Friday, April 5, 2019

MENGENAL HAMKA


MENGENAL HAMKA

A.    Biografi HAMKA
a.      Riwayat Hidup Hamka
1.      Kelahiran dan Keluarga Hamka
Hamka merupakan akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Nama kecilnya adalah Abdul Malik.[1] Hamka dilahirkan di Maninjau, tepatnya di Tanah Sirah Nagari Sungai Batang, pada hari Ahad tanggal 13 Muharram tahun 1326 H, bertepatan dengan 16 Februari 1908 M.[2] Ia merupakan putra dari Dr. H. Abdul Karim Amrullah.[3] Ayah Hamka adalah seorang ulama Islam terkenal pembawa faham-faham pembaharuan Islam di Minangkabau. Ibunya bernama Siti Safiyah. Ayah dari ibunya itu bernama Gelanggang gelar Bagindo nan Batuah. Di waktu mudanya terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat. Dari Gelanggang itulah, di waktu masih kecil Hamka selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan mendalam. Hamka meninggal pada 24  Juli 1981 bertepatan dengan bulan Ramadhan.[4]

2.      Pendidikan Hamka
Hamka mengawali pendidikannya mempelajari Al-Quran di rumah orang tuanya saat mereka pindah dari Maninjau ke Padang Panjang, pada tahun 1914.[5] Setelah mencapai usia tujuh tahun, Hamka kecil dimasukkan ayahnya ke sekolah desa. Selanjutnya pada tahun 1916, Hamka masuk Sekolah Diniyah di Pasar Usang Padang Panjang yang didirikan oleh Zainuddin Labai El-Yunusiy. Pagi hari Hamka pergi ke sekolah Desa, sore hari pergi ke Sekolah Diniyah, dan pada malam hari belajar di surau[6] bersama teman-teman sebayanya.[7]
Pada tahun 1918, Surau Jembatan Besi, tempat ayahnya memberikan pelajaran agama diubah menjadi madrasah, yang kemudian dikenal dengan Thawalib School. Dengan tujuan agar anaknya kelak menjadi ulama, Hamka dimasukkan ke Thawalib School, dan berhenti dari sekolah desa. Keharusan menghafal membuat Hamka cepat bosan dan malas: “memusingkan kepala” demikian istilah Hamka. Meskipun demikian setiap tahun ia naik kelas hingga menduduki kelas empat.[8]
Di sekolah-sekolah itulah Hamka untuk pertama kalinya mengenal      al-Qur’an dan bahasa Arab. Namun sayang, pendidikannya di beberapa sekolah itu tidak dilewatinya dengan sepantasnya, karena ia merasa tidak menemukan hal yang dicarinya. Kekecewaan itu akhirnya berimplikasi kepada sikap dan perangainya di waktu kecil. Konsekuensinya Hamka kecil dikenal sebagai seorang “pemberontak”, ia bukan hanya “anak bandel” tapi juga sedikit preman, hobinya di waktu remaja mencakup adu ayam, jadi joki dalam pacuan kuda, dan suka “petantang petenteng”.[9] Menurut Hamka sendiri, kenakalannya makin menjadi setelah dia menghadapi dua hal yang sama sekali belum dapat dia fahami, pertama, dia tidak mengerti mengapa ayahnya memarahi apa yang dilakukannya, sedangkan menurut pertimbangan akalnya justru apa yang telah dilakukannya itu sesuai dengan anjuran ayahnya sendiri,[10] dan kedua adalah perceraian antara ayah dan ibunya.[11] Perjalanan kehidupan dirasakan Hamka sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, sangat mengekang kebebasan kanak-kanaknya, yang kemudian diramu dengan sikap ayahnya yang otoriter.
