (w. 708 H), al-Burhanfi
Ulum al-Qur’an karya Suyuthi (w. 911 H), al-Naba’ al-‘Azhim dan al-Madkhal
ila al-Qur’an al-Karim karya Abdullah Darraz, al-Mizan karya Sayyid
Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari w. 838 H), fi
Zhilal al-Qur’an karya Sayyid Quthub (w. 1386 H), al-Manar karya
Muhammad Abduh (w. 1905 H) dan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H), dan al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an karya al-Raghib al-Ishfanahani (w. 502 H).[12]
Sebagai bukti dari ijtihad yang
dilakukannya dalam penafsiran, hal ini dapat dilihat dalam karyanya ini.
Seperti, ketika ia menafsirkan ayat 3 dari surat al-Fatihah, yaitu :
الرحمن
الرحيم
Setelah ia berpanjang
lebar mengemukakan pendapat ulama, ia mengakhiri tafsirnya dengan hal sebagai
berikut :
“Kita juga dapat berkata bahwa seorang yang menghayati
bahwa Allah adalah rahman (pemberi
rahmat kepada makhluk-makhluk-Nya dalam kehidupan dunia ini) karena Dia rahim
(melekat pada diri-Nya sifat rahmat), maka penghayat-penghayat itu akan dapat
berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang sehingga
menjadi cirri kepribadiannya, selanjutnya ia tidak akan ragu-ragu atau segan
mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesame manusia tanpa membedakan
suku, ras atau agama, maupun tingkat keimanan, serta member pula rahmat dan
kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain, baik yang hidup maupun yang mati”.[13]
Di samping adanya
ijtihad dari M. Quraish Shihab dalam menafsirkan, ia juga mengutip pendapat
para ulama seperti ia menjelaskan makna kata al-rahman, yaitu :
“Ghazali dalam
bukunya al-Maqshad al-A’la menjelaskan bahwa kata al-Rahman merupakan
kata khusus yang menunjuk kepada Allah dan kata al-Rahim seyogyanya
merupakan rahmat yang khusus dan yang tidak dapat diberikan oleh makhluk, yakni
yang berkaitan dengan kebahagiaan ukhrawi sehingga al-Rahman adalah
Tuhan yang Maha Kasih terhadap hamba-hamba-Nya, pertama dengan penciptaanm
kedua dengan petunjuk hidayah meraih iman dan sebab-sebab kebahagiaan, ketiga
kenikmatan ukhrawi yang dinikmati kelak, keempat kenikmatan dengan
memandang wajah-Nya pada hari kemudian”.[14]
Selanjutnya, contoh sumber-sumber
yang diambil dari ulama-ulama tafsir diantaranya : ketika menafsirkan QS. Al-Nur [24] : 26, yaitu :
àM»sWÎ7sø:$# tûüÏWÎ7yù=Ï9 cqèWÎ7yø9$#ur ÏM»sWÎ7yù=Ï9 ( àM»t6Íh©Ü9$#ur tûüÎ6Íh©Ü=Ï9 tbqç7Íh©Ü9$#ur ÏM»t6Íh©Ü=Ï9 4 y7Í´¯»s9'ré& crâä§y9ãB $£JÏB tbqä9qà)t ( Nßgs9 ×otÏÿøó¨B ×-øÍur ÒOÌ2 ÇËÏÈ
Artinya : Wanita-wanita yang keji
adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).
Ayat ini kembali menguraikan sebab
penegasan ayat 3 yang menyatakan bahwa pezina tidak wajar menikahi kecuali
lawan seksnya yang pezina pula. Hal ini telah menjadi sunnatullah bahwa
seseorang cenderung kepada yang memiliki kesamaan dengannya. Ayat di atas
menyatakan bahwa wanita-wanita yang keji dan buruk akhlaknya adalah untuk
lelaki yang keji dan buruk akhlaknya demikian juga sebaliknya, dan begitu pula
wanita-wanita yang baik akhlaknya adalah untuk lelaki yang baik pula akhlaknya,
demikian juga sebaliknya. Ini disebabkan karena jiwa manusia selalu cenderung
mencari temannya, dan tidak senang lawannya.
