KAIDAH AS-SIYÂQ AL-QUR’ANY
A. Pengertian
Siyaq
Ibn Manzhur mendefinisikan
kata siyâq dengan;
سوق
السوق معروف، ساق الإبل وغيرها يسوقها سوقا سياقا. وقد انساقت تساوقت الإبل تساوقا
إذا تتابعت، وكذلك تقاودت في متقاودة متساوقة[1]
Sûq bentuk ma’rifahnya as-sûq.
Berasal dari kata kerja (fi’il), seseorang mengembala onta dan binatang
lainnya, artinya mengiringi.
Ibn Manzhur mendefinisikan
kata siyâq sekaligus penggunaannya dalam bahasa Arab. Ia juga
menyebutkan beberapa bentuk mashdarnya, sûq dan siyâq. Dalam bahasa
Arab kata ini digunakan untuk pekerjaan seseorang yang mengembala onta. Secara
bahasa kata ini bermakna mengiringi.
Kata (سياق)
berasal dari kata (سواقا) huruf waw (و ) diganti dengan huruf ya
( ي ) karena huruf sin-nya
berbaris bawah. Kedua kata di atas merupakan bentuk mashdar (verbal noun)
dari kata kerja (fi’il) ساق - يسوق, yang berarti mengiringi atau menghalau.
Az-Zubaidy[2]
menyebutkan, bahwa kata siyâq ini juga digunakan dalam bentuk majaz,
seperti perkataan;
هو
يسوق الحديث أحسن سياق[3]
Kata sûq (سوق) yang bermakna pasar juga berasal dari kata ini. Dalam
bahasa Arab, perobahan satu kata dengan kata lain biasanya memiliki kedekatan
makna. Semakin dekat lafaznya semakin dekat pula maknanya. Hal inilah juga yang
berlaku pada kata siyâq yang bermakna
mengiringi, maka di pasar para pembeli memang saling beriringan untuk melakukan
transaksi.[4]
Penduduk Arab menggunakan
kata di atas seperti ungkapan berikut; ساقت اليح التراب
berarti angin itu menerbangkan debu. [5]
Al-Zamakhsyari berkata, هو يسوق الحديث أحسن سياق, (dia
berkata dengan tutur kata yang indah), وجئتك بالحديث على سوقه )saya berbicara denganmu
dengan bahasa yang indah). kata سوقهdi atas dijelaskan bahwa
maknanya adalah (سرد.) Dijelaskan juga bahwa sardi juga bermakna at-tatabu’
wa at-tawali (beriringan dan bersambung). Seseorang yang bicaranya runut,
jelas tutur bahasanya sehingga mudah dipahami dimaksudkan bahwa ia bicaranya
itu indah.[7]
Makna kata siyâq
dan musytaq-nya berkisar pada makna beriringan. Pasar tempat beriringan
manusia dinamakan dengan sûq. Binatang yang digembalai juga menggunakan
istilah ini. Sedangkan kata siyâq juga iringan dari gabungan kosakata
sehingga menjadi satu susunan kalimat yang bagus.
Abdul Qasim mendefinisikan
siyâq dengan فهم النص بمراعاة ما قبله وما بعده (memahami nash dengan menjaga kerunutan bahasa sebelum
dan sesudahnya).[8]
Ibn Daqiq mendefinisikan dengan
أما السياق والقرائن فإنها الدالة على مراد المتكلم من
كلامه، وهى المرشدة إلى بيان المجملات وتعيين المحتملات[9]
Siyâq dan qaraini akan menunjukkan pada maksud dari si
pembicara. Dia akan menjelaskan yang mujmal dan menetapkan makna yang
mengandung beragam makna
Definisi yang dikemukakan
di atas, meskipun berbeda lafazh yang digunakan namun maksudnya sama. Dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa siyâq adalah satu ilmu terapan dalam memahami
kalimat dengan menjaga runtutan bahasa dan alur cerita.[10]
Ulama tafsir memaknai al-Quran dengan
كلام الله المنزل على نبيه
محمد صلى الله عليه وسلم المتعبد بتلاوته[11]
Perkataan
Allah yang diturunkan kepada Nabinya Muhammad Saw. yang dinilai ibadah dalam membacanya[12].
