A.
Riwayat Hidup dan Pendidikan M. Quraish Shihab
1.
Riwayat Hidup M.Quraish
Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir pada tanggal 16 Februari 1944 M di
Rappang Sulawesi Selatan.[1] Ia berasal dari keluarga keturunan Arab terpelajar. Ayahnya
bernama Abdurrahman Shihab (1905-1986). Abdurrahman Shihab adalah tamatan dari
Jami’atul Khair Jakarta.[2] Ia juga dikenal sebagai ahli tafsir, dan menjadi guru besar dalam
bidang itu di IAIN Alaudin, Ujung Pandang. Karir akademis Abdurrahman Shihab
mencapai puncaknya ketika menduduki jabatan Rektor IAIN Alaudin. Kemudian ia
juga terlibat aktif dan tercatat sebagai salah seorang pendiri Universitas
Muslim Indonesia (UMI), sebuah universitas swasta terkemuka di Ujung Pandang.
Menurut Quraish Shihab, minat ayahnya terhadap ilmu memang sangat
besar, meskipun sibuk berwiraswasta, beliau selalu berusaha meluangkan waktunya
untuk berdakwah dan mengajar, baik di mesjid maupun perguruan tinggi Islam.
Bahkan sebahagian hartanya benar-benar dipergunakan untuk kepentingan ilmu,
baik dengan menyumbangkan buku-buku bacaaan maupun membiayai lembaga-lembaga
pendidikan Islam di wilayah Sulawesi.
Kecintaan ayahnya terhadap ilmu melatar belakangi dan memotivasi
Quraish dalam meniti jenjang pendidikan. Bahkan minatnya terhadap studi
al-Qur’an pun sangat dipengaruhi oleh
sang ayah. Sejak kecil kira-kira umur 6-7 tahun ia sudah harus ikut mendengar
ayahnya mengajar al-Qur’an. Pada saat seperti ini, selain disuruh mengaji
(membaca Al-Qur’an), ayahnya juga menjelaskan secara sepintas kisah-kisah dalam
al-Qur’an. Dari sinilah menurut pengakuan Quraish Shihab, benih kecintaan
kepada studi al-Qur’an mulai tumbuh.
Selanjutnya, yang tidak boleh diabaikan adalah dukungan dan
pengaruh sang ibu, selain mendorong anak-anaknya untuk belajar ia juga ketat
dalam soal agama dari sudut al-Qur’an dan hadis. “bahkan hingga sekarang
walaupun sudah doktor beliau tak segan-segan menengur saya”, kata kuraish.
Dalam suasana yang bernuansa agamis inilah Quraish tumbuh dan berkembang.
Keharmonisan keluarga yang dimikian dan bimbingan orang tua yang selalu
diberikan telah membekas dan berpengaruh dalam diri Quraish Shihab.[3]
Dengan latar belakang seperti itu tidak heran jika minat Quraish
terhadap studi agama, khususnya dalam bidang al-Qur’an, sangat besar. Ini bisa
dilihat dalam jenjang pendidikan yang
dipilihnya yaitu dipondok pesantren Darul Hadist al-Fiqihiyah di Malang
B.
Pendidikan M.Quraish Shihab
Setelah
menyeleseikan sekolah dasar di Ujun Pandang, Quraish melanjutkan pendidikan
menengahnya di Malang, sambil nyantri di Pesantren Darul-Hadist al-Fiqihiyah. [4] Dari awalnya Quraish Shihab sudah berminat untuk mendalami stui
al-Qur’an. Akan tetapi, karena nilai
bahasa Arab yang dicapai ditingkat menengah kurang, dan tidak di izinkan untuk
melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir hadis Universitas al-Azhar,
Quraish Shihab bersedia mengulang satu tahun.[5] Pada tahun 1958, dalam usia 14
tahun, Quraish Shihab berangkat ke
Kairo, Mesir dan diterima di kelas II al-Azhar. Keinginan untuk melanjutkan ke
Kairo terlaksana atas bantuan beasiswa dari pemerintah daerah Sulawesi.[6] (waktu itu Sulawesi belum dibagi Menjadi Utara dan Selatan). Mesir
dengan Universitas al-Azhar, seperti diketahui, selain pusat gerakan
pembaharuan Islam, juag tempat yang tepat untuk studi al-Qur’an. Sejumlah tokoh
seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah mufasir kenamaan yang berasal
dari Mesir.
