A.
Macam-macam as-siyâq
al-Qurany
Penulis kitab Dilalah
as-siyâq mengungkapkan bahwa as-siyâq dibagi kepada empat macam; Siyâq
al-Quran, Siyâq as-surah, Siyâq an-nash, dan Siyâq al-ayah
يقول صاحب دلالة السياق
" السياق قد يضاف إلى مجموعة من الآيات التى تدور حول غرض أساسى واحد، كما
أنه على آية واحدة، ويضاف إليها وقد يكون له امتداد في السورة كلها بعد أن يمتد
إلى ما يسبقه ويلحقه وقد يطلق على القرآن بأجمعه ويضاف إليها بمعنى أن هناك سياق
آية وسياق النص وسياق السورة والسياق القرآنى، فهذه دوئر متداخلة متكافلة حول
إيضاح المعنى[1]
Penulis buku Dilalah
as-siyâq berkata, terkadang siyâq disandarkan pada sekumpulan ayat
yang membicarakan satu pokok pembahasan, sama halnya dengan penyandarannya pada
satu ayat, terkadang disandarkan pada satu surat, terkadang padakeseluruhan
al-Quran. artinya, ada siyâq ayat, siyâq an-nash, siyâq
as-surah, dan siyâq al-Quran. ke semua ini saling mendukung dan
melengkapi untuk menjelaskan makna.
Berdasarkan fokus kajiannya,
as-siyâq dapat dibagi menjadi empat bagian; Siyâq al-Quran, Siyâq
as-surah, Siyâq an-nash, dan Siyâq al-ayah. Keempat Siyâq di atas
memiliki perbedaan, namun kesemuanya saling mendukung dan tidak saling bertolak
belakang.
1.
Siyâq al-Quran
Yang dimaksud dari Siyâq al-Quran ini adalah
memperhatikan maqashid al-Quran al-Asasiyah (maksud pokok al-Quran).
Al-Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun
ini memiliki tujuan utama, tujuan yang mulia, cita-cita yang sangat tinggi,
tujuannya adalah menebarkan dan membentuk kemaslahatan makhluk secara
globalitas, baik di dunia maupun di akhirat.[2]
ويبين الطاهر بن عاشور
أهمية الإحاطة بمقاصد الكتاب والسنة بقوله "فمراد الله من كتابه هو بيان
تصاريف ما يرجع إلى حفظ مقاصد الدين"[3]
Ibn Asyur menjelaskan pentingnya memperhatikan maksud
al-Kitab dan al-hadis “maksud dari ayat al-Quran ialah menjelaskan perincian
persoalan yang merujuk pada pemeliharaan agama”
Seorang mufassir
semestinya melandaskan penafsirannya pada maqashid al-Quran al-Asasiyah.
Sehingga hasil tafsir al-Quran yang dihasilkan memiliki satu kesatuan yang
utuh. Ke semua ayat al-Quran pada dasarnya bertujuan menjaga agama.
Ibn Taymiyah juga berkomentar tentang siyâq al-Quran
ini, sebagai berikut;
فإن الشريعة مبناها على
تحصيل المصالح وتكميلها وتعطيل المفاسد بحسب الإمكان ومعرفة خيير الخيرين وشر
الشرين حتى يقدم عند التزحم خير الخيرين ويدفع شر الشرين[4]
Bangunan syariah adalah
menghasilkan mashlahat dan menyempurnakannya, menghilangkan mafsadah sebisa
mungkin. Mengetahui kebaikan dari dua kebaikan yang muncul, mengetahui satu
mafsadah dari dua mafsadah yang muncul. Sehingga jika terjadi kesulitan maka
diambil sikap mengambil kebaikan dan menolak mafsadah.
Ibn Taymiyah mengambarkan
bahwa bangunan syari’at Islam adalah menciptakan kemashlahatan. Seandainya
kemashlahatan telah ada maka harus disempurnakan. Kemaslahatan yang diinginkan
Islam bukanlah maslahat patricular yang dirasakan oleh sebagian golongan. Akan
tetapi maslahat bagi seluruh umat manusia bahkan semua makhluk.
