Friday, April 5, 2019

Perhatian Ulama Terhadap Kaidah as-siyâq al-Qurany


A.      Perhatian Ulama Terhadap Kaidah as-siyâq al-Qurany
Warisan keilmuan kaidah as-siyâq al-Qurany  diterima dan dijaga oleh para ulama. Setiap kitab tafsir yang muncul –dengan berbagai launnnya- senantiasa menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany ini, meskipun tidak dibahasakan bahwa kitab tafsir itu menggunakan kaidah tersebut. Wujud perhatian ulama kepada kaidah as-siyâq al-Qurany ini akan dijelaskan dengan dua bukti nyata;
Pertama, berlandaskan pada perkataan para ulama yang mendukung betapa pentingnya kaidah as-siyâq al-Qurany ini dalam penafsiran. Di antara perkataan ulama yang mencerminkan hal tersebut adalah;
وقال أبو عبيد حدثنا معاذ عن ابن عون عن عبد الله بن مسلم بن يسار عن أبيه قال: إذا حدثت عن الله شيئا فقف حتى تنظر ما قبله وما بعده[1]
Abu Ubaid meriwayatkan dari Mu’adz dari Ibn Aun, Ibn Aun dari Abdullah Ibn Muslim Ibn Yasar bahwa Abu Yasar berkata; seandainya anda berkata tentang Allah –al-Quran- berhentilah sampai memperhatikan runtutan ayat sebelum dan sesudahnya.

Larangan ini didasari dari kekhawatiran Abu Yasar pada hasil tafsir yang tidak mempedulikan siyâq al-Quran. perkataan ini juga membuktikan bahwa kaidah as-siyâq al-Qurany ini sangat penting bagi seoarang mufassir.
وقال الشيخ محمد رشيد رضا مبينا أن المرتبة العليا لفهم القرآن هي الفهم العام للسياق القرآني، فيقول والأحسن أن يفهم اللفظ من القرآن نفسه بأن يجمع ما تكرر في مواضع منه وينظر فيه ويحقق كيف يتفق معناه مع جملة معنى الأية فيعرف المعنى المطلوب من بين معانيه . وقد قالوا إن القرآن يفسر بعضه ببعض وأن أفضل قرينة تقوم على حقيقة معنى اللفظ موافقته لما سبق له من القول واتفاقه مع جملة المعنى وائتلافه مع القصد الذي جاء له الكتاب بجملته.[2]
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata ketika menjelaskan tingkatan tertinggi dalam memahami al-Quran. tingkat tertinggi adalah memahami umum terhadap siyâq al-Quran. yang paling baik adalah memahami satu lafazh dengan al-Quran itu sendiri. Dengan mengumpulkan di beberapa tempat yang berbeda dan memperhatikan bagaimana kesatuan makna lafazh tersebut. Sehingga ketika menafsirkan satu ayat akan diketahui maknanya dari makna yang ada. Mereka mengatakan bahwa al-Quran itu sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain. Satu penyebab dalam menetapkan makna lafazh adalah memperhatikan perkataan sebelumnya.

Muhammad Rasyid Ridha (w. 1345 H) dikenal sebagai tokoh revolusioner Islam. sebagai seorang yang pakar di berbagai disiplin keilmuan, Rasyid Ridha sangat aktif dalam mendengarkan pengajian yang disampaikan oleh gurunya Muhammad Abduh. Semangat pembaharuan yang dibawanya diminati oleh akademisi di belahan dunia. Meskipun tafsirnya tidak ber-laun-kan Tafsîr bil ma’tsur, beliau tidak meninggalkan riwayat secara mutlak. Bahkan beliau dianggap seirama dengan ulama lain yang mengedepankan aspek kaidah as-siyâq al-Qurany dalam menafsirkan al-Quran.
Ungkapan beliau al-Quran itu sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain menunjukkan betapa eratnya ikatan satu ayat dengan ayat lain. Manakala tafsir al-Quran yang hanya memotong satu ayat saja, maka akan terlihat bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Penafsiran sebagian ayat dengan ayat lain inilah yang dimaksudkan dengan kaidah ­as-siyâq al-Qurany.
وقال الشيخ عبد الرحمن السعدي في بيان الأمور المعينة على فهم المراد من القرآن : فالنظر لسياق الآيات، مع العلم بأحوال الرسول وسيرته مع أصحابه وأعدئه وقت نزوله من أعظم ما يعينه على معرفته وفهم المراد منه
وقال الإمام الزركشي في ما لم يرد فيه نقل عن المفسرين وطريق التوصل إلى فهمه النظر إلى مفردات الألفاظ من لغة العرب ومدلولاتها واستعمالها بحسب السياق[3]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menyebutkan ketika menjelaskan hal yang dapat membantu untuk menemukan pemahaman yang benar. Hal terbesar yang dapat membantu untuk menemukan tafsir yang benar adalah memperhatikan siyâq ayat, mengetahui kondisi Rasul dan sejarahnya bersama para sahabatnya dan musuhnya ketika diturunkan satu ayat.
Imam az-Zarkasyi[4]  berkata ketika tidak ditemukan riwayat dari para mufassir dan juga tidak ada langkah yang dapat ditempuh untuk mengetahui sesuai dengan pemahaman sahabat, amka langkah yang ditempuh adalaha memperhatikan mufradat bahasa Arab, madlulnya dan penggunaanya sesuai dengan siyâqnya.

