Al-Qur’an
memberikan perhatian yang besar terhadap musibah, ini
dapat dilihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan peristiwa
musibah dari berbagai hal yang menyertainya, seperti penyebab musibah, dampak
musibah dan sikap manusia dalam menghadapi musibah. Dari kesemuanya itu
terdapat indikasi adanya tuntunan bagaimana seharusnya menyikapi musibah yang
menimpa kita.
Kehidupan
manusia tidak akan pernah lepas dari berbagai ujian atau cobaan serta musibah. Musibah adalah sesuatu yang menyebabkan dan
menimbulkan kesusahan, kerugian, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya.[1]
Musibah ada juga menimpa jiwa seseorang, ada yang menimpa tubuhnya, ada
yang menimpa hartanya, ada yang menimpa keluarganya dan ada juganyang menimpa
negerinya. Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 155
Nä3¯Ruqè=ö7oYs9ur &äóÓy´Î/ z`ÏiB Å$öqsø:$# Æíqàfø9$#ur <Èø)tRur z`ÏiB ÉAºuqøBF{$# ħàÿRF{$#ur ÏNºtyJ¨W9$#ur 3 ÌÏe±o0ur úïÎÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÎÈ
Artinya: dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar.
Quraish shihab menjelaskan, Ayat ini mengisyaratkan hakikat hidup di dunia, antara lain ditandai oleh
keniscayaan adanya cobaan yang beraneka ragam. Ujian yang diberikan Allah kadarnya sedikit bila dibandingkan dengan
potensi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Ia hanya sedikit,
sehingga setiap yang diuji akan mampu memikulnya jika ia menggunakan
potensi-potensi yang dianugerahkan Allah itu.[2]
Ujian yang akan
terjadi yang diinformasikan Allah itu adalah nikmat besar tersendiri, karena
dengan mengetahuinya manusia dapat mempersiapkan diri menghadapi aneka ujian
itu. Yang buruk adalah kegagalan menghadapi ujian. Allah tidak menjelaskan
kapan dan dalam situasi apa ia akan terjadi.
Bentuk ujian itu
adalah sedikit dari rasa takut, yakni keresahan hati menyangkut sesuatu yang
buruk, atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang diduga akan terjadi. Sedikit rasa lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Buah-buahan
bisa dalam arti sebenarnya maupun buah-buahan dalam arti buah dari apa yang
dicita-citakan.
Semata-mata menamakan
diri beriman tidak berimplikasi secara langsung kepada keluasan rizki,
hilangnya rasa takut dan kesedihan, serta kekuasaan yang kokoh. Semua itu
berlangsung sesuai dengan sunnatullah dalam penciptaan, sebagaimana halnya
sunnah dalam penciptaan adalah terjadinya musibah berdasarkan sebab-sebab yang
mengantar terjadinya secara signifikan.
Quraish Shihab mengemungkan
mengenai defenisi musibah menerut beliau kata musibah sebenarnya mencakup
segala sesuatu yang terjadi, baik positif ataupun negative, baik anugrah
ataupun bencana. Tetapi kata tersebut popular digunakan untuk bencana, menimpa
orang-orang yang beriman atau
orang-orang yang berpura-pura beriman (munafik), bahkan orang-orang kafir.[3]
Musibah dalam pengertian kamus bahasa
Indonesia yaitu, kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa, malapetaka atau
bencana.[4]
kemudian dalam kamus Lisan al-arab, kata musibah diartikan sebagai suatu
bencana malapetaka atau membinasakan,[5] musibah di atas menjurus pada satu makna, yaitu keburukan dan kejelekan. Pengertian di atas menjelaskan bahwa musibah itu terjadi pada jiwa,
harta dan keluarga dalam kenyataan hidup manusia memang pada tiga hal ini
musibah terjadi. Orang yang jiwa terguncang karena berbagai sebab dikatakan tertimpa musibah. Orang
yang hartanya hilang atau dirampok dikatakan juga ditimpa
musibah, orang yang keluarganya sakit dan meninggal dunia juga dikatakan tertimpa
musibah.
Musibah adalah
seseuatu istilah di dalam Al-Qur’an yang sudah diserap ke dalam bahasa
Indonesia. Menurut bahasa arab kata musibah berasal dari kata akar ashaba
yang memiliki berapa arti.[6]
1.
اراد
الصواب ( menginginkan yang benar)
2.
اصاب
في قوله ( benar/ betul dalam perkataan)
3.
اصاب
في طاس ( mengenai/ menimpa di kertas)
4.
اصاب
بكذا ( sesuatu yang
mencelakakannya)
Apabila
diperhatikan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dengan seksama, kata ashaba
dan derevasinya digunakan untuk sesuatu yang menimpa seseorang baik ataupun
buruk[7]. Dalam firman Allah surat at Taubah ayat 50:
bÎ) ö7ÅÁè? ×puZ|¡ym öNèd÷sÝ¡s? ( bÎ)ur ö7ÅÁè? ×pt6ÅÁãB (#qä9qà)t ôs% !$tRõs{r& $tRtøBr& `ÏB ã@ö6s% (#q©9uqtGtur öNèd¨r cqãmÌsù ÇÎÉÈ
Artinya: “jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang
karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata:
"Sesungguhnya Kami sebelumnya telah memperhatikan urusan Kami (tidak pergi
perang)" dan mereka berpaling dengan rasa gembira.”
