Friday, April 5, 2019

“PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUSIBAH MENURUT QURAISH SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISBAH”.


Al-Qur’an memberikan perhatian yang besar terhadap musibah, ini dapat dilihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan peristiwa musibah dari berbagai hal yang menyertainya, seperti penyebab musibah, dampak musibah dan sikap manusia dalam menghadapi musibah. Dari kesemuanya itu terdapat indikasi adanya tuntunan bagaimana seharusnya menyikapi musibah yang menimpa kita.
Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari berbagai ujian atau cobaan serta musibah. Musibah adalah sesuatu yang menyebabkan dan menimbulkan kesusahan, kerugian, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya.[1] Musibah ada juga menimpa jiwa seseorang, ada yang menimpa tubuhnya, ada yang menimpa hartanya, ada yang menimpa keluarganya dan ada juganyang menimpa negerinya. Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 155
Nä3¯Ruqè=ö7oYs9ur &äóÓy´Î/ z`ÏiB Å$öqsƒø:$# Æíqàfø9$#ur <Èø)tRur z`ÏiB ÉAºuqøBF{$# ħàÿRF{$#ur ÏNºtyJ¨W9$#ur 3 ̍Ïe±o0ur šúïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÎÈ  

Artinya: dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Quraish shihab menjelaskan,  Ayat ini mengisyaratkan hakikat hidup di dunia, antara lain ditandai oleh keniscayaan adanya cobaan yang beraneka ragam. Ujian yang diberikan Allah kadarnya sedikit bila dibandingkan dengan potensi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Ia hanya sedikit, sehingga setiap yang diuji akan mampu memikulnya jika ia menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah itu.[2]
Ujian yang akan terjadi yang diinformasikan Allah itu adalah nikmat besar tersendiri, karena dengan mengetahuinya manusia dapat mempersiapkan diri menghadapi aneka ujian itu. Yang buruk adalah kegagalan menghadapi ujian. Allah tidak menjelaskan kapan dan dalam situasi apa ia akan terjadi.
Bentuk ujian itu adalah sedikit dari rasa takut, yakni keresahan hati menyangkut sesuatu yang buruk, atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang diduga akan terjadi. Sedikit rasa lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Buah-buahan bisa dalam arti sebenarnya maupun buah-buahan dalam arti buah dari apa yang dicita-citakan.
Semata-mata menamakan diri beriman tidak berimplikasi secara langsung kepada keluasan rizki, hilangnya rasa takut dan kesedihan, serta kekuasaan yang kokoh. Semua itu berlangsung sesuai dengan sunnatullah dalam penciptaan, sebagaimana halnya sunnah dalam penciptaan adalah terjadinya musibah berdasarkan sebab-sebab yang mengantar terjadinya secara signifikan.
Quraish Shihab mengemungkan mengenai defenisi musibah menerut beliau kata musibah sebenarnya mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik positif ataupun negative, baik anugrah ataupun bencana. Tetapi kata tersebut popular  digunakan untuk bencana, menimpa orang-orang  yang beriman atau orang-orang  yang berpura-pura beriman  (munafik), bahkan orang-orang kafir.[3]
Musibah dalam pengertian kamus bahasa Indonesia yaitu, kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa, malapetaka atau bencana.[4] kemudian dalam kamus Lisan al-arab, kata musibah diartikan sebagai suatu bencana malapetaka atau membinasakan,[5]   musibah di atas menjurus pada satu makna, yaitu keburukan dan kejelekan. Pengertian di atas menjelaskan bahwa musibah itu terjadi pada jiwa, harta dan keluarga dalam kenyataan hidup manusia memang pada tiga hal ini musibah terjadi. Orang yang jiwa terguncang karena berbagai sebab dikatakan tertimpa musibah. Orang yang hartanya hilang atau dirampok dikatakan juga ditimpa musibah, orang yang keluarganya sakit dan meninggal dunia juga dikatakan tertimpa musibah.
Musibah adalah seseuatu istilah di dalam Al-Qur’an yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Menurut bahasa arab kata musibah berasal dari kata akar ashaba yang memiliki berapa arti.[6]
1.      اراد الصواب ( menginginkan yang benar)
2.      اصاب في قوله ( benar/ betul dalam perkataan)
3.      اصاب في طاس ( mengenai/ menimpa di kertas)
4.      اصاب بكذا  ( sesuatu yang mencelakakannya)
Apabila diperhatikan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dengan seksama, kata ashaba dan derevasinya digunakan untuk sesuatu yang menimpa seseorang baik ataupun buruk[7]. Dalam firman Allah surat at Taubah ayat 50:
bÎ) šö7ÅÁè? ×puZ|¡ym öNèd÷sÝ¡s? ( bÎ)ur šö7ÅÁè? ×pt6ŠÅÁãB (#qä9qà)tƒ ôs% !$tRõs{r& $tRtøBr& `ÏB ã@ö6s% (#q©9uqtGtƒur öNèd¨r šcqãm̍sù ÇÎÉÈ  

Artinya: “jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata: "Sesungguhnya Kami sebelumnya telah memperhatikan urusan Kami (tidak pergi perang)" dan mereka berpaling dengan rasa gembira.”

