Friday, April 5, 2019

MENGENAL TENTANG TAFSIR AL-MISHBAH


A.    MENGENAL TENTANG TAFSIR AL-MISHBAH
1.      Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Mishbah
Tafsir al-Mishbah merupakan karya besar Quraish Shihab dalam kajian tafsir, karena buku karyanya ini di bedah dan dianalisis sesuai dengan norma pembahasan tentang karya tafsir. Quraish mulai menulisnya pada hari jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420 H / 18 Juni 1999 di Cairo dan selsai pada hari jum’at 8 Rajab 1423 H / 5 September 2003 di Jakarta.[1] Pada pembahasan ini penulis akan menguraikan latar belakang pemilihan nama al-Misbah motivasi penulisan tafsir al-Mishbah, dan sumber-sumber yang dijadikan rujukan dalam menyusun kitab ini.
a.       Pengenalan Tafsir al-Mishbah
Kitab tafsir ini diberi nama tafsir al-mishbah : pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, yang kemudian disingkat dengan tafsir al-Mishbah. Pemilihan nama ini tentulah melalui berbagai pertimbangan, hal ini dapat dianalisis dari uraian-uraian yang diungkapkan M. Quraish Shihab dalam kata sambutannya, yang judulnya “sekapur sirih” kemudian pada “pengantar” dari karya ini. Bila diteliti dengan cermat maka akan tersirat argument yang mendasari pemilihan nama ini, seperti ungkapannya:
Hidangan ini membantu manusia untuk memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita bagi umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Bahasanya yang demikian mempesona, redaksinya yang demikian teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung, telah mengantar kalbu masyarakat yang ditemuinya berdecak kagum, walaupun nalar mengantar kalbu masyarakat yang ditemuinya berdecak kagum, walapun nalar sebagian mereka menolaknya. maka terhadap yang menolak itu al-Qur’an tampil sebagai mukjizat, sedang fungsinya sebagai hudan ditujukan kepada seluruh umat manusia, namun yang memfungsikannya dengan baik hanyalah orang-orang yang bertqwa”.[2]
Jelaslah bahwa pemilihan nama al-Mishbah bukanlah tanpa dasar sama sekali. Nama ini berasal dari bahasa Arab yang artinya lampu, pelita,[3] lentera atau benda lain yang berfungsi sama dan serupa yang berguna untuk menerangi kegelapan. Jika dilihat dari makna, padanan kata, dan fungsinya itu, paling tidak ada dua hal yang dapat dijadikan alasan.
Pertama, bahwa pemilihan nama itu berdasarkan pada fungsinya, Mishbah berarti lampu yang gunanya untuk menerangi kegelapan. Dengan memilih nama ini penulisnya berharap agar karyanya ini dapat dijadikan sebagai penerang bagi mereka yang ada dalam suasana kegelapan yang mencari petunjuk dan dapat dijadikan pedoman hidup. Bukankah al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia menuju al-shirath al-mustaqim atau untuk mendapatkan hidayah dari Allah SWT karena al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab jadi tidak semua orang dapat memahaminya. Maka disinilah manfaat dari kitab tafsir ini, yaitu dapat membantu mereka dalam menemukan petunjuk ilahi, sehingga kegelapan tersebut dapat dihilangkan dengan bantuan tafsir al-Misbah.[4]
Kedua, didasarkan pada awal kegiatan Quraish dalam hal tulis menulis. Pada tahun 1980-an ia diminta sebagai pengasuh di rubric “Pelita Hati” pada harian Pelita. Tampaknya uraian-uraian yang disajikannya menarik banyak pihak, karena memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat mengurui dan menghakimi. Pada tahun 1994, kumpulan dari tulisannya tersebut diterbitkan oleh Mizan dengan judul Lentera Hati, yang ternyata menjadi best seller dan mengalami cetak ulang beberapa kali.[5] Dari sinilah tampaknya pengambilan al-Mishbah itu berasal, yaitu bila dilihat ari maknanya.
Analisis yang dapat dikemukakan adalah bahwa kumpulan tulisan pada rubric “Pelita Hati” diterbitkan dengan judul “Lentera Hati”, merupakan padanan kata pelita yang arti dan  fungsinya sama karena dalam bahasa Arab, lentera, pelita, lampu disebut dengan mishbah.
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa pengambilan nama tafsir al-Mishbah bukan tanpa dasar sama sekali, nama ini diambil sesuai dengan fungsi dan tujuan Quraish menulis Tafsir al-Mishbah yaitu untuk membantu umat dalam memahami dan mengambil petunjuk al-Qur’an sebagai penerang dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat.
b.      Motivasi penulisan Tafsir al-Mishbah
Di dalam menulis sebuah karya tulis tentulah mempunyai motivasi, karena hal ini dapat mendorong dalam penulisan sebuah karya tulis. Demikian juga dalam penulisan kitab tafsir. Tafsir al-Mishbah motivasi dalam penulisannya. Sejauh penelitian yang penulis lakukan, motivasi itu didasarkan pada tanggung jawab penulisnya sebagai ulama yang wajib memberikan penerangan kepada umat sesuai dengan bidangnya. Ini tergambar dalam ungkapannya : “Adalah kewajiban para ulama untuk memperkanalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesannya yang terkandung di dalam al-Qur’an sesuai dengan harapa dan kebutuhan itu”.[6]
Quraish Shihab menyadari bahwa al-Qur’an yang merupakan petunjuk bagi manusia yang harus dipahami dan dimengerti maknanya. Sementara itu, ternyata banyak umat Islam yang hanya puas dengan membacanya saja tanpa diikuti dengan pemahaman dan penghayatan akan makna dan petunjuk yang terkandung di dalamnya. Bahkan ada pula diantara mereka yang memang tidak memahami isi dan maknanya dengan benar, sementara itu sebagian yang lain sudah berupaya untuk mengerti dan memahami kandungannya, namun mereka terkendala dengan bahasa al-Qur’an, ada pula yang terkendala dengan berbagai hal yang sulit diatasi, seperti keterbatasan waktu untuk menelaah, kekurangan ilmu dasar untuk menganalisis, kelangkaan buku rujukan dan lain-lain. Semua itu merupakan fenomena yang terjadi bahkan telah membuat umat jauh dari pemahaman dan pelaksanaan petunjuk al-Qur’an yang dapat membawa mereka kepada al-shirath al-mustaqim.[7] Menyadari hal yang demikian sudah sewajarnya umat memperhatikan para ulama untuk membantunya dalam memahami al-Qur’an. Dengan rasa tanggung jawab inilah Quraish Shihab menulis kitab Tafsir al-Mishbah.
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang hendaknya didengarkan oleh siapa saja dengan seksama khususnya tentang halal dan haramnya, dijadikan rujukan dari setiap kegiatan yang dilakukan, di teliti dan dipahami maknanya, dan dijadikan sebagai obat bagi semua penyakit kejiwaan. Namun adakalanya sebagian umat Islam tidak memperhatikan salah satu atau semua hal di atas. Hal inilah yang juga menjadi kekhawatiran M. Quraish Shihab, bila ia berdiam diri tanpa berbuat sesuatu, padahal ia memiliki kemampuan. Oleh sebab itu, ia menegaskan bahwa kita semua (termasuk ia sendiri) tidak ingin termasuk ke dalam kleompok yang demikian.
c.       Sumber-Sumber Penafsiran
Yang dimaksud dengan sumber penafsiran adalah hal-hal atau materi yang dipergunakan untuk menjelaskan makna dan kandungan ayat. Dalam hal ini Nashruddin Baidan, menjelaskan dalam bukunya Metode Penafsiran al-Qur’an, bahwa hal ini disebut dengan bentuk dari penafsiran,[8] ia membaginya kepada dua bentuk yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi.[9] Pendapat ini juga didukung oleh uraian Hasbi Ashshiddiqie dalam karyanya yang berjudul Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir.[10]
Sumber penafsiran Quraish Shihab dalam menulis Tafsir al-Mishbah dapat dilihat dari ungkapannya yang terdapat pada akhir “Sekapur Sirih” yang merupakan sambutan sari karya ini. Ungkapannya berbunyi sebagai berikut:
“Akhirnya, penulis merasa sangat  perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yag di hidangkan di sini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Umar bin Biqa’i (w. 885 H / 1480 M) yang karya tafsirnya ketika masih terbentuk manuskip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhar, Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi dan tidak ketinggalan pula Sayyid Quthub, Muhammad Thahir ibn Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir lain”.[11]

