MENGENAL HAMKA
A. Biografi HAMKA
a. Riwayat
Hidup Hamka
1. Kelahiran
dan Keluarga Hamka
Hamka merupakan akronim dari Haji Abdul Malik
Karim Amrullah. Nama kecilnya adalah Abdul Malik.[1] Hamka dilahirkan di
Maninjau, tepatnya di Tanah Sirah Nagari Sungai Batang, pada hari Ahad tanggal
13 Muharram tahun 1326 H, bertepatan dengan 16 Februari 1908 M.[2] Ia merupakan putra dari
Dr. H. Abdul Karim Amrullah.[3] Ayah Hamka adalah seorang
ulama Islam terkenal pembawa faham-faham pembaharuan Islam di Minangkabau.
Ibunya bernama Siti Safiyah. Ayah dari ibunya itu bernama Gelanggang gelar
Bagindo nan Batuah. Di waktu mudanya terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan
pencak silat. Dari Gelanggang itulah, di waktu masih kecil Hamka selalu
mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan mendalam. Hamka meninggal pada 24 Juli 1981 bertepatan dengan bulan Ramadhan.[4]
2. Pendidikan
Hamka
Hamka mengawali pendidikannya mempelajari
Al-Quran di rumah orang tuanya saat mereka pindah dari Maninjau ke Padang
Panjang, pada tahun 1914.[5] Setelah mencapai usia
tujuh tahun, Hamka kecil dimasukkan ayahnya ke sekolah desa. Selanjutnya pada
tahun 1916, Hamka masuk Sekolah Diniyah di Pasar Usang Padang Panjang yang
didirikan oleh Zainuddin Labai El-Yunusiy. Pagi hari Hamka pergi ke sekolah
Desa, sore hari pergi ke Sekolah Diniyah, dan pada malam hari belajar di surau[6] bersama teman-teman
sebayanya.[7]
Pada tahun 1918, Surau Jembatan Besi, tempat
ayahnya memberikan pelajaran agama diubah menjadi madrasah, yang kemudian
dikenal dengan Thawalib School. Dengan tujuan agar anaknya kelak menjadi
ulama, Hamka dimasukkan ke Thawalib School, dan berhenti dari sekolah
desa. Keharusan menghafal membuat Hamka cepat bosan dan malas: “memusingkan
kepala” demikian istilah Hamka. Meskipun demikian setiap tahun ia naik kelas
hingga menduduki kelas empat.[8]
Di sekolah-sekolah itulah Hamka untuk pertama
kalinya mengenal al-Qur’an dan bahasa Arab. Namun
sayang, pendidikannya di beberapa sekolah itu tidak dilewatinya dengan
sepantasnya, karena ia merasa tidak menemukan hal yang dicarinya. Kekecewaan
itu akhirnya berimplikasi kepada sikap dan perangainya di waktu kecil. Konsekuensinya
Hamka kecil dikenal sebagai seorang “pemberontak”, ia bukan hanya “anak bandel”
tapi juga sedikit preman, hobinya di waktu remaja mencakup adu ayam, jadi joki
dalam pacuan kuda, dan suka “petantang petenteng”.[9] Menurut Hamka sendiri,
kenakalannya makin menjadi setelah dia menghadapi dua hal yang sama sekali
belum dapat dia fahami, pertama, dia tidak mengerti mengapa ayahnya
memarahi apa yang dilakukannya, sedangkan menurut pertimbangan akalnya justru
apa yang telah dilakukannya itu sesuai dengan anjuran ayahnya sendiri,[10] dan kedua adalah
perceraian antara ayah dan ibunya.[11] Perjalanan kehidupan
dirasakan Hamka sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, sangat mengekang
kebebasan kanak-kanaknya, yang kemudian diramu dengan sikap ayahnya yang
otoriter.