Di Mesir,
Quraish Shihab tidak banyak melibatkan diri dalam aktivitas kemahasiswaan,
meskipun demikian, ia sangat aktif memperluar pergaulan nya, terutama dengan
sejumlah mahasiswa yang berasal dari Negara-negara lain. Mengenai kegiatannya
ini, Quraish mengatakan, “dengan bergaul dengan mahasiswa asing, ada dua
manfaat yang dapat diambil. Pertama, dapat mempelancar bahasa Arab.” Belajar di
Mesir, sangat menekankan aspek hafalan. Hal ini
juga dialami oleh Quraish. Ia mengakui bahwa jika jawaban ujian tidak
persis dengan catatan, nilainya akan kurang. Fenomena belajar di Mesir, dalam
pengamatan Quraish, cukup unik.[7]
Pada tahun
1967, Quraish Meraih gelar Lc (S1) dari Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadist
Universitas al-Azhar. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang
sama, dan pada tahun 1969 ia berhasil meraih gelar MA untuk spesialis bidang
Tafsir al-Qur’an.[8]
Sekembalinya ke
Ujung Pandang tahun 1969 M, Quraish dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor
bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alaudin, Ujung Pandang. Selain itu
juga diberikan jabatan lain, baik di dalam
kampus seperti coordinator perguruan tinggi swasta (wilayah VII Indonesia
bagian Timur), maupun di luar
kampus seperti pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang
pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang dia juga sempat melakukan berbagai
penelitian; antara lain penelitian dengan tema “penerapan Kerukuna Hidup
Keberagaman di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan”
(1978).[9]
Meskipun telah
menduduki berbagai jabatan, semangat Quraish Shihab untuk melanjutkan
pendidikannya tetap tinggi. “Ayah selalu berpesan agar saya berhasil mencapai
gelar doctor, “ pesan ini selalau terngiang-ngiang olehnya. Oleh karena itu,
ketika kesempatan untuk melanjutkan studi itu dating, pada tahun 1980, Quraish
kembali ke Kairo dan melanjutkan Pendidikannnya di almamater lama, Universitas
al-Azhar.[10]
Pada tahun 1982
dengan disertai yang berjudul al-Durar li al-Biqa’i. Tahqiq wa Dirasah. Quraish
Shihab berhasil meraih gelar doctor dalam ilmu-ilmu al-Qur’an denga yudisium
Summa Cum laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat al syaraf
al-‘ula).[11] Perlu kiranya dicatat bahwa Quraish pada waktu itu adalag orang
pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doctor dalam bidang ilmu-ilmu
al-Qur’an dari Universitas al-Azhar.[12]
Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas
Ushuluddin dan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayutullah Jakarta Selain
itu, di laur kampus, ia juga dipercayai menduduki sejumlah Lajnah Pentashhih
al-Qur’an Departemen Agama, dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan
Nasioanal. Dalam Ikatan Cendikiawan
Muslim se Indonesia (ICMI), Quraish Shihab dipercayakan menduduki jabatan
asisten Ketua Umum.[13]
C.