Ungkapan Quraish Shihab di atas mengisyaratkan paling tidak ada dua hal penting. Pertama, bahwa sumber penafsiran yang di pergunakan dalam Tafsir al-Mishbah adalah dengan melakukan ijtihad, kemudian dia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa para ulama baik yang terdahulu maupun kontemporer, diantaranya : Ibrahim Umar bin Biqa’i, Sayyid Muhammad Thanthawi, Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, Sayyid Quthub, Muhammad Thahir ibn Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, serta beberapa pakar tafsir lain.
Selanjutnya kitab-kitab yang dijadikan sumber dalam penulisan Tafsir al-Mishbah yaitu : Mifatih Al-Ghaib karya Fakhruddin Al-Razi (606 H / 1210 M), kitab Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya Ibrahim bin Umar al-Biqa’i (809-885 H / 1406-1480 M), al-Mu’allim bi al-Burhan fi Tartib Suwar al-Qur’an karya Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubair (w. 708 H), al-Burhanfi Ulum al-Qur’an karya Suyuthi (w. 911 H), al-Naba’ al-‘Azhim dan al-Madkhal ila al-Qur’an al-Karim karya Abdullah Darraz, al-Mizan karya Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari w. 838 H), fi Zhilal al-Qur’an karya Sayyid Quthub (w. 1386 H), al-Manar karya Muhammad Abduh (w. 1905 H) dan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H), dan al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an karya al-Raghib al-Ishfanahani (w. 502 H).[12]
Sebagai bukti dari ijtihad yang dilakukannya dalam penafsiran, hal ini dapat dilihat dalam karyanya ini. Seperti, ketika ia menafsirkan ayat 3 dari surat al-Fatihah, yaitu :
الرحمن الرحيم

Setelah ia berpanjang lebar mengemukakan pendapat ulama, ia mengakhiri tafsirnya dengan hal sebagai berikut :
“Kita juga dapat berkata bahwa seorang yang menghayati bahwa  Allah adalah rahman (pemberi rahmat kepada makhluk-makhluk-Nya dalam kehidupan dunia ini) karena Dia rahim (melekat pada diri-Nya sifat rahmat), maka penghayat-penghayat itu akan dapat berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang sehingga menjadi cirri kepribadiannya, selanjutnya ia tidak akan ragu-ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesame manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama, maupun tingkat keimanan, serta member pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain, baik yang hidup maupun yang mati”.[13]

Di samping adanya ijtihad dari M. Quraish Shihab dalam menafsirkan, ia juga mengutip pendapat para ulama seperti ia menjelaskan makna kata al-rahman, yaitu :
“Ghazali dalam bukunya al-Maqshad al-A’la menjelaskan bahwa kata al-Rahman merupakan kata khusus yang menunjuk kepada Allah dan kata al-Rahim seyogyanya merupakan rahmat yang khusus dan yang tidak dapat diberikan oleh makhluk, yakni yang berkaitan dengan kebahagiaan ukhrawi sehingga al-Rahman adalah Tuhan yang Maha Kasih terhadap hamba-hamba-Nya, pertama dengan penciptaanm kedua dengan petunjuk hidayah meraih iman dan sebab-sebab kebahagiaan, ketiga kenikmatan ukhrawi yang dinikmati kelak, keempat kenikmatan dengan memandang wajah-Nya pada hari kemudian”.[14]
Selanjutnya, contoh sumber-sumber yang diambil dari ulama-ulama tafsir diantaranya : ketika  menafsirkan QS. Al-Nur [24] : 26, yaitu :
àM»sWÎ7sƒø:$# tûüÏWÎ7yù=Ï9 šcqèWÎ7yø9$#ur ÏM»sWÎ7yù=Ï9 ( àM»t6Íh©Ü9$#ur tûüÎ6Íh©Ü=Ï9 tbqç7ÍhŠ©Ü9$#ur ÏM»t6Íh©Ü=Ï9 4 y7Í´¯»s9'ré& šcrâ䧎y9ãB $£JÏB tbqä9qà)tƒ ( Nßgs9 ×otÏÿøó¨B ×-øÍur ÒOƒÌŸ2 ÇËÏÈ

Artinya : Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).