Pada 1923 Hamka mengalami suatu peristiwa
yang mengguncangkan jiwanya, ayahnya bercerai dengan ibunya. Hamka pun niat
berangkat ke tanah Jawa. Namun di Bengkulen, ia terkena wabah cacar. Dua bulan
lamanya Hamka di pembaringan. Setelah sembuh, ia kembali ke Padang Panjang
dengan wajah yang penuh bekas cacar. Setahun kemudian, yakni 1924 Hamka
berangkat ke tanah Jawa.[12]
Pencarian ilmu di tanah Jawa itu, ia mulai
dari kota Yogyakarta. Lewat Ja’far Amrullah, pamannya, Hamka kemudian mendapat
kesempatan mengikuti kursus kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan
Syarikat Islam. Dalam kesempatan ini Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo,
dan dari dia Hamka mendapatkan pelajaran tafsir Quran. Ia juga bertemu dengan
HOS Cokroaminoto dan mendengar ceramahnya tentang Islam dan Sosialisme. Hamka
juga berdialog dengan tokoh-tokoh penting lainnya seperti, Haji Fachruddin dan
Syamsul Ridjal, tokoh Jong Islamieten Bond.[13]
Kota Yogyakarta telah memberikan sesuatu yang baru bagi
kesadaran keagamaan Hamka. Sebagaimana menurut pengakuannya bahwa Islam sebagai
sesuatu yang hidup yang menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang
dinamis.[14]
Hamka berada di Pekalongan selama lebih kurang enam
bulan. Dari A.R. Sutan Mansur,[15] menantu ayahnya yang
menetap di Pekalongan, itu Hamka memperoleh “jiwa perjuangan” meminjam istilah
Hamka sendiri.[16]
Pada usia 17 tahun Hamka kembali ke
Minangkabau. Setelah sampai di kampung halamannya, Hamka aktif dalam memberikan
tabligh di Maninjau, Padang Panjang dan kampung-kampung di sekitarnya.
Adapun materi yang disampaikan adalah seputar semangat perjuangan yang telah
diramunya dari pendidikan Ki Bagus Hadikusumo, H. Fakhruddin, H.O.S
Cokroaminoto dan kakak iparnya A.R. Sutan Mansur. Di samping itu, ia juga mulai
mengadakan kursus-kursus pidato di kalangan kawan-kawannya dan tabligh
Muhammadiyah yang didirikan ayahnya di surau Padang Panjang. Hasil dari kursus
itu kemudian diedit oleh Hamka dan diberi judul “Kitabul Ummah”.[17]
Inilah pengalaman pertama yang cukup berhasil dalam karangan Hamka yang
pertama.
Tetapi Hamka menyadari dalam berpidato dan
menulis saja tidak cukup. Apalagi ia sudah sering dicemooh karena
kesalahan-kesalahan yang dilakukannya dalam membaca teks Arab karena
pengetahuan bahasa Arabnya tidak matang, kenyataan ini memotivasi Hamka untuk
meninggalkan kampung halamannya untuk berangkat ke Mekkah.[18]
Di
awal tahun 1927 dia berangkat dengan kemauannya sendiri ke Makkah, sambil menjadi koresponden harian
“Pelita Andalas” di Medan. Pulang dari sana dia menulis di majalah “Seruan
Islam” di Tanjung Pura (Langkat), dan pembantu dari “Bintang Islam”
dan “Suara Muhammadiyah” Yogyakarta.[19]
3. Karir
Hamka
Sekembalinya dari Mekkah, dalam rangka
mengobati luka hati ayahnya yang sedang bersedih karena rumahnya di Padang
Panjang hancur tertimpa gempa bumi, pelajar Thawalib membangkang dan Belanda
selalu mengintai gerak geriknya, maka pada April 1929, Hamka menikah dengan
Siti Raham, dia sendiri baru berusia 21 tahun dan Istrinya 15 tahun.[20] Setelah menikah Hamka
aktif sebagai pengurus Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Pada tahun 1930, ia
diutus oleh cabang Muhammadiyah Padang Panjang mendirikan Muhammadiyah di
Bengkalis, di sana langsung mengahadiri kongres Muhammadiyah ke-20 di
Yokyakarta (1930). Akhir tahun 1931 dia diutus oleh pengurus besar Muhammadiyah
Yokyakarta ke Makasar menjadi Muballigh Muhammadiyah dalam tugas khusus
menggerakkan semangat menyambut kongres Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di
Makasar.[21]
Pada taanggal 22 Januari 1936, Hamka pindah
ke Medan memimpin majalah “Pedoman Masyarakat”[22] melalui majalah
ini, Hamka secara maksimal menyalurkan bakat tulis-menulisnya, sehingga tidak
kurang 14 buku yang ditulisnya selama memimpin Majalah tersebut.[23] Selain itu Hamka juga
aktif dalam gerakan Muhammadiyah Sumatera Timur, apalagi setelah ditunjuk untuk
menggantikan H. Muhammad Said, sebagai konsul (ketua) Muhammadiyah Sumatera
Timur.
