Friday, April 5, 2019

Metode Penafsiran Hamka dalam Tafsir al-Azhar


a.      Metode Penafsiran Hamka dalam Tafsir al-Azhar
Sebelum memasuki manhajnya, terlebih dahulu dijelaskan tentang sejarah penulisan tafsir al-Azhar. Usaha menghasilkan Tafsir Al-Azhar telah dimulai secara tidak formal oleh Hamka sejak tahun 1958. Hamka telah mengadakan kuliah tafsir Al-Quran setiap pagi setelah subuh di Masjid Al-Azhar dari akhir tahun 1958 hingga Januari 1964. Tetapi, usaha secara formal oleh Hamka untuk menyiapkan Tafsir al-Azhar bermula ketika beliau dipenjarakan dari tahun1964 sampai 1966.[1]
Nama Tafsir Al-Azhar diambil dari nama Masjid dimana Hamka pertama kali menyampaikan kuliah tafsirnya itu yaitu Masjid Al-Azhar. Selain itu Hamka sebagai seorang tokoh ulama yang merasai denyut nadi masyarakat sepanjang kerja dakwah mendapati wujud keadaan mendesak bagi beliau untuk menulis tafsir       al-Quran dalam bahasa Indonesia yang lengkap. Pertama yang membawa kepada penulisan tafsir ini ialah kebangkitan golongan muda yang ingin mendekati          al-Quran namun terbatas pengetahuannya karena kurangnya kemampuan berbahasa Arab. Kedua ialah adanya golongan pendakwah yang bisa berbahasa Arab namun amat sedikit pengetahuan umum dalam ilmu-ilmu berkaitan sejarah, sains dan lain-lain. Mereka hanya membawa faham tradisi yang keras sehingga kurang daya tarik di kalangan masyarakat yang semakin kritis dalam memahami sesuatu hal.[2]
Hamka memulai tafsirnya dengan muqadimah yang agak panjang yaitu setebal 50 halaman. Dalam Pengantar Tafsir Al-Azhar, beliau memberi penghormatan kepada 4 individu penting dalam penulisan tafsir ini yaitu Haji Abdul Karim, Ahmad Rashid Sutan Mansur, Siti Raham dan Safiah. Kemudian, dalam bab Pendahuluan, Hamka menyebut keperluan menafsirkan Al-Quran dalam bahasa Indonesia dengan syarat memenuhi syarat-syarat asas tafsir seperti yang telah ditetapkan oleh para ulama. [3]
Dalam bab yang seterusnya, beliau secara panjang lebar membicarakan segala isu berkaitan al-Quran dan tafsir, yaitu dalam bab al-Quran, bab ‘Ijaz          al-Quran, bab Isi Mukjizat al-Quran, bab al-Qur’an Lafaz dan Makna dan bab Menafsirkan al-Quran. Namun, bab yang paling penting ialah tentang tafsir. Dalam bab ini, Hamka menjelaskan manhaj beliau ketika menulis tafsir ini. Terdapat 7 manhaj utama yaitu:
(1). Memelihara hubungan antara aqal dan naqal[4].
(2). Mengurangi persoalan pertikaian mazhab yang tidak membawa faedah.
(3). Pengaruh Sayid Rashid ridha, Syeikh Muhammad Abduh dan tafsir-tafsir modern dalam Tafsir Al-Azhar.
(4). Pengaruh latar belakang pembaca tafsir yang berbagai latar belakang dan status mereka.
(5). Merujuk kepada para ilmuwan dalam ilmu-ilmu fardu kifayah.
(6). Menyebut riwayat tafsir yang lemah sekedar untuk pengetahuan menilainya.
(7). Sejumlah pendapat ulama Indonesia turut menjadi bahan untuk dimuatkan dalam tafsir yang besar ini.[5]
Keunikan tafsir al-Azhar dibanding kitab-kitab tafsir yang lain ialah penyusunan kelompok-kelompok ayat Al-Quran mengikut tema ayat-ayat al-Quran berdasarkan surat tertentu. Hamka berhasil menunjukkan tema ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan. Hasilnya, pembaca dapat memahami maksud tafsiran ayat-ayat tersebut dengan jelas serta kesinambungan yang ada antara ayat tersebut. Ini merupakan suatu bentuk tafsir maudhu’i (tafsir tematik) yang membagi Surat kepada tema-tema ayat yang lebih khusus. Selain itu, kebanyakan Surat dimulai dengan memberi tafsiran pendahuluan yang membicarakan tema umum Surat tersebut serta isu-isu yang akan dibincarakan dalam tafsir Surat tersebut.[6]
Contohnya
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
Inilah kitab itu; tidak ada keraguan padanya, suatu petunjuk bagi orang-orang yang hendak bertaqwa. (Q.S. al-Baqarah [2]: 2)

Inilah dia Kitab Allah itu yakni al-Qur’an yang meskipun ayat ini belum merupakan sebuah naskah atau mushaf berupa buku namun setiap ayat dan surat sudah mulai beredar dan sudah mulai dihafal oleh sahabat-sahabat Rasulullah, tidak ada yang diragukan lagi. Al-Qur’an benar-benar wahyu dari Tuhanmu, dibawa oleh Jibril, bukan karangan Rasulullah yang tidak pandai menulis dan membaca itu. Al-Qur’an menjadi petunjuk bagi orang-orang yang ingin bertaqwa.[7]


[1] Yunan Yusuf, loc.cit., h. 50
[2]Ibid
[3] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985), Juz 1, h. Kata Pengantar
[4] Ibid,Juz I,h.41
[5] Ibid
[6]Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, ( Jakarta : Kalam Mulia,1996), h.23  
[7] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1982), Juz I, h. 122

No comments:

Post a Comment