Ayat ini kembali menguraikan sebab penegasan ayat 3 yang menyatakan bahwa pezina tidak wajar menikahi kecuali lawan seksnya yang pezina pula. Hal ini telah menjadi sunnatullah bahwa seseorang cenderung kepada yang memiliki kesamaan dengannya. Ayat di atas menyatakan bahwa wanita-wanita yang keji dan buruk akhlaknya adalah untuk lelaki yang keji dan buruk akhlaknya demikian juga sebaliknya, dan begitu pula wanita-wanita yang baik akhlaknya adalah untuk lelaki yang baik pula akhlaknya, demikian juga sebaliknya. Ini disebabkan karena jiwa manusia selalu cenderung mencari temannya, dan tidak senang lawannya.
Al-Biqa’i menjelaskan bahwa penyebutan al-khabitsat terlebih dahulu  karena konteks pembicaraan adalah wanita dalam arti  isu yang disebarluaskan adalah menyangkut Aisyah ra, sedangkan penyebutan lawan dari al-khabitsat yakni al-khabitsun Karen ajika yang disebut hanya kekhususan wanita-wanita yang bejat akhlaknya untuk lelaki yang bejat akhlaknya, bisa saja ada yang menduga bahwa lelaki yang bejat akhlaknya, bisa kawin dengan yang tidak bejat akhlaknya. Nah, untuk menampilkan hal tersebut di tegaskan bahwa lelaki yang bejat akhlaknya hanya pantas menjadi pasangan wanita ynag bejat akhlaknya bukan wanita baik-baik.[15]
Selain mengutip pendapat para ulama, Quraish Shihab juga menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi di dalam penafsiran yang dilakukannya. Biasanya rujukan dari ayat al-Qur’an di tulis dengan bentuk italic (miring), sebagai cara untuk membedakannya dengan pendapat yang berasal dari pendapat ulama atau nijtihadnya sendiri. Seperti : ar-Rahman sebagaimana dikemukakan diatas tidak dapat di sandang kecuali oleh Allah SWT. Karena itu pula dikemukakan dalam ayat al-Qur’an yang mengajak manusia menyembah-Nya dengan menggunakan  kata al-Rahman sebagai ganti kata Allah atauy menyebut kedua kata tersebut sejajar dan bersamaan. Perhatikan firman-firman-Nya sebagai berikut : Katakanlah:
"Serulah Allah atau Serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)". (QS. Al-Isra’ : 110), dan Dan tanyakanlah kepada Rasul-Rasul kami yang Telah kami utus sebelum kamu: "Adakah kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah yang Maha Pemurah?" (QS. Az-Zukhruf : 45)[16]

Sedangkan rujukan yang diambil dari hadist Rasulullah ketika menafsirkan al-Rahman dan rahim, sebagai penguat dari tafsirnya adalah : “dalam salah stu hadits Qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman : “Aku adalah al-Rahman, Aku menciptakan rahim, Kuambilkan untuknya nama yang berakar dari nama-Mu siapa yang menyambungnya (silaturrahmi) akan Kusambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku baginya) (HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi melalui Abdurrahman bin Auf).[17]
Selanjutnya ketika ia menjelaskan makna iyyakana’budu maka ia mengambil hadits Rasulullah yaitu : “ketika mengucapkan iyyakana’budu maka kehadiran-Nya kalaupun tidak dapat dilihat, maka paling tidak dirasakan dan Dia tidak jauh dari sipengucap. Di sinilah muraqabah dan pengawasan itu tampil kepermukaan seperti hakikat ihsan yang di jelaskan Rasulullah SAW kepada malaikat Jibril ketika ia datang dalam bentuk manusia dan mengajar melalui pertanyaan-pertanyaan sahabat Nabi. Ketika itu nabi menjelaskan bahwa ihsan adalah mengabdi kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan bila engkau tidak dapat melihat-Nya maka rasakan atau yakinlah bahwa Dia melihatmu”. (HR. Bukhari melalui Umar bin Khatab).[18]
Dalam mengutip hadits, Quraish Shihab tidak mentakhrij hadits tersebut, karena hadits-hadits yang diikuti kebanyakan dari Kutub al-Sittah. Namun sebahagiannya hanya menggambarkan pandangan  ulama terhadap hadist tersebut, seperti ketika menafsirkan QS.  Ali Imran [3] : 55, artinya :
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian Hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya".