Al-Biqa’i
menjelaskan bahwa penyebutan al-khabitsat terlebih dahulu karena konteks pembicaraan adalah wanita
dalam arti isu yang disebarluaskan
adalah menyangkut Aisyah ra, sedangkan penyebutan lawan dari al-khabitsat yakni
al-khabitsun Karen ajika yang disebut hanya kekhususan wanita-wanita
yang bejat akhlaknya untuk lelaki yang bejat akhlaknya, bisa saja ada yang
menduga bahwa lelaki yang bejat akhlaknya, bisa kawin dengan yang tidak bejat
akhlaknya. Nah, untuk menampilkan hal tersebut di tegaskan bahwa lelaki yang
bejat akhlaknya hanya pantas menjadi pasangan wanita ynag bejat akhlaknya bukan
wanita baik-baik.[15]
Selain mengutip pendapat para ulama, Quraish
Shihab juga menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi di dalam
penafsiran yang dilakukannya. Biasanya rujukan dari ayat al-Qur’an di tulis
dengan bentuk italic (miring), sebagai cara untuk membedakannya dengan
pendapat yang berasal dari pendapat ulama atau nijtihadnya sendiri. Seperti : ar-Rahman
sebagaimana dikemukakan diatas tidak dapat di sandang kecuali oleh Allah
SWT. Karena itu pula dikemukakan dalam ayat al-Qur’an yang mengajak manusia
menyembah-Nya dengan menggunakan kata al-Rahman
sebagai ganti kata Allah atauy menyebut kedua kata tersebut sejajar dan
bersamaan. Perhatikan firman-firman-Nya sebagai berikut : Katakanlah:
"Serulah Allah atau Serulah
Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai Al asmaaul husna
(nama-nama yang terbaik)". (QS. Al-Isra’ : 110), dan “Dan
tanyakanlah kepada Rasul-Rasul kami yang Telah kami utus sebelum kamu:
"Adakah kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah yang Maha
Pemurah?" (QS. Az-Zukhruf : 45)[16]
Sedangkan
rujukan yang diambil dari hadist Rasulullah ketika menafsirkan al-Rahman dan
rahim, sebagai penguat dari tafsirnya adalah : “dalam salah stu hadits
Qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman : “Aku adalah al-Rahman, Aku
menciptakan rahim, Kuambilkan untuknya nama yang berakar dari nama-Mu
siapa yang menyambungnya (silaturrahmi) akan Kusambung (rahmat-Ku) untuknya dan
siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku baginya) (HR. Abu Daud dan
al-Tirmidzi melalui Abdurrahman bin Auf).[17]
Selanjutnya
ketika ia menjelaskan makna iyyakana’budu maka ia mengambil hadits
Rasulullah yaitu : “ketika mengucapkan iyyakana’budu maka kehadiran-Nya
kalaupun tidak dapat dilihat, maka paling tidak dirasakan dan Dia tidak jauh
dari sipengucap. Di sinilah muraqabah dan pengawasan itu tampil
kepermukaan seperti hakikat ihsan yang di jelaskan Rasulullah SAW kepada
malaikat Jibril ketika ia datang dalam bentuk manusia dan mengajar melalui
pertanyaan-pertanyaan sahabat Nabi. Ketika itu nabi menjelaskan bahwa ihsan
adalah mengabdi kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan bila engkau
tidak dapat melihat-Nya maka rasakan atau yakinlah bahwa Dia melihatmu”. (HR.
Bukhari melalui Umar bin Khatab).[18]
Dalam
mengutip hadits, Quraish Shihab tidak mentakhrij hadits tersebut, karena
hadits-hadits yang diikuti kebanyakan dari Kutub al-Sittah. Namun sebahagiannya hanya menggambarkan
pandangan ulama terhadap hadist
tersebut, seperti ketika menafsirkan QS.
Ali Imran [3] : 55, artinya :
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa,
Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu
kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan
orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari
kiamat. Kemudian
Hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal
yang selalu kamu berselisih padanya".
Ayat ini menjelaskan tentang akan
turunnya Nabi Isa as pada a khir zaman. Namun ulama berbeda pendapat ada yang
percaya dan ada yang menolak bahwa Nabi Isa akan turun pada akhir zaman. Ini
disebabkan karena ayat tidak ada menjelaskan secara pasti apakah Nabi Isa akan
turun pada akhir zaman.
Quraish Shihab menjelaskan banyak
hadits-hadits yang menerangkan akan turunnya
Nabi Isa pada akhir zaman. Namun demikian hadits-hadits tersebut
diperselisihkan nilainya, bahkan Quraish Shihab berpendapat walaupun haditsnya
banyak, tetapi kesemuanya bersumber dari dua orang, yaitu Ka’ab al-Ahbar dan
Wahab Ibn Munnabih, sementara ulama meragukan loyalitasnya.[19]
Berdasarkan uraian
di atas, dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa tafsir yang disusun oleh M.
Quraish Shihab ini banyak menggunakan sumber-sumber yaitu al-Qur’an, hadits,
pendapat para ulama, kitab-kitab tafsir. Kemudian
dalam menafsirkan selain menggunakan sumber-sumber rujukan Quraish Shihab juga
melakukan ijtihad.
Jadi
Tafsir al-Mishbah termasuk kepada bentuk tafsir bi al-ra’yi, ini
berdasarkan kepada sumber-sumber yang dipakai ketika menafsirkan ayat, kemudian
hamper keseluruhan ayat yang dijelaskannya ada ijtihadnya, namun dia tidak
menggunakan ijtihad semata tapi ia juga
menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits Nabi dan pendapat-pendapat para ulama sebagai penjelasan tafsir yang
dilakukan.
2.
Metode
Tafsir al-Mishbah
a.
Sistematika
penulisan Tafsir al-Mishbah
Sebelum menjelaskan
metode penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, terlebih
dahulu akan dijelaskan sistematika penulisannya, karena dalam setiap penulisan
suatu karya, tentu ada suatu sistem yang dipakai. Untuk
memudahkan penulisannya dalam menyusun karya tulis, masing-masing penulis
biasanya memiliki kecendrungan tersendiri dalam memakai sistem yang akan
dijadikan sebagai pedoman penelitiannya.
Sistematika yang dipakai oleh M.
Quraish Shihab dalam menulis Tafsir al-Mishbah adalah :
1)
Tafsirnya
dimulai dengan pengantar yang menjelaskan suatu secara global, khsusnya surat
al-Fatihah, keterangannya terlihat di uraikan dengan panjang lebar. Hal ini
memungkinkan penilaian tentang betapa pentingnya surat ini, yang juga merupakan
pembuka mushaf yang isinya merupakan induk dari al-Qur’an itu sendiri.