Pada 1923 Hamka mengalami suatu peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, ayahnya bercerai dengan ibunya. Hamka pun niat berangkat ke tanah Jawa. Namun di Bengkulen, ia terkena wabah cacar. Dua bulan lamanya Hamka di pembaringan. Setelah sembuh, ia kembali ke Padang Panjang dengan wajah yang penuh bekas cacar. Setahun kemudian, yakni 1924 Hamka berangkat ke tanah Jawa.[12]
Pencarian ilmu di tanah Jawa itu, ia mulai dari kota Yogyakarta. Lewat Ja’far Amrullah, pamannya, Hamka kemudian mendapat kesempatan mengikuti kursus kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam. Dalam kesempatan ini Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, dan dari dia Hamka mendapatkan pelajaran tafsir Quran. Ia juga bertemu dengan HOS Cokroaminoto dan mendengar ceramahnya tentang Islam dan Sosialisme. Hamka juga berdialog dengan tokoh-tokoh penting lainnya seperti, Haji Fachruddin dan Syamsul Ridjal, tokoh Jong Islamieten Bond.[13]
Kota Yogyakarta telah memberikan sesuatu yang baru bagi kesadaran keagamaan Hamka. Sebagaimana menurut pengakuannya bahwa Islam sebagai sesuatu yang hidup yang menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang dinamis.[14]
Hamka berada di Pekalongan selama lebih kurang enam bulan. Dari A.R. Sutan Mansur,[15] menantu ayahnya yang menetap di Pekalongan, itu Hamka memperoleh “jiwa perjuangan” meminjam istilah Hamka sendiri.[16]
Pada usia 17 tahun Hamka kembali ke Minangkabau. Setelah sampai di kampung halamannya, Hamka aktif dalam memberikan tabligh di Maninjau, Padang Panjang dan kampung-kampung di sekitarnya. Adapun materi yang disampaikan adalah seputar semangat perjuangan yang telah diramunya dari pendidikan Ki Bagus Hadikusumo, H. Fakhruddin, H.O.S Cokroaminoto dan kakak iparnya A.R. Sutan Mansur. Di samping itu, ia juga mulai mengadakan kursus-kursus pidato di kalangan kawan-kawannya dan tabligh Muhammadiyah yang didirikan ayahnya di surau Padang Panjang. Hasil dari kursus itu kemudian diedit oleh Hamka dan diberi judul “Kitabul Ummah”.[17] Inilah pengalaman pertama yang cukup berhasil dalam karangan Hamka yang pertama.
Tetapi Hamka menyadari dalam berpidato dan menulis saja tidak cukup. Apalagi ia sudah sering dicemooh karena kesalahan-kesalahan yang dilakukannya dalam membaca teks Arab karena pengetahuan bahasa Arabnya tidak matang, kenyataan ini memotivasi Hamka untuk meninggalkan kampung halamannya untuk berangkat ke Mekkah.[18]
 Di awal tahun 1927 dia berangkat dengan kemauannya sendiri            ke Makkah, sambil menjadi koresponden harian “Pelita Andalas” di Medan. Pulang dari sana dia menulis di majalah “Seruan Islam” di Tanjung Pura (Langkat), dan pembantu dari “Bintang Islam” dan “Suara Muhammadiyah” Yogyakarta.[19]
3.      Karir Hamka
Sekembalinya dari Mekkah, dalam rangka mengobati luka hati ayahnya yang sedang bersedih karena rumahnya di Padang Panjang hancur tertimpa gempa bumi, pelajar Thawalib membangkang dan Belanda selalu mengintai gerak geriknya, maka pada April 1929, Hamka menikah dengan Siti Raham, dia sendiri baru berusia 21 tahun dan Istrinya 15 tahun.[20] Setelah menikah Hamka aktif sebagai pengurus Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Pada tahun 1930, ia diutus oleh cabang Muhammadiyah Padang Panjang mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis, di sana langsung mengahadiri kongres Muhammadiyah ke-20 di Yokyakarta (1930). Akhir tahun 1931 dia diutus oleh pengurus besar Muhammadiyah Yokyakarta ke Makasar menjadi Muballigh Muhammadiyah dalam tugas khusus menggerakkan semangat menyambut kongres Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di Makasar.[21]
Pada taanggal 22 Januari 1936, Hamka pindah ke Medan memimpin majalah “Pedoman Masyarakat”[22] melalui majalah ini, Hamka secara maksimal menyalurkan bakat tulis-menulisnya, sehingga tidak kurang 14 buku yang ditulisnya selama memimpin Majalah tersebut.[23] Selain itu Hamka juga aktif dalam gerakan Muhammadiyah Sumatera Timur, apalagi setelah ditunjuk untuk menggantikan H. Muhammad Said, sebagai konsul (ketua) Muhammadiyah Sumatera Timur.