Ayat ini menjelaskan tentang akan turunnya Nabi Isa as pada a khir zaman. Namun ulama berbeda pendapat ada yang percaya dan ada yang menolak bahwa Nabi Isa akan turun pada akhir zaman. Ini disebabkan karena ayat tidak ada menjelaskan secara pasti apakah Nabi Isa akan turun pada akhir zaman.
Quraish Shihab menjelaskan banyak hadits-hadits yang menerangkan akan turunnya  Nabi Isa pada akhir zaman. Namun demikian hadits-hadits tersebut diperselisihkan nilainya, bahkan Quraish Shihab berpendapat walaupun haditsnya banyak, tetapi kesemuanya bersumber dari dua orang, yaitu Ka’ab al-Ahbar dan Wahab Ibn Munnabih, sementara ulama meragukan loyalitasnya.[19]
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa tafsir yang disusun oleh M. Quraish Shihab ini banyak menggunakan sumber-sumber yaitu al-Qur’an, hadits, pendapat para ulama, kitab-kitab tafsir. Kemudian dalam menafsirkan selain menggunakan sumber-sumber rujukan Quraish Shihab juga melakukan ijtihad.
Jadi Tafsir al-Mishbah termasuk kepada bentuk tafsir bi al-ra’yi, ini berdasarkan kepada sumber-sumber yang dipakai ketika menafsirkan ayat, kemudian hamper keseluruhan ayat yang dijelaskannya ada ijtihadnya, namun dia tidak menggunakan ijtihad semata  tapi ia juga menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits Nabi dan pendapat-pendapat  para ulama sebagai penjelasan tafsir yang dilakukan.
2.      Metode Tafsir al-Mishbah
a.       Sistematika penulisan Tafsir al-Mishbah
Sebelum menjelaskan metode penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, terlebih dahulu akan dijelaskan sistematika penulisannya, karena dalam setiap penulisan suatu karya, tentu ada suatu sistem yang dipakai. Untuk memudahkan penulisannya dalam menyusun karya tulis, masing-masing penulis biasanya memiliki kecendrungan tersendiri dalam memakai sistem yang akan dijadikan sebagai pedoman penelitiannya.
Sistematika yang dipakai oleh M. Quraish Shihab dalam menulis Tafsir al-Mishbah adalah :
1)      Tafsirnya dimulai dengan pengantar yang menjelaskan suatu secara global, khsusnya surat al-Fatihah, keterangannya terlihat di uraikan dengan panjang lebar. Hal ini memungkinkan penilaian tentang betapa pentingnya surat ini, yang juga merupakan pembuka mushaf yang isinya merupakan induk dari al-Qur’an itu sendiri.
2)      Penulisan ayat-ayat yang dikelompokkan dalam tema-tema tertentu, sesuai dengan urutannya, kemudian di ikuti dengan terjemahannya, pengelompokkan demikian dilakukan sebagai konsekwensi logis dari kecendrungannya terhadap metode maudhu’i, namun tidak meninggalkan sama sekali  metode tahlili karena ia harus menjelaskan makna seluruh ayat sesuai dengan urutannya dalam mushaf, maka ia menggabungkan kedua metode tersebut.
3)      Uraian tentang kosa kata hanya sekedar yang di pandang perlu dalam penafsiran makna ayat. Pada karya ini, Quraish tidak lagi menggunakan sistem yang dilakukan ketika menulis tafsir pada masa lalu, seperti dalam tafsir al-Qur’an al-Karim yang di terbitkan pada tahun 1997.[20] Sebelumnya ia selalu menguraikan setiap kosa kata dengan sangat rinci. Hal ini sengja dilakukannya agar pembaca dapat menggunakan makna itu dalam ayat-ayat lain. Sehubungan dengan  hal itu, ia menulis sebagai berikut : “karena itu, dalam tafsir tersebut, penulis memaparkan makna kosa kata sebanyak mungkin dan kaidah-kaidah tafsir yang menjelaskan makna ayat yang sekaligus dapat di gunakan untuk memahami ayat-ayat lainnya yang tidak di tafsirkan”.[21] Pada tafsir ini yang dijelaskan adalah yang dipandang perlu saja. Perubahan demikian disebabkan adanya kritik dari umat yang membaca karya sebelumnya yang dianggap bertele-tele dalam uraian tentang pengertian kosa kata dan kaidah-kaidah yang disajikan.
4)      Ayat al-Qur’an dan Sunah Nabi SAW, yang dijadikan sebagai penguat atau bagian dari tafsirnya hanya di tulis terjemahannya saja, mungkin karena tafsir tersebut di tulis dalam bahasa Indonesia. Karenanya, segala sesuatu yang berupa penjelasan ayat-ayatnya di upayakan tertuang dalam bahasa itu pula.
5)      Kitab-kitab tafsir para ulama tafsir dahulu dan kontemporer dijadikan rujukan dalam penulisan kitab ini seperti : Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi (606 H / 1210 M), kitab Nazhm al-Durar fi Tanasub al-ayat wal Suwar karya Ibrahim bin Umar al-Biqa’i (809-885 H / 1406-1480 M), al-Mu’allim bi al-Burhan fi Tartib Suwar al-Qur’an karya Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin az-Zubair (w. 708 H), al-Burhan fi ulum al-Qur’an karya al-Zarkasyi (w. 794 H), Asrar Tartib al-Qur’an dan al-Itqan fi Ulum al-Qur’an al-Karim karya Sayyid Muhammad Husein thabathaba’i, al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari (w. 838 H), Fi Zhilal al-Qur’an karya Sayyid Quthub (w. 1386 H), al-Manar karya Muhammad Abduh (w. 1905) dan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H).[22]
6)      Pendapat-pendapat  para ulama, diantaranya al-Ghazali, Syafi’i, Syekh Thahir ibn Asyur, dan lain-lain.

