A.
Kaidah as-siyâq
al-Qurany Di Masa Nabi Dan
Sahabat
Al-Quran diturunkan kepada kaum yang memiliki peradaban
yang tinggi. Bangsa Arab merupakan satu daerah yang dikenal sebagai satu bangsa
yang memiliki sifat ego yang tinggi, tidak senang dipandang remeh oleh orang
lain. Sehingga tercatat dalam sejarah bangsa Arab sering berperang antar satu
kampung dengan kampung lain, satu suku dengan suku lain. Di samping itu mereka
juga dikenal dengan tingginya ketinggian sastranya,hal ini juga diwujudkan
dengan pertandingan syi’ir.
Mereka merasa terheran
dengan tingginya bahasa al-Quran. Ketinggian sastra bahasa al-Quran tidak dapat
ditandingi dengan kelihaian bangsa Arab dalam merangkai untaian syair ketika
itu. Maka tidak heran jika banyak di kalangan bangsa Arab yang memeluk agama
Islam karena terenyuh mendengar lantunan ayat al-Quran.[1]
Kepada kaum “pemuja”
sastra inilah al-Quran diturunkan yang dilengkapi dengan tantangan keras kepada
mereka untuk membuat permisalan yang mirip dengan al-Quran. Bukannya tidak ada
tokoh yang menerima tantangan ini, hanya saja ketidaksanggupan dan
ketidakberdayaanlah hingga saat ini tidak ada yang dapat mengotak-atik bahasa
al-Quran.
Tingginya sastra al-Quran
hanya sebagai sarana yang dapat meluluhkan hati pendengarnya, baik muslim
maupun non-muslim. Mengamalkan ajaran al-Quran tidak bisa tercapai tanpa ada
usaha untuk menafsirkannya[2].
Menafsirkan al-Quran bukanlah sebuah urusan sepele, tidak semua orang dapat
melakoni pekerjaan yang satu ini. Pakar tafsir menyebutkan sejumlah konsentrasi
keilmuan yang harus dikuasai sebelum menafsirkan al-Quran.[3]
Sahabat Rasul, orang yang
hidup di zaman turunnya al-Quran dan turun dengan bahasa mereka sendiri tidak
semuanya dapat memahami maksud suatu ayat. Terkadang mereka keliru dalam
memahami ayat, sehingga mereka harus merujuk kepada Rasul apa sebenarnya yang
dimaksudkan dari ayat tersebut. Rasulullah terkadang menjawab pertanyaan dari
sahabatnya dengan menerapkan kaidah as-siyâq al-Quran ini –meskipun pada
saat itu belum disebut dengan sebuah kaidah tafsir.
Sewaktu turun ayat 82 dari
al-An’am, para sahabat merasa khawatir bercampur bingung dengan maksud ayat
ini. Sehingga mereka mendatangi Rasul dan menanyakan siapa sebenarnya yang
dimaksud ayat tersebut. Karena mereka khawatir diri mereka juga termasuk ke
dalam golongan yang disebutkan ayat. Rasul menjawab dan menepis keraguan
sahabatnya dengan menerapkan kaidah as-siyâq al-Quran, dengan
menyebutkan ayat lain yang bisa menafsirkan ayat 82 surat al-An’am tersebut.
عن ابن مسعود رضي الله عنه
أنه قال: لما نزلت هذه الأية ( الذين ءامنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم
الأمن وهم مهتدون)، شق ذلك على المسلمين فقالوا: يا رسول الله أينا لا يظلم نفسه؟
فقال صلى الله عليه وسلم " ليس ذلك، إنما هو الشرك. ألم تسمعوا ما قال لقمان لابنه
وهو يعظه (يبني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم[4]
Ibn Mas’ud berkata : ketika ayat 82 surat al-An’am turun
(orang-orang yang beriman dan tidak menyampurkan keimanan mereka dengan
kezhaliman, merekalah orang yang mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang
diberi petunjuk). Kaum Muslimin meresa susah memahami kandungan ayat di atas,
sehingga mereka menemui Rasul dan berkata “ siapa di antara kami yang tidak
pernah berbuat zhalim, wahai Rasul” Rasulullah menjawab “bukan seperti yang
kalian khawatirkan maksud ayat ini. yang dimaksudkan ayat ini adalah perbuatan
syirik. Tidakkah kalian pernah mendengar perkataan Luqman kepada anaknya ketika
menasehatinya “wahai anakku janganlah berbuat syirik, karena kesyirikan itu
merupakan kezhaliman yang besar.
Luasnya cakupan zhalim
memicu kecemasan di hati para sahabat ketika turunnya ayat ini, sehingga
menuntut mereka untuk mengklarifikasi siapa sebenarnya yang dimaksud ayat ini.
Apakah dengan kezaliman yang mereka lakukan itu -meskipun kadar kezalimannya
kecil- akan menghalangi mereka mendapatkan hidayah.
