Friday, April 5, 2019

Kaidah as-siyâq al-Qurany Di Masa Nabi Dan Sahabat


A.      Kaidah as-siyâq al-Qurany Di Masa Nabi Dan Sahabat
Al-Quran diturunkan kepada kaum yang memiliki peradaban yang tinggi. Bangsa Arab merupakan satu daerah yang dikenal sebagai satu bangsa yang memiliki sifat ego yang tinggi, tidak senang dipandang remeh oleh orang lain. Sehingga tercatat dalam sejarah bangsa Arab sering berperang antar satu kampung dengan kampung lain, satu suku dengan suku lain. Di samping itu mereka juga dikenal dengan tingginya ketinggian sastranya,hal ini juga diwujudkan dengan pertandingan syi’ir.
Mereka merasa terheran dengan tingginya bahasa al-Quran. Ketinggian sastra bahasa al-Quran tidak dapat ditandingi dengan kelihaian bangsa Arab dalam merangkai untaian syair ketika itu. Maka tidak heran jika banyak di kalangan bangsa Arab yang memeluk agama Islam karena terenyuh mendengar lantunan ayat al-Quran.[1]
Kepada kaum “pemuja” sastra inilah al-Quran diturunkan yang dilengkapi dengan tantangan keras kepada mereka untuk membuat permisalan yang mirip dengan al-Quran. Bukannya tidak ada tokoh yang menerima tantangan ini, hanya saja ketidaksanggupan dan ketidakberdayaanlah hingga saat ini tidak ada yang dapat mengotak-atik bahasa al-Quran.
Tingginya sastra al-Quran hanya sebagai sarana yang dapat meluluhkan hati pendengarnya, baik muslim maupun non-muslim. Mengamalkan ajaran al-Quran tidak bisa tercapai tanpa ada usaha untuk menafsirkannya[2]. Menafsirkan al-Quran bukanlah sebuah urusan sepele, tidak semua orang dapat melakoni pekerjaan yang satu ini. Pakar tafsir menyebutkan sejumlah konsentrasi keilmuan yang harus dikuasai sebelum menafsirkan al-Quran.[3]
Sahabat Rasul, orang yang hidup di zaman turunnya al-Quran dan turun dengan bahasa mereka sendiri tidak semuanya dapat memahami maksud suatu ayat. Terkadang mereka keliru dalam memahami ayat, sehingga mereka harus merujuk kepada Rasul apa sebenarnya yang dimaksudkan dari ayat tersebut. Rasulullah terkadang menjawab pertanyaan dari sahabatnya dengan menerapkan kaidah as-siyâq al-Quran ini –meskipun pada saat itu belum disebut dengan sebuah kaidah tafsir.
Sewaktu turun ayat 82 dari al-An’am, para sahabat merasa khawatir bercampur bingung dengan maksud ayat ini. Sehingga mereka mendatangi Rasul dan menanyakan siapa sebenarnya yang dimaksud ayat tersebut. Karena mereka khawatir diri mereka juga termasuk ke dalam golongan yang disebutkan ayat. Rasul menjawab dan menepis keraguan sahabatnya dengan menerapkan kaidah as-siyâq al-Quran, dengan menyebutkan ayat lain yang bisa menafsirkan ayat 82 surat al-An’am tersebut.
عن ابن مسعود رضي الله عنه أنه قال: لما نزلت هذه الأية ( الذين ءامنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون)، شق ذلك على المسلمين فقالوا: يا رسول الله أينا لا يظلم نفسه؟ فقال صلى الله عليه وسلم " ليس ذلك، إنما هو الشرك. ألم تسمعوا ما قال لقمان لابنه وهو يعظه (يبني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم[4]
Ibn Mas’ud berkata : ketika ayat 82 surat al-An’am turun (orang-orang yang beriman dan tidak menyampurkan keimanan mereka dengan kezhaliman, merekalah orang yang mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang diberi petunjuk). Kaum Muslimin meresa susah memahami kandungan ayat di atas, sehingga mereka menemui Rasul dan berkata “ siapa di antara kami yang tidak pernah berbuat zhalim, wahai Rasul” Rasulullah menjawab “bukan seperti yang kalian khawatirkan maksud ayat ini. yang dimaksudkan ayat ini adalah perbuatan syirik. Tidakkah kalian pernah mendengar perkataan Luqman kepada anaknya ketika menasehatinya “wahai anakku janganlah berbuat syirik, karena kesyirikan itu merupakan kezhaliman yang besar.

