Friday, April 5, 2019

Metodologi Penafsiran Kitab at-Tahrîr wa at-Tanwîr


A.      Metodologi Penafsiran  Kitab at-Tahrîr wa at-Tanwîr
Kitab at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya Ibn Asyûr ini salah satu kitab tafsir kontemporer. Menulis sebuah kitab tafsir merupakan salah satu impian terbesar Imam yang berasal dari Tunis ini.[1] Sebuah kitab tafsir yang tidak hanya berbicara seputar akherat yang mengabaikan urusan dunia, sebuah kitab tafsir yang sangat teliti dalam menyeleksi dari perkataan ulama.
Impian mulia beliau yang besar ini diupayakan agar menjadi suatu kenyataan. Berbagai persiapan telah dijalani untuk meraih citanya. Dengan memohon kepada Rabb yang memiliki segalanya Ibn Asyûr pun melakukan shalat istikharah agar dijauhkan dari kesalahan. Satu hal yang mendorong Ibn Asyûr untuk menulis kitab tafsir adalah keberadaan kitab tafsir hanya pemindahan bahasa dari seorang mufassir ke mufassir lain. peran seorang mufassir dalam menyelesaikan kitabnya hanya talkhis dan menjabarkan tafsir yang telah ada.[2]
Beberapa kitab tafsir yang sering dijadikan rujukan adalah; tafsir al-Kasysyâf karya az-Zamakhsyary, al-Muharrar al-Wajîz-nya Ibn ‘Athiyah, Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Baydhâwi yang merupakan ringkasan tafsir al-Kasysyâf, dan Mafâtih al-Ghaib dengan tahqiq yang indah dan tafsir as-Syihâb al-Alusi. Lebih lanjut Ibn Asyûr juga merujuk pada komentar-komentar at-Thaibi, al-Qazwaini, al-Quthub, dan at-Taftazany atas tafsir al-Kasysyâf, dan komentar al-Khafaji atas tafsir al-Baydhâwi. Di samping tafsir Bani Sa’ud, tafsir Qurthuby, tafsir al-Ahkam, tafsir Imam Muhammad Ibn Jarir at-Thabary.[3]
Ibn Asyûr menitikberatkan penjelasannya terhadap ayat al-Quran dengan pendekatan I’jaz, linguistik Arab (balaghah), gaya bahasa, dan keselarasan antara satu ayat dengan ayat lain.
وقد اهتممت في تفسيري ها ببيان وجوه الإعجاز ونكت البلاغة العربية وأساليب الإستعمال، واهتممت أيضا ببيان تناسب الآى بعضها ببعض.[4]
Saya sangat memprioritaskan pada tafsir saya ini penjelasan bentuk I’jaz, kajian balaghah, gaya bahasa, dan penggunaannya. Dan saya juga memprioritaskan menjelaskan keserasian ayat.

Penjelasan ayat al-Quran dengan pendekatan keselarasan ayat ini telah dilakoni oleh Burhanuddin al-Biqa’i dalam kitabnya Nadzmu ad-Durar fî Tanâsub al-Ayy wa as-Suar dan juga sebuah metode kajian tafsir yang digeluti oleh Fakhruddin ar-Razi. Meskipun kedua ulama telah berusaha mengkaji al-Quran dari sudut keindahan susunan ayatnya, Ibn Asyûr juga mengkritisi kedua tafsir ini yang kurang memberikan penjelasan di beberapa ayat. Kurangnya penjelasan di kitab tafsir ini membuat sulit pembaca dalam memahami kandungan bukunya.[5]
Kekurangan tafsir al-Biqa’i dan Fakhruddin ar-Razi –menurut Ibn Asyûr- dijadikannya sebagai bahan bandingan dan tantangan tersendiri agar tafsir yang dihasilkannya tidak sama dengan dua tafsir tersebut. Sehingga Ibn Asyûr lebih berhati-hati dan berlama-lama dalam menjelaskan makna satu ayat. Beliau tidak pindah kepada ayat berikutnya sebelum menjelaskan dengan sempurna. Ibn Asyûr lebih menitikberatkan penafsirannya dengan menjelaskan makna mufradat  dan menghindari berlama-lama menjelaskan makna kata yang sudah dilakukan ahli bahasa dalam kamus dan mu’jam.[6]
Langkah sistematis yang dijalani Ibn Asyûr ini diharapkan agar para pembaca dapat dengan mudah memahami maksud ayat dan mendapatkan manfaat sesuai dengan kondisinya. Kitabnya meskipun tidak setebal kitab lain, namun kandungan dan isinya cukup luas.
وسميت ( تحرير المعنى السديد وتنوير العقل الجديد من تفسير الكتاب المجيد) واختصرت هذا الاسم باسم ( التحرير والتنوير من التفسير)[7]
Saya menamainya dengan Tahrîr al-Ma’na as-Sadîd wa Tanwîr al-Aql al-Jadîd min Tafsîr al-Kitab al-Madjîd. Dan saya ringkas dengan nama at-Tahrîr wa at-Tanwîr min at-Tafsîr.