وقال السيوطي أثناء بيانه للشروط الواجبة على المفسرين "وعليه بمراعاة المعنى الحقيقي والمجازي ومراعاة التأليف والغرض الذي سيق له الكلام"[5]
Imam as-Syuyuthy berkata sewaktu menjelaskan syarat wajib yang harus dipenuhi seorang mufassir. Seorang mufassir harus memperhatikan makna hakiki, majazi, dan tujuan yang dimaksudkan oleh siyâq kalam.

Imam as-Syuyuthi menyebutkan beberapa disiplin keilmuan yang harus dikuasai sebelum memberanikan diri menafsirkan ayat al-Quran. Salah satu yang harus diperhatikan dalam menafsirkan ayat adalah siyâq al-kalam.
Kedua, berlandaskan kepada hasil karya para ulama yang menerapkan kaidah ini dalam tafsir mereka. Perhatian sekedar dengan kata-kata belumlah kuat untuk membuktikan pentingnya kaidah ini dalam dunia tafsir. Harus ada bukti nyata berupa hasil tafsir yang menerapkan kaidah as-siyâq al-Qurany ini. Maka poin kedua ini akan memaparkan kitab tafsir yang benar menerapkan kaidah ini dalam kitab tafsirnya.
Kaidah as-siyâq al-Qurany ini telah hidup cikal bakalnya sejak zaman Rasulullah.[6] Contoh aplikatif dari Rasulullah Saw. ini senantiasa diwarisi dan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menafsirkan al-Quran. Sejak awal pembukuan kitab tafsir hingga saat ini kaidah as-siyâq al-Qurany ini senantiasa dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengkaji makna ayat. Untuk contoh konkrit aplikasi kaidah kaidah as-siyâq al-Qurany ini dalam kitab tafsir, penulis cukupkan dengan contoh yang telah ada pada halaman sebelumnya.
Untuk melepaskan adanya anggapan subjektifitas dalam penetapan beberapa kitab tafsir yang dianggap menerapkan kaidah ini, penulis mengemukakan kembali beberapa kitab yang telah diteliti oleh akademisi. Di antara kitab tafsir yang telah diteliti –sepanjang pengetahuan penulis- dan terbukti menggunakan kaidah as-siyâq al-Qurany adalah tafsir Ibn Katsir. Sarjanawan yang telah berhasil membuktikannya adalah Muhammad al-Mahdi Himamy Rifa’i untuk menyelesaikan studinya di Universitas Aleppo. Di samping itu, beliau juga membuktikan bahwa kitab al-Kasysyaf juga menerapkan kaidah as-siyâq[7]. Selain Muhammad al-Mahdi yang membuktikan terapan kaidah as-siyâq al-Qurany dalam kitab tafsir Ibn Katsir, Abdurrahman Abdullah Surur Jurman al-Mathiry juga telah membuktikan ketika menyelesaikan tesisnya di Universitas Umm al-Qura. Lebih lanjut Prof. Fahd Ar-Rumy juga menyebutkan bahwa Imam at-Thabary menggunakan kaidah ini dalam kitab tafsirnya. Contoh di atas, agaknya telah mewakili betapa besarnya dan urgennya kaidah ini dalam penafsiran.[8]


[1] Abu al-Fida ismail Ibn Katsir, Tafsîr al-Quran al-Azhim, ( cet. I, Maktabah Aulad Syaikh litturas ttp) h. 17. Kitab ini ditahkik oleh Hasan Abbas Qutub dkk.
[2] Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manar (cet. II, 1947 M. Dar al-Manar, Kairo ) h. 22
[3]  Imam az-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran ( Maktabah Dar at-Turas, Kairo)  H.172. kitab ini ditahkik oleh Muhammad Abu Fadhil Ibrahim
[4] Nama lengkap beliau adalah Badruddin Muhammad Ibn Abdulllah Ibn Bahadir az-Zarkasyi, lahir pada tahun 745 H di Kairo. Karangan beliau cukup banyak di berbagai disiplin keilmuan. Beliau pernah merantau ke daerah lain seperti Dimasyq. Beliau meninggal di tanah kelahirannya Mesir pada tahun 794 H.
[5]  Tahani Binti Salim Ibn Ahmad,  Atsar Dilalati as-siyâq al-Qur’any fi taujih makna al-Mutasyabih allafzhi fi qashashi al-Qurany dirasatan nazhiriyatan tathbiqiyatan ‘ala ayat qashashi nuh wa hud wa shaleh wa shu’aib (thesis, Jami’ah Umm al-Qura 2007 M) h. 53
[6] Lihat contoh aplikatif Rasul pada bab II ini, pada sub bab  kaidah as-siyâq al-Qurany di masa Nabi dan Sahabat.
[7] Penelitian Rifa’I ini berdasarkan kajian kebahasaan. 
[8] Silahkan rujuk lagi sub bab kajian terdahulu yang relevan. Pada halaman tersebut dikemukakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh sarjanawan muslim menetapkan bahwa ada sederetan kitab tafsir yang menggunakan kaidah as-siyaq al-Qurany ini.

No comments:

Post a Comment