2)
Penulisan
ayat-ayat yang dikelompokkan dalam tema-tema tertentu, sesuai dengan urutannya,
kemudian di ikuti dengan terjemahannya, pengelompokkan demikian dilakukan
sebagai konsekwensi logis dari kecendrungannya terhadap metode maudhu’i, namun
tidak meninggalkan sama sekali metode tahlili
karena ia harus menjelaskan makna seluruh ayat sesuai dengan urutannya
dalam mushaf, maka ia menggabungkan kedua metode tersebut.
3)
Uraian
tentang kosa kata hanya sekedar yang di pandang perlu dalam penafsiran makna
ayat. Pada karya ini, Quraish tidak lagi menggunakan sistem yang dilakukan
ketika menulis tafsir pada masa lalu, seperti dalam tafsir al-Qur’an
al-Karim yang di terbitkan pada tahun 1997.[20]
Sebelumnya ia selalu menguraikan setiap kosa kata dengan sangat rinci. Hal ini
sengja dilakukannya agar pembaca dapat menggunakan makna itu dalam ayat-ayat
lain. Sehubungan dengan hal itu, ia
menulis sebagai berikut : “karena itu, dalam tafsir tersebut, penulis
memaparkan makna kosa kata sebanyak mungkin dan kaidah-kaidah tafsir yang
menjelaskan makna ayat yang sekaligus dapat di gunakan untuk memahami ayat-ayat
lainnya yang tidak di tafsirkan”.[21]
Pada tafsir ini yang dijelaskan adalah yang dipandang perlu saja. Perubahan
demikian disebabkan adanya kritik dari umat yang membaca karya sebelumnya yang
dianggap bertele-tele dalam uraian tentang pengertian kosa kata dan
kaidah-kaidah yang disajikan.
4)
Ayat
al-Qur’an dan Sunah Nabi SAW, yang dijadikan sebagai penguat atau bagian dari
tafsirnya hanya di tulis terjemahannya saja, mungkin karena tafsir tersebut di
tulis dalam bahasa Indonesia. Karenanya, segala sesuatu yang berupa penjelasan
ayat-ayatnya di upayakan tertuang dalam bahasa itu pula.
5)
Kitab-kitab
tafsir para ulama tafsir dahulu dan kontemporer dijadikan rujukan dalam
penulisan kitab ini seperti : Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi
(606 H / 1210 M), kitab Nazhm al-Durar fi Tanasub al-ayat wal Suwar karya
Ibrahim bin Umar al-Biqa’i (809-885 H / 1406-1480 M), al-Mu’allim bi
al-Burhan fi Tartib Suwar al-Qur’an karya Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin
az-Zubair (w. 708 H), al-Burhan fi ulum al-Qur’an karya al-Zarkasyi (w.
794 H), Asrar Tartib al-Qur’an dan al-Itqan fi Ulum al-Qur’an al-Karim
karya Sayyid Muhammad Husein thabathaba’i, al-Kasyaf karya
al-Zamakhsyari (w. 838 H), Fi Zhilal al-Qur’an karya Sayyid Quthub (w.
1386 H), al-Manar karya Muhammad Abduh (w. 1905) dan Muhammad Rasyid
Ridha (w. 1354 H).[22]
6)
Pendapat-pendapat para ulama, diantaranya al-Ghazali, Syafi’i,
Syekh Thahir ibn Asyur, dan lain-lain.
b.
Metode
Tafsir al-Mishbah
Metode penafsiran, seperti yang
telah di urakan di atas, menurut al-Farmawi ada empat macam, yaitu ijmali,
tahlili, muqaran, dan maudhu’i.[23]
apabila dikaitkan dengan Tafsir al-Mishbah, maka metode yang dipakai M.
Quraish Shihab adalah gabungan metode tahlili dengan maudhu’i. hal
ini dapat dilihat dari cara penafsiran yang terdapat dalam kitab ini, yaitu
mengelompokkan ayat berdarkan tema-tema kemudian menjelaskan ayat demi ayat,
surat demi surat, sesuai dengan susunan yang terdapat di dalam mushaf.
Metode tahlili sengaja
dipilih oleh M. Quraish Shihab, karena ia ingin mengungkapkan semua isi
al-Qur’an secara rinci agar petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya dapat
dijelaskan dan dipahami oleh para pembacanya. Namun pada sisi lain M. Quraish
Shihab sebenarnya tidak begitu tertarik untuk memakai metode tahlili dalam
berbagai kesempatan, ia selalu mengemukakan bahwa metode yang mulai
diperkenalkan oleh al-Farra’ (w. 207 H),[24] memiliki
1)
Metode tahlili karena menafsirkan ayat demi ayat yang terpisah
antara satu dengan yang lainnya, telah menjadikan petunjuk al-Qur’an
terpisah-pisah dan tidak disuguhkan pada pembacanya secara menyeluruh.[25]
2)
Metode
tahlili ini sangat menyita waktu, karena panjangnya masa yang diperlukan
untuk menafsirkan semua ayat al-Qur’an. Selian itu, informasi yang dihidangkan
juga cenderung beraneka ragam yang kadang kala tidak selalu di butuhkan oleh
pembacanya (karena banyaknya tema yang tercakup di dalam ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan seluruh aspek dari kehidupan manusia.[26]
3)
Metode
tahlili ini juga seringkali menimbulkan banyak pengulangan dalam
tafsirnya, hal ini akan terjadi jika kandungan dari kosa kata atau pesan ayat
dan suratnya sama atau mirip dengan ayat atau surat yang telah di tafsirkan
sebelumnya.[27]
Walaupun
demikian M. Quraish Shihab tidak bisa meninggalkan metode tahlili ini
dalam kitab tafsirnya, karena harus ia lakukan demi mencapai tujuan dan
keinginannya untuk menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an.