b.      Metode Tafsir al-Mishbah
Metode penafsiran, seperti yang telah di urakan di atas, menurut al-Farmawi ada empat macam, yaitu ijmali, tahlili, muqaran, dan maudhu’i.[23] apabila dikaitkan dengan Tafsir al-Mishbah, maka metode yang dipakai M. Quraish Shihab adalah gabungan metode tahlili dengan maudhu’i. hal ini dapat dilihat dari cara penafsiran yang terdapat dalam kitab ini, yaitu mengelompokkan ayat berdarkan tema-tema kemudian menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunan yang terdapat di dalam mushaf.
Metode tahlili sengaja dipilih oleh M. Quraish Shihab, karena ia ingin mengungkapkan semua isi al-Qur’an secara rinci agar petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya dapat dijelaskan dan dipahami oleh para pembacanya. Namun pada sisi lain M. Quraish Shihab sebenarnya tidak begitu tertarik untuk memakai metode tahlili dalam berbagai kesempatan, ia selalu mengemukakan bahwa metode yang mulai diperkenalkan oleh al-Farra’ (w. 207 H),[24] memiliki
1)      Metode tahlili karena menafsirkan ayat demi ayat yang terpisah antara satu dengan yang lainnya, telah menjadikan petunjuk al-Qur’an terpisah-pisah dan tidak disuguhkan pada pembacanya secara menyeluruh.[25]
2)      Metode tahlili ini sangat menyita waktu, karena panjangnya masa yang diperlukan untuk menafsirkan semua ayat al-Qur’an. Selian itu, informasi yang dihidangkan juga cenderung beraneka ragam yang kadang kala tidak selalu di butuhkan oleh pembacanya (karena banyaknya tema yang tercakup di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan seluruh aspek dari kehidupan manusia.[26]
3)      Metode tahlili ini juga seringkali menimbulkan banyak pengulangan dalam tafsirnya, hal ini akan terjadi jika kandungan dari kosa kata atau pesan ayat dan suratnya sama atau mirip dengan ayat atau surat yang telah di tafsirkan sebelumnya.[27]
Walaupun demikian M. Quraish Shihab tidak bisa meninggalkan metode tahlili ini dalam kitab tafsirnya, karena harus ia lakukan demi mencapai tujuan dan keinginannya untuk menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam metode tahlili M. Quraish Shihab membertambahan lain dalam karyanya, yaitu selain menggunakan metode tahlili juga memakai metode maudhu’i, karena ia menilai bahwa cara yang lebih tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah dengan menggunakan metode maudhu’i, yaitu mengungkap pesan al-Qur’an sesuai dengan tema yang di inginkan. Selain itu, ia juga menilai bahwa metode maudhu’i ini memiliki beberapa keistimewaan, antara lain :[28]
1)      Metode ini menghindarkan kita dari problema atau kelemahan yang terdapat pada metode lain.
2)      Metode ini juga memungkinkan penafsiran ayat dengan ayat atau dengan hadits Rasulullah SAW, yang merupakan cara terbaik dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.[29]
3)      Kesimpulan yang dihasilkan mudah untuk di pahami. Ini disebabkan karena hal itu membawa kita kepada petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam suatu disiplin ilmu. Juga membuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-qur’an bukan bersifat teritis yang tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu, ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai promlema kehidupan yang di sertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat menjelaskan kembali fungsi al-Qur’an sebaga kitab suci dan terakhir ia dapat membuktikan keistimewaannya dan dapat mengantar kita kepada keyakinan atas kemukjizatannya.
4)      Metode ini memmungkinkan seseorang untuk menolak badanya anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan sebagai bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarata.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa metode yang dipakai oleh Quraish  dalam menulis Tafsir al-Mishbah adalah metode tahlili dan maudhu’i, karena menganggap bahwa ia tidak bisa menggunakan satu metode saja untuk menghidangkan al-Qur’an secara keseluruhan karena metode tahlili dan maudhu’i sama-sama mempunyai kekurangan, jadi untuk menutupi kekurangan tersebut, maka ia harus menerapkan kedua metode tersebut.
M. Quraish Shihab menafsirkan ayat dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalamnya serta menerangkan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Maka akan terlihat bahwa metode yang dipakai oleh Quraish adalah metode tahlili. Dengan demikian,melihat kepada penafsiran yang dilakukannya bahwa metode yang dipakainya adalah metode tahlili, tapi jika di perhatikan lebih lagi mendalam cara-cara pengelompokkan ayat yang dilakukannya menurut tema-temanya, bahwa M. Quraish tidak hanya memakai tahlili, tapi juga memakai metode maudhu’i dalam menulis Tafsir al-Mishbah. Sehubungan dengan pilihannya itu maka ia  menyatakan : “ dalam konteks memperkenalkan al-Qur’an, dalam buku ini, penulis akan berusaha dan akan terus berusaha menghidangkan bahasan pada apa yang dinamai tujuan surat, atau tema pokok surat. Memang menurut para pakar setiap surat ada tema pokoknya”.[30]
Selanjutnya metode maudhu’i yang dipakai Quraish Shihab dalam menulis Tafsir al-Mishbah adalah metode maudhu’i dalam bentuk pertama, yaitu menjelaskan makna suatu surat yang beragam masalahnya diterangkan korelasi antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga kelihatan utuh,[31] seperti ketika menafsirkan QS. An-Nisa’ ia membagi tema-temaya kepada Sembilan belas kelompok, kemudian menjelaskan korelasi antara tema-tema yang telah di kelompokkannya.
Selanjutnya dalam menafsirkan ayat-ayatnya ia selalu menerangkan korelasinya dengan ayat sebelumnya. Contohnya, sebelum ia menafsirkan QS. An-Nisa’ ayat 3 terlebih dahulu ia menjelaskan hubungannya dengan ayat sebelumnya seperti setelahmelarang mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara aniaya, kini yang dilarangnya adalah berlaku aniaya terhadap pribadi anak-anak yatim. Kemudian baru  menjelaskan makna kosa kata, menjelaskan penafsiran ayatnya dengan berbagai persoalan serta memaparkan beragam masalah.
