Friday, April 5, 2019

Macam-macam as-siyâq al-Qurany


A.      Macam-macam as-siyâq al-Qurany
Penulis kitab Dilalah as-siyâq mengungkapkan bahwa as-siyâq dibagi kepada empat macam; Siyâq al-Quran, Siyâq as-surah, Siyâq an-nash, dan Siyâq al-ayah
يقول صاحب دلالة السياق " السياق قد يضاف إلى مجموعة من الآيات التى تدور حول غرض أساسى واحد، كما أنه على آية واحدة، ويضاف إليها وقد يكون له امتداد في السورة كلها بعد أن يمتد إلى ما يسبقه ويلحقه وقد يطلق على القرآن بأجمعه ويضاف إليها بمعنى أن هناك سياق آية وسياق النص وسياق السورة والسياق القرآنى، فهذه دوئر متداخلة متكافلة حول إيضاح المعنى[1]
Penulis buku Dilalah as-siyâq berkata, terkadang siyâq disandarkan pada sekumpulan ayat yang membicarakan satu pokok pembahasan, sama halnya dengan penyandarannya pada satu ayat, terkadang disandarkan pada satu surat, terkadang padakeseluruhan al-Quran. artinya, ada siyâq ayat, siyâq an-nash, siyâq as-surah, dan siyâq al-Quran. ke semua ini saling mendukung dan melengkapi untuk menjelaskan makna.

Berdasarkan fokus kajiannya, as-siyâq dapat dibagi menjadi empat bagian; Siyâq al-Quran, Siyâq as-surah, Siyâq an-nash, dan Siyâq al-ayah. Keempat Siyâq di atas memiliki perbedaan, namun kesemuanya saling mendukung dan tidak saling bertolak belakang.  
1.      Siyâq al-Quran
Yang dimaksud dari  Siyâq al-Quran ini adalah memperhatikan maqashid al-Quran al-Asasiyah (maksud pokok al-Quran). Al-Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun ini memiliki tujuan utama, tujuan yang mulia, cita-cita yang sangat tinggi, tujuannya adalah menebarkan dan membentuk kemaslahatan makhluk secara globalitas, baik di dunia maupun di akhirat.[2]
ويبين الطاهر بن عاشور أهمية الإحاطة بمقاصد الكتاب والسنة بقوله "فمراد الله من كتابه هو بيان تصاريف ما يرجع إلى حفظ مقاصد الدين"[3]
Ibn Asyur menjelaskan pentingnya memperhatikan maksud al-Kitab dan al-hadis “maksud dari ayat al-Quran ialah menjelaskan perincian persoalan yang merujuk pada pemeliharaan agama”

Seorang mufassir semestinya melandaskan penafsirannya pada maqashid al-Quran al-Asasiyah. Sehingga hasil tafsir al-Quran yang dihasilkan memiliki satu kesatuan yang utuh. Ke semua ayat al-Quran pada dasarnya bertujuan menjaga agama.
 Ibn Taymiyah juga berkomentar tentang siyâq al-Quran ini, sebagai berikut;
فإن الشريعة مبناها على تحصيل المصالح وتكميلها وتعطيل المفاسد بحسب الإمكان ومعرفة خيير الخيرين وشر الشرين حتى يقدم عند التزحم خير الخيرين ويدفع شر الشرين[4]
Bangunan syariah adalah menghasilkan mashlahat dan menyempurnakannya, menghilangkan mafsadah sebisa mungkin. Mengetahui kebaikan dari dua kebaikan yang muncul, mengetahui satu mafsadah dari dua mafsadah yang muncul. Sehingga jika terjadi kesulitan maka diambil sikap mengambil kebaikan dan menolak mafsadah.