Untuk
mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam metode tahlili M.
Quraish Shihab membertambahan lain dalam karyanya, yaitu selain menggunakan
metode tahlili juga memakai metode maudhu’i, karena ia menilai
bahwa cara yang lebih tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah dengan
menggunakan metode maudhu’i, yaitu mengungkap pesan al-Qur’an sesuai
dengan tema yang di inginkan. Selain itu, ia juga menilai bahwa metode maudhu’i
ini memiliki beberapa keistimewaan, antara lain :[28]
1)
Metode
ini menghindarkan kita dari problema atau kelemahan yang terdapat pada metode
lain.
2)
Metode
ini juga memungkinkan penafsiran ayat dengan ayat atau dengan hadits Rasulullah
SAW, yang merupakan cara terbaik dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.[29]
3)
Kesimpulan
yang dihasilkan mudah untuk di pahami. Ini disebabkan karena hal itu membawa
kita kepada petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan
terperinci dalam suatu disiplin ilmu. Juga membuktikan bahwa persoalan yang
disentuh al-qur’an bukan bersifat teritis yang tidak dapat diterapkan dalam
kehidupan masyarakat. Dengan begitu, ia dapat membawa kita kepada pendapat
al-Qur’an tentang berbagai promlema kehidupan yang di sertai dengan
jawaban-jawabannya. Ia dapat menjelaskan kembali fungsi al-Qur’an sebaga kitab
suci dan terakhir ia dapat membuktikan keistimewaannya dan dapat mengantar kita
kepada keyakinan atas kemukjizatannya.
4)
Metode
ini memmungkinkan seseorang untuk menolak badanya anggapan adanya ayat-ayat
yang bertentangan dalam al-Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan sebagai bukti
bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarata.
Dari
uraian di atas, terlihat bahwa metode yang dipakai oleh Quraish dalam menulis Tafsir al-Mishbah adalah
metode tahlili dan maudhu’i, karena menganggap bahwa ia tidak
bisa menggunakan satu metode saja untuk menghidangkan al-Qur’an secara keseluruhan
karena metode tahlili dan maudhu’i sama-sama mempunyai
kekurangan, jadi untuk menutupi kekurangan tersebut, maka ia harus menerapkan
kedua metode tersebut.
M. Quraish Shihab menafsirkan ayat dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalamnya serta menerangkan makna-makna yang terkandung di
dalamnya. Maka akan terlihat bahwa metode yang dipakai oleh Quraish adalah
metode tahlili. Dengan demikian,melihat kepada penafsiran yang dilakukannya
bahwa metode yang dipakainya adalah metode tahlili, tapi jika di
perhatikan lebih lagi mendalam cara-cara pengelompokkan ayat yang dilakukannya
menurut tema-temanya, bahwa M. Quraish tidak hanya memakai tahlili, tapi
juga memakai metode maudhu’i dalam menulis Tafsir al-Mishbah. Sehubungan
dengan pilihannya itu maka ia menyatakan
: “ dalam konteks memperkenalkan al-Qur’an, dalam buku ini, penulis akan
berusaha dan akan terus berusaha menghidangkan bahasan pada apa yang dinamai
tujuan surat, atau tema pokok surat. Memang menurut para pakar setiap surat ada
tema pokoknya”.[30]
Selanjutnya metode maudhu’i yang
dipakai Quraish Shihab dalam menulis Tafsir al-Mishbah adalah metode maudhu’i
dalam bentuk pertama, yaitu menjelaskan makna suatu surat yang beragam
masalahnya diterangkan korelasi antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga
kelihatan utuh,[31] seperti ketika menafsirkan QS.
An-Nisa’ ia membagi tema-temaya kepada Sembilan belas kelompok, kemudian
menjelaskan korelasi antara tema-tema yang telah di kelompokkannya.
Selanjutnya dalam menafsirkan
ayat-ayatnya ia selalu menerangkan korelasinya dengan ayat sebelumnya.
Contohnya, sebelum ia menafsirkan QS. An-Nisa’ ayat 3 terlebih dahulu ia
menjelaskan hubungannya dengan ayat sebelumnya seperti setelahmelarang
mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara aniaya, kini yang
dilarangnya adalah berlaku aniaya terhadap pribadi anak-anak yatim. Kemudian
baru menjelaskan makna kosa kata, menjelaskan
penafsiran ayatnya dengan berbagai persoalan serta memaparkan beragam masalah.
Maka metode yang digunakan dalam
menulis tafsir ini adalah suatu jalan yang baru, yang belum ada dilakukan oleh
para mufasir terdahulu. Kalaupun ada yang mengelompokkan ayat berdasarkan
tema-tema,namun tidak sama dengan yang dilakukan oleh M. Quraish Shihab dalam
tafsirnya, seperti Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya, sayang perhatian al-Razi
dalam karyanya itu tertuju kepada aneka persoalan walau di luar bidang tafsir,
sehingga uraiannya tentang tujuan atau tema surah hampir tidak terasa sama
sekali.[32] Dengan demikian, maka metode yang
di gunakan dapat dikatakan sebagai salah satu dari keistimewaan dari Tafsir
al-Mishbah ini.
c.