Untuk nama tafsirnya, Ibn Asyûr menyebutkan di muqaddimah tafsinya dengan nama Tahrîr Ma’na al-Sadîd wa Tanwîr al-Aqli al-Jadîd min Tafsîr Kitab al-Majîd. Nama tafsir yang cukup panjang ini beliau ringkas sendiri dengan nama al-Tahrir wa at-Tanwir min al-Tafsîr.
Dari penamaan ini dapat dilihat bahwa Ibn ‘Âsyûr dalam kitab tafsirnya memiliki dua keinginan, yaitu pertama: mengungkap makna al-Qur’an, kedua: mengemukakan ide-ide baru terhadap pemahaman al-Qur’an.
Salah satu keistimewaan kitab ini adalah terletak pada mukaddimahnya, di mana sebelum masuk ke dalam pembahasan tafsir ayat-ayat al-Qur’an, Ibn ‘Âsyûr terlebih dahulu memberikan sepuluh mukaddimah. Adapun mukaddimah tersebut berisikan berbagai hal yang dapat membantu pembaca kitab tafsirnya. Berikut ini akan disebutkan kesepuluh muqaddimah tersebut dengan ringkas;
Pertama, berbicara tentang tafsir, takwil dan posisi tafsir sebagai ilmu. Tafsir menurut Ibn ‘Âsyûr adalah ilmu yang dimiliki oleh seorang mufasir untuk menjelaskan makna lafal al-Qur’an, dan persoalan-persoalan yang bisa dipetik dari makna al-Qur’an dengan penjabaran panjang atau pendek.[8]
Tafsir menurut Ibn Asyûr merupakan awal Islamic studies yang muncul. Menurut beliau, tafsir sudah muncul semenjak zaman Nabi, berdalilkan kepada pertanyaan yang diajukan para sahabat kepada Nabi Muhammad Saw[9].. Sedangkan penulisannya dilakukan pertama kali oleh Abdul Malik Ibn Juraij al-Makki[10], yang menulis tafsirnya dengan merujuk kepada perkataan para sahabat.[11]
Kedua, membicarakan tentang alat bantu (istimdâd) ilmu tafsir. Yang menjadi istimdâd ilmu tafsir adalah bahasa Arab yang meliputi ilmu an-Nahwu, al-sharf, al-ma’âniy dan al-bayân, serta ilmu-ilmu seperti ushȗl al-fîqh, ilmu Kalam, ilmu qirâ’at dan lain-lain. [12]
Selain ilmu yang disebutkan di atas, satu cabang ilmu yang harus dijadikan sebagai bahan rujukan tafsir adalah syi’ir Arab. Merujuk kepada perkataan Umar dan Ibn Abbas.
فقال عمر ( عليكم يديوانكم لا تضلوا، هو شعر العرب فيه تفسير كتابكم ومعانى كلامكم) وعن ابن عباس ( الشعر ديوان العرب فإذا خفى علينا الحرف من القرآن الذي أنزله الله بلغتهم رجعنا إلى ديوانهم فلتمسنا معرفة ذلك منه)[13]
Umar berkata; hendaklah kalian berpegang dengan diwan kalian, niscaya kalian tidak akan tersalah. Diwan adalah syi’ir Arab,  padanya terdapat tafsir al-Quran dan juga makna percakapan kalian. Umar juga berkata; syi’ir adalah diwannya orang Arab, jika sulit bagi kami satu huruf al-Quran yang diturunkan dengan bahasa kalian, maka kami akan merujuk pada diwan, di sana ada jawabannya.

