A.
Perhatian Ulama Terhadap
Kaidah as-siyâq al-Qurany
Warisan keilmuan kaidah as-siyâq
al-Qurany diterima dan dijaga oleh
para ulama. Setiap kitab tafsir yang muncul –dengan berbagai launnnya-
senantiasa menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany ini, meskipun tidak
dibahasakan bahwa kitab tafsir itu menggunakan kaidah tersebut. Wujud perhatian
ulama kepada kaidah as-siyâq al-Qurany ini akan dijelaskan dengan dua
bukti nyata;
Pertama, berlandaskan pada
perkataan para ulama yang mendukung betapa pentingnya kaidah as-siyâq
al-Qurany ini dalam penafsiran. Di antara perkataan ulama yang mencerminkan
hal tersebut adalah;
وقال أبو عبيد حدثنا معاذ
عن ابن عون عن عبد الله بن مسلم بن يسار عن أبيه قال: إذا حدثت عن الله شيئا فقف
حتى تنظر ما قبله وما بعده[1]
Abu Ubaid meriwayatkan dari Mu’adz dari Ibn Aun, Ibn Aun
dari Abdullah Ibn Muslim Ibn Yasar bahwa Abu Yasar berkata; seandainya anda
berkata tentang Allah –al-Quran- berhentilah sampai memperhatikan runtutan ayat
sebelum dan sesudahnya.
Larangan ini didasari dari
kekhawatiran Abu Yasar pada hasil tafsir yang tidak mempedulikan siyâq
al-Quran. perkataan ini juga membuktikan bahwa kaidah as-siyâq al-Qurany
ini sangat penting bagi seoarang mufassir.
وقال الشيخ محمد رشيد رضا
مبينا أن المرتبة العليا لفهم القرآن هي الفهم العام للسياق القرآني، فيقول
والأحسن أن يفهم اللفظ من القرآن نفسه بأن يجمع ما تكرر في مواضع منه وينظر فيه
ويحقق كيف يتفق معناه مع جملة معنى الأية فيعرف المعنى المطلوب من بين معانيه .
وقد قالوا إن القرآن يفسر بعضه ببعض وأن أفضل قرينة تقوم على حقيقة معنى اللفظ
موافقته لما سبق له من القول واتفاقه مع جملة المعنى وائتلافه مع القصد الذي جاء
له الكتاب بجملته.[2]
Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha berkata ketika menjelaskan tingkatan tertinggi dalam memahami al-Quran.
tingkat tertinggi adalah memahami umum terhadap siyâq al-Quran. yang
paling baik adalah memahami satu lafazh dengan al-Quran itu sendiri. Dengan
mengumpulkan di beberapa tempat yang berbeda dan memperhatikan bagaimana
kesatuan makna lafazh tersebut. Sehingga ketika menafsirkan satu ayat akan
diketahui maknanya dari makna yang ada. Mereka mengatakan bahwa al-Quran itu sebagiannya
menafsirkan sebagian yang lain. Satu penyebab dalam menetapkan makna lafazh
adalah memperhatikan perkataan sebelumnya.
Muhammad Rasyid Ridha (w.
1345 H) dikenal sebagai tokoh revolusioner Islam. sebagai seorang yang pakar di
berbagai disiplin keilmuan, Rasyid Ridha sangat aktif dalam mendengarkan
pengajian yang disampaikan oleh gurunya Muhammad Abduh. Semangat pembaharuan
yang dibawanya diminati oleh akademisi di belahan dunia. Meskipun tafsirnya
tidak ber-laun-kan Tafsîr bil ma’tsur, beliau tidak meninggalkan
riwayat secara mutlak. Bahkan beliau dianggap seirama dengan ulama lain yang
mengedepankan aspek kaidah as-siyâq al-Qurany dalam menafsirkan
al-Quran.
Ungkapan beliau
al-Quran itu sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain menunjukkan betapa
eratnya ikatan satu ayat dengan ayat lain. Manakala tafsir al-Quran yang hanya
memotong satu ayat saja, maka akan terlihat bertentangan dengan prinsip dasar
Islam. Penafsiran sebagian ayat
dengan ayat lain inilah yang dimaksudkan dengan kaidah as-siyâq al-Qurany.
وقال الشيخ عبد الرحمن
السعدي في بيان الأمور المعينة على فهم المراد من القرآن : فالنظر لسياق الآيات،
مع العلم بأحوال الرسول وسيرته مع أصحابه وأعدئه وقت نزوله من أعظم ما يعينه على
معرفته وفهم المراد منه
وقال الإمام الزركشي في ما
لم يرد فيه نقل عن المفسرين وطريق التوصل إلى فهمه النظر إلى مفردات الألفاظ من
لغة العرب ومدلولاتها واستعمالها بحسب السياق[3]
Syaikh Abdurrahman
as-Sa’di menyebutkan ketika menjelaskan hal yang dapat membantu untuk menemukan
pemahaman yang benar. Hal terbesar yang dapat membantu untuk menemukan tafsir
yang benar adalah memperhatikan siyâq ayat, mengetahui kondisi Rasul dan
sejarahnya bersama para sahabatnya dan musuhnya ketika diturunkan satu ayat.