Ibn Taymiyah mengambarkan bahwa bangunan syari’at Islam adalah menciptakan kemashlahatan. Seandainya kemashlahatan telah ada maka harus disempurnakan. Kemaslahatan yang diinginkan Islam bukanlah maslahat patricular yang dirasakan oleh sebagian golongan. Akan tetapi maslahat bagi seluruh umat manusia bahkan semua makhluk.
Menciptakan kebaikan tidak tercipta jika musuhnya segala bentuk pengrusakan dibiarkan, maka syari’at Islam juga bertujuan menghilangkan bentuk pengrusakan, meskipun tidak bisa dihilangkan harus ada upaya untuk menguranginya.
Point utama yang harus diperhatikan dari siyâq al-Quran adalah maqashid ad-din. Ahli tafsir yang menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany tidak akan melahirkan pemahaman yang bertentangan dengan syariat. Selanjutnya yang diperhatikan adalah pemilihan makna kata ketika menafsirkan ayat dan uslub kalimatnya.
2.      Siyâq as-surah (memperhatikan redaksi surat)
Masing-masing surah pada dasarnya memiliki sebuah pokok pembicaraan khusus. Hal ini tidak bermaksud setiap surat hanya berbicara tentang satu tema. Dalam satu surat biasanya terdapat sebuah topik pembicaraan inti. Sewaktu menafsirkan salah satu ayat, terkadang timbul sebuah pertanyaan “apa/siapa yang dimaksudkan ayat ini?” Sikap memperhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam satu surat inilah yang dimaksud dengan siyâq as-surah.[5] Imam at-Thabary memberikan contoh terapan siyâq as-surah sebagai berikut;
قول ابن جرير الطبري عند تفسيره لقوله تعالى ( وجعلوا بينه وبين الجنة نسبا ولقد علمت الجنة إنهم لمحضرون)، حيث ذكر الخلاف في معنى الإضار هل المراد به الإحضار للعذاب أو الإحضار لمشاهدة الحساب؟ ثم قال : " وأولى القولين في ذلك بالصواب قول من قال إنهم لمحضرون العذاب لأن سائر الآيات التى ذكر فيها الإحضار في هذه السورة إنما عني به الإحضار في العذاب فكذلك في هذا الموضوع[6]
Perkataan Ibn Jarir at-Thabary ketika menafsirkan ayat (dan mereka mengadakan (hubungan) nasab (keluarga) antara Dia (Allah) dan jin. Dan sungguh, jin telah mengetahui mereka pasti akan diseret ke neraka). Imam at-Thabary menyebutkan perbedaan makna al-ihdhar dalam ayat ini. apakah maksudnya mendapatkan azab atau menyaksikan hari perhitungan? Imam at-Thabary membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa makna al-ihdhar  dalam ayat ini adalah mereka menghadiri/mendapat azab. Karena keseluruhan ayat yang terdapat padanya kata al-ihdhar dalam surat ini –as-Shaffat- bermakna mendapatkan azab, maka ayat ini lebih pantas untuk dimaknai sama dengan ayat lainnya.