Karir M. Quraish Shihab
Selanjutnya,
sejak 1992, Quraish mendapat kepercayaan untuk menduduki jabatan Rektor di IAIN
Syarif Hidayatullah.[14] Di sela-sela kesibukannya dia juga terlibat dalam berbagai
kegiatan ilmiah didalam maupun di luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya,
Quraish juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada
setiap hari rabu, dia menulis dalam rubric “Pelita Hati”. Dia juga mengasuh
rubric “ Tafsir al-Amanah’ dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta,
Amanah. Selain itu ia juga tercatat sebagai anggota dewan redaksi majalah
Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta.[15]
Kemudian pada
tahun 1998 M ia ditunjuk oleh presiden Soeharto Sebagai Menteri
Agama Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan VI, selanjutnya pada tahun 1999-2000
M, ia di angkat sebagai Duta besar Republik Indonesia untuk Republik Arab
Mesir, yang berkedudukan di Kairo.[16]
Dalam
organisasi kemasyarakatan Quraish Shihab diangkat
sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu
Agama yang berada di bawah Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Selanjutnya,
selain dari aktivitas di atas, Quraish Shibab juga
dikenal sebagai mubaligh yang cukup popular, terutama dikalangan akademis.
D. Pemikiran dan
Karya M. Quraish Shihab
Sebagai orang Asia Tenggara pertama yang telah menyelesaikan Doktor bidang
Tafsir al-Qur’an, Shihab juga telah mengemukakan pemikiran-pemikiran dan
gagasan-gagasan yang sangat berpengaruh bagi umat Islam, terlebih dalam
memahami al-Qur’an, diantaranya:[17]
1.
Tentang Kemukjizatan al-Qur’an
Dalam tesis MA-nya yang berjudul al-‘I’jâz al-Tasyri’î li al-Qur’an
al-Karîm yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Mukjizat
al-Qur’an, ia mengemukakan bahwa terlalu banyak sisi yang dianggap sebagai
mukjizat oleh kaum muslimin, jika dianalisis lebih jauh ternyata tidak bisa
disebut sebagai mukjizat. Sebab
apa yang dianggap sebagai mukjizat itu sebenarnya lahir dari subjektifitas
semata-mata. Ia menunjuk beberapa ilustrasi: Pertama, dalam Manâhil
al-Irfân, karangan seorang ulama besar Mesir, Imam al-Zarqanî, dikatakan
bahwa al-Qur’an itu mukjizat dari sisi memenuhi semua kebutuhan manusia.
Pernyataan ini merupakan subjektifitasnya sebagai seorang muslim, sebab
pernyataan seperti itu pasti akan ditolak oleh orang non-muslim.[18]
Kedua, dalam beberapa
kitab tafsir dikatakan bahwa al-Qur’an itu mukjizat karena mampu menyentuh hati
pembacanya. Pernyataan ini
juga patut dipersoalkan, karena banyak pembaca al-Qur’an, termasuk umat Islam
sendiri yang tidak tersentuh hatinya ketika membaca al-Qur’an. Ketiga,
ada sebagian kaum muslim yang masih beranggapan bahwa karena al-Qur’an itu
mukjizat, maka ia mampu melakukan segala sesuatu diluar hukum kausalitas,
seperti dijadikan jimat, dipakai mengusir anjing dan sebagainya.
Pemahaman-pemahaman seperti itulah yang ingin diluruskan.[19]
Menurut Quraish Shihab, hal semacam itu bukanlah mukjizat, melainkan
keistimewaan al-Qur’an, menurutnya, mukjizat itu tidak ditujukan kepada kaum
muslim yang memang sudah percaya. Mukjizat
pada masa modern sekarang ini. Jika para pakar al-Qur’an mampu menggali dari
al-Qur’an petunjuk-petunjuk yang bisa menjadi alternatif guna memecahkan
problema masyarakat, jika pakar umat Islam mampu melakukan hal tersebut
sehingga terbukti amat jelas bagi non muslim keunggulan petunjuk al-Qur’an,
barulah agaknya kita dapat berkata bahwa petunjuk al-Qur’an adalah mukjizat.[20]
Kata Mukjizat
terambil dari kata ‘ajaza yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak
mampu”. Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz dan bila kemampuannya
melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka ia
dinamai mu’jizat. Tambahan ta’ marbuthah pada akhir kata itu
mengandung makna mubalaghah (superlatif). Sehingga mukjizat
didefinisikan pakar agama Islam antara lain sebagai “suatu hal atau peristiwa
luar biasa yang terjadi melalui seorang nabi, sebagai bukti kenabiannya yang
ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa,
namun karena tidak mampu melayani tantangan itu”.[21]
Misalnya,[22]
pertama kali Allah menantang untuk membuat semacam keseluruhan al-Qur’an,
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
÷Pr& tbqä9qà)t ¼ã&s!§qs)s? 4 @t/ w tbqãZÏB÷sã ÇÌÌÈ (#qè?ù'uù=sù ;]Ïpt¿2 ÿ¾Ï&Î#÷WÏiB bÎ) (#qçR%x. úüÏ%Ï»|¹ ÇÌÍÈ
Artinya: Ataukah mereka mengatakan:
"Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman.