Pada tahun 1942, Jepang mendarat di kota Medan. Kehadiran Jepang ini tidak sedikit membawa perobahan. Majalah “Panji Masyarakat” dibredel, bendera Merah Putih tidak boleh dinaikkan dan segala bentuk perserikatan dan perkumpulan dilarang. Semua rakyat harus turut serta dalam membantu cita-cita memenangkan perang Asia Timur Raya.[24]
Hampir semua masyarakat kecewa dengan keadaan ini. Namun Hamka memperoleh kedudukan istimewa dari pemerintah Jepang. Sebagai tokoh Muhammadiyah dan tokoh masyarakat, Hamka diangkat sebagai anggota Syu Sangi Kai, Dewan Perwakilan Rakyat, pada tahun 1944. Dalam kedudukan ini Hamka diminta pertimbangan oleh Jepang untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dari kalangan Umat Islam.[25] Namun jabatan ini membuat Hamka menjadi tersisih di masyarakat Medan, bahkan dari Organisasi Muhammadiyah. Kritik dan sumpah serapah dihadapkan kepadanya, sehingga Hamka harus “lari malam” dari Kota Medan.[26]
Peristiwa ini merupakan cobaan terberat yang dialami oleh Hamka selama hidupnya, menurutnya, cobaan meninggalnya Ibunya pada tahun 1934 atau meninggalnya ayahnya di pembuangan dua bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebelum ia sempat menjemput dan membawanya pulang kampung, atau karangannya “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, difitnah oleh PKI sebagai plagiat, atau ditangkap pada Januari 1944 karena dituduh mendirikan komplotan hendak membunuh Presiden Soekarno, atau bahkan cobaan meninggalnya Istri yang selalu mendampinginya dalam suka dan duka pada tahun 1972, tidaklah sepahit cobaan yang dihadapinya pada saat ia harus “lari malam” dari kota Medan akibat menerima jabatan yang ditawarkan Jepang.[27]
Sekembalinya dari Medan ke Minangkabau, pada bulan Mei 1946 Hamka dipilih oleh Konfrensi Muhammadiyah Sumatera Barat menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat, menggantikan kedudukan S.Y. Sutan Mankuto yang telah diangkat menjadi Bupati Republik Indonesia di Solok. Pimpinan Muhammadiyah ini dipegangnya sampai penyerahan kedaulatan R.I tahun 1949.[28]
Februari 1950, Hamka pindah ke Jakarta dengan seluruh keluarganya. Untuk memulai hidup di kota Jakarta yang terkenal sebagai kota Metropolitan. Untuk memikul tanggung jawab harus memberi makan istri dengan delapan orang anak, Hamka mengandalkan pada honorarium buku-bukunya yang diterbitkan di Medan yang cukup laris seperti: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Falsafah Hidup dan Tasauf Modern. Di samping itu, Hamka juga mengirim tulisan-tulisan pendek ke beberapa media masa pada waktu itu seperti Surat Kabar Merdeka dan Pemandangan, Surat Kabar Abadi dan Majalah Mimbar Indonesia dan Majalah al-Hikmah.[29]
Pada awal tahun 1951, Hamka memulai karirnya sebagai Pegawai Kementerian Agama pada waktu itu menterinya K.H. Wahid Hasyim. Dalam tugas sebagai Pegawai Negeri golongan F itu, ia diserahi tugas mengajar      di beberapa Perguruan Tinggi Islam, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yokyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).[30]
Pada tahun 1952, ia mendapatkan undangan dari State Departement atau Departemen Luar Negeri Amerika mengadakan kunjungan ke Negara itu selama empat bulan. Perjalanan ke Amerika itu melalui Eropa dan pulangnya melalui Australia. Kunjungan itu merupakan perkenalannya pertama dengan dunia Barat.[31]