Imam at-Thabary salah satu tokoh tafsir sangat jelas menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany dalam kitab tafsirnya. Seperti ayat di atas, dua pendapat yang muncul sewaktu memahami ayat 158 surat as-Shafat ini, dikuatkan satu pendapat. Kata ihdhar dalam surat ini bagaimana memahaminya, apakah dipahami dengan mendapatkan azab atau menyaksikan hari pertimbangan amal kebajikan. Beliau kuatkan pendapat yang mengatakan mereka akan mendapatkan azab, karena ayat lain yang terdapat padanya kata ihdhar dalam surat ini bermaksud menghadiri azab, maka ayat ini sangat tepat juga jika dipahami demikian.
3.       Siyâq al-Maqtha’ (memperhatikan kelompok ayat yang setema)
Model siyâq yang ketiga ini dikenal juga dengan siyâq an-nash. Rangkaian ayat demi ayat dalam al-Quran ibarat susunan bebatuan yang membentuk sebuah bangunan. Satu unsur dengan unsur yang lain terikat dengan kuat, saling menopang dan membentuk sebuah kesatuan yang indah untuk dipandang, didengar, dan diteliti di setiap bagian terkecilnya.[7]
Contoh yang dapat mewakili bentuk siyâq yang ketiga ini dirujuk kepada Imam as-Syanqithy ketika menafsirkan ayat 229 surat al-Baqarah[8]. Ayat ini berbicara tentang thalaq yang dijatuhkan suami kepada istrinya. Zhahir ayat ini menyebutkan bahwa talak hanya berlaku dua kali. Seseorang yang tidak menerapkan kaidah siyâq maqtha’ dalam hal ini akan bersikukuh dengan zhahir ayat ini. Padahal masih dalam surat yang sama, ayat berikutnya menyebutkan bahwa masih ada talak lain yang tidak boleh lagi ruju’. Jika ayat 230 menyatakan ada talak yang tidak boleh ruju’ berarti dua talak yang dimaksudkan di atas adalah talak yang boleh rujuk. [9]
4.      Siyâq al-Ayah (redaksi ayat)
Yang dimaksud dengan siyâq al-ayah adalah fokus perhatian kepada tujuan dari ayat tersebut. Seandainya ada perbedaan dalam memahami makna ayat, yang hendak dilakukan adalah memperhatikan siyâq-nya atau redaksi ayat. Apakah dalam ayat tersebut terdapat satu kata musytarak. Perbedaan pemahaman ayat adakalanya dipicu oleh keberadaan kata yang bermakna ganda secara bahasa. Penafsiran akan selamanya beragam –adakalanya satu pemahaman bertolak belakang dengan pemahaman yang lain- selama tidak dicarikan jalan tengah yang dapat menguatkan satu makna dari makna kata yang ada.[10]
Contohnya, kata al-ihshan secara bahasa diterjemahkan dengan Islam, terjaga/terpelihara, merdeka, dan mengawinkan. Dalam ayat 25 dari surat an-Nisa, kata ini dapat dicarikan makna yang pas dengan bantuan kaidah as-siyâq al-Qurany. makna yang tepat pada ayat ini adalah at-tazwij mengawinkan.
Imam Ibn Katsir berkata, “ firman Allah dalam surat an-Nisa’25 itu bermakna menikah[11]. Sedangkan orang yang berpendapat ayat tersebut dipahami dengan Islam, berarti menyalahi redaksi ayat yang jelas berbicara tentang alfatayat almukminat pemudi yang mukminat. Pendapat Imam Ibn Katsir ini didukung juga oleh Imam as-Sanqithy.[12]
Keempat macam siyâq di atas merupakan unsur kajian siyâq yang harus diperhatikan. Satu siyâq dengan siyâq lain tidak saling bertolak belakang, malah sebaliknya, siyâq al-ayah, an-nash, as-surah, dan siyâq al-Quran saling bahu membahu menunjukkan kekokohan makna yang dikandung ayat al-Quran. Maka, dengan menerapkan empat macam siyâq ini akan tersingkaplah ke-i’jazan al-Quran, dan terbukti bahwa tidak ada pertentangan antara ayat dengan ayat lain di dalam al-Quran. Sehingga, keserasian bahasa dan hikmah penempatan satu lafazh dalam suatu ayat tidak pada tempat yang lain juga dapat terbukti biiznillah.
Dengan memperhatikan keempat macam pembagian siyâq di atas, maka semakin jelaslah bahwa yang dimaksud dari kaidah ini adalah perhatian penuh kepada redaksi ayat yang sedang ditafsirkan, memperhatikan kekhususan surat, dan memperhatikan bagaimana penafsiran tidak bertentangan dengan dasar agama.


[1]  Lihat atsar dilalah. Tahani Binti Salim. Hal. 76
[2] Op.cit. Atsar Dilalah as-Siyaq al-Qurany. hal. 79
[3] Ibn Asyûr, Muqaddimah tafsir h. 38
[4]  Muhammad Ibn Taymiyah, Minhaj as-sunnah an-Nabawiyah fi Naqdhi Kalam as-Syia’h al-Qhadariyah, (cet. I, jilid 6 , 1986 M Mkatabah Ibn Taymiyah) hal. 118
[5] Op.cit. Atsar Dilalah as-Siyaq al-Qurany. hal. 78
[6]  Lihat tafsir at-Thabary, jilid 19. Hal, 646
[7] Op.cit. Atsar Dilalah as-Siyaq al-Qurany. hal. 77
[8] Muhammad al-Amin Ibn Muhammad as-Syinqithy,  Adhwa’ al-Bayan fi Idhah al-Quran bil al-Quran,( Dar ilmu Fawaid,  jilid I), hal. 159
[9] Op.cit.As-siyâq al-Qurany. hal. 112
[10] Op.cit. Atsar Dilalah as-Siyaq al-Qurany. hal. 76
[11] Lihat Tafsir Ibn Katsir, jilid I, hal. 477
[12] Lihat kitab Adhwa’ al-Bayan, jilid I, hal. 233

No comments:

Post a Comment