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika
mereka orang-orang yang benar. (Q.S.
Al-Thur [52]: 33-34)
Selanjutnya,
kerena tantangan tersebut tidak dapat mereka layani, maka untuk tahap kedua
Allah meringankan tantangan itu dengan firman-nya yang berbunyi:
÷Pr& cqä9qà)t çm1utIøù$# ( ö@è% (#qè?ù'sù Îô³yèÎ/ 9uqß ¾Ï&Î#÷VÏiB ;M»tutIøÿãB (#qãã÷$#ur Ç`tB OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB Èbrß «!$# bÎ) óOçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÊÌÈ
Artinya: Bahkan mereka mengatakan:
"Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau
demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain
Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (QS. Hud [11]: 13)
Setelah tantangan tantangan tahap kedua ini pun tak mampu mereka layani
sedangkan mereka tetap berkeras untuk tidak mengakui kebenaran al-Qur’an, maka
untuk ketiga kalinya datang tantangan yang kali ini lebih ringan dari pada
tantangan-tantangan sebelumnya,[23] sebagaimana terungkap dalam al-Qur’an yaitu:
÷Pr& tbqä9qà)t çm1utIøù$# ( ö@è% (#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷$#ur Ç`tB OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB Èbrß «!$# bÎ) ÷LäêYä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÑÈ
Artinya: “Atau (patutkah) mereka
mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar
yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan
panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah,
jika kamu orang yang benar." (Q.S. Yunus
[10]: 38)
Tiga tahapan tantangan diatas, yang keseluruhannya disampaikan ketika Nabi
SAW masih berada di Mekkah, masih ditambah lagi dengan tantangan tahap keempat
yang kali ini dikemukakan ketika Nabi SAW telah hijrah ke Madinah,[24] yaitu:
bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷u $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tã (#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷$#ur Nä.uä!#yygä© `ÏiB Èbrß «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇËÌÈ
Artinya: Dan jika kamu (tetap) dalam
keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad),
buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 23)
2.
Tentang Korelasi Ayat-ayat al-Qur’an
Quraish Shihab
menjelaskan, ulama-ulama terdahulu pada umumnya menempuh satu dari tiga cara
berikut dalam menjelaskan hubungan antar ayat. Pertama, mengelompokkan
sekian banyak ayat dalam suatu kelompok tema-tema, kemudian menjelaskan
hubungnnya dengan kelompok ayat-ayat berikutnya. Kedua, menemukan tema
sentral dari satu surat kemudian mengembalikan uraian kelompok ayat-ayat kepada
tema sentral itu. Ketiga, menghubungkan ayat dengan ayat sebelumnya
dengan menjelaskan keserasiannya.[25]
Menurutnya,
masalah korelasi antara ayat-ayat al-Qur’an ini layak mendapat perhatian
serius. Hal itu menurutnya, setidak-tidaknya dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama,
salah satu isu tentang al-Qur’an yang sering terdengar sumbang yang telah dikemukakan
kalangan orientalis ialah sistematika perurutan ayat-ayat dan surat-suratnya
yang sangat kacau. Kedua, terjadinya penafsiran al-Qur’an yang bersifat
parsial. Implikasi dari model penafsiran seperti ini, seperti terlihat dalam
sejarah Islam telah melahirkan pertentangan, khususnya dalam bidang teologi,
yang cendderung tidak berkesudahan.[26]
3.