Pada tahun 1942, Jepang mendarat di kota
Medan. Kehadiran Jepang ini tidak sedikit membawa perobahan. Majalah “Panji
Masyarakat” dibredel, bendera Merah Putih tidak boleh dinaikkan dan segala
bentuk perserikatan dan perkumpulan dilarang. Semua rakyat harus turut serta
dalam membantu cita-cita memenangkan perang Asia Timur Raya.[24]
Hampir semua masyarakat kecewa dengan keadaan
ini. Namun Hamka memperoleh kedudukan istimewa dari pemerintah Jepang. Sebagai
tokoh Muhammadiyah dan tokoh masyarakat, Hamka diangkat sebagai anggota Syu
Sangi Kai, Dewan Perwakilan Rakyat, pada tahun 1944. Dalam kedudukan ini
Hamka diminta pertimbangan oleh Jepang untuk mengatasi masalah-masalah yang
timbul dari kalangan Umat Islam.[25] Namun jabatan ini membuat Hamka
menjadi tersisih di masyarakat Medan, bahkan dari Organisasi Muhammadiyah.
Kritik dan sumpah serapah dihadapkan kepadanya, sehingga Hamka harus “lari
malam” dari Kota Medan.[26]
Peristiwa ini merupakan cobaan terberat yang
dialami oleh Hamka selama hidupnya, menurutnya, cobaan meninggalnya Ibunya pada
tahun 1934 atau meninggalnya ayahnya di pembuangan dua bulan sebelum Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia sebelum ia sempat menjemput dan membawanya pulang
kampung, atau karangannya “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, difitnah
oleh PKI sebagai plagiat, atau ditangkap pada Januari 1944 karena dituduh
mendirikan komplotan hendak membunuh Presiden Soekarno, atau bahkan cobaan
meninggalnya Istri yang selalu mendampinginya dalam suka dan duka pada tahun
1972, tidaklah sepahit cobaan yang dihadapinya pada saat ia harus “lari malam”
dari kota Medan akibat menerima jabatan yang ditawarkan Jepang.[27]
Sekembalinya dari Medan ke Minangkabau, pada
bulan Mei 1946 Hamka dipilih oleh Konfrensi Muhammadiyah Sumatera Barat menjadi
Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat, menggantikan kedudukan S.Y.
Sutan Mankuto yang telah diangkat menjadi Bupati Republik Indonesia di Solok.
Pimpinan Muhammadiyah ini dipegangnya sampai penyerahan kedaulatan R.I tahun
1949.[28]
Februari 1950, Hamka pindah ke Jakarta dengan
seluruh keluarganya. Untuk memulai hidup di kota Jakarta yang terkenal sebagai
kota Metropolitan. Untuk memikul tanggung jawab harus memberi makan istri
dengan delapan orang anak, Hamka mengandalkan pada honorarium buku-bukunya yang
diterbitkan di Medan yang cukup laris seperti: Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Falsafah Hidup dan Tasauf Modern. Di
samping itu, Hamka juga mengirim tulisan-tulisan pendek ke beberapa media masa
pada waktu itu seperti Surat Kabar Merdeka dan Pemandangan, Surat Kabar
Abadi dan Majalah Mimbar Indonesia dan Majalah al-Hikmah.[29]
Pada awal tahun 1951, Hamka memulai karirnya
sebagai Pegawai Kementerian Agama pada waktu itu menterinya K.H. Wahid Hasyim.