Secara sederhananya
al-Qur’an dapat didefinisikan dengan perkataaan Allah, semua perkataan
yang bukan berasal dari Allah tidak dapat dinamai dengan al-Qur’an, dan juga
tidak semua perkataan Allah dapat disebut dengan al-Quran, wahyu yang
diturunkan kepada Nabi lain juga merupakan bagian dari kalamullah, seperti
Taurat, Zabur, Injil. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, perkataan
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad menjadi syarat untuk dikatakan
sebagai al-Quran. Tidak semua yang diturunkan kepada Nabi Muhammad pun bisa
dikatakan sebagai al-Quran. Ada kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, akan tetapi bahasanya berasal Nabi sendiri, sehingga syarat untuk
dikatakan sebagai al-Quran tidak terpenuhi, dan juga perkataan Allah yang
diturunkan kepada para Nabi sebelum Muhammad tidak dapat dikatakan sebagai
al-Quran.
Pemaknaan kaidah ini ringkasnya dapat dikatakan
dengan memahami tafsir secara kontekstual. Akan tetapi, kontekstual disini
tidak bisa dipahami sebagaimana pemahaman kontekstual yang dipahami mayoritas
akademisi sekarang. Pamahaman al-Quran dengan kaidah as-siyâq al-Qur’any
adalah memahami al-Quran dengan kontekstual yang tidak terlepas dari tekstual.
Salah satu keunggulan kaidah tafsir al-Quran adalah satu kaidah dengan kaidah
lain saling mendukung.
Pada permasalahan ini, kaidah as-siyâq
al-Qur’any berkaitan erat dengan kaidah tafsir
العبرة بعموم اللفظي لا بخصوص السبب[13]
Titik perhatian kajian ialah pada keumuman lafzhi bukan
dari khususnya sebab.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan as-siyâq al-Qurany adalah satu kaidah tafsir
untuk memahami ayat al-Quran dengan cara memperhatikan kerunutan redaksi ayat
dan juga memperhatikan maqashid al- Quran.
[1] Ibn Manzhur, Lisan
al-Arab Jilid 10, hal 166-167
[2] Beliau ini
bernama lengkap Abu al-Faidh Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abdul Razzaq, pakar di
bidang hadis, bahasam , dan sastra. Meninggal di Tha’un, tahun 1205. Lihat
Atsar Dilalah as-Siyâq al-Qurany. hal. 39
[4] Perobahan kata dalam istilah Arab dikenal dengan
nama Musytaq. Pakar bahasa Arab juga menyebutkan bahwa semakin mirip dua
kosakata akan semakin dekat juga makna dasar yang dimaksud.
[8] Abdur Rahman Abdullah Surur Jerman al-Muthiry, as-siyâq al-Qurany wa atsaruhu fit Tafsîr
dirasatan nazhiriyatan wa tathbiqiyatan min khilal Tafsîr Ibn Katsîr (thesis,
Universitas Umm al-Qura, Saudi) 2008 M. Hal. 64. Lihat juga al-Musiny Abdul
al-Fattah Mahmud as-siyâq al-Qurany wa atsaruhu fit tarjih ad-Dilâly
(Disertasi, Universitas Ordoniyah) 2001 M, h. 21.
[10] Alur cerita yang dimaksud disini adalah perhatian
terhadap sibaq dan lihaq-nya kalimat. Sibaq dan lihaq
merupakan unsur pokok dari siyâq. Hal ini akan dipaparkan pada bagian
rukun siyâq.
[11] Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Quran, (Makbatah
al-Haramain, Riyadh, ttp), hal. 21
[12] Yang dimaksud dengan dinilai ibadah dalam membacanya adalah
diperintahkan membacanya di waktu sholat. Lihat kitab Manna’ al-Qathtan
mabahis fi Ulum al-Quran. Hal. 21
[13] Fahd ar-Rumy, Buhus fi
Ushul at-Tafsir wa Manahijuhu, ( Maktabah at-Taubah, Riyadh, cet. VI, 1422)
hal. 137
No comments:
Post a Comment