Luasnya cakupan zhalim memicu kecemasan di hati para sahabat ketika turunnya ayat ini, sehingga menuntut mereka untuk mengklarifikasi siapa sebenarnya yang dimaksud ayat ini. Apakah dengan kezaliman yang mereka lakukan itu -meskipun kadar kezalimannya kecil- akan menghalangi mereka mendapatkan hidayah.
Upaya Rasulullah menghubungkan satu ayat dengan ayat lain inilah yang dimaksudkan dengan terapan kaidah as-siyâq al-Qurany. Riwayat di atas mengambarkan besarnya peranan kaidah ini dalam penafsiran, bahkan sahabatpun bisa keliru dalam memahami ayat ketika memahami ayat sebagiannya saja, tanpa melihat ayat lain yang berkaitan dengan ayat tersebut.
Jika diperhatikan ayat yang berada sebelum ayat 82 al-An’am ini berbicara seputar kisah Nabi Ibrahim yang melarang ayahnya untuk menyembah patung. Dalam ayat yang masyhur ini Ibrahim juga berdalil dengan logika kepada kaumnya untuk membatalkan keyakinan kaumnya. Setelah upaya tersebut tidak diindahkan oleh kaumnya, beliau berlepas diri dari keyakinan kaumnya, serta menyadari bahwa beliau diutus Allah Swt. hanya sebagai penyampai[5] tidak sebagai pemaksa.[6]
Dari ayat 74 sampai 81 berbicara mengenai kisah Nabi Ibrahim yang menggugat kepercayaan kaumnya yang bertentangan dengan tauhid. Bagaimana mungkin saya takut kepada serikat yang kalian sekutukan berupa batu yang dipahat dari ukiran tangan kalian sendiri sedangkan kalian tidak pernah takut kepada Allah. Lantas siapakah orang yang mentauhidkan Allah atau kaum kalian yang menyekutukan Allah yang berhak mendapatkan keamanan, kalau kalian mengetahui.
 Ayat 81 merupakan pertanyaan yang dikemukakan oleh Nabi Ibrahim kepada kaumnya yang berlaku syirik, siapa yang lebih berhak mendapat keamanan? Pertanyaan Nabi Ibrahim ini dijawab dengan ayat 82. Orang yang berhak mendapatkan keamanan adalah orang beriman yang tidak mencapuradukkan keimanan mereka dengan kesyirikanlah yang lebih berhak.
Terapan kaidah as-siyâq al-Qurany dalam ayat ini juga bisa dengan memperhatikan keseluruhan suratnya. Surat al-An’am ini semuanya berbicara tentang tauhid, dan dia bagian dari surat yang turun di Makkah (Makkiyah)[7]. Pakar tafsir dan ushuly menyebutkan bahwa mayoritas ayat yang turun di Makkah berbicara seputar persoalan akidah.[8]
Rasulullah Saw. tidak melepaskan peranan logika dalam menafsirkan ayat. Mengaitkan satu ayat dengan ayat lain merupakan bagian dari pekerjaan akal. Tafsir dengan logika yang dimaksud di sini bukanlah logika semata, logika yang memperturutkan hawa nafsu dan melepaskan fungsi ayat itu. Logika yang dimaksud di sini adalah logika yang tidak terlepas dari rangkaian pembicaraan ayat.
Sahabat Rasulullah merupakan generasi terbaik yang ada dalam sejarah Islam. Baik yang dimaksud di sini adalah baik dari segi pemahaman dan kekuatan iman mereka kepada Allah, yang diwujudkan dengan semangat rela bekorban yang tinggi. Sehingga tercatat dalam sejarah banyak di kalangan sahabat yang gugur di ujung tombak tuannya karena mempertahankan akidah Islamiyah.
Di balik keharuman generasi sahabat ini terdapat seorang tokoh sejati yang senantiasa menerpa dan membentuk karakter mereka, yaitu Rasulullah Saw. sendiri. Sahabat menduduki tingkat ketiga referensi tafsir al-Quran setelah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran dan al-Quran dengan sunnah.
Ibn Taymiyah mengemukakan;
إذا لم نجد التفسير في القرآن، ولا في السنة رجعنا في ذلك إلى أقوال الصحابة، فإنهم أدرى بذلك لما شاهدوه من القرآن والأحوال التى اختصوا بها، ولما لهم من الفهم التام والعلم الصحيح والعمل الصالح[9]
Seandainya kami tidak menemukan tafsir ayat itu dalam al-Quran, tidak pula dalam hadis kami merujuk pada perkataan para sahabat. Mereka lebih paham dengan al-Quran, karena mereka menyaksikan turun dan kekhususan yang dimiliki al-Quran. mereka juga memeliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amalan yang shaleh.