Dalam tugas sebagai Pegawai Negeri golongan F itu, ia diserahi tugas mengajar di beberapa Perguruan Tinggi Islam,
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yokyakarta, Universitas Islam
Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padang Panjang,
Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, dan Universitas Islam Sumatera
Utara (UISU).[30]
Pada tahun 1952, ia mendapatkan undangan dari
State Departement atau Departemen Luar Negeri Amerika mengadakan kunjungan ke
Negara itu selama empat bulan. Perjalanan ke Amerika itu melalui Eropa dan
pulangnya melalui Australia. Kunjungan itu merupakan perkenalannya pertama
dengan dunia Barat.[31]
Dari perjalanan inilah Hamka menghasilkan dua
buah buku yang berjudul Empat Bulan di Amerika I dan Empat Bulan di
Amerika II.[32] Pada bulan Juli 1959, Hamka
menerbitkan Majalah Tengah Bulanan “Panji masyarakat” bersama K.H Fakih
Usman yang isinya menitik beratkan kepada soal-soal kebudayaan dan pengetahuan
Islam. Panji Masyarakat dibredel oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960,
karena majalah ini memuat karangan Dr. Muhammad Hatta yang terkenal “Demokrasi
Kita”, dimana Hatta mengkritik dengan tajam konsep “Demokrasi Terpimpin”
dan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Soekarno.[33]
Tahun itu pula Hamka berhenti sebagai Pegawai
Negeri, mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh Rezim Soekarno yang tidak
memperkenankan Pegawai Golongan F merangkap sebagai anggota salah satu partai,
apalagi partai Masyumi yang dibubarkan tahun 1960.[34]
Pada tahun 1962 ia menerbitkan majalah “Gema
Islam” yang dipimpin oleh Let. Jend. Sudirman dan Brig. Jend Muchlas Rawi
sebagai pengganti Majalah “Panji Masyarakat” yang dibredel Soekarno.[35]
Pada tahun 1963 PKI yang sedang jaya-jayanya
menyerang Hamka dengan tuduhan bahwa karangannya Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck merupakan plagiat. Tuduhan itu semakin hari semakin gencar, dengan
menggunakan bahasa kasar, seperti, “Skandal Sastra Terbesar”.[36] Hamka sebagai tokoh masyarakat
dan ulama tidak luput dari hasutan itu, ia dituduh menyelenggarakan rapat gelap
menyusun rencana pembunuhan presiden Soekarno. Dan untuk memojokkan Hamka pada
situasi yang sulit, Lembaga kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang merupakan sebuah
Badan Kebudayaan PKI menuduh Hamka sebagai plagiator karya Musthafa Luthfi
al-Manfaluti.[37]
Apalagi setelah diperlihatkan surat perintah
penahanan, berdasarkan undang-undang Anti Subversif atau Penpres No. 11 dan No.
13 yang belum lama diundangkan.[38] Tetapi terkurung di dalam
penjara bukanlah alasan untuk tidak berbuat bagi bangsa dan Agama, karena di
dalam penjara inilah beliau menyelesaikan karya Monumentalnya, Tafsir al-
Azhar.[39]
Setelah Rezim Soekarno jatuh, Hamka dibebaskan
dan pada bulan Juli 1975, Hamka menerima tawaran dari Menteri Agama, Prof.
Mukti Ali, untuk menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama.
Meskipun banyak kalangan yang tidak setuju dengan penerimaannya terhadap
jabatannya itu, termasuk anaknya sendiri Rusydi, tetapi Hamka tetap menerima
jabatan itu dengan pertimbangan bahwa kesempatan itu merupakan momen yang tepat
untuk menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar pada masyarakat
Indonesia yang mayoritas Muslim.[40]
Setelah memimpin Majlis Ulama selama lebih
kurang enam tahun, pada bulan April 1981, Hamka memutuskan untuk mengundurkan
diri dari jabatan sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena ia
menolak untuk mancabut fatwa ulama yang menjadi kontoversial dalam masyarakat, yaitu tentang keharaman
bagi umat Islam untuk mengikuti acara Natalan.[41] Kemundurannya ini
merupakan bukti keistiqamahannya dengan fatwa yang telah disampaikan. Oleh
sebab itu, dari pada mencabut fatwa, sebagaimana keinginan pemerintah, lebih
baik mengundurkan diri dari kelembagaan tersebut.
Pengunduran diri Hamka ini, di luar dugaan,
disambut gembira dari kalangan kaum muslimin, terbukti dengan banyaknya
surat-surat dukungan yang dikirimkan kepadanya, seperti yang dikemukan sendiri
oleh Hamka kepada sahabatnya, M. Yunan
Nasution, “ Waktu saya di angkat dahulu tidak ada ucapan selamat, tetapi
setelah saya berhenti saya menerima ratusan telegram dan surat-surat
mengucapkan selamat”.[42] Hal ini menunjukkan sikap
pesimis rakyat akan kemandirian dan kemerdekaan lembaga MUI dalam memberikan
fatwa, karena MUI berada dibawah naungan pemerintah. Maka umat merasa bersyukur
dengan telah kembali Buya nya ke pangkuan umat setelah melepaskan diri dari
“sangkar” pemerintah.[43]
Dua bulan setelah pengunduran dirinya sebagai
ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Hamka masuk rumah sakit disebabkan serangan
jantung. Selama satu minggu ia terbaring di Rumah Sakit Pertamina Jakarta.