Upaya Rasulullah
menghubungkan satu ayat dengan ayat lain inilah yang dimaksudkan dengan terapan
kaidah as-siyâq al-Qurany. Riwayat di atas mengambarkan besarnya peranan
kaidah ini dalam penafsiran, bahkan sahabatpun bisa keliru dalam memahami ayat
ketika memahami ayat sebagiannya saja, tanpa melihat ayat lain yang berkaitan
dengan ayat tersebut.
Jika diperhatikan ayat
yang berada sebelum ayat 82 al-An’am ini berbicara seputar kisah Nabi Ibrahim
yang melarang ayahnya untuk menyembah patung. Dalam ayat yang masyhur ini
Ibrahim juga berdalil dengan logika kepada kaumnya untuk membatalkan keyakinan
kaumnya. Setelah upaya tersebut tidak diindahkan oleh kaumnya, beliau berlepas
diri dari keyakinan kaumnya, serta menyadari bahwa beliau diutus Allah Swt.
hanya sebagai penyampai[5]
tidak sebagai pemaksa.[6]
Dari ayat 74 sampai 81
berbicara mengenai kisah Nabi Ibrahim yang menggugat kepercayaan kaumnya yang
bertentangan dengan tauhid. Bagaimana mungkin saya takut kepada serikat yang
kalian sekutukan berupa batu yang dipahat dari ukiran tangan kalian sendiri
sedangkan kalian tidak pernah takut kepada Allah. Lantas siapakah orang
yang mentauhidkan Allah atau kaum kalian yang menyekutukan Allah yang berhak
mendapatkan keamanan, kalau kalian mengetahui.
Ayat 81 merupakan pertanyaan yang dikemukakan
oleh Nabi Ibrahim kepada kaumnya yang berlaku syirik, siapa yang lebih berhak
mendapat keamanan? Pertanyaan Nabi Ibrahim ini dijawab dengan ayat 82. Orang
yang berhak mendapatkan keamanan adalah orang beriman yang tidak
mencapuradukkan keimanan mereka dengan kesyirikanlah yang lebih berhak.
Terapan kaidah as-siyâq
al-Qurany dalam ayat ini juga bisa dengan memperhatikan keseluruhan
suratnya. Surat al-An’am ini semuanya berbicara tentang tauhid, dan dia bagian
dari surat yang turun di Makkah (Makkiyah)[7].
Pakar tafsir dan ushuly menyebutkan bahwa mayoritas ayat yang turun di
Makkah berbicara seputar persoalan akidah.[8]
Rasulullah Saw. tidak
melepaskan peranan logika dalam menafsirkan ayat. Mengaitkan satu ayat dengan
ayat lain merupakan bagian dari pekerjaan akal. Tafsir dengan logika yang
dimaksud di sini bukanlah logika semata, logika yang memperturutkan hawa nafsu
dan melepaskan fungsi ayat itu. Logika yang dimaksud di sini adalah logika yang
tidak terlepas dari rangkaian pembicaraan ayat.
Sahabat Rasulullah
merupakan generasi terbaik yang ada dalam sejarah Islam. Baik yang dimaksud di
sini adalah baik dari segi pemahaman dan kekuatan iman mereka kepada Allah,
yang diwujudkan dengan semangat rela bekorban yang tinggi. Sehingga tercatat
dalam sejarah banyak di kalangan sahabat yang gugur di ujung tombak tuannya
karena mempertahankan akidah Islamiyah.
Di balik keharuman
generasi sahabat ini terdapat seorang tokoh sejati yang senantiasa menerpa dan
membentuk karakter mereka, yaitu Rasulullah Saw. sendiri. Sahabat menduduki
tingkat ketiga referensi tafsir al-Quran setelah menafsirkan al-Quran dengan
al-Quran dan al-Quran dengan sunnah.
Ibn Taymiyah mengemukakan;
إذا لم نجد التفسير في
القرآن، ولا في السنة رجعنا في ذلك إلى أقوال الصحابة، فإنهم أدرى بذلك لما شاهدوه
من القرآن والأحوال التى اختصوا بها، ولما لهم من الفهم التام والعلم الصحيح
والعمل الصالح[9]
Seandainya kami tidak
menemukan tafsir ayat itu dalam al-Quran, tidak pula dalam hadis kami merujuk
pada perkataan para sahabat. Mereka lebih paham dengan al-Quran, karena mereka
menyaksikan turun dan kekhususan yang dimiliki al-Quran. mereka juga memeliki
pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amalan yang shaleh.
Kelebihan sahabat jika
dibandingkan dengan tabi’in maupun umat muslim yang hidup setelahnya adalah
faktor waktu dan tempat. Al-Quran turun dengan dua cara, ada yang disebut
dengan ibtida’i dan ada yang disebut dengan sababy.[10]
Para sahabat hidup di masa turunnya al-Quran. Mereka mengetahui dengan pasti
bagaimana ayat ini turun, kepada siapa dia turun, dan dimana turunnya ayat.
Mengetahui unsur yang melatarbelakangi ayat inilah yang membuat mereka lebih
dibandingkan dengan generasi setelahnya. Di samping itu, para sahabat memiliki
pemahaman yang sempurna terhadap ayat, ilmunya murni tidak terkotori oleh
faktor ideologi, politik, dan bisnis. Sehingga amalan mereka juga benar harap
akan redha Allah.