Namun yang
penulis maksud مصيبة sebagai kajian
dalam Al-Qur’an dengan bentuk jamaknya مصا ئب adalah ما اصابك من
الدهر (
apa saja yang menimpamu berupa kesusahan).[8] Kemudian makna musibah tersebut dikhususkan kepada bencana/ bala’[9]
Kata musibah
yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an pada umumnya kata-kata itu bermakna
kesusahan, bencana, dan sesuatu yang tidak disenangi manusia. Contoh kata
musibah terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 156 yang berarti kesusahan atau musibah, dan sesuatu yang dibenci menimpa seseorang.
tûïÏ%©!$# !#sÎ) Nßg÷Fu;»|¹r& ×pt7ÅÁB (#þqä9$s% $¯RÎ) ¬!
!$¯RÎ)ur Ïmøs9Î) tbqãèÅ_ºu ÇÊÎÏÈ
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
Dalam ayat ini Quraish Shihab menerangkan, perkataan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”
ketika ditimpa musibah bukan sekedar pernyataan yang dihafal dan dilafalkan
tanpa penghayatan makna, tetapi maksudnya adalah penghayatan atas
makna-maknanya, antara lain mereka termasuk makhluk Allah, milik Allah, dan
kepadaNya kembali. Ditangan Allah
kekuasaan atas segala sesuatu, dan Ia tidak berbuat kecuali sesuai dengan ilmu
dan hikmah, dan sesuai dengan aturan yang digariskan, yang dikenal dengan
sunnah atau sunnatullah. Kehendak Allah pada dasarnya tercermin pada
hukum-hukum alam yang diciptakanNya. Bila seseorang tidak menyesuaikan diri dengan
kehendakNya yang tercermin dalam hukum-hukum alam itu, dia pasti mengalami
kesulitan, dia pasti mengalami bencana baik pada dirinya maupun lingkungannya.
Bencana adalah kehendakNya juga karena Dia yang menciptakan hukum-hukumnya.
Yang mengucapkan
kalimat “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” dengan menghayati
makna-maknanya akan mendapat keberkatan yang sempurna, banyak dan beraneka
ragam, seperti pengampunan, pujian, dan ganti yang lebih baik. Juga dapat
rahmat dan petunjuk, yaitu petunjuk mengatasi kesulitan dan kesedihannya, dan
petunjuk menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.[10]
Menerangkan segala tindakan benar dan baik,
tentu ada ujian tentu ada hikmah dibalik ujian atau musibah tersebut[11].
Di saat ditimpa musibah maka seringlah membaca kalimat Inna Lillahi wa inna
Illaihi Rajiun segala yang terjadi kembalikan kepada Allah,
karena Allah yang tahu apa dan bagaimana musibah diturunkan baginya semua tidak
terlepas dari ujian semata.[12]
Kata musibah
dalam berbagai konteks pembicaraan Al-Qur’an ditemukan sebanyak 10 kali[13]. Adapun bentuk kata yang berasal dari akar kata yang sama terulang sebanyak 65 kali pada ayat-ayat yang berbeda. Dalam bentuk fi’il madhi sebanyak 33 kali, fiil
mudhari ssebanyak 31 kali, dan dalam bentuk isim fa’il sebanyak 1
kali.[14]
Banyaknya pengulangan kata ini mengindikasikan bahwa musibah merupakan sesuatu
yang sangat penting untuk dikaji sehingga melahirkan pemahaman yang lurus dan
benar sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an.
Dalam suatu
riwayat diceritakan, bahwa takala lampu padam, Nabi Muhammad SAW. Mengucapkan
kalimat istiraj’ (Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun), Aisyah berkata: “ini
hanya mati lampu”. Kemudian Nabi Muhmmad bersabda:
كل ما ساء المؤمن فهو مصيبة
Artinya: “Sesuatu
yang menyedihkan orang mukmin adalah musibah. (HR. Abu Daud)[15]
Hal tersebut
memberikan indikasi, masyarakat tidaklah salah dalam memberikan opini seperti
itu, karena telah dijelaskan oleh hadis Nabi, namun penulis ingin mengungkapkan
dan mengakiji serta menjelaskan masalah tersebut dalam presfektif Al-Qur’an.
Sebagai umat Islam tentu memandang musibah itu sebagai ujian dan cobaan
Allah, karena sesungguhnya musibah itu terjadi di luar kemampuan manusia dan juga di
luar tindakan langsung. Siapapun yang tidak menghendaki musibah dan tidak
pernah bisa menolaknya. Semua terjadi di luar kuasa manusia. Karena itu Islam
mengajarkan, “Jika datang kepadamu suatu musibah maka katakanlah sesungguhnya manusia adalah milik Allah dan
kepada-Nya akan kembali”. Pada hakikatnya kehidupan dan kematian hanya ada
dalam tangan Tuhan dan karenanya di luar Tuhan tiada kematian dan kehidupan.[16]
Hal ini seperti yang sudah digambarkan Allah SWT
dalam firman-Nya dalam Q.S An-Nisaa’: 62
y#øs3sù !#sÎ) Nßg÷Fu;»|¹r& 8pt7ÅÁB $yJÎ/ ôMtB£s% öNÍgÏ÷r& §NèO x8râä!%y` tbqàÿÎ=øts «!$$Î/ ÷bÎ) !$tR÷ur& HwÎ) $YZ»|¡ômÎ) $¸)Ïùöqs?ur ÇÏËÈ
Artinya : ”Maka
bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka
datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah SWT, Kami sekali-kali tidak
menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna".