Menciptakan kebaikan tidak
tercipta jika musuhnya segala bentuk pengrusakan dibiarkan, maka syari’at Islam
juga bertujuan menghilangkan bentuk pengrusakan, meskipun tidak bisa
dihilangkan harus ada upaya untuk menguranginya.
Point utama yang harus diperhatikan
dari siyâq al-Quran adalah maqashid ad-din. Ahli tafsir yang
menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany tidak akan melahirkan pemahaman
yang bertentangan dengan syariat. Selanjutnya yang diperhatikan adalah
pemilihan makna kata ketika menafsirkan ayat dan uslub kalimatnya.
2.
Siyâq as-surah (memperhatikan redaksi surat)
Masing-masing surah pada
dasarnya memiliki sebuah pokok pembicaraan khusus. Hal ini tidak bermaksud
setiap surat hanya berbicara tentang satu tema. Dalam satu surat biasanya
terdapat sebuah topik pembicaraan inti. Sewaktu menafsirkan salah satu ayat,
terkadang timbul sebuah pertanyaan “apa/siapa yang dimaksudkan ayat ini?” Sikap
memperhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam satu surat inilah yang dimaksud
dengan siyâq as-surah.[5]
Imam at-Thabary memberikan contoh terapan siyâq as-surah sebagai
berikut;
قول ابن جرير الطبري عند
تفسيره لقوله تعالى ( وجعلوا بينه وبين الجنة نسبا ولقد علمت الجنة إنهم لمحضرون)،
حيث ذكر الخلاف في معنى الإضار هل المراد به الإحضار للعذاب أو الإحضار لمشاهدة
الحساب؟ ثم قال : " وأولى القولين في ذلك بالصواب قول من قال إنهم لمحضرون
العذاب لأن سائر الآيات التى ذكر فيها الإحضار في هذه السورة إنما عني به الإحضار
في العذاب فكذلك في هذا الموضوع[6]
Perkataan Ibn Jarir at-Thabary ketika menafsirkan ayat
(dan mereka mengadakan (hubungan) nasab (keluarga) antara Dia (Allah) dan jin.
Dan sungguh, jin telah mengetahui mereka pasti akan diseret ke neraka). Imam
at-Thabary menyebutkan perbedaan makna al-ihdhar dalam ayat ini. apakah
maksudnya mendapatkan azab atau menyaksikan hari perhitungan? Imam at-Thabary
membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa makna al-ihdhar dalam ayat ini adalah mereka
menghadiri/mendapat azab. Karena keseluruhan ayat yang terdapat padanya kata al-ihdhar
dalam surat ini –as-Shaffat- bermakna mendapatkan azab, maka ayat ini lebih
pantas untuk dimaknai sama dengan ayat lainnya.
Imam at-Thabary salah satu
tokoh tafsir sangat jelas menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany dalam
kitab tafsirnya. Seperti ayat di atas, dua pendapat yang muncul sewaktu
memahami ayat 158 surat as-Shafat ini, dikuatkan satu pendapat. Kata ihdhar
dalam surat ini bagaimana memahaminya, apakah dipahami dengan mendapatkan azab
atau menyaksikan hari pertimbangan amal kebajikan. Beliau kuatkan pendapat yang
mengatakan mereka akan mendapatkan azab, karena ayat lain yang terdapat
padanya kata ihdhar dalam surat ini bermaksud menghadiri azab, maka ayat
ini sangat tepat juga jika dipahami demikian.
3.
Siyâq al-Maqtha’ (memperhatikan kelompok
ayat yang setema)
Model siyâq yang ketiga ini dikenal juga
dengan siyâq an-nash. Rangkaian ayat demi ayat dalam al-Quran ibarat
susunan bebatuan yang membentuk sebuah bangunan. Satu unsur dengan unsur yang
lain terikat dengan kuat, saling menopang dan membentuk sebuah kesatuan yang
indah untuk dipandang, didengar, dan diteliti di setiap bagian terkecilnya.[7]
Contoh yang dapat mewakili
bentuk siyâq yang ketiga ini dirujuk kepada Imam as-Syanqithy ketika
menafsirkan ayat 229 surat al-Baqarah[8].