Corak Tafsir al-Mishbah
Corak
penafsiran yang menjadi kecenderungan dalam suatu karya tafsir dapat
dikelompokkan ke dalam tafsir falsafi, tafsir ilmi, tafsir lughawi,
tafsir fiqhi, tafsir adab al-ijtima’i. Masing-masing dari
corak tersebut memiliki kekhususan tersendiri yang membedakan antara satu
dengan yang lainnya.
Menurut
Hamdani Anwar dalam penelitiannya terhadap Tafsir al-Mishbah, bahwa dia menyatakan bahwa Tafsir
al-Mishbah mempunyai corak al-ijtima’i,
yaitu corak kemasyarakatan,[33] ini berbeda dengan teori dasar yang
dikemukakan oleh ulama terdahulu, yaitu al-adab al-ijtima’i. Alasannya
dengan pertimbangan bahwa M. Quraish Shihab tidak menguasai masalah sastra,
baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab, sehingga tidak layak untuk
menilai suatu karya dari segi sastranya. Dikhawatirkan penilaian yang berangkat
dari kekurangan pengetahuan justru akan menimbulkan kesalahan.
Corak tafsir berorientasi kepada
sastra dan kemasyarakatan akan cenderung mengarah pada masalah-masalah yang
berlaku atau terjadi di masyarat. Penjelasan-penjelasan yang di berikan dalam
banyak hal selalu dikaitkan dengan persoalan yang sedang dialami umat, dan
uriannya di upayakan untuk memberikan solusi atau jalan keluar dari masalah
tersebut. Dengan demikian, diharapkan bahwa tafsir yang telah di tulis mampu
memberikan jawaban terhadap segala sesuatu yang menjadi persoalan umat, dn
ketika itu dapat dikatakan bahwa al-Qur’an memang sangat tepat untuk dijadikan
sebagai pedoman dan petunjuk.
Kemudian untuk memperkuat alasan bahwa
Tafsir al-Mishbah bercorak al-adab al-ijtima’i, maka akan
dikemukakan sebuah contoh penafsiran M. Quraish Shihab, yaitu penjelasn tentang
kapan puasa ramadhan dimulai. Dalam uaraiannya dikatakan bahwa puasa sudah
harus di mulai bila bulan sudah mulai tampak, sudah dapat dilihat sendiri
secara individu atau melalui informasi dari orang yang dipercaya. Selanjutnya
M. Quraish Shihab menulis sebagai berikut :
“Di
manakah bulan itu dilihat oleh yang melihatnya ? Di kawasan tempat ia berada.
Demikian jawaban yang tampak sangat membatasi jangkauan penglihatan. Kelompok
ulama di bawah koordinasi Organisasi Konferensi-konferensi Islam menetapkan
bahwa dimana saja bulan dilihat oleh orang terpercaya, maka sudah wajib
berpuasa dan berlebaran atas seluruh umat Islam, selama ketika melihatnya,
penduduk yang disampaikan kepadanya berita kehadiran bulan itu, masih dalam
keadaan malam. Jika selisih waktu antara satu kawasan
dengan kawasan lain belum mencapai jarak yang menjadikan perbedaan terjadinya
malam di satu kawasan dan siang di kawasan lain, maka dalam keadaan seperti itu
puasa telah wajib bagi semua. Selisih waktu antara Jakarta dan Arab Saudi atau
Mesir tidak lebih dari empat atau lima jam. Awal malam di Timur Tengah belum
lagi tegah malam di Jakarta. Jika terlihat bulan di Timur Tegah, maka
masyarakat muslim di Indonesia sudah wajib berpuasa. Ini berbeda dari beberapa wilayah di Amerika
Serikat bila dibanding dengan Indonesia. Perbedaan waktu dapat begitu panjang antar kedua wilayah ini,
sehingga ketika matahari terbit di sini
bisa jadi ia telah terbenam di sana, sehingga orang Indonesia yang melihat
bulan, maka masyarakat muslim di Amerika belum wajib berpuasa. Demikian juga
sebaliknya. Tetapi jika masyarakat
muslim di Mekah melihatnya, maka baik masyarakat muslim di Indonesia maupun di
Amerika kesemuanya telah wajib berpuasa, karena betapaun perbedaan waktu terjadi, semuanya ketika di suatu tempat terlihat bulan masih dalam keadaan malam.[34]
Jika
diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa uraian di atas merupakan suatu solusi yang ditawarkan untuk
mengatasi persoalan yang selalu muncul
setiap tahunnya. Selama ini di Indonesia, umat Islam khususnya, selalu
disibukkan oleh kapan mulainya berpuasa dan lebaran, sehingga terjadi perpecahan. Perbedaan ini terjadi karena
tidak samanya penggunaan metode dalam menetapkannya, yang satu menggunakan
metode hisab dan yang lain menggunakan ru’yat al-hilal.
Maka
dengan melihat persoalan yang diangkat tampak bahwa M. Quraish Shihab ingin memberikan suatu
sumbangan pemikiran terhadap persoalan
yang terjadi di tegah umat. Ia menilai
bahwa perbedaan yang terjadi telah banyak menyita waktu, tenaga, dan
pikiran umat, bahkan menyebab kan
terjadinya perpecahan di antara
umat. Sehubungan dengan hal itu ia menyatakan : “Sungguh, jika ini (penilaian
terhadap penetapan awal Ramadhan)
dilaksanakan , maka akan banyak waktu, tenaga, dan biaya yang hemat,
bahkan salah satu sumber perselisihan
antara umat dapat teratasi.[35]
Dengan
demikian, bila melihat susunan bahasa dan kecendrungannya dalam penafsiran,
yaitu menghidangkan al-Qur’an agar dapat dimengerti dan dipahami oleh seluruh
umat Islam, sehingga dapat menjadi petunjuk dalam menghadapi berbagai persoalan
yang terjadi di tegah masyarakat. Oleh sebab itu corak Tafsir al-Mishbah adalah
al-adab al-ijtima’i, meskipun Quraish bukan seorang ahli sastra, karena
ciri corak al-adab al-ijtima’i disamping mempunyai gaya bahasa yang
indah tapi juga selalu dikaitkan dengan persoalan masyarakat.