Kendatipun dokter telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk
kesembuhanya, rupanya Allah menghendaki lain. Akhirnya pada hari Jum’at tanggal
24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun Hamka memenuhi panggilan Ilahi.[44]
Demikianlah sejarah singkat Hamka yang telah
dilaluinya dengan penuh pengabdian terhadap bangsa dan agama. Meskipun secara
pribadi terkadang hidup dalam “Kegelapan”, namun ia tetap berupaya untuk
memberikan sinar bagi kehidupan manusia, terutama umat Islam.
Bahkan setelah meninggal
dunia pun, Hamka masih ikut membimbing dan menuntun bangsa Indonesia melalui
puluhan warisan intelektualnya yang terpajang di berbagai perpustakaan di
Indonesia.
[1] Nama itu
diambil oleh ayahnya untuk mengenang anak gurunya, Syekh Ahmad Khatib di Mekkah
yang bernama Abdul Malik. Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet
ke-4, h.64. meskipun nama Abdul Malik berobah menjadi Hamka setelah
kepulangannya dari Mekkah tahun 1927, namun dalam menjelaskan biografi Hamka
ini walaupun pada masa kanak-kanak, penulis tetap menyebutnya dengan “Hamka”
untuk menghindari kesalahfahaman.
[2] Hamka, Kenang-kenangan
Hidup, [selanjutnya disebut Hamka, kenang-kenangan], (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), cet ke-3, jilid 1, h.9
[3] Abdul Karim
Malik Amrullah (1879-1945) merupakan murid dari syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawiy, yang
kemudian menjadi tokoh modernis di Minangkabau. Beliau juga merupakan pendiri
Sekolah Thawalib Padang Panjang.
[4]
Nama Saya: Hamka”, dalam Nasir Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari
(Editor), Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), Cet.
III, h. 51
[5]
Hamka, Kenang-Kenangan, op.cit., Jilid I, h. 28, lihat juga M. Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2003), Cet. I, h. 34
[6] Surau adalah
sebuah bangunan kecil yang didirikan sebagai tempat untuk belajar membaca
al-Qur’an bagi anak-anak di Minangkabau, sekaligus sebagai tempat belajar adat,
pencak silat, dan bahkan untuk tempaat tidur bagi anak-anak laki-laki.
Azyumardi Azra, Surau: PendidikanIslam Tradisional dalam Transisi dan
Modernisasi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 7
[7] Hamka, Kenang-Kenangan,
op.cit., Jilid I, h. 54
[8] Di
antara kitab yang harus dihafal Hamka adalah Matan Taqrîb, Matan Binâ,
dan Fathul Qarîb.Lihat Hamka, Kenang-Kenangan, Jilid I, h. 58
[9] Azyumardi
Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta:
Gramedia, 2002), h. 265
[10] Di antara
kasusnya adalah, Hamka pernah menolong atau membimbing orang buta yang sedang
berjalan di Pasar, namun perbuatannya ini dianggap perbuatan yang membikin malu ayahnya sebagai seorang
ulama, dan akhirnya ia kenamarah. Atau pada suatu waktu Hamka juga pernah
menolong seorang wanita tua yang sudah lemah fisiknya untuk membeli beras pada
antrian yang sangat panjang, perbuatannya ini juga akhirnya menyebabkan ia
dimarahi oleh ayahnya. Hamka, Kenang-Kenangan, op.cit., Jilid I, h. 45
[11]
Muhammad Damami, Tasauf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yokyakarta:
Fajar Pustaka Barum, 2000), cet ke-1, h. 31
[12]
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, op.cit., h.
37
[13] Ibid., h.
38-39
[14] Ibid., h.
40
[15] A. R. Sutan
Mansur merupakan murid dari ayahnya, Abdul Karim Amrullah, sekaligus suami
kakaknya Fathimah. Yang kemudian menjadi gurunya dan merupakan diantara orang
yang sangat berjasa untuk keberhasilan
Hamka. Beliau juga merupakan tokoh Muhammadiyah.