Dari perjalanan inilah Hamka menghasilkan dua buah buku yang berjudul Empat Bulan di Amerika I dan Empat Bulan di Amerika II.[32] Pada bulan Juli 1959, Hamka menerbitkan Majalah Tengah Bulanan “Panji masyarakat” bersama K.H Fakih Usman yang isinya menitik beratkan kepada soal-soal kebudayaan dan pengetahuan Islam. Panji Masyarakat dibredel oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960, karena majalah ini memuat karangan Dr. Muhammad Hatta yang terkenal “Demokrasi Kita”, dimana Hatta mengkritik dengan tajam konsep “Demokrasi Terpimpin” dan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Soekarno.[33]
Tahun itu pula Hamka berhenti sebagai Pegawai Negeri, mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh Rezim Soekarno yang tidak memperkenankan Pegawai Golongan F merangkap sebagai anggota salah satu partai, apalagi partai Masyumi yang dibubarkan tahun 1960.[34]
Pada tahun 1962 ia menerbitkan majalah “Gema Islam” yang dipimpin oleh Let. Jend. Sudirman dan Brig. Jend Muchlas Rawi sebagai pengganti Majalah “Panji Masyarakat” yang dibredel Soekarno.[35]
Pada tahun 1963 PKI yang sedang jaya-jayanya menyerang Hamka dengan tuduhan bahwa karangannya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan plagiat. Tuduhan itu semakin hari semakin gencar, dengan menggunakan bahasa kasar, seperti, “Skandal Sastra Terbesar”.[36] Hamka sebagai tokoh masyarakat dan ulama tidak luput dari hasutan itu, ia dituduh menyelenggarakan rapat gelap menyusun rencana pembunuhan presiden Soekarno. Dan untuk memojokkan Hamka pada situasi yang sulit, Lembaga kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang merupakan sebuah Badan Kebudayaan PKI menuduh Hamka sebagai plagiator karya Musthafa Luthfi al-Manfaluti.[37]
Apalagi setelah diperlihatkan surat perintah penahanan, berdasarkan undang-undang Anti Subversif atau Penpres No. 11 dan No. 13 yang belum lama diundangkan.[38] Tetapi terkurung di dalam penjara bukanlah alasan untuk tidak berbuat bagi bangsa dan Agama, karena di dalam penjara inilah beliau menyelesaikan karya Monumentalnya, Tafsir al- Azhar.[39]
Setelah Rezim Soekarno jatuh, Hamka dibebaskan dan pada bulan Juli 1975, Hamka menerima tawaran dari Menteri Agama, Prof. Mukti Ali, untuk menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama. Meskipun banyak kalangan yang tidak setuju dengan penerimaannya terhadap jabatannya itu, termasuk anaknya sendiri Rusydi, tetapi Hamka tetap menerima jabatan itu dengan pertimbangan bahwa kesempatan itu merupakan momen yang tepat untuk menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar pada masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.[40]
Setelah memimpin Majlis Ulama selama lebih kurang enam tahun, pada bulan April 1981, Hamka memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena ia menolak untuk mancabut fatwa ulama yang menjadi kontoversial  dalam masyarakat, yaitu tentang keharaman bagi umat Islam untuk mengikuti acara Natalan.[41] Kemundurannya ini merupakan bukti keistiqamahannya dengan fatwa yang telah disampaikan. Oleh sebab itu, dari pada mencabut fatwa, sebagaimana keinginan pemerintah, lebih baik mengundurkan diri dari kelembagaan tersebut.