3.
Keistimewaan
Tafsir al-Mishbah
Berdasarkan penelitian yang penulis
lakukan terdapat beberapa keistimewaan dari Tafsir al-Mishbah, diantaranya
:
Pertama, uraian
penafsiran yang lugas, jelas dan tidak bertele-tele, sehingga mudah untuk
dipahami dan dimengerti, oleh semua kalangan, tidak hanya pada kalangan
tertentu, berbeda dengan kitab tafsir lainnya diantaranya Tafsir al-Mishbah karya Hamka[36].
Contohnya :
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
Artinya
: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS.
Ali Imran [3] : 110)
Setelah Quraish Shihab menjelaskan
korelasi ayat ini dengan ayat 104, yaitu bahwa Allah memerintahkan untuk
melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, kemudian ayat 103 dan 105
tentang persatuan dan kesatuan yang
mereka tuntut, kini dikemukakan
kewajiban dan tuntutan itu pada
hakikatnya lahir dari kedudukan
umat ini sebagai sebaik-baik
umat.
Kata kuntum yang di gunakan ayat
di atas, ada yang memahaminya sebagai kata kerja yang sempurna, sehingga ia
diartikan wujud yakni kamu
wujud dalam keadaan sebaik-baik
umat. Ada juga yang memahaminya dalam arti kata kerja yang tidak sempurna,
dengan demikian ia mengandung makna wujudnya sesuatu pada masa lampau tanpa
diketahui kapan itu terjadi, dan tidak juga mengandung isyarat bahwa ia pernah
tidak ada atau satu ketika akan tiada. Jika demikian, maka ayat ini berarti
kamu dahulu dalam ilmu Allah adalah sebaik-baik umat. Bagaimana pada masa Nabi
SAW ? kuat dugaan bahwa demikian itulah
keadaan mereka. Nah bagaimana generasi sesudah mereka atau generasi
sekarang? boleh jadi lebih buruk, boleh
jadi juga lebih baik. Nabi
Muhammad SAW, bersabda : “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian di
susul dengan generasi berikutnya, lalu disusul oleh generasi berikutnya …”[37]
Ayat di atas menggunakan kata ummah. Kata
ini digunakan untuk menunjuk semua kelompok yang di himpun oleh sesuatu,
seperti agama yang sama, waktu dan tempat yang sama. Dalam konteks sosiologis,
ummat adalah himpunan manusia yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu
arah yang sama, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan
bersama.
Kata tu’minu bi-llah dipahami
oleh al-Thabathaba’i, dalam arti percaya kepada ajakan bersatu untuk berpegang
teguh pada tali Allah. Tidak bercerai
berai. Dengan demikian ayat ini menyebutkan tiga syarat yang harus di
penuhi untuk meraih kedudukan
sebaik-baik umat, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, persatuan dalam berpegang teguh pada tali Allah atau ajaran Allah.[38]
Hamka menjelaskan dalam tafsirnya, yakni
pada saat ynag lalu telah diperintahkan dengan nyata dan tegas supaya
dikalangan jamaah Islamiyah itu diadakan umat yang khusus menyeru kepada
kebaikan, yaitu iman, menyuruh kepada yang ma‘ruf dan melarang kepada yang
munkar. Ayat ini menegaskan sekali lagi hasil usaha yang nyata, yang kongkrit,
yaitu kamu menjadi sebaik-baik umat yang di keluarkan dari manusia di dunia
ini. Dijelaskakan seklai lagi, bahwa kamu mencapai derajat yang tinggi, sebaik-baik umat ketika kamu
memenuhi tiga syarat, amar ma’ruf, nahi munkar, dan iman kepada Allah, ketiga inilah yang menjadi sebab kamu disebutkan
sebaik-baik umat, kalau ketiganya tidak ada, niscaya kamu bukanlah sebaik-baik umat, bahkan
menjadi seburuk-buruk umat.[39]
Selanjutnya, ini adalah satu ayat yang
tidak terpotong-potong dan tidak boleh dipotong-potong. Waw artinya dan
yang mempersambung antara keempat bagian
kalimat itu, menyebabkan hubungannya erat dan tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lain. Umat Muhammad akan tetap menjadi sebaik-baik umat yang
timbul antara perikemanusiaan, selama dia mempunyai tiga sifat keutamaan itu,
berani menyuruh berbuat ma’ruf, berani melarang perbuatan munkar itu dan
percaya kepada Allah. Apabila ketiganya ada pastilah mereka mencapai kedudukan
yang tinggi diantara pergaulan manuia.[40]
Dari kedua penafsiran di atas, terlohat
bahwa Quraish Shihab menafsirkan dengan jelas dan tidak bertele-tele kemudian
tersusun teratur, sehingga mudah untuk dipahami. Sednagkan penafsiran Hamka,
dilihat dari segi bahasa masih belum sempurna, mungkin hal ini dilator
belakangi oleh perbedaan kondisi antara Quraish Shihab dan Hamka, baik dari
segi pengetahuan maupun dari segi waktu dan tempat tinggal.