[16] Ibid., h.
41
[17] Ibid., h.
42
[18] Ibid., h.
43
[19] Hamka, Tasawuf
Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990) Cet, Desember 2005, h. 9
[20] Rusydi Hamka
[selanjutnya di sebut Rusydi], Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1983), h.22
[21] Ibid.,
h. 3
[22] Majalah
pedoman masyarakat ini lahir tahun 1935 setelah majalah suluh islam. Majalah
ini diterbitkan oleh yayasan al-Busyra yang diketuai oleh H. AsbiranYa’qub.
Sebelum Hamka menduduki sebagai ketua redaksi, majalah ini merupakan majalah
bulanan, tetapi setelah hamka ikut didalamnya majalah ini menjadi majalah
mingguan. Muhammad Damami, op.cit., h. 56
[23] Buku-buku yang
ditulisnya selama memimpin majalah ini adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, Di dalam
Lembah Kehidupan, Dijemput Mamaknya, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur,
Terusir, Margaretta Gauthier, Pedoman Muballigh, Agama dan Perempuan, Tasauf
Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi dan Sejarah Umat Islam 4
Julid. Ibid., h. 64-65
[24] Yunan Yusuf, op.cit.,
h. 46
[25] Ibid.,
[26] Ibid.,
[27] Hamka, Kenang-Kenangan,
op.cit., Jilid 3, h. 254
[28] Ibid., h.
265
[29] Muhammad
Damami, op.cit., h. 76
[30] Rusydi, op,cit.,
h. 4
[31] Ibid., h.
5
[32] Yunan Yusuf, op.cit.,
h. 49
[33] Rusydi, op,cit.,
h. 6
[34] Ibid.,
[35] Ibid, h.
7
[36] Ibid, h.
27
[37] Yunan Yusuf, op.cit.,
h. 50
[38] Ibid, h.
28. Dalam catatannya selama berada dalam tahanan Rezim Soekarno, Hamka
menjelaskan ada tiga tuduhan yang dialamatkan kepadanya, yaitu tuduhan Rapat
gelap di Tanggerang merencanakan pembunuhan Presiden, tuduhan subversif di
Pontianak, tuduhan menghasut mahasiswa sewaktu memberikan kuliah di Ciputat.,
lihat Rusydi, Ibid., h. 259
[39] Yunan Yusuf, loc.
cit.,
[40] Rusydi, op,cit.,
h. 211
[41] Pada tahun
1980 umat Islam Indonesia gelisah oleh adanya Praktek Natal bersama umat
Katolik dan Protestan yang melibatkan anak-anak Islam yang belajar di sekolah
Kristen. Karena itu Majelis Ulama Indonesia Pusat melalui keputusannya tanggal
7 Maret 1981, mengeluarkan fatwa yang isinya mengatakan : Haram bagi Umat Islam
menghadiri upacara peringatan Natal.
Fatwa ini
dianggap oleh Menteri Agama Alamsyah akan dapat mengganggu situasi kerukunan
antara umat beragama di Indonesia, karena itu ia meminta agar MUI mencabut
fatwa tersebut dan jika MUI tidak bersedia mencabutnya maka Alamsyah mengancam
akan mengundurkan diri sebagai Menteri Agama RI. Akhirnya Hamka memutuskan
bahwa tanpa membatalkan isi fatwa itu MUI mencabut peredarannya. Tapi
konsekuensinya MUI dihadapkan kepada kondisi yang serba sulit dalam pandangan
umat. Itulah sebabnya pada tanggal 30 April 1981, Hamka mengundurkan diri
sebagai Ketua Umum MUI: Ibid., h. 218
[42] Ibid., h.
221
[43] Ibid.,
[44] Rusydi, Ibid.,
h. 230
Ayam Bangkok Merupakan Ayam Paling Ganas yang ada di Dunia, Namun Selain itu ada juga Ayam Jago Pakhoy, apakah anda sudah mengetahui manakah sesungguhnya yang paling jago ?
ReplyDeleteBaca selengkapnya klik Link : https://pemainayam.vip/keuntungan-dan-kelebihan-ayam-jago-pakhoy/
Blog Ayam Jago Indonesia !