سأل رجل عليا بن أبي طالب قائلا "يا أمير
المؤمنين أرأيت قول الله (ولن يجعل الله للكفرين على المؤمنين سبيلا) وهم
يقاتلوننا فيظهرون ويقتلون؟ فقال له علي " ادنه! ادنه! ثم قال (فالله يحكم
بينكم يوم القيمة ولن يجعل الله للكفرين على المؤمنين سبيلا) يوم القيمة[11]
Seorang laki-laki bertanya
pada Ali Ibn Abi Thalib “wahai Amiral mukiminin, bagaimana pendapatmu dengan
firman Allah ( Allah tidak akan memberikan jalan bagi orang kafir untuk
mengalahkan orang mukmin) sedangkan mereka memerangi kita dan mereka membunuh
kita?” Ali Ibn Abi Thalib menjawab “ tenang” dan beliau membaca ayat tadi
dengan sempurna (Allah akan menghukum di antara kalian pada hari kiamat, dan Allah
tidak akan memberikan jalan bagi orang kafir untuk mengalahkan orang mukmin)
kejadian ini berlangsung pada hari kiamat.
Kekeliruan pemuda ini
dalam memahami ayat 141 surat an-Nisa’ berawal dari dari kesalahannya yang
tidak membaca ayat dengan lengkap. Ali Ibn Abi Thalib menjawab pertanyaan
pemuda tadi dengan menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany, yaitu dengan
melihat sibaq al-ayah. Pada awal ayat ini disebutkan bahwa ayat ini
berbicara tentang peristiwa di hari kiamat, bukan bagian peristiwa dunia.
Rasul dan sahabat –melalui contoh di atas- telah
menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany ketika mencoba memahami maksud
ayat. Hal ini menggambarkan betapa agung dan pentingnya kaidah ini dalam dunia
tafsir.
[1] Umar Ibn Khatab salah seorang pemuda Mekkah yang berpendirian keras masuk Islam ketika
mendengar sang adiknya melantunkan ayat suci al-Quran di rumahnya. Dewasa ini,
ada sekeluarga warga Israel yang memeluk agama Islam setelah tertarik
mendengarkan lantunan ayat al-Quran yang mereka dengar di salah satu stasiun televisi (Republika, 30
Mei 2011)
[2] Tafsir al-Quran merupakan salah satu wujud
perhatian dan pelayanan seorang muslim terhadap al-Quran. Ilmu tafsir al-Quran
langkah awal untuk mewujudkan cita tersebut. Ilmu tafsir saja telah
meninggalkan faedah yang banyak; ia akan memperkaya wawasan keilmuan dan dapat
membentengi diri dari serangan pemikiran dari orang yang suka mengotak-atik
al-Quran. ilmu tafsir juga akan membantu dalam menemukan makna yang sebenarnya
dengan metode yang benar pula.
[3] Para ulama berbeda pendapat dalam menyebutkan
syarat seorang mufassir. Namun, dibalik perbedaan tersebut ada beberapa syarat
mutlak yang harus dimiliki agar hasil tafsirnya juga baik, di antaranya; aqidah
yang benar, menguasai beberapa disiplin ilmu bahasa serta cabangnya, memulai
tafsir dengan ma’tsur, menguasai ilmu yang berkaitan dengan al-Quran, tingkat
kecerdasan yang tinggi.
[4] Hadis
riwayat Bukhari dalam bab qaula Allah ta’la “wa laqad atayna Luqman ... . Dan
juga dimuat dalam Shahih Muslim pada Kitab Iman, Bab Shidqu al-Iman wa
Ikhlashuhu.
[5] Para Rasul diutus kemuka bumi membawa misi
mentauhidkan kaumnya. Mereka tidak berhak memaksakan kebenaran kepada orang
lain. Lihat surat Yasin; 15
[7] Lihat Ibn Asyûr, jilid 7.
H. Ibn Asyûr juga mengemukakan riwayat
lain yang menyebutkan bahwa ada beberapa ayat dalam surat ini yang turun di
Madinah. Melihat penjelasan dan riwayat
yang beliau kemukakan agaknya lebih kuat yang menyatakan bahwa ayat ini turun jumlah
wahidah pada suatu malam. Ini merujuk kepada riwayat yang disampaikan oleh
Ibn Abbass, Atho’, Ikrimah, al-Aufiy.
[8] Dr. Sya’ban Muhammad Ismail, at-Tasyri’
al-Islamy, (Cet. II, 1985 Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah. Kairo). Beliau
mengemukakan tema akidah yang terkandung dalam surat Makiah merupakan
ciri khas dari surat Makiah.
[10] Ibtida’i adalah proses turunnya al-Quran secara langsung,
tanpa ada satu sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat. Sababi, turunnya ayat al-Quran
karena ada satu peristiwa yang pada saat itu membutuhkan ayat ini untuk
diturunkan. Faktor yang melatarbelakangi turunnya ayat inilah yang dikenal
dengan sababi, atau asbab nuzul ayah.
No comments:
Post a Comment