Namun yang penulis maksud  مصيبة sebagai kajian dalam Al-Qur’an dengan bentuk jamaknya مصا ئب adalah ما اصابك من الدهر ( apa saja yang menimpamu berupa kesusahan).[8] Kemudian makna musibah tersebut dikhususkan kepada bencana/ bala’[9]
Kata musibah yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an pada umumnya kata-kata itu bermakna kesusahan, bencana, dan sesuatu yang tidak disenangi manusia. Contoh kata musibah terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 156 yang berarti kesusahan atau musibah, dan sesuatu yang dibenci menimpa seseorang.
tûïÏ%©!$# !#sŒÎ) Nßg÷Fu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁB (#þqä9$s% $¯RÎ) ¬! !$¯RÎ)ur Ïmøs9Î) tbqãèÅ_ºu ÇÊÎÏÈ  
Artinya: (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.

Dalam ayat ini  Quraish Shihab menerangkan, perkataan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” ketika ditimpa musibah bukan sekedar pernyataan yang dihafal dan dilafalkan tanpa penghayatan makna, tetapi maksudnya adalah penghayatan atas makna-maknanya, antara lain mereka termasuk makhluk Allah, milik Allah, dan kepadaNya kembali. Ditangan Allah kekuasaan atas segala sesuatu, dan Ia tidak berbuat kecuali sesuai dengan ilmu dan hikmah, dan sesuai dengan aturan yang digariskan, yang dikenal dengan sunnah atau sunnatullah. Kehendak Allah pada dasarnya tercermin pada hukum-hukum alam yang diciptakanNya. Bila seseorang tidak menyesuaikan diri dengan kehendakNya yang tercermin dalam hukum-hukum alam itu, dia pasti mengalami kesulitan, dia pasti mengalami bencana baik pada dirinya maupun lingkungannya. Bencana adalah kehendakNya juga karena Dia yang menciptakan hukum-hukumnya.
Yang mengucapkan kalimat “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” dengan menghayati makna-maknanya akan mendapat keberkatan yang sempurna, banyak dan beraneka ragam, seperti pengampunan, pujian, dan ganti yang lebih baik. Juga dapat rahmat dan petunjuk, yaitu petunjuk mengatasi kesulitan dan kesedihannya, dan petunjuk menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.[10]
Menerangkan segala tindakan benar dan baik, tentu ada ujian tentu ada hikmah dibalik ujian atau musibah tersebut[11]. Di saat ditimpa musibah maka seringlah membaca kalimat Inna Lillahi wa inna Illaihi Rajiun segala yang terjadi kembalikan kepada Allah, karena Allah yang tahu apa dan bagaimana musibah diturunkan baginya semua tidak terlepas dari ujian semata.[12]
Kata musibah dalam berbagai konteks pembicaraan Al-Qur’an ditemukan sebanyak 10 kali[13]. Adapun bentuk kata yang berasal dari akar kata yang sama terulang sebanyak 65 kali pada ayat-ayat yang berbeda. Dalam bentuk  fi’il madhi sebanyak 33 kali, fiil mudhari ssebanyak 31 kali, dan dalam bentuk isim fa’il sebanyak 1 kali.[14] Banyaknya pengulangan kata ini mengindikasikan bahwa musibah merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dikaji sehingga melahirkan pemahaman yang lurus dan benar sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an.
Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa takala lampu padam, Nabi Muhammad SAW. Mengucapkan kalimat istiraj’ (Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun), Aisyah berkata: “ini hanya mati lampu”. Kemudian Nabi Muhmmad bersabda:
كل ما ساء المؤمن فهو مصيبة

Artinya: Sesuatu yang menyedihkan orang mukmin adalah musibah. (HR. Abu Daud)[15]

Hal tersebut memberikan indikasi, masyarakat tidaklah salah dalam memberikan opini seperti itu, karena telah dijelaskan oleh hadis Nabi, namun penulis ingin mengungkapkan dan mengakiji serta menjelaskan masalah tersebut dalam presfektif Al-Qur’an.
Sebagai umat Islam tentu memandang musibah itu sebagai ujian dan cobaan Allah, karena sesungguhnya musibah itu terjadi di luar kemampuan manusia dan juga di luar tindakan langsung. Siapapun yang tidak menghendaki musibah dan tidak pernah bisa menolaknya. Semua terjadi di luar kuasa manusia. Karena itu Islam mengajarkan, “Jika datang kepadamu suatu musibah maka katakanlah sesungguhnya manusia adalah milik Allah dan kepada-Nya akan kembali”. Pada hakikatnya kehidupan dan kematian hanya ada dalam tangan Tuhan dan karenanya di luar Tuhan tiada kematian dan kehidupan.[16]
Hal ini seperti yang sudah digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya dalam Q.S An-Nisaa’: 62
y#øs3sù !#sŒÎ) Nßg÷Fu;»|¹r& 8pt7ŠÅÁB $yJÎ/ ôMtB£s% öNÍgƒÏ÷ƒr& §NèO x8râä!%y` tbqàÿÎ=øts «!$$Î/ ÷bÎ) !$tR÷Šur& HwÎ) $YZ»|¡ômÎ) $¸)Ïùöqs?ur ÇÏËÈ

Artinya :    ”Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah SWT, Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna".

