A.
Metodologi
Penafsiran Kitab at-Tahrîr wa
at-Tanwîr
Kitab at-Tahrîr wa
at-Tanwîr karya Ibn Asyûr ini salah satu kitab tafsir kontemporer. Menulis sebuah
kitab tafsir merupakan salah satu impian terbesar Imam yang berasal dari Tunis
ini.[1]
Sebuah kitab tafsir yang tidak hanya berbicara seputar akherat yang mengabaikan
urusan dunia, sebuah kitab tafsir yang sangat teliti dalam menyeleksi dari
perkataan ulama.
Impian mulia
beliau yang besar ini diupayakan agar menjadi suatu kenyataan. Berbagai persiapan telah dijalani
untuk meraih citanya. Dengan memohon kepada Rabb yang memiliki segalanya Ibn
Asyûr pun melakukan shalat istikharah agar dijauhkan dari kesalahan. Satu hal
yang mendorong Ibn Asyûr untuk menulis kitab tafsir adalah keberadaan kitab
tafsir hanya pemindahan bahasa dari seorang mufassir ke mufassir lain. peran
seorang mufassir dalam menyelesaikan kitabnya hanya talkhis dan
menjabarkan tafsir yang telah ada.[2]
Beberapa kitab
tafsir yang sering dijadikan rujukan adalah; tafsir al-Kasysyâf karya
az-Zamakhsyary, al-Muharrar al-Wajîz-nya Ibn ‘Athiyah, Mafâtih
al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Baydhâwi yang merupakan
ringkasan tafsir al-Kasysyâf, dan Mafâtih al-Ghaib dengan tahqiq
yang indah dan tafsir as-Syihâb al-Alusi. Lebih lanjut Ibn Asyûr juga
merujuk pada komentar-komentar at-Thaibi, al-Qazwaini, al-Quthub, dan
at-Taftazany atas tafsir al-Kasysyâf, dan komentar al-Khafaji atas
tafsir al-Baydhâwi. Di samping tafsir Bani Sa’ud, tafsir Qurthuby,
tafsir al-Ahkam, tafsir Imam Muhammad Ibn Jarir at-Thabary.[3]
Ibn Asyûr
menitikberatkan penjelasannya terhadap ayat al-Quran dengan pendekatan I’jaz,
linguistik Arab (balaghah), gaya bahasa, dan keselarasan antara satu ayat
dengan ayat lain.
وقد اهتممت في
تفسيري ها ببيان وجوه الإعجاز ونكت البلاغة العربية وأساليب الإستعمال، واهتممت
أيضا ببيان تناسب الآى بعضها ببعض.[4]
Saya
sangat memprioritaskan pada tafsir saya ini penjelasan bentuk I’jaz,
kajian balaghah, gaya bahasa, dan penggunaannya. Dan saya juga memprioritaskan menjelaskan
keserasian ayat.
Penjelasan ayat
al-Quran dengan pendekatan keselarasan ayat ini telah dilakoni oleh Burhanuddin
al-Biqa’i dalam kitabnya Nadzmu ad-Durar fî Tanâsub al-Ayy wa as-Suar dan
juga sebuah metode kajian tafsir yang digeluti oleh Fakhruddin ar-Razi.
Meskipun kedua ulama telah berusaha mengkaji al-Quran dari sudut keindahan
susunan ayatnya, Ibn Asyûr juga mengkritisi kedua tafsir ini yang kurang
memberikan penjelasan di beberapa ayat. Kurangnya penjelasan di kitab tafsir
ini membuat sulit pembaca dalam memahami kandungan bukunya.[5]
Kekurangan
tafsir al-Biqa’i dan Fakhruddin ar-Razi –menurut Ibn Asyûr- dijadikannya
sebagai bahan bandingan dan tantangan tersendiri agar tafsir yang dihasilkannya
tidak sama dengan dua tafsir tersebut. Sehingga Ibn Asyûr lebih berhati-hati
dan berlama-lama dalam menjelaskan makna satu ayat. Beliau tidak pindah kepada
ayat berikutnya sebelum menjelaskan dengan sempurna. Ibn Asyûr lebih
menitikberatkan penafsirannya dengan menjelaskan makna mufradat dan menghindari berlama-lama menjelaskan makna
kata yang sudah dilakukan ahli bahasa dalam kamus dan mu’jam.[6]
Langkah
sistematis yang dijalani Ibn Asyûr ini diharapkan agar para pembaca dapat
dengan mudah memahami maksud ayat dan mendapatkan manfaat sesuai dengan kondisinya.