Tentang Membumikan al-Qur’an
Arief Subhan
mengemukakan bahwa salah satu obsesi M. Quraish Shihab dalam melakukan
penafsiran al-Qur’an ialah dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Menurut
M. Quraish Shihab, pendekatan seperti ini akan berhasil mengungkap lebih banyak
petunjuk-petunjuk dari dalam al-Qur’an. Dalam konteks ini, ia berobsesi untuk
membumikan al-Qur’an. Sehingga ini juga dijadikan sebagai salah satu judul
bukunya.[27] Dalam pengamatannya, al-Qur’an walaupun dibaca dan dipelajari oleh
kaum muslim, tetapi umat masih sering mengambil jarak terhadap al-Qur’an.[28]
Quraish Shihab telah menghasilkan karangan yang sangat banyak, baik berupa
buku, makalah, maupun artikel dalam tulisan lepasnya yang telah diterbitkan
berbagai penerbit. Diantara buku,
makalah, artikel dan tulisannya akan penulis kemukakan sesuai dengan urutan
tahun terbitnya yaitu:[29]
a)
Peranan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur
Karya ini
merupakan hasil penelitian yang dilakukannya pada tahun 1975. Isinya merupakan
ilustrasi tentang bagaimana kerukunan hidup antara para pemeluk agama-agama
yang terdapat di Indonesia Timur yang pluralis dan solusi bagaimana seharusnya
diwujudkan dalam rangka mencapai kehidupan yang harmonis.[30]
b)
Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan
Karya ini juga
merupakan laporan dari penelitian yang dilakukannya pada tahun 1978. Isinya
menggambarkan situasi dan kondisi objektif dari persoalan wakaf yang terdapat
di Sulawesi Selatan dan solusi atau saran-saran untuk memperbaiki kondisi yang
ada pada saat itu.[31]
c)
Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya
Karya ini
diterbitkan di Ujung Pandang pada tahun 1984. Isinya ditujukan untuk mengupas
buku tafsir yang dikaji, yang diungkapkan segi-segi kekuatan dan kelemahannya.
d)
Filsafat Hukum Islam
Karya ini
diterbitkan oleh Departemen Agama pada tahun 1987. Isinya menggambarkan tentang
pemikiran filosof dari hukum Islam.
e)
Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat al-Fatihah)
Karya ini
diterbitkan pada tahun 1988 oleh penerbit utama, Jakarta. Isinya merupakan
uraian dari kandungan surat al-Fatihah. Penjelasan yang diungkapkan memberikan
nuansa dan pengetahuan baru bagi pembacanya.
f)
Tafsir al-Amanah
Karya ini merupakan kumpulan artikel dari rubrik tafsir yang diasuhnya pada
majalah Amanah, dan diterbitkan oleh Pustaka Kartini pada tahun 1992. Isinya menyangkut penafsiran dari surat al-‘Alaq dan al-Mudatstsir.
g)
Membumikan al-Qur’an, fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat
Karya ini
merupakan kumpulan dari makalah yang pernah ditulisnya untuk keperluan seminar,
bagian dari suatu buku yang diterbitkan, dan lain sebagainya. Artikel atau
makalah yang tercakup di dalamnya adalah yang pernah dihasilkannya selama
rentang waktu antara 1976-1992, dan telah mengalami cetakan ulang berkali-kali.[32]
h)
Lentera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan
Karya ini
diterbitkan Mizan pada tahun 1994, dan juga telah mengalami cetak ulang
berkali-kali. Isinya merupakan kumpulan dari rubrik “Pelita Hati” yang
diasuhnya pada harian Pelita, yang diterbitkan di Ibukota.
i)
Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat
Karya ini
diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1996, dan juga menjadi best seller.