Quraish Shihab menerangkan, ayat ini adalah gambaran tentang sifat buruk yang lain dari orang-orang munafik, yaitu ketika mereka ditimpa musibah dan dapat juga dipahami  dalam arti ancaman terhadap mereka saat bencana menimpa.[17]
Agama memandang orang-orang yang menjadi korban musibah sebagai syuhada, mati di jalan Allah (mati syahid) dan mereka akan tetap hidup di sisi-Nya. Persoalannya adalah bagaimana mereka yang masih hidup dapat memaknai musibah itu? Apakah akan menyesali musibah dengan menyalahkan orang lain, atau bahkan menyalahkan Tuhan yang mereka anggap kurang adil, sehingga mereka jatuh dalam frustasi dan penderitaan berkepanjangan? Sehingga dengan musibah itu mereka akan menjadi manusia baru yang lebih baik dan memberikan manfaat?.
Oleh karena itu penulis ingin mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas dalam Al-Qur’an, dengan mengangkatkan dalam sebuah tesis dengan judul “penafsiran ayat-ayat musibah menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah”. Dengan diharapkan kaum muslimin dapat menjawab permasalahan-permasalahan hidup terkait dengan musibah yang dapat menentramkan jiwa. Hal ini juga dikarenakan belum ada teori-teori ilmiah yang mampu memberikan pemahaman yang rasional dan komprehensif untuk menerima musibah bagaimanapun bentuknya yang menenangkan serta menenteramkan jiwa selain Al-Qur’an.
Adapun alasan mendasar penulis mengambil penafsiran ini fokus pada penafsiran Quraish Shihab karena Beliau dikenal sebagai mufassir dan pemikir Islam terkemuka di Indonesia. dalam penafsirannya beliau membahas tentang tema-tema yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, kemudian ia kumpulkan beberapa ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut, lalu ia uraikan satu persatu-satu sehingga mudah dipahami bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap tema tersebut.
Urgensi masalah ini di angkat karena musibah ini sangat dekat dengan kehidupan manusia lebih lagi akhir-akhir ini mausibah silih berganti menimpa dunia khususnya bangsa Indonesia terutama sekali daerah sumatera barat. Selain itu terdapat pemahaman yang berbeda dikalangan masyarakat tentang bagaimana terjadinya musibah sehingga perlu solusi dan jawaban segera yang menenangkan dan menetramkan hati yaitu dari Al-Qur’an agar musibah itu bias disikapi dengan mestinya.
Alasan lain yaitu karena musibah dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara terpisah-pisah dalam berbagai surat. Oleh karena itu diperlukan kajian tafsir maudhu’i (tematik) dengan metode ini diharapkan akan melahirkan pemahaman komprehensif terhadap musibah.



[1] Tim penyusun kamus puat pembinaan dan pengembangan bahasa, departemen pendidikan dan kebudayaan,kamus besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1990).cet ke-3, Jilid 1, Hal 100
[2] Quraish Shihab, vol 15
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an ”(Jakarta : Lentera hati, 2005), Cet- ke-3, Vol 14, h. 43
[4] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1980), h. 882
[5] Al imam al Alamah Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut: mausu’ah al-tarikhiyyah al-arabiy, [tth]
[6] Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, Op.cit.h.433
[7] Al –Raghib Al-Ashfahani, Mufradat Fi Gharib Al-Qur’an,(Beirut: Dar Al-Ma’rifah, [t.th], h. 288
[8] Ibnu Manzhur, Loc.cit
[9] al-Ashfahani, Loc.cit
[10] Quraish Shihab, Tafsir AL-Misbah, vol 2
[11]Kata innalillahi Abdurrahman bin Ahmad Asegaf, Di balik musibah ada kasih sayang,loc.cit.wa inna ilaihi raji’un Artinya: Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali. kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.
[12] Ibid
[13] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzil Qur’an, (Darul Fikri,198), h.
[14] Ibid
[15] Jallaluddin Al Mahlli Wa As Sayuti, Tafsir Jalalain, (Suraubaya: al hidayah, htt),  al-Baqarah(1):156
[16] Ibid
[17] M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Vol. II (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h.490

No comments:

Post a Comment