Kitabnya meskipun tidak setebal kitab lain, namun kandungan dan isinya cukup
luas.
وسميت ( تحرير
المعنى السديد وتنوير العقل الجديد من تفسير الكتاب المجيد) واختصرت هذا الاسم
باسم ( التحرير والتنوير من التفسير)[7]
Saya menamainya dengan Tahrîr al-Ma’na as-Sadîd wa Tanwîr al-Aql al-Jadîd
min Tafsîr al-Kitab al-Madjîd. Dan saya ringkas dengan nama at-Tahrîr wa
at-Tanwîr min at-Tafsîr.
Untuk nama
tafsirnya, Ibn Asyûr menyebutkan di muqaddimah tafsinya dengan nama Tahrîr
Ma’na al-Sadîd wa Tanwîr al-Aqli al-Jadîd min Tafsîr Kitab al-Majîd. Nama
tafsir yang cukup panjang ini beliau ringkas sendiri dengan nama al-Tahrir
wa at-Tanwir min al-Tafsîr.
Dari penamaan ini dapat
dilihat bahwa Ibn ‘Âsyûr dalam kitab tafsirnya memiliki dua keinginan, yaitu
pertama: mengungkap makna al-Qur’an, kedua: mengemukakan ide-ide baru terhadap
pemahaman al-Qur’an.
Salah satu keistimewaan
kitab ini adalah terletak pada mukaddimahnya, di mana sebelum masuk ke dalam
pembahasan tafsir ayat-ayat al-Qur’an, Ibn ‘Âsyûr terlebih dahulu memberikan
sepuluh mukaddimah. Adapun
mukaddimah tersebut berisikan berbagai hal yang dapat membantu pembaca kitab tafsirnya. Berikut ini akan
disebutkan kesepuluh muqaddimah tersebut dengan ringkas;
Pertama, berbicara tentang tafsir, takwil dan posisi
tafsir sebagai ilmu. Tafsir menurut Ibn ‘Âsyûr adalah ilmu yang dimiliki oleh
seorang mufasir untuk menjelaskan makna lafal al-Qur’an, dan
persoalan-persoalan yang bisa dipetik dari makna al-Qur’an dengan penjabaran
panjang atau pendek.[8]
Tafsir menurut
Ibn Asyûr merupakan awal Islamic studies yang muncul. Menurut beliau,
tafsir sudah muncul semenjak zaman Nabi, berdalilkan kepada pertanyaan yang
diajukan para sahabat kepada Nabi Muhammad Saw[9]..
Sedangkan penulisannya dilakukan pertama kali oleh Abdul Malik Ibn Juraij
al-Makki[10],
yang menulis tafsirnya dengan merujuk kepada perkataan para sahabat.[11]
Kedua, membicarakan tentang alat bantu (istimdâd)
ilmu tafsir. Yang menjadi istimdâd ilmu tafsir adalah bahasa Arab yang
meliputi ilmu an-Nahwu, al-sharf, al-ma’âniy dan al-bayân, serta ilmu-ilmu
seperti ushȗl al-fîqh, ilmu Kalam, ilmu qirâ’at dan lain-lain. [12]
Selain ilmu yang
disebutkan di atas, satu cabang ilmu yang harus dijadikan sebagai bahan rujukan
tafsir adalah syi’ir Arab. Merujuk kepada perkataan Umar dan Ibn Abbas.
فقال عمر ( عليكم يديوانكم
لا تضلوا، هو شعر العرب فيه تفسير كتابكم ومعانى كلامكم) وعن ابن عباس ( الشعر
ديوان العرب فإذا خفى علينا الحرف من القرآن الذي أنزله الله بلغتهم رجعنا إلى
ديوانهم فلتمسنا معرفة ذلك منه)[13]
Umar berkata; hendaklah
kalian berpegang dengan diwan kalian, niscaya kalian tidak akan
tersalah. Diwan adalah syi’ir Arab,
padanya terdapat tafsir al-Quran dan juga makna percakapan kalian. Umar
juga berkata; syi’ir adalah diwannya orang Arab, jika sulit bagi kami
satu huruf al-Quran yang diturunkan dengan bahasa kalian, maka kami akan
merujuk pada diwan, di sana ada jawabannya.