Kedua, pembahasan
selalu dihubungkan dengan persoalan kemasyarakatan kemudian menawarkan solusi
untuk mengatasi masalah yang terjadi, sehingga dapat menjawab persoalan yang
terjadi di tegah masyarakat.
Dari contoh di atas terlihat bahwa
Quraish selalu menghubungkan
dengan persoalan kemasyarakatan. Quraish menyetakan bagaimana gerasi sesudah Nabi atau genarasi sekarang
apakah termasuk sebaik-baik umat ? Setelah itu ia member jawaban dengan sabda
Nabi SAW “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian di susul dengan
generasi berikutnya, lalu di susul lagi oleh generasi berikutnya …”, kemudian
pada penjelasan selanjutnya, sebaik-baik
umat adalah menyeru kepada kebaikan, melarang dari yang munkar dan
beriman kepada Allah.
Selanjutnya poligami adalah salah satu
persoalan yang terjadi di tegah masyarakat, poligami tambah hangat dengan
berpoligaminya A. Gymnastiar, sehingga Meutia Hatta Menteri Pemberdayaan
Perempuan meminta presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mengesahkan undang-undang
poligami.
Quraish Shihab, dalam menanggapi masalah
ini dalam penafsirannya terhadap QS. An-Nisa’ [4] : 3, yaitu :
“Perlu digaris bawahi ayat ini tidak memuat
peraturan tentang poligami, karena poligami telah di kenal dan dilaksanakan
oleh penganut berbagai syari’at agama serta adat istiadat masyarakat sebelum
turunnya ayat ini. Sebagaimana ayat ini tidak mewajibkan poligami atau
menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun hnaya
pintu kecil yang hanya dapat di lalaui oleh yang amat membutuhkan dan dengan
syarat yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam
pandangan al-Qur’an hendaknya tidak di tinjau dari segi ideal atau baik dan
buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandangan penetapan hukum dalam aneka
kondisi yang mungkin terjadi. Adalah wajar bagi suatu perundang-undangan,
apalagi agama yang bersifat universal dan belaku untuk setiap waktu dan tempat,
untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jdi terjadi pada satu ketika.
Walaupun kejadian itu baru merupakan kemungkinan. Bukankah kenyataan
menunjukkan bahwa jumlah lelaki bahkan jantan binatang lebih sedikit dari
jumlah wanita atau binatangnya ? Perhatikanlah sekeliling anda. Bukankah
rata-rata usia wanita lebih panjang dari usia lelaki, sedang potensi membuahi
lelaki lebih lama dsari potensi wanita, bukan saja Karen awanita mengalami mas
ahaid, tetapi juga karena wanita mengalami monopouse sedang pria tidak
mengalami keduanya. Selanjutnya, bukankah kemandulan atau penyakit parah merupakan
satu kemungkinan yang tidak aneh dan dapat terjadi di mana-mana ? Apakah jalan
keluar yang dapat di usulkan kepada suami yang menghadapi kasus demikian ?
Bagaimanakah ia seharusnya menyalurkan kebutuhan biologisnya atau memperoleh
dambaannya pada keturunan ? Poligami ketika itu adalah jalan keluar yang paling
tepat. Namun seklai lagi perlu diingat, bahwa ini bukan berarti anjuran,
apalagi kewajiban. Seandainya ia anjuran, pastilah Allah menciptakan wanita
lebih banyak mepat kali lipat dari jumlah lelaki karena tidak ada artinya anda,
apalagi Allah menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak
tersedia. Ayat ini hanya member wdah bagi mereka yang menginginkannya, ketika
menghadapi kondisi atau kasus tertentu”.[41]
Ketiga, penafsiran
ynag dilakukan bersifat netral (moderat) tidak cenderung pada satu kelompok
atau aliran tertentu. Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa Quraish Shihab
tidak terikat pada satu kelompok tapi ia hanya berusaha menafsirkan sebaik
mungkin agar dapat memberikan solusi kepada masyarakat dalam menghadapi
persoalan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah penafsiran.
Keempat, metode
yang digunakannya, penggabungan antara tahlili dan maudhu’i yaitu
menguraikan ayat demi ayat kemudian menjelaskan isi kandungannya, serta
mengelompokkan ayat-ayat dalam tema-tema, sehingga membuat kitab tafsirnya
berbeda dengan kitab tafsir yang lain. Ini terlihat dari cara ia menjelaskan
ayat-ayat dalam al-Qur’an, setelah ia kelompokkan ayat-ayat menurut tema-tema
dengan melihat korelasi antara satu ayat dengan ayat lain, baru ia menguraikan
ayat tersebut satu persatu.
Kelima, kecendrungannya
dalam memahami kata-kata sulit dalam sebuah ayat dengan mengembalikannya pada
makna akar kata tersebut, sehingga akan ditemukan benang merah dari kata-kata
tersebut, kemudian korelasi antar kata pada satu ayat dengan ayat lain.