Pengunduran diri Hamka ini, di luar dugaan, disambut gembira dari kalangan kaum muslimin, terbukti dengan banyaknya surat-surat dukungan yang dikirimkan kepadanya, seperti yang dikemukan sendiri oleh Hamka kepada sahabatnya,  M. Yunan Nasution, “ Waktu saya di angkat dahulu tidak ada ucapan selamat, tetapi setelah saya berhenti saya menerima ratusan telegram dan surat-surat mengucapkan selamat”.[42] Hal ini menunjukkan sikap pesimis rakyat akan kemandirian dan kemerdekaan lembaga MUI dalam memberikan fatwa, karena MUI berada dibawah naungan pemerintah. Maka umat merasa bersyukur dengan telah kembali Buya nya ke pangkuan umat setelah melepaskan diri dari “sangkar” pemerintah.[43]
Dua bulan setelah pengunduran dirinya sebagai ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Hamka masuk rumah sakit disebabkan serangan jantung. Selama satu minggu ia terbaring di Rumah Sakit Pertamina Jakarta. Kendatipun dokter telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk kesembuhanya, rupanya Allah menghendaki lain. Akhirnya pada hari Jum’at tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun Hamka memenuhi panggilan Ilahi.[44]
Demikianlah sejarah singkat Hamka yang telah dilaluinya dengan penuh pengabdian terhadap bangsa dan agama. Meskipun secara pribadi terkadang hidup dalam “Kegelapan”, namun ia tetap berupaya untuk memberikan sinar bagi kehidupan manusia, terutama umat Islam.
Bahkan setelah meninggal dunia pun, Hamka masih ikut membimbing dan menuntun bangsa Indonesia melalui puluhan warisan intelektualnya yang terpajang di berbagai perpustakaan di Indonesia.


[1] Nama itu diambil oleh ayahnya untuk mengenang anak gurunya, Syekh Ahmad Khatib di Mekkah yang bernama Abdul Malik. Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet ke-4, h.64. meskipun nama Abdul Malik berobah menjadi Hamka setelah kepulangannya dari Mekkah tahun 1927, namun dalam menjelaskan biografi Hamka ini walaupun pada masa kanak-kanak, penulis tetap menyebutnya dengan “Hamka” untuk menghindari kesalahfahaman.
[2] Hamka, Kenang-kenangan Hidup, [selanjutnya disebut Hamka, kenang-kenangan], (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet ke-3, jilid 1, h.9
[3] Abdul Karim Malik Amrullah (1879-1945) merupakan murid dari syeikh Ahmad Khatib                   al-Minangkabawiy, yang kemudian menjadi tokoh modernis di Minangkabau. Beliau juga merupakan pendiri Sekolah Thawalib Padang Panjang.
[4] Nama Saya: Hamka”, dalam Nasir Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (Editor), Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), Cet. III, h. 51
[5] Hamka, Kenang-Kenangan, op.cit., Jilid I, h. 28, lihat juga M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003), Cet. I, h. 34
[6] Surau adalah sebuah bangunan kecil yang didirikan sebagai tempat untuk belajar membaca al-Qur’an bagi anak-anak di Minangkabau, sekaligus sebagai tempat belajar adat, pencak silat, dan bahkan untuk tempaat tidur bagi anak-anak laki-laki. Azyumardi Azra, Surau: PendidikanIslam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 7
[7] Hamka, Kenang-Kenangan, op.cit.,  Jilid I, h. 54
[8] Di antara kitab yang harus dihafal Hamka adalah Matan Taqrîb, Matan Binâ, dan Fathul Qarîb.Lihat Hamka, Kenang-Kenangan, Jilid I, h. 58
[9] Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 265
[10] Di antara kasusnya adalah, Hamka pernah menolong atau membimbing orang buta yang sedang berjalan di Pasar, namun perbuatannya ini dianggap perbuatan  yang membikin malu ayahnya sebagai seorang ulama, dan akhirnya ia kenamarah. Atau pada suatu waktu Hamka juga pernah menolong seorang wanita tua yang sudah lemah fisiknya untuk membeli beras pada antrian yang sangat panjang, perbuatannya ini juga akhirnya menyebabkan ia dimarahi oleh ayahnya. Hamka, Kenang-Kenangan, op.cit.,  Jilid I, h. 45
[11] Muhammad Damami, Tasauf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yokyakarta: Fajar Pustaka Barum, 2000), cet ke-1, h. 31
[12] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, op.cit., h. 37
[13] Ibid., h. 38-39
[14] Ibid., h. 40
[15] A. R. Sutan Mansur merupakan murid dari ayahnya, Abdul Karim Amrullah, sekaligus suami kakaknya Fathimah. Yang kemudian menjadi gurunya dan merupakan diantara orang yang sangat berjasa  untuk keberhasilan Hamka. Beliau juga merupakan tokoh Muhammadiyah.