Ibn Abbas dan Umar
menerangkan bahwa syi’ir Arab memiliki peranan yang besar dalam tafsir. Bahkan
dengan merujuk kepada syi’ir peluang tersalah dalam tafsir semakin minim.
Ketiga, Penegasan Ibn ‘Âsyûr tentang sahnya tafsir
tanpa nukilan (ma’tsȗr) atau yang disebut dengan tafsir bi
al-rayi. Dalam mukaddimah ketiga ini beliau menjelaskan panjang lebar
tentang kebolehan mempergunakan ra’yu dalam penafiran al-Qur’an.[14]
Kalaulah tafsir bi al-ra’yi dilarang tentu tafsir al-Quran tidak akan menghabis beberapa
lembar kertas saja. Sedangkan Rasulullah Saw. sendiri tidak menafsirkan ayat
al-Quran kecuali sedikit, apa yang telah diajarkan Jibril kepada beliau.[15]
Perjalanan waktu menuntut para ulama untuk mengkaji lebih jauh apa yang
dimaksud dari al-Quran. Sehingga para ulama pernah mengungkapkan bahwa sedikit
membaca al-Quran dengan mengkaji maksudnya lebih utama daripada banyak membaca
tanpa mendalami kandungan ayat.
Hadis riwayat at-Tirmidzi,
Abu Daud, dan an-Nasai dari Ibn Abbas berbunyi;
أن النبي صلى الله عليه
وسلم قال ( من تكلم في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ[16]
Nabi
Saw. bersabda siapa saja yang berbicara tentang al-Quran dengan akal semata,
sungguh dia telah salah meskipun yang dia bicarakan itu benar
Hadis di atas melarang
seseorang untuk berbicara tentang al-Quran denga akalnya, selain hadis di atas
masih ada beberapa riwayat lain yang semakna dengan hadis tersebut. Setelah
memberikan berbagai argumentasi bagaimana mungkin dicukupkan kepada apa yang
telah ditafsirkan Rasul saja, sedangkan zaman terus berganti, dan masa pun
berobah. Umat Islam butuh kepada tafsir yang baru. Untuk itu, Ibn Asyûr
memahami bahwa yang dimaksud dari hadis di atas adalah satu dari lima golongan
berikut;
Pertama, memahami al-Quran
dengan logika secara mutlak, tanpa memperhatikan dalil kebahasaan, maqashid
syari’ah, dan timbangan bahasanya. Seorang mufassir mesti tau dengan nasekh dan
mansukhnya ayat, sabab nuzul, dan maqashid syari’ah.[17]
Kedua, tidak mentadabburi al-Quran dengan
sunguh-sungguh. Tidak menafsirkan dengan sungguh ini salah satu penjabarannya
adalah tidak memperhatikan ayat al-Quran secara keseluruhan, memahami ayat
dengan setengah-setengah.[18]
Contohnya, membaca ayat Ma ashabaka min hasanatin fa minaLLah. Zhahir
ayat ini bermakna bahwa kebaikan berasal dari Allah dan keburukan berasal dari
perbuatan manusia. Sedangkan ayat di atasnya berbunyi, Qul kullun min
‘indillah. Semuanya itu berasal dari Allah.
Ketiga, menafsirkan
al-Quran sesuai dengan seleranya sendiri, menafsirkan al-Quran bukan dengan
alatnya akan tetapi menafsirkan al-Quran dengan harapan bisa menguatkan mazhab
dan kelompoknya sendiri.
Keempat, mempersempit
makna al-Quran. artinya seseorang menafsirkan al-Quran berdasakan bahasa,
lantas berkeyakinan bahwa hanya itulah yang dimaksud oleh ayat, tidak ada maksud
lain.
Kelima, yang dimaksud
dengan tahzir dari riwayat di atas adalah sifat kerendahatian seseorang.