Quraish Shihab menerangkan, ayat
ini adalah gambaran
tentang sifat buruk yang lain dari orang-orang munafik, yaitu ketika mereka
ditimpa musibah dan dapat juga dipahami
dalam arti ancaman terhadap mereka saat bencana menimpa.[17]
Agama memandang orang-orang yang menjadi korban
musibah sebagai syuhada, mati di jalan Allah (mati syahid) dan
mereka akan tetap hidup di sisi-Nya. Persoalannya
adalah bagaimana mereka yang masih hidup dapat memaknai musibah itu? Apakah
akan menyesali musibah dengan menyalahkan orang lain, atau bahkan menyalahkan
Tuhan yang mereka anggap kurang adil, sehingga mereka jatuh dalam frustasi dan penderitaan
berkepanjangan? Sehingga dengan musibah itu mereka akan menjadi manusia baru
yang lebih baik dan memberikan manfaat?.
Oleh karena itu penulis ingin mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut di atas dalam Al-Qur’an, dengan mengangkatkan dalam sebuah tesis
dengan judul “penafsiran ayat-ayat musibah menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah”.
Dengan diharapkan kaum muslimin dapat menjawab permasalahan-permasalahan hidup
terkait dengan musibah yang dapat menentramkan jiwa. Hal ini juga dikarenakan
belum ada teori-teori ilmiah yang mampu memberikan pemahaman yang rasional dan
komprehensif untuk menerima musibah bagaimanapun bentuknya yang menenangkan
serta menenteramkan jiwa selain Al-Qur’an.
Adapun alasan
mendasar penulis mengambil penafsiran ini fokus pada penafsiran Quraish Shihab
karena Beliau dikenal sebagai mufassir dan pemikir
Islam terkemuka di Indonesia. dalam penafsirannya
beliau membahas tentang tema-tema yang terkait
dengan kehidupan sehari-hari, kemudian ia kumpulkan beberapa ayat-ayat yang
berkaitan dengan tema tersebut, lalu ia uraikan satu persatu-satu sehingga
mudah dipahami bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap tema tersebut.
Urgensi
masalah ini di angkat karena musibah ini sangat dekat dengan kehidupan manusia
lebih lagi akhir-akhir ini mausibah silih berganti menimpa dunia khususnya
bangsa Indonesia terutama sekali daerah sumatera barat. Selain itu terdapat
pemahaman yang berbeda dikalangan masyarakat tentang bagaimana terjadinya
musibah sehingga perlu solusi dan jawaban segera yang menenangkan dan
menetramkan hati yaitu dari Al-Qur’an agar musibah itu bias disikapi dengan
mestinya.
Alasan lain
yaitu karena musibah dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara terpisah-pisah
dalam berbagai surat. Oleh karena itu diperlukan kajian tafsir maudhu’i
(tematik) dengan metode ini diharapkan akan melahirkan pemahaman komprehensif terhadap musibah.
[1] Tim penyusun kamus puat pembinaan
dan pengembangan bahasa, departemen pendidikan dan kebudayaan,kamus besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1990).cet ke-3, Jilid 1, Hal 100
[3] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan,
Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an ”(Jakarta : Lentera hati, 2005), Cet- ke-3,
Vol 14, h. 43
[4] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta : Balai Pustaka, 1980), h. 882
[5] Al imam al Alamah Ibnu Manzhur, Lisan
al-Arab, Beirut: mausu’ah al-tarikhiyyah al-arabiy, [tth]
[6] Ibnu Manzhur, Lisanul Arab,
Op.cit.h.433
[7] Al –Raghib Al-Ashfahani, Mufradat
Fi Gharib Al-Qur’an,(Beirut: Dar Al-Ma’rifah, [t.th], h. 288
[8] Ibnu Manzhur, Loc.cit
[9] al-Ashfahani, Loc.cit
[11]Kata innalillahi Abdurrahman bin Ahmad Asegaf, Di balik musibah ada
kasih sayang,loc.cit.wa inna ilaihi raji’un Artinya: Sesungguhnya Kami
adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali. kalimat ini dinamakan
kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya
waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.
[12] Ibid
[14] Ibid
[15] Jallaluddin Al Mahlli Wa As Sayuti,
Tafsir Jalalain, (Suraubaya: al hidayah, htt), al-Baqarah(1):156
[16] Ibid
[17] M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah: pesan, kesan dan
keserasian Al-Qur’an, Vol. II (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h.490
No comments:
Post a Comment