[16] Ibid., h. 41
[17] Ibid., h. 42
[18] Ibid., h. 43
[19] Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990) Cet, Desember 2005, h. 9
[20] Rusydi Hamka [selanjutnya di sebut Rusydi], Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h.22
[21] Ibid., h. 3
[22] Majalah pedoman masyarakat ini lahir tahun 1935 setelah majalah suluh islam. Majalah ini diterbitkan oleh yayasan al-Busyra yang diketuai oleh H. AsbiranYa’qub. Sebelum Hamka menduduki sebagai ketua redaksi, majalah ini merupakan majalah bulanan, tetapi setelah hamka ikut didalamnya majalah ini menjadi majalah mingguan. Muhammad Damami, op.cit., h. 56
[23] Buku-buku yang ditulisnya selama memimpin majalah ini adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, Di dalam Lembah Kehidupan, Dijemput Mamaknya, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Terusir, Margaretta Gauthier, Pedoman Muballigh, Agama dan Perempuan, Tasauf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi dan Sejarah Umat Islam 4 Julid. Ibid., h. 64-65
[24] Yunan Yusuf, op.cit., h. 46
[25] Ibid.,
[26] Ibid.,
[27] Hamka, Kenang-Kenangan, op.cit.,  Jilid 3, h. 254
[28] Ibid., h. 265
[29] Muhammad Damami, op.cit., h. 76
[30] Rusydi, op,cit., h. 4
[31] Ibid., h. 5
[32] Yunan Yusuf, op.cit., h. 49
[33] Rusydi, op,cit., h. 6
[34] Ibid.,
[35] Ibid, h. 7
[36] Ibid, h. 27
[37] Yunan Yusuf, op.cit., h. 50
[38] Ibid, h. 28. Dalam catatannya selama berada dalam tahanan Rezim Soekarno, Hamka menjelaskan ada tiga tuduhan yang dialamatkan kepadanya, yaitu tuduhan Rapat gelap di Tanggerang merencanakan pembunuhan Presiden, tuduhan subversif di Pontianak, tuduhan menghasut mahasiswa sewaktu memberikan kuliah di Ciputat., lihat Rusydi, Ibid., h. 259
[39] Yunan Yusuf, loc. cit.,
[40] Rusydi, op,cit., h. 211
[41] Pada tahun 1980 umat Islam Indonesia gelisah oleh adanya Praktek Natal bersama umat Katolik dan Protestan yang melibatkan anak-anak Islam yang belajar di sekolah Kristen. Karena itu Majelis Ulama Indonesia Pusat melalui keputusannya tanggal 7 Maret 1981, mengeluarkan fatwa yang isinya mengatakan : Haram bagi Umat Islam menghadiri upacara peringatan Natal.
Fatwa ini dianggap oleh Menteri Agama Alamsyah akan dapat mengganggu situasi kerukunan antara umat beragama di Indonesia, karena itu ia meminta agar MUI mencabut fatwa tersebut dan jika MUI tidak bersedia mencabutnya maka Alamsyah mengancam akan mengundurkan diri sebagai Menteri Agama RI. Akhirnya Hamka memutuskan bahwa tanpa membatalkan isi fatwa itu MUI mencabut peredarannya. Tapi konsekuensinya MUI dihadapkan kepada kondisi yang serba sulit dalam pandangan umat. Itulah sebabnya pada tanggal 30 April 1981, Hamka mengundurkan diri sebagai Ketua Umum MUI: Ibid., h. 218
[42] Ibid., h. 221
[43] Ibid.,
[44] Rusydi, Ibid., h. 230

1 comment:

  1. Ayam Bangkok Merupakan Ayam Paling Ganas yang ada di Dunia, Namun Selain itu ada juga Ayam Jago Pakhoy, apakah anda sudah mengetahui manakah sesungguhnya yang paling jago ?

    Baca selengkapnya klik Link : https://pemainayam.vip/keuntungan-dan-kelebihan-ayam-jago-pakhoy/

    Blog Ayam Jago Indonesia !

    ReplyDelete