Maka metode yang digunakan dalam menulis tafsir ini adalah suatu jalan yang baru, yang belum ada dilakukan oleh para mufasir terdahulu. Kalaupun ada yang mengelompokkan ayat berdasarkan tema-tema,namun tidak sama dengan yang dilakukan oleh M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, seperti Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya, sayang perhatian al-Razi dalam karyanya itu tertuju kepada aneka persoalan walau di luar bidang tafsir, sehingga uraiannya tentang tujuan atau tema surah hampir tidak terasa sama sekali.[32] Dengan demikian, maka metode yang di gunakan dapat dikatakan sebagai salah satu dari keistimewaan dari Tafsir al-Mishbah ini.
c.       Corak  Tafsir al-Mishbah
Corak penafsiran yang menjadi kecenderungan dalam suatu karya tafsir dapat dikelompokkan ke dalam tafsir falsafi, tafsir ilmi, tafsir lughawi, tafsir fiqhi, tafsir adab al-ijtima’i. Masing-masing dari corak tersebut memiliki kekhususan tersendiri yang membedakan antara satu dengan yang lainnya.
Menurut Hamdani Anwar dalam penelitiannya terhadap Tafsir al-Mishbah, bahwa dia menyatakan bahwa Tafsir al-Mishbah mempunyai corak  al-ijtima’i, yaitu corak kemasyarakatan,[33] ini berbeda dengan teori dasar yang dikemukakan oleh ulama terdahulu, yaitu al-adab al-ijtima’i. Alasannya dengan pertimbangan bahwa M. Quraish Shihab tidak menguasai masalah sastra, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab, sehingga tidak layak untuk menilai suatu karya dari segi sastranya. Dikhawatirkan penilaian yang berangkat dari kekurangan pengetahuan justru akan menimbulkan kesalahan.
Corak tafsir berorientasi kepada sastra dan kemasyarakatan akan cenderung mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di masyarat. Penjelasan-penjelasan yang di berikan dalam banyak hal selalu dikaitkan dengan persoalan yang sedang dialami umat, dan uriannya di upayakan untuk memberikan solusi atau jalan keluar dari masalah tersebut. Dengan demikian, diharapkan bahwa tafsir yang telah di tulis mampu memberikan jawaban terhadap segala sesuatu yang menjadi persoalan umat, dn ketika itu dapat dikatakan bahwa al-Qur’an memang sangat tepat untuk dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk.
Kemudian untuk memperkuat alasan bahwa Tafsir al-Mishbah bercorak al-adab al-ijtima’i, maka akan dikemukakan sebuah contoh penafsiran M. Quraish Shihab, yaitu penjelasn tentang kapan puasa ramadhan dimulai. Dalam uaraiannya dikatakan bahwa puasa sudah harus di mulai bila bulan sudah mulai tampak, sudah dapat dilihat sendiri secara individu atau melalui informasi dari orang yang dipercaya. Selanjutnya M. Quraish Shihab menulis sebagai berikut :
“Di manakah bulan itu dilihat oleh yang melihatnya ? Di kawasan tempat ia berada. Demikian jawaban yang tampak sangat membatasi jangkauan penglihatan. Kelompok ulama di bawah koordinasi Organisasi Konferensi-konferensi Islam menetapkan bahwa dimana saja bulan dilihat oleh orang terpercaya, maka sudah wajib berpuasa dan berlebaran atas seluruh umat Islam, selama ketika melihatnya, penduduk yang disampaikan kepadanya berita kehadiran bulan itu, masih dalam keadaan malam. Jika selisih waktu antara satu kawasan dengan kawasan lain belum mencapai jarak yang menjadikan perbedaan terjadinya malam di satu kawasan dan siang di kawasan lain, maka dalam keadaan seperti itu puasa telah wajib bagi semua. Selisih waktu antara Jakarta dan Arab Saudi atau Mesir tidak lebih dari empat atau lima jam. Awal malam di Timur Tengah belum lagi tegah malam di Jakarta. Jika terlihat bulan di Timur Tegah, maka masyarakat muslim di Indonesia sudah wajib berpuasa. Ini  berbeda dari beberapa wilayah di Amerika Serikat bila dibanding dengan Indonesia. Perbedaan waktu  dapat begitu panjang antar kedua wilayah ini, sehingga ketika matahari  terbit di sini bisa jadi ia telah terbenam di sana, sehingga orang Indonesia yang melihat bulan, maka masyarakat muslim di Amerika belum wajib berpuasa. Demikian juga sebaliknya. Tetapi jika  masyarakat muslim di Mekah melihatnya, maka baik masyarakat muslim di Indonesia maupun di Amerika kesemuanya telah wajib berpuasa, karena betapaun  perbedaan waktu terjadi, semuanya ketika  di suatu tempat terlihat bulan masih dalam  keadaan malam.[34]
Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa uraian di atas  merupakan suatu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan yang selalu  muncul setiap tahunnya. Selama ini di Indonesia, umat Islam khususnya, selalu disibukkan oleh kapan mulainya berpuasa dan lebaran, sehingga terjadi  perpecahan. Perbedaan ini terjadi karena tidak samanya penggunaan metode dalam menetapkannya, yang satu menggunakan metode hisab dan yang lain menggunakan ru’yat al-hilal.
Maka dengan melihat persoalan yang diangkat tampak bahwa  M. Quraish Shihab ingin memberikan suatu sumbangan  pemikiran terhadap persoalan yang terjadi di tegah umat. Ia menilai  bahwa  perbedaan yang terjadi  telah banyak menyita waktu, tenaga, dan pikiran umat, bahkan menyebab kan  terjadinya  perpecahan di antara umat. Sehubungan dengan hal itu ia menyatakan : “Sungguh, jika ini (penilaian terhadap  penetapan awal Ramadhan) dilaksanakan , maka  akan  banyak waktu, tenaga, dan biaya yang hemat, bahkan salah satu sumber  perselisihan antara umat dapat teratasi.[35]
Dengan demikian, bila melihat susunan bahasa dan kecendrungannya dalam penafsiran, yaitu menghidangkan al-Qur’an agar dapat dimengerti dan dipahami oleh seluruh umat Islam, sehingga dapat menjadi petunjuk dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi di tegah masyarakat. Oleh sebab itu corak Tafsir al-Mishbah adalah al-adab al-ijtima’i, meskipun Quraish bukan seorang ahli sastra, karena ciri corak al-adab al-ijtima’i disamping mempunyai gaya bahasa yang indah tapi juga selalu dikaitkan dengan persoalan masyarakat.
3.      Keistimewaan Tafsir al-Mishbah
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terdapat beberapa keistimewaan dari Tafsir al-Mishbah, diantaranya :
Pertama, uraian penafsiran yang lugas, jelas dan tidak bertele-tele, sehingga mudah untuk dipahami dan dimengerti, oleh semua kalangan, tidak hanya pada kalangan tertentu, berbeda dengan kitab tafsir lainnya diantaranya  Tafsir al-Mishbah karya  Hamka[36]. Contohnya :
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ

Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS. Ali Imran [3] : 110)

Setelah Quraish Shihab menjelaskan korelasi ayat ini dengan ayat 104, yaitu bahwa Allah memerintahkan untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, kemudian ayat 103 dan 105 tentang  persatuan dan kesatuan yang mereka tuntut, kini  dikemukakan kewajiban dan tuntutan  itu pada hakikatnya  lahir dari  kedudukan  umat ini sebagai  sebaik-baik umat.
Kata kuntum yang di gunakan ayat di atas, ada yang memahaminya sebagai kata kerja yang sempurna, sehingga ia diartikan wujud yakni kamu  wujud  dalam keadaan sebaik-baik umat. Ada juga yang memahaminya dalam arti kata kerja yang tidak sempurna, dengan demikian ia mengandung makna wujudnya sesuatu pada masa lampau tanpa diketahui kapan itu terjadi, dan tidak juga mengandung isyarat bahwa ia pernah tidak ada atau satu ketika akan tiada. Jika demikian, maka ayat ini berarti kamu dahulu dalam ilmu Allah adalah sebaik-baik umat. Bagaimana pada masa Nabi SAW ? kuat dugaan bahwa  demikian  itulah  keadaan mereka. Nah bagaimana generasi sesudah mereka atau generasi sekarang? boleh jadi lebih buruk, boleh  jadi juga  lebih baik. Nabi Muhammad SAW, bersabda : “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian di susul dengan generasi berikutnya, lalu disusul oleh generasi berikutnya …”[37]
Ayat di atas menggunakan kata ummah. Kata ini digunakan untuk menunjuk semua kelompok yang di himpun oleh sesuatu, seperti agama yang sama, waktu dan tempat yang sama. Dalam konteks sosiologis, ummat adalah himpunan manusia yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah yang sama, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama.
Kata tu’minu bi-llah dipahami oleh al-Thabathaba’i, dalam arti percaya kepada ajakan bersatu untuk berpegang teguh pada tali Allah. Tidak bercerai  berai. Dengan demikian ayat ini menyebutkan tiga syarat yang harus di penuhi  untuk meraih kedudukan sebaik-baik umat, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, persatuan  dalam berpegang teguh  pada tali Allah  atau ajaran Allah.[38]
Hamka menjelaskan dalam tafsirnya, yakni pada saat ynag lalu telah diperintahkan dengan nyata dan tegas supaya dikalangan jamaah Islamiyah itu diadakan umat yang khusus menyeru kepada kebaikan, yaitu iman, menyuruh kepada yang ma‘ruf dan melarang kepada yang munkar. Ayat ini menegaskan sekali lagi hasil usaha yang nyata, yang kongkrit, yaitu kamu menjadi sebaik-baik umat yang di keluarkan dari manusia di dunia ini. Dijelaskakan seklai lagi, bahwa kamu mencapai derajat  yang tinggi, sebaik-baik umat ketika kamu memenuhi tiga syarat, amar ma’ruf, nahi munkar, dan  iman kepada Allah, ketiga  inilah yang menjadi sebab kamu disebutkan sebaik-baik umat, kalau ketiganya tidak ada, niscaya  kamu bukanlah sebaik-baik umat, bahkan menjadi seburuk-buruk  umat.[39]
Selanjutnya, ini adalah satu ayat yang tidak terpotong-potong dan tidak boleh dipotong-potong. Waw artinya dan yang mempersambung antara keempat  bagian kalimat itu, menyebabkan hubungannya erat dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Umat Muhammad akan tetap menjadi sebaik-baik umat yang timbul antara perikemanusiaan, selama dia mempunyai tiga sifat keutamaan itu, berani menyuruh berbuat ma’ruf, berani melarang perbuatan munkar itu dan percaya kepada Allah. Apabila ketiganya ada pastilah mereka mencapai kedudukan yang tinggi diantara pergaulan manuia.[40]
Dari kedua penafsiran di atas, terlohat bahwa Quraish Shihab menafsirkan dengan jelas dan tidak bertele-tele kemudian tersusun teratur, sehingga mudah untuk dipahami. Sednagkan penafsiran Hamka, dilihat dari segi bahasa masih belum sempurna, mungkin hal ini dilator belakangi oleh perbedaan kondisi antara Quraish Shihab dan Hamka, baik dari segi pengetahuan maupun dari segi waktu dan tempat tinggal.
Kedua, pembahasan selalu dihubungkan dengan persoalan kemasyarakatan kemudian menawarkan solusi untuk mengatasi masalah yang terjadi, sehingga dapat menjawab persoalan yang terjadi di tegah masyarakat.
Dari contoh di atas terlihat bahwa Quraish selalu menghubungkan dengan persoalan kemasyarakatan. Quraish menyetakan bagaimana  gerasi sesudah Nabi atau genarasi sekarang apakah termasuk sebaik-baik umat ? Setelah itu ia member jawaban dengan sabda Nabi SAW “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian di susul dengan generasi berikutnya, lalu di susul lagi oleh generasi berikutnya …”, kemudian pada penjelasan selanjutnya, sebaik-baik  umat adalah menyeru kepada kebaikan, melarang dari yang munkar dan beriman kepada Allah.
Selanjutnya poligami adalah salah satu persoalan yang terjadi di tegah masyarakat, poligami tambah hangat dengan berpoligaminya A. Gymnastiar, sehingga Meutia Hatta Menteri Pemberdayaan Perempuan meminta presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mengesahkan undang-undang poligami.
Quraish Shihab, dalam menanggapi masalah ini dalam penafsirannya terhadap QS. An-Nisa’ [4] : 3, yaitu :
“Perlu digaris bawahi ayat ini tidak memuat peraturan tentang poligami, karena poligami telah di kenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syari’at agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Sebagaimana ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun hnaya pintu kecil yang hanya dapat di lalaui oleh yang amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an hendaknya tidak di tinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandangan penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. Adalah wajar bagi suatu perundang-undangan, apalagi agama yang bersifat universal dan belaku untuk setiap waktu dan tempat, untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jdi terjadi pada satu ketika. Walaupun kejadian itu baru merupakan kemungkinan. Bukankah kenyataan menunjukkan bahwa jumlah lelaki bahkan jantan binatang lebih sedikit dari jumlah wanita atau binatangnya ? Perhatikanlah sekeliling anda. Bukankah rata-rata usia wanita lebih panjang dari usia lelaki, sedang potensi membuahi lelaki lebih lama dsari potensi wanita, bukan saja Karen awanita mengalami mas ahaid, tetapi juga karena wanita mengalami monopouse sedang pria tidak mengalami keduanya. Selanjutnya, bukankah kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh dan dapat terjadi di mana-mana ? Apakah jalan keluar yang dapat di usulkan kepada suami yang menghadapi kasus demikian ? Bagaimanakah ia seharusnya menyalurkan kebutuhan biologisnya atau memperoleh dambaannya pada keturunan ? Poligami ketika itu adalah jalan keluar yang paling tepat. Namun seklai lagi perlu diingat, bahwa ini bukan berarti anjuran, apalagi kewajiban. Seandainya ia anjuran, pastilah Allah menciptakan wanita lebih banyak mepat kali lipat dari jumlah lelaki karena tidak ada artinya anda, apalagi Allah menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya member wdah bagi mereka yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu”.[41]
Ketiga, penafsiran ynag dilakukan bersifat netral (moderat) tidak cenderung pada satu kelompok atau aliran tertentu. Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa Quraish Shihab tidak terikat pada satu kelompok tapi ia hanya berusaha menafsirkan sebaik mungkin agar dapat memberikan solusi kepada masyarakat dalam menghadapi persoalan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah penafsiran.
Keempat, metode yang digunakannya, penggabungan antara tahlili dan maudhu’i yaitu menguraikan ayat demi ayat kemudian menjelaskan isi kandungannya, serta mengelompokkan ayat-ayat dalam tema-tema, sehingga membuat kitab tafsirnya berbeda dengan kitab tafsir yang lain. Ini terlihat dari cara ia menjelaskan ayat-ayat dalam al-Qur’an, setelah ia kelompokkan ayat-ayat menurut tema-tema dengan melihat korelasi antara satu ayat dengan ayat lain, baru ia menguraikan ayat tersebut satu persatu.
Kelima, kecendrungannya dalam memahami kata-kata sulit dalam sebuah ayat dengan mengembalikannya pada makna akar kata tersebut, sehingga akan ditemukan benang merah dari kata-kata tersebut, kemudian korelasi antar kata pada satu ayat dengan ayat lain. Contohnya :
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# öNà6­/u 4 žcÎ) s's!tø9y Ïptã$¡¡9$# íäóÓx« ÒOŠÏàtã ÇÊÈ  (الحج : 1)
Dalam menjelaskan makna (زلزلة) zalzalah, ia menjelaskan bahwa kata ini terambil dari kata زل yang berarti jatuh tergelincir. Pengulangan kata zalla mengesankan ketergelinciran ynag berulang-ulang dan penambahan (ة) ta marbuthah mengisyaratkan besar dan hebatnya ketergelinciran itu, dalam hal ini adalah penyebabnya yaitu gerakan yang sangat dahsyat / gempa.[42]