Ibn Abbas dan Umar menerangkan bahwa syi’ir Arab memiliki peranan yang besar dalam tafsir. Bahkan dengan merujuk kepada syi’ir peluang tersalah dalam tafsir semakin minim.
Ketiga, Penegasan Ibn ‘Âsyûr tentang sahnya tafsir tanpa nukilan (ma’tsȗr) atau yang disebut dengan tafsir bi al-rayi. Dalam mukaddimah ketiga ini beliau menjelaskan panjang lebar tentang kebolehan mempergunakan ra’yu dalam penafiran al-Qur’an.[14]
Kalaulah tafsir bi al-ra’yi dilarang tentu tafsir al-Quran tidak akan menghabis beberapa lembar kertas saja. Sedangkan Rasulullah Saw. sendiri tidak menafsirkan ayat al-Quran kecuali sedikit, apa yang telah diajarkan Jibril kepada beliau.[15] Perjalanan waktu menuntut para ulama untuk mengkaji lebih jauh apa yang dimaksud dari al-Quran. Sehingga para ulama pernah mengungkapkan bahwa sedikit membaca al-Quran dengan mengkaji maksudnya lebih utama daripada banyak membaca tanpa mendalami kandungan ayat.
Hadis riwayat at-Tirmidzi, Abu Daud, dan an-Nasai dari Ibn Abbas berbunyi;
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( من تكلم في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ[16]
Nabi Saw. bersabda siapa saja yang berbicara tentang al-Quran dengan akal semata, sungguh dia telah salah meskipun yang dia bicarakan itu benar

Hadis di atas melarang seseorang untuk berbicara tentang al-Quran denga akalnya, selain hadis di atas masih ada beberapa riwayat lain yang semakna dengan hadis tersebut. Setelah memberikan berbagai argumentasi bagaimana mungkin dicukupkan kepada apa yang telah ditafsirkan Rasul saja, sedangkan zaman terus berganti, dan masa pun berobah. Umat Islam butuh kepada tafsir yang baru. Untuk itu, Ibn Asyûr memahami bahwa yang dimaksud dari hadis di atas adalah satu dari lima golongan berikut;
Pertama, memahami al-Quran dengan logika secara mutlak, tanpa memperhatikan dalil kebahasaan, maqashid syari’ah, dan timbangan bahasanya. Seorang mufassir mesti tau dengan nasekh dan mansukhnya ayat, sabab nuzul, dan maqashid syari’ah.[17]
Kedua,  tidak mentadabburi al-Quran dengan sunguh-sungguh. Tidak menafsirkan dengan sungguh ini salah satu penjabarannya adalah tidak memperhatikan ayat al-Quran secara keseluruhan, memahami ayat dengan setengah-setengah.[18] Contohnya, membaca ayat Ma ashabaka min hasanatin fa minaLLah. Zhahir ayat ini bermakna bahwa kebaikan berasal dari Allah dan keburukan berasal dari perbuatan manusia. Sedangkan ayat di atasnya berbunyi, Qul kullun min ‘indillah. Semuanya itu berasal dari Allah.
Ketiga, menafsirkan al-Quran sesuai dengan seleranya sendiri, menafsirkan al-Quran bukan dengan alatnya akan tetapi menafsirkan al-Quran dengan harapan bisa menguatkan mazhab dan kelompoknya sendiri.
Keempat, mempersempit makna al-Quran. artinya seseorang menafsirkan al-Quran berdasakan bahasa, lantas berkeyakinan bahwa hanya itulah yang dimaksud oleh ayat, tidak ada maksud lain.
Kelima, yang dimaksud dengan tahzir dari riwayat di atas adalah sifat kerendahatian seseorang. Menafsirkan al-Quran bukanlah perkara gampang yang bisa dilakoni sembarang orang, mesti ada persiapan untuk melakukannya.[19]
Meskipun Ibn Asyûr dalam awalnya menyatakan kebolehan menafsirkan al-Quran dengan akal, tidak semua tafsir dengan logika yang dibolehkan. Ada yang dilarang, atau yang dinamakan dengan Tafsîr bi ra’yi al-mazmum.
Muqaddimah Keempat, Ibn ‘Âsyûr menjelaskan tentang harusnya seorang mufasir meluruskan niatnya dalam menafsirkan al-Qu’ran. Dalam mukaddimah ini Ibn ‘Âsyûr menjelaskan tentang apa saja yang diperlukan oleh sorang mufasir.[20]
Muqaddimah Kelima, tentang asbab an-nuzul, ia adalah kejadian yang diriwayatkan bahwa sebagian/beberapa ayat turun dikarenakan oleh peristiwa tersebut, menjelaskan hukumnya. Asbab an-nuzul ayat ini hanya diketahui dengan riwayat atau mendengar langsung dari orang yang menyaksikan.[21]
Keenam, penjelasan Ibn ‘Âsyûr mengenai keanekaregaman bacaan (qirâ’at). Beliau menjelaskan bahwa perbedaan bacaan mengandung dua persoalan, pertama bacaan yang tidak terkait dengan  pemaknaan al-Qur’an, seperti perbedaan harakat, mad, dan lain-lain. Kedua, bacaan yang berkaitan dengan pemaknaan, seperti kalimat “mâliki yaum al-dîn” (dengan memanjangkan huhuf mim pada awal kalimat) atau “maliki yaum al-dîn” (dengan memendekkan huhuf mîm pada awal kalimat.[22]
Ketujuh, qashash al-Quran. Banyak hal yang harus diperhatikan dari kisah al-Quran ini. Proses pensyariatan juga digambarkan dari ayat kisah ini. [23]
Kedelapan, pembicaraan seputar nama, jumlah ayat dan surah, susunan dan nama-nama al-Qur’an. Menurut Ibn Asyûr hal di atas memiliki kaitan yang sangat erat dengan tafsir, terlebih dalam kajian munasabah ayat. Banyak hal yang dijelaskan Ibn Asyûr disini, mulai dari turunnya al-Quran, ayat, surat dan penamaannya, susunan ayat dan surat apakah tauqifi atau taufiqi. Sehingga ia menghabiskan 20 halaman lebih membahas poin di atas. [24]
Kesembilan, Pembicaraan tentang makna-makna yang dikandung oleh kalimat-kalimat di dalam al-Qur’an. Beliau menegaskan bahwa pemaknaan terhadap kalimat-kalimat al-Qur’an berhubungan erat dengan hubungan antar struktur kalimat dan persoalan bahasa[25]
Kesepuluh, muqaddimah yang terakhir ini menjelaskan tentang i’jaz al-Quran Salah satu sisi i’jâz dalam al-Qur’an adalah kebahasaan, karena bahasa mampu merebut perhatian dan membuka pikiran dan hati pembaca. [26].