Isinya merupakan kumpulan makalah yang disajikannya pada pengajian Istiqlal
untuk para eksekutif, yang diselenggarakan oleh Departemen Agama, yang
diresmikan oleh Menteri Agama Tarmizi Taher pada tanggal 3 Juli 1993. Materi
yang terhimpun didalamnya adalah makalahnya sampai tahun 1996. Isinya
menyangkut berbagai persoalan yang dijelaskan secara tematis sesuai informasi
al-Qur’an.[33]
j)
Tafsir al-Qur’an al-Karim
Karya ini
diterbitkan oleh Pustaka Hidayat pada tahun 1997. Isinya merupakan tafsiran
dari 24 surat pendek yang didasarkan pada urutan turunnya. Tafsir yang
disuguhkan dalam karya ini menggunakan metode tahlilî, yang dimulai dari
surat al-Fatihah, disusul surat yang memuat wahyu pertama, yaitu al-‘Alaq,
selanjutnya al-Mudatstsir, al-Muzammil dan seterusnya hingga surat al-Thariq.
k)
Mukjizat al-Qur’an
Karya ini
diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1997. Isinya berupa uraian tentang segi-segi
keistimewaan dari al-Qur’an, dan juga unsur kemukjizatannya.[34]
l)
Al-Asma’ al-Husna
Karya ini
mencakup uraian tentang nama-nama Tuhan yang berjumlah 99. Sebagian dari isinya
juga dibawakan sebagai materi ceramah yang disampaikan di asalah satu stasiun
televisi pada bulan Ramadhan..
m)
Tafsir al-Misbah
Karya ini dapat
dikatakan sebagai puncak kreatifitas M. Quraish Shihab. Didalamnya diuraikan
maksud dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi kajian inti dari
penelitian ini. Karya ini diterbitkan oleh Lentera Hati, Jakarta, tahun 2000.[35]
Buku ini juga
diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati pada tahun 2004, isinya memuat tentang
aneka pendapat seputar dari para ulama terdahulu yang terkesa ketat hingga
cendikiawan muslim kontemporer yang dianggap lebih longgar.[36]
[1]
Arif Subhan, “Biografi Cendekiawan Muslim M. Quraish Shihab”, Jurnal
Madrasah, [PPIM, IAIN Jakarta], vol 5, no 1 (2002), h. 26
[2]
Jamiatul Khair adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang
condong kepada ide-ide pembaharuan Islam. Lembaga pendidikan ini membangun
koneksi dengan lembaga serupa di Timur Tegah, baik Hadramaut, Haramayn maupun
Kairo. Guna mendorong tumbuhnya ide-ide pembaharuan Islam di Nusantara, lembaga
ini mengundang guru-guru dari kawasan Timur Tengah. Di antaranya yang kelak
sangat berpengaruh terhadap perkembangan Islam di negeri ini adalah Syekh Ahmad
Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika Utara, Ibid.
[3]
Hamdani Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir Al-Mishbah”, Jurnal Mimbar
Agama & Budaya, [t.tp, t.p,], vol. XIX, no. 2, (2002), h. 170
[4] M.
Quraish Shihab, Membunikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1992), hal.
Tentang Penulis
[5] Padahal
dengan nilai yang di capainya itu, sejumlah jurusan lain di lingkungan al-Azhar
bersedia menerimanya, bahkan menurut peraturannnya dia juga di terima di
Universitas Cairo dan Darul ‘Ulum. Belakangan Quraish mengakui bahwa pilihannya
tidak salah, selain dari minat pribadi, untuk mengambil bidang studi al-Qur’an
rupanya sejalan dengan kebutuhan umat manusia akan al-Qur’an dan penafsiran
atasnya.
[6]
Arief Subhan, op cit, h. 27
[7] Menurut
pandangan Quraish pada musim ujian banyak orang-orang yang belajar sambil
berjalan-jalan, suatu fenomena unik yang tidak di temukan di Indonesia. Selain
harus memahami teks yang sedang di pelajari, mereka juga harus menghafalnya.