Imam az-Zarkasyi[4] berkata ketika tidak ditemukan riwayat dari
para mufassir dan juga tidak ada langkah yang dapat ditempuh untuk mengetahui
sesuai dengan pemahaman sahabat, amka langkah yang ditempuh adalaha
memperhatikan mufradat bahasa Arab, madlulnya dan penggunaanya
sesuai dengan siyâqnya.
وقال السيوطي أثناء بيانه
للشروط الواجبة على المفسرين "وعليه بمراعاة المعنى الحقيقي والمجازي ومراعاة
التأليف والغرض الذي سيق له الكلام"[5]
Imam as-Syuyuthy berkata
sewaktu menjelaskan syarat wajib yang harus dipenuhi seorang mufassir. Seorang
mufassir harus memperhatikan makna hakiki, majazi, dan tujuan yang dimaksudkan
oleh siyâq kalam.
Imam as-Syuyuthi
menyebutkan beberapa disiplin keilmuan yang harus dikuasai sebelum memberanikan
diri menafsirkan ayat al-Quran. Salah satu yang harus diperhatikan dalam
menafsirkan ayat adalah siyâq al-kalam.
Kedua, berlandaskan kepada
hasil karya para ulama yang menerapkan kaidah ini dalam tafsir mereka.
Perhatian sekedar dengan kata-kata belumlah kuat untuk membuktikan pentingnya
kaidah ini dalam dunia tafsir. Harus ada bukti nyata berupa hasil tafsir yang
menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany ini. Maka poin kedua ini akan
memaparkan kitab tafsir yang benar menerapkan kaidah ini dalam kitab tafsirnya.
Kaidah as-siyâq al-Qurany ini telah hidup cikal bakalnya sejak zaman Rasulullah.[6]
Contoh aplikatif dari Rasulullah Saw. ini senantiasa diwarisi dan dijadikan
sebagai salah satu acuan dalam menafsirkan al-Quran. Sejak awal pembukuan kitab
tafsir hingga saat ini kaidah as-siyâq al-Qurany ini senantiasa
dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengkaji makna ayat. Untuk contoh
konkrit aplikasi kaidah kaidah as-siyâq al-Qurany ini dalam kitab
tafsir, penulis cukupkan dengan contoh yang telah ada pada halaman sebelumnya.
Untuk melepaskan adanya anggapan subjektifitas dalam
penetapan beberapa kitab tafsir yang dianggap menerapkan kaidah ini, penulis
mengemukakan kembali beberapa kitab yang telah diteliti oleh akademisi. Di
antara kitab tafsir yang telah diteliti –sepanjang pengetahuan penulis- dan
terbukti menggunakan kaidah as-siyâq al-Qurany adalah tafsir Ibn Katsir.
Sarjanawan yang telah berhasil membuktikannya adalah Muhammad al-Mahdi Himamy
Rifa’i untuk menyelesaikan studinya di Universitas Aleppo. Di samping itu,
beliau juga membuktikan bahwa kitab al-Kasysyaf juga menerapkan kaidah as-siyâq[7].
Selain Muhammad al-Mahdi yang membuktikan terapan kaidah as-siyâq al-Qurany
dalam kitab tafsir Ibn Katsir, Abdurrahman Abdullah Surur Jurman al-Mathiry
juga telah membuktikan ketika menyelesaikan tesisnya di Universitas Umm
al-Qura. Lebih lanjut Prof. Fahd Ar-Rumy juga menyebutkan bahwa Imam at-Thabary
menggunakan kaidah ini dalam kitab tafsirnya. Contoh di atas, agaknya telah
mewakili betapa besarnya dan urgennya kaidah ini dalam penafsiran.[8]
[1] Abu al-Fida ismail Ibn
Katsir, Tafsîr al-Quran al-Azhim, ( cet. I, Maktabah Aulad Syaikh
litturas ttp) h. 17. Kitab ini ditahkik oleh Hasan Abbas Qutub dkk.
[3] Imam
az-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran ( Maktabah Dar at-Turas,
Kairo) H.172. kitab ini ditahkik oleh
Muhammad Abu Fadhil Ibrahim
[4] Nama lengkap beliau adalah Badruddin Muhammad Ibn
Abdulllah Ibn Bahadir az-Zarkasyi, lahir pada tahun 745 H di Kairo. Karangan
beliau cukup banyak di berbagai disiplin keilmuan. Beliau pernah merantau ke
daerah lain seperti Dimasyq. Beliau meninggal di tanah kelahirannya Mesir pada
tahun 794 H.
[5] Tahani Binti Salim Ibn Ahmad, Atsar Dilalati as-siyâq al-Qur’any fi taujih
makna al-Mutasyabih allafzhi fi qashashi al-Qurany dirasatan nazhiriyatan
tathbiqiyatan ‘ala ayat qashashi nuh wa hud wa shaleh wa shu’aib (thesis,
Jami’ah Umm al-Qura 2007 M) h. 53
[6] Lihat contoh aplikatif Rasul pada bab II ini,
pada sub bab kaidah as-siyâq al-Qurany di masa Nabi dan
Sahabat.
[7] Penelitian Rifa’I ini berdasarkan kajian kebahasaan.
[8] Silahkan rujuk lagi sub
bab kajian terdahulu yang relevan. Pada halaman tersebut dikemukakan bahwa
penelitian yang dilakukan oleh sarjanawan muslim menetapkan bahwa ada sederetan
kitab tafsir yang menggunakan kaidah as-siyaq al-Qurany ini.
No comments:
Post a Comment