Contohnya :
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# öNà6/u 4 cÎ) s's!tø9y Ïptã$¡¡9$# íäóÓx« ÒOÏàtã ÇÊÈ (الحج : 1)
Dalam menjelaskan makna (زلزلة) zalzalah, ia menjelaskan bahwa kata ini terambil dari
kata زل yang berarti
jatuh tergelincir. Pengulangan kata zalla mengesankan ketergelinciran
ynag berulang-ulang dan penambahan (ة) ta marbuthah mengisyaratkan besar dan hebatnya
ketergelinciran itu, dalam hal ini adalah penyebabnya yaitu gerakan yang sangat
dahsyat / gempa.[42]
[1] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 1421 H / 2000 M), vol 15, “Kata
Penutup”
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 1421 H / 2000 M), hal. V,
“Sekapur Sirih”
[3] Mahmud Yunus, Kamus
Arab Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, t.t), h. 211
[5] Hamdani Anwar, Telaah
Kritis Terhadap Tafsir Al-Mishbah : Karya M. Quraish Shihab, Jurnal Mimbar
Agama dan Budaya, vol. XIX, No. 2, 2001, hal. 177
[6] M. Quraish Shihab, Op
Cit, h. 7
[7] Hamdani Anwar, Op
Cit, h. 178-179
[8] Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2000), h. 3
[9] Tafsir bi
al-ma’tsir adalah menafsirkan al-Qur’an dengan penjelasan yang datang dari
al-Qur’an itu sendiri secara terperinci dan menafsirkan al-Qur’an dengan hadist
Rasulullah al-Qur’an dengan perkataan sahabat dan menafsirkan al-Qur’an dengan
perkataan tabi’in untuk dapat mengetahui penjelasan maksud Allah dalam nash-nash al-Qur’an
al-karim. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran yang dilakuan
dengan cara ijtihad, yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran, setelah
musafir terlebih dahulu memahami bahasa Arab jahiliah sebagai pendukung, disamping
memperbaiki ashab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan
lain-lain. Lihat Muhammad Husain
al-Zdahabi, al-tafsir wa al-mufassirun, (t.t,t.p, 1976), cet
ke-2, juz I hal 152 dan 225
[10] Hasbi Ashshiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 227
[13] Ibid, h. 39
[14] Ibid, h. 36
[19] Ibid, vol. 2,
h. 98
[20] Hamdani Anwar, op
cit, h. 187
[21] Ibid, h. 8
[22] Ibid, Kata
Pengantar, h. 21-24
[23] Pembahasan metode
penafsiran ini telah dibahas pada bab
landasan teoritis
[24] Hamidi Anwar, op
cit, h. 182
[25] Bustani A. Gani, Beberapa
Aspek Ilmiah tentang al-Qur’an, (Jakarta : Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an,
1986), h. 31
[26] M. Quraish Shihab, op
cit, h. 7
[27] Ibid, h. 8
[28] M. Quraish Shihab, Membunikan
Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 2004), h. 117. Lihat “Tafsir Al-Qur’an dengan
Metode Maudhu’i, (Artikelnya), h. 37
[29] Al-Suyuthi, al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir : Mushthafa al-Babi al-Halabi, t.t) jilid 4, h.
200
[30] Ibid, vol 2,
h. 9
[31] Metode maudhu’i ada
dua macam, pertama pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh
dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan
korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu Nampak
dalam bentuk yang utuh. Kedua, dengan menghimpun sejumlah ayat dari berbagai
surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu yang dibahas secara
tematis. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, op cit, hal.
116-117. Lihat Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i : Sebuah Pengantar, penerjemah Suryan A.
Jamrah, judul asli “al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i : Dirasah Manhajiah
Maudhu’iyah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet ke-2, h.
35-36
[32] M. Quraish Shihab, op
cit, Kata Pengantar, h. 21
[33] Hamdani Anwar, op
cit, h. 184
[34] M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah, op cit, h. 379
[35] Ibid
[36] Hamka dilakirkan
Tanah Sirah, dalam Nagari Sunga Batang, di tepi Danau Maninjau pada tanggal 13
Muharram 1362 H, bertepatan dengan 16
Februari 1908 M. Ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah adalah seorang pengukir latar social yang mempunyai keinginan agar anaknya menjadi seorang ulama.
Hamka memulai pendidikan
ba can al-Qur’an di rumah orang tuanya di Padang Panjang tahun 1914 M.
Setahun kemudian Hamka dimasukkan ayahnya ke sekolah desa,
selanjutnya ke Thawalib School.
Penulisan Tafsir al-Azhar berasal dari kuliah subuh yang di berikannya di
Mesjid Agung al-Azhar sejak tahun 1959. Pada tanggal 12 Ramadhan 1383 H,
betepatan dengan 27 Januari 1964, Senin pagi sesaat setelah Hamka memberikan
pengajian di Mesjid al-Azhar ia ditangkap oleh penguasa Orde Lama. Hamka ditempatkan
di kamar tahanan polisi Cimacam,
di rumah tahanan inilah Hamka menulis Tafsir al-Azhar.Penerbitan
pertama Tafsir al-Azhar diterbitkan oleh Pembimbing Masa, pimpinan Haji Mahmud, juz pertama sampai juz empat. Kemudian juz 30 dan
juz 15 sampai dengan juz 29 diterbitkan
oleh Pustaka Islam Surabaya. Dan
terakhir juz 5 sampai
juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta. Lihat M. Yunan Yusuf, Scorak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990), h. 39-57
[37] Ibid, vol 2,
h. 173
[38] Ibid, h.
172-174
[39] Hamka, Tafsir
al-Azhar, (Jakarta : PT. Pustaka
Panjimas, 1983), juz IV, h. 49-51
[40] Ibid, h. 51-52
[41] Ibid, h.
325-327
[42] Ibid, vol 9,
h. 6
No comments:
Post a Comment