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta :  Lentera Hati, 1421 H / 2000 M), vol 15, “Kata Penutup”
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta :  Lentera Hati, 1421 H / 2000 M), hal. V, “Sekapur Sirih”
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, t.t), h. 211
[4] M. Quraish Shihab, Op.cit
[5] Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir Al-Mishbah : Karya M. Quraish Shihab, Jurnal Mimbar Agama dan Budaya, vol. XIX, No. 2, 2001, hal. 177
[6] M. Quraish Shihab, Op Cit, h. 7
[7] Hamdani Anwar, Op Cit, h. 178-179
[8] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2000), h. 3
[9] Tafsir bi al-ma’tsir adalah menafsirkan al-Qur’an dengan penjelasan yang datang dari al-Qur’an itu sendiri secara terperinci dan menafsirkan al-Qur’an dengan hadist Rasulullah al-Qur’an dengan perkataan sahabat dan menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan tabi’in untuk dapat mengetahui penjelasan  maksud Allah dalam nash-nash al-Qur’an al-karim. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran yang dilakuan dengan cara ijtihad, yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran, setelah musafir terlebih dahulu memahami bahasa Arab jahiliah sebagai pendukung, disamping memperbaiki ashab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain. Lihat Muhammad Husain  al-Zdahabi, al-tafsir wa al-mufassirun, (t.t,t.p, 1976), cet ke-2, juz I hal 152 dan 225
[10] Hasbi  Ashshiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 227
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Op. Cit, Sekapur Sirih, h. 12
[12] Ibid, Kata Pengantar, h. 21-24
[13] Ibid, h. 39
[14] Ibid, h. 36
[15] Ibid, vol 9, h. 317
[16] Ibid
[17] Ibid, h. 34
[18] Ibid. h. 50
[19] Ibid, vol. 2, h. 98
[20] Hamdani Anwar, op cit, h. 187
[21] Ibid, h. 8
[22] Ibid, Kata Pengantar, h. 21-24
[23] Pembahasan metode penafsiran ini telah dibahas pada bab  landasan teoritis
[24] Hamidi Anwar, op cit, h. 182
[25] Bustani A. Gani, Beberapa Aspek Ilmiah tentang al-Qur’an, (Jakarta : Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, 1986), h. 31
[26] M. Quraish Shihab, op cit, h. 7
[27] Ibid, h. 8
[28] M. Quraish Shihab, Membunikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 2004), h. 117. Lihat “Tafsir Al-Qur’an dengan Metode Maudhu’i, (Artikelnya), h. 37
[29] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir : Mushthafa al-Babi al-Halabi, t.t) jilid 4, h. 200
[30] Ibid, vol 2, h. 9
[31] Metode maudhu’i ada dua macam, pertama pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu Nampak dalam bentuk yang utuh. Kedua, dengan menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu yang dibahas secara tematis. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, op cit, hal. 116-117. Lihat Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i  : Sebuah Pengantar, penerjemah Suryan A. Jamrah, judul asli “al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i : Dirasah Manhajiah Maudhu’iyah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet ke-2, h. 35-36
[32] M. Quraish Shihab, op cit, Kata Pengantar, h. 21
[33] Hamdani Anwar, op cit, h. 184
[34] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, op cit, h. 379                                                              
[35] Ibid
[36] Hamka dilakirkan Tanah Sirah, dalam Nagari Sunga Batang, di tepi Danau Maninjau pada tanggal 13 Muharram 1362 H, bertepatan dengan 16  Februari 1908 M. Ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah adalah seorang  pengukir latar social yang mempunyai  keinginan agar anaknya menjadi seorang ulama. Hamka  memulai  pendidikan  ba can  al-Qur’an di rumah orang  tuanya di Padang Panjang tahun 1914 M. Setahun   kemudian  Hamka dimasukkan ayahnya ke sekolah desa, selanjutnya  ke Thawalib School.
Penulisan  Tafsir al-Azhar berasal  dari kuliah subuh yang di berikannya di Mesjid Agung al-Azhar sejak tahun 1959. Pada tanggal 12 Ramadhan 1383 H, betepatan dengan 27 Januari 1964, Senin pagi sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di Mesjid al-Azhar ia ditangkap oleh penguasa  Orde Lama. Hamka  ditempatkan  di kamar tahanan  polisi Cimacam, di rumah  tahanan  inilah Hamka menulis Tafsir al-Azhar.Penerbitan pertama Tafsir al-Azhar diterbitkan oleh Pembimbing Masa, pimpinan  Haji Mahmud, juz  pertama sampai juz empat. Kemudian juz 30 dan juz 15 sampai  dengan juz 29 diterbitkan oleh Pustaka  Islam Surabaya. Dan terakhir  juz 5  sampai  juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta. Lihat  M. Yunan Yusuf, Scorak Pemikiran  Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta :  Pustaka Panjimas, 1990), h. 39-57
[37] Ibid, vol 2, h. 173
[38] Ibid, h. 172-174
[39] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta :  PT. Pustaka Panjimas, 1983), juz IV, h. 49-51
[40] Ibid, h. 51-52
[41] Ibid, h. 325-327
[42] Ibid, vol 9, h. 6

No comments:

Post a Comment