“hal yang sama juga saya lakukan. Biasanya setelah shalat saya memahami teks,
kemudian berusaha menghafalnya sambil berjalan-jalan”, kata Quraish. Soal
hafalan ini Quraish sangat mengagumi kuatnya hafalan orang-orang Mesir,
khususnya dosen-dosen al-Azhar. Dalam pandangan Quraish, belajar dengan cara
menghafal itu bukan tak ada segi positifnya. Bahkan menurut dia nilai positif
ini akan bertambah jika kemampuan menghafal dibarengi dengan kemampuan
analisis. Masalahnya adalah bagaimana mengabungkan kedua hal ini. Ibid, h.
28
[8] Dalam
meraih gelar MA nya Quraish Sihihab menulis tesis MA nya dengan judul Al-I’jaz
al Tasyri lil al-Qur’an al-Karim. Pilihannya dalam menulis tesis mengenai
mukjizat ini bukan suatu yang kebetulan, tetapi memang dari hasil bacaan
Quraish Shihab terhadap realita masyarakat muslim yang diamatinya. Menurutnya
gagasan-gagasan tentang kemukjizatan al-Qur’an dikalangan masyarakat muslim
telah berkembang sedemikian rupa sehingga tidak jelas lagi, mana yang mukjizat
dan mana yang mana keistimewaan. Mukjzat dan keistimewaan menurut Quraish
Shihab merupakan dua hal yang berbeda, tapi keduanya masih sering di campur
adukkan, bahkan dikalangan ahli tafsir seklipun. M. Quraish Shihab, mukjizat
al-Qur’an : ditinjau dari aspek kebahasaan, isyarat ilmiah, dan pemberitaan
ghaib, (Bandung : Mizan, 1999), cet. Ke-5, sekapur sirih, h. 7-8
[9] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, op cit, hal. Tentang
penulis
[11] Dalam
meraih gelar doktornya dia menulis
disertasi yang berjudul al-Dural li
al-Biqa’i, Tahqiq wa Dirasah. Dalam disertasinya, dia memilih untuk
membahas masalah korelasi antara ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an sebagai
fokus penelitiannya. Sebagai kasus ia mengambil kitab Nazhm al-Durar fi
Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karangan seorang mufasir kenamaan yang tergolong
kontrofesian, yaitu Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i. “Saya tertarik dengan tokoh ini
karena ia hampir terbunuh gara-gara kitab tafsirnya”. Katanya al-Biqa’i juga
dinilai oleh banyak pakar sebgai ahli tafsir yang berhasil menyusun suatu karya
ynag sempurna dalam korelasi antar ayat-ayat dan surat-surat dalam Al-Qur’an,
para ahli juga menilai bahwa kitab tafsirnya itu merupakan ensiklopedi dalam
bidang keserasian ayat-ayat al-Qur’an dan
surat-surat al-Qur’an
[14]
Arief Subhan, op cit, h. 34
[15] M.
Quraish Shihab, op cit, h. Tentang Penulis
[16]
Hamdani Anwar, op cit, h. 172
[17]
Arief Subhan, op. cit., h. 26
[18] M. Quraish
Shihab, Kemukjizatan al-Qur’an, op.cit., h. 223
[20] Ibid,
h. 231
[21] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, op.cit., h. 23
[22] Ibid.,
h. 44
[25]
Arief Subhan, op., cit, h. 31
[26] Ibid.,
h. 32
[29]
Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir Al-Misbah”, vol. XIX, h. 173-175
[32] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, op.cit., h. Kata Pengantar
[33] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu'i atas
Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Penerbit Mizan, Pustaka al-Kautsar, 2005),
h. Kata Pengantar
[34] M.
Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, op.cit., h. Kata Pengantar
[35] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) V.1 h. Kata Pengantar
[36] M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah
(Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer), (Jakarta: Lentera
Hati, 2004), h. xiv
No comments:
Post a Comment