[1] Lihat Muqaddimah at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal. 5
[2] Lihat muqaddimah Ibn Asyûr, hal. 7 dan lihat juga Prof. Dr. Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli, (PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2006)
[3] Ibid. At-Tahrîr wa at-Tanwîr. 8
[4] Ibid. at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal. 8
[5] Ibid. at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal. 8, lihat juga Metodologi tafsir, hal. 317
[6] Ibid. at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal 8
[7]  Ibidat-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal 8-9
[8]  Ibid. at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal 10-
[9] Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad Saw. berasal dari Umar, beliau menanyakan makna dari al-Kalalah.
[10] Lahir pada tahun 80 H dan wafat tahun 149 H.
[11] Op.Cit. at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal. 14
[12] Ibid. at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal 18
[13]  Op.Cit. at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal.22
[14] Ibid. At-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal. 28
[15]  Berdasarkan perkataan Asiyah. Ma kana Rasulullah yufassiru min kitabillah illa Ayaat Ma’dudat ‘allamahu Jibril Iyyahunna.
[17] Op.cit. at-Tahrir wa at-Tanwir, hal. 30
[18] Hal ini bisa dipahami dengan menafsirkan al-Quran dengan tidak menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany.
[19] Penjelasan lebih lanjut terkait lima pemahaman yang ditawarkan Ibn Asyûr dalam memahami riwayat yang melarang berbicara tentang al-Quran ini dapat dirujuk pada muqaddimah at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal.  30-33.
[20] Ibid. at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal 38
[21] Op.cit, at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal. 46-47
[22] Ibid. at-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal 51
[23] Ibid. At-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal 64
[24] Ibid. At-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal 70
[25] Ibid. At-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal 93
[26]  Ibid. At-Tahrîr wa at-Tanwîr. Hal 101

No comments:

Post a Comment