Kelebihan sahabat jika dibandingkan dengan tabi’in maupun umat muslim yang hidup setelahnya adalah faktor waktu dan tempat. Al-Quran turun dengan dua cara, ada yang disebut dengan ibtida’i dan ada yang disebut dengan sababy.[10] Para sahabat hidup di masa turunnya al-Quran. Mereka mengetahui dengan pasti bagaimana ayat ini turun, kepada siapa dia turun, dan dimana turunnya ayat. Mengetahui unsur yang melatarbelakangi ayat inilah yang membuat mereka lebih dibandingkan dengan generasi setelahnya. Di samping itu, para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna terhadap ayat, ilmunya murni tidak terkotori oleh faktor ideologi, politik, dan bisnis. Sehingga amalan mereka juga benar harap akan redha Allah.
سأل رجل عليا بن أبي طالب قائلا "يا أمير المؤمنين أرأيت قول الله (ولن يجعل الله للكفرين على المؤمنين سبيلا) وهم يقاتلوننا فيظهرون ويقتلون؟ فقال له علي " ادنه! ادنه! ثم قال (فالله يحكم بينكم يوم القيمة ولن يجعل الله للكفرين على المؤمنين سبيلا) يوم القيمة[11]
Seorang laki-laki bertanya pada Ali Ibn Abi Thalib “wahai Amiral mukiminin, bagaimana pendapatmu dengan firman Allah ( Allah tidak akan memberikan jalan bagi orang kafir untuk mengalahkan orang mukmin) sedangkan mereka memerangi kita dan mereka membunuh kita?” Ali Ibn Abi Thalib menjawab “ tenang” dan beliau membaca ayat tadi dengan sempurna (Allah akan menghukum di antara kalian pada hari kiamat, dan Allah tidak akan memberikan jalan bagi orang kafir untuk mengalahkan orang mukmin) kejadian ini berlangsung pada hari kiamat.

Kekeliruan pemuda ini dalam memahami ayat 141 surat an-Nisa’ berawal dari dari kesalahannya yang tidak membaca ayat dengan lengkap. Ali Ibn Abi Thalib menjawab pertanyaan pemuda tadi dengan menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany, yaitu dengan melihat sibaq al-ayah. Pada awal ayat ini disebutkan bahwa ayat ini berbicara tentang peristiwa di hari kiamat, bukan bagian peristiwa dunia.
Rasul dan sahabat –melalui contoh di atas- telah menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany ketika mencoba memahami maksud ayat. Hal ini menggambarkan betapa agung dan pentingnya kaidah ini dalam dunia tafsir.


[1] Umar Ibn Khatab salah seorang pemuda Mekkah yang  berpendirian keras masuk Islam ketika mendengar sang adiknya melantunkan ayat suci al-Quran di rumahnya. Dewasa ini, ada sekeluarga warga Israel yang memeluk agama Islam setelah tertarik mendengarkan lantunan ayat al-Quran yang mereka dengar  di salah satu stasiun televisi (Republika, 30 Mei 2011)
[2] Tafsir al-Quran merupakan salah satu wujud perhatian dan pelayanan seorang muslim terhadap al-Quran. Ilmu tafsir al-Quran langkah awal untuk mewujudkan cita tersebut. Ilmu tafsir saja telah meninggalkan faedah yang banyak; ia akan memperkaya wawasan keilmuan dan dapat membentengi diri dari serangan pemikiran dari orang yang suka mengotak-atik al-Quran. ilmu tafsir juga akan membantu dalam menemukan makna yang sebenarnya dengan metode yang benar pula.
[3] Para ulama berbeda pendapat dalam menyebutkan syarat seorang mufassir. Namun, dibalik perbedaan tersebut ada beberapa syarat mutlak yang harus dimiliki agar hasil tafsirnya juga baik, di antaranya; aqidah yang benar, menguasai beberapa disiplin ilmu bahasa serta cabangnya, memulai tafsir dengan ma’tsur, menguasai ilmu yang berkaitan dengan al-Quran, tingkat kecerdasan yang tinggi.
[4]   Hadis riwayat Bukhari dalam bab qaula Allah ta’la “wa laqad atayna Luqman ... . Dan juga dimuat dalam Shahih Muslim pada Kitab Iman, Bab Shidqu al-Iman wa Ikhlashuhu.
[5] Para Rasul diutus kemuka bumi membawa misi mentauhidkan kaumnya. Mereka tidak berhak memaksakan kebenaran kepada orang lain. Lihat surat Yasin; 15
[6] Lihat al-An’am 74-81
[7] Lihat Ibn Asyûr, jilid 7. H.  Ibn Asyûr juga mengemukakan riwayat lain yang menyebutkan bahwa ada beberapa ayat dalam surat ini yang turun di Madinah.  Melihat penjelasan dan riwayat yang beliau kemukakan agaknya lebih kuat yang menyatakan bahwa ayat ini turun jumlah wahidah pada suatu malam. Ini merujuk kepada riwayat yang disampaikan oleh Ibn Abbass, Atho’, Ikrimah, al-Aufiy.
[8] Dr. Sya’ban Muhammad Ismail, at-Tasyri’ al-Islamy, (Cet. II, 1985 Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah. Kairo). Beliau mengemukakan tema akidah yang terkandung dalam surat Makiah merupakan ciri khas dari surat Makiah.
[9]  Op.cit as-siyâq al_Qurany. h. 89
[10] Ibtida’i adalah proses turunnya al-Quran secara langsung, tanpa ada satu sebab yang melatarbelakangi turunnya  ayat. Sababi, turunnya ayat al-Quran karena ada satu peristiwa yang pada saat itu membutuhkan ayat ini untuk diturunkan. Faktor yang melatarbelakangi turunnya ayat inilah yang dikenal dengan sababi, atau asbab nuzul ayah.
[11] Op.cit. hal. 86

No comments:

Post a Comment