Menafsirkan al-Quran bukanlah perkara gampang yang bisa dilakoni sembarang
orang, mesti ada persiapan untuk melakukannya.[19]
Meskipun Ibn Asyûr dalam
awalnya menyatakan kebolehan menafsirkan al-Quran dengan akal, tidak semua
tafsir dengan logika yang dibolehkan. Ada yang dilarang, atau yang dinamakan
dengan Tafsîr bi ra’yi al-mazmum.
Muqaddimah Keempat, Ibn
‘Âsyûr menjelaskan tentang harusnya seorang mufasir meluruskan niatnya dalam
menafsirkan al-Qu’ran. Dalam
mukaddimah ini Ibn ‘Âsyûr menjelaskan tentang apa saja yang diperlukan oleh
sorang mufasir.[20]
Muqaddimah Kelima, tentang
asbab an-nuzul, ia adalah kejadian yang diriwayatkan bahwa sebagian/beberapa
ayat turun dikarenakan oleh peristiwa tersebut, menjelaskan hukumnya. Asbab
an-nuzul ayat ini hanya diketahui dengan riwayat atau mendengar langsung dari
orang yang menyaksikan.[21]
Keenam, penjelasan Ibn ‘Âsyûr mengenai keanekaregaman
bacaan (qirâ’at). Beliau menjelaskan bahwa perbedaan bacaan mengandung
dua persoalan, pertama bacaan yang tidak terkait dengan pemaknaan al-Qur’an, seperti perbedaan harakat,
mad, dan lain-lain. Kedua, bacaan yang berkaitan dengan pemaknaan,
seperti kalimat “mâliki yaum al-dîn” (dengan memanjangkan huhuf mim
pada awal kalimat) atau “maliki yaum al-dîn” (dengan memendekkan huhuf mîm
pada awal kalimat.[22]
Ketujuh, qashash al-Quran.
Banyak hal yang harus diperhatikan dari kisah al-Quran ini. Proses pensyariatan
juga digambarkan dari ayat kisah ini. [23]
Kedelapan, pembicaraan seputar nama, jumlah ayat dan
surah, susunan dan nama-nama al-Qur’an. Menurut Ibn Asyûr hal di atas memiliki kaitan yang
sangat erat dengan tafsir, terlebih dalam kajian munasabah ayat. Banyak hal
yang dijelaskan Ibn Asyûr disini, mulai dari turunnya al-Quran, ayat, surat dan
penamaannya, susunan ayat dan surat apakah tauqifi atau taufiqi. Sehingga ia
menghabiskan 20 halaman lebih membahas poin di atas. [24]
Kesembilan, Pembicaraan tentang makna-makna yang dikandung
oleh kalimat-kalimat di dalam al-Qur’an. Beliau menegaskan bahwa pemaknaan
terhadap kalimat-kalimat al-Qur’an berhubungan erat dengan hubungan antar
struktur kalimat dan persoalan bahasa[25]
Kesepuluh, muqaddimah yang terakhir ini menjelaskan
tentang i’jaz al-Quran Salah satu sisi i’jâz dalam al-Qur’an
adalah kebahasaan, karena bahasa mampu merebut perhatian dan membuka pikiran
dan hati pembaca. [26].
[1] Lihat Muqaddimah at-Tahrîr wa at-Tanwîr.
Hal. 5
[2] Lihat muqaddimah Ibn Asyûr, hal. 7 dan lihat juga
Prof. Dr. Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif
Metode Para Ahli, (PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2006)
[9] Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada Nabi
Muhammad Saw. berasal dari Umar, beliau menanyakan makna dari al-Kalalah.
[10] Lahir pada tahun 80 H dan wafat tahun 149 H.
[15]
Berdasarkan perkataan Asiyah. Ma kana Rasulullah yufassiru min
kitabillah illa Ayaat Ma’dudat ‘allamahu Jibril Iyyahunna.
[17] Op.cit. at-Tahrir wa at-Tanwir, hal. 30
[18] Hal ini bisa dipahami dengan menafsirkan al-Quran
dengan tidak menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany.
[19] Penjelasan lebih lanjut terkait lima pemahaman
yang ditawarkan Ibn Asyûr dalam memahami riwayat yang melarang berbicara
tentang al-Quran ini dapat dirujuk pada muqaddimah at-Tahrîr wa at-Tanwîr.
Hal. 30-33.
No comments:
Post a Comment