Ayat ini
berbicara tentang thalaq yang dijatuhkan suami kepada istrinya. Zhahir ayat ini
menyebutkan bahwa talak hanya berlaku dua kali. Seseorang yang tidak menerapkan
kaidah siyâq maqtha’ dalam hal ini akan bersikukuh dengan zhahir ayat
ini. Padahal masih dalam surat yang sama, ayat berikutnya menyebutkan bahwa
masih ada talak lain yang tidak boleh lagi ruju’. Jika ayat 230
menyatakan ada talak yang tidak boleh ruju’ berarti dua talak yang dimaksudkan
di atas adalah talak yang boleh rujuk. [9]
4.
Siyâq al-Ayah (redaksi ayat)
Yang dimaksud dengan siyâq
al-ayah adalah fokus perhatian kepada tujuan dari ayat tersebut. Seandainya
ada perbedaan dalam memahami makna ayat, yang hendak dilakukan adalah
memperhatikan siyâq-nya atau redaksi ayat. Apakah dalam ayat tersebut
terdapat satu kata musytarak. Perbedaan pemahaman ayat adakalanya dipicu
oleh keberadaan kata yang bermakna ganda secara bahasa. Penafsiran akan
selamanya beragam –adakalanya satu pemahaman bertolak belakang dengan pemahaman
yang lain- selama tidak dicarikan jalan tengah yang dapat menguatkan satu makna
dari makna kata yang ada.[10]
Contohnya, kata al-ihshan secara
bahasa diterjemahkan dengan
Islam, terjaga/terpelihara, merdeka, dan mengawinkan. Dalam ayat 25 dari surat
an-Nisa, kata ini dapat dicarikan makna yang pas dengan bantuan kaidah as-siyâq
al-Qurany. makna yang tepat pada ayat ini adalah at-tazwij mengawinkan.
Imam Ibn Katsir berkata, “
firman Allah dalam surat an-Nisa’25 itu bermakna menikah[11].
Sedangkan orang yang berpendapat ayat tersebut dipahami dengan Islam, berarti
menyalahi redaksi ayat yang jelas berbicara tentang alfatayat almukminat pemudi
yang mukminat. Pendapat Imam Ibn Katsir ini didukung juga oleh Imam
as-Sanqithy.[12]
Keempat macam siyâq
di atas merupakan unsur kajian siyâq yang harus diperhatikan. Satu siyâq
dengan siyâq lain tidak saling bertolak belakang, malah sebaliknya, siyâq
al-ayah, an-nash, as-surah, dan siyâq al-Quran saling bahu
membahu menunjukkan kekokohan makna yang dikandung ayat al-Quran. Maka, dengan
menerapkan empat macam siyâq ini akan tersingkaplah ke-i’jazan
al-Quran, dan terbukti bahwa tidak ada pertentangan antara ayat dengan ayat
lain di dalam al-Quran. Sehingga, keserasian bahasa dan hikmah penempatan satu lafazh
dalam suatu ayat tidak pada tempat yang lain juga dapat terbukti biiznillah.
Dengan memperhatikan keempat macam pembagian siyâq
di atas, maka semakin jelaslah bahwa yang dimaksud dari kaidah ini adalah
perhatian penuh kepada redaksi ayat yang sedang ditafsirkan, memperhatikan
kekhususan surat, dan memperhatikan bagaimana penafsiran tidak bertentangan
dengan dasar agama.
[3] Ibn Asyûr, Muqaddimah tafsir h. 38
[4] Muhammad Ibn Taymiyah, Minhaj as-sunnah
an-Nabawiyah fi Naqdhi Kalam as-Syia’h al-Qhadariyah, (cet. I, jilid 6 ,
1986 M Mkatabah Ibn Taymiyah) hal. 118
[8] Muhammad al-Amin Ibn Muhammad as-Syinqithy, Adhwa’ al-Bayan fi Idhah al-Quran bil
al-Quran,( Dar ilmu Fawaid, jilid
I), hal. 159
[11] Lihat Tafsir Ibn Katsir, jilid I, hal. 477
No comments:
Post a Comment