a. Metode
Penafsiran Hamka dalam Tafsir al-Azhar
Sebelum memasuki manhajnya, terlebih
dahulu dijelaskan tentang sejarah penulisan tafsir al-Azhar. Usaha
menghasilkan Tafsir Al-Azhar telah dimulai secara tidak formal oleh
Hamka sejak tahun 1958. Hamka telah mengadakan kuliah tafsir Al-Quran setiap
pagi setelah subuh di Masjid Al-Azhar dari akhir tahun 1958 hingga Januari
1964. Tetapi, usaha secara formal oleh Hamka untuk menyiapkan Tafsir
al-Azhar bermula ketika beliau dipenjarakan dari tahun1964 sampai 1966.[1]
Nama Tafsir Al-Azhar diambil dari nama
Masjid dimana Hamka pertama kali menyampaikan kuliah tafsirnya itu yaitu Masjid
Al-Azhar. Selain itu Hamka sebagai seorang tokoh ulama yang merasai denyut nadi
masyarakat sepanjang kerja dakwah mendapati wujud keadaan mendesak bagi beliau
untuk menulis tafsir al-Quran dalam
bahasa Indonesia yang lengkap. Pertama yang membawa kepada penulisan
tafsir ini ialah kebangkitan golongan muda yang ingin mendekati al-Quran namun terbatas pengetahuannya karena
kurangnya kemampuan berbahasa Arab. Kedua ialah adanya golongan
pendakwah yang bisa berbahasa Arab namun amat sedikit pengetahuan umum dalam
ilmu-ilmu berkaitan sejarah, sains dan lain-lain. Mereka hanya membawa faham
tradisi yang keras sehingga kurang daya tarik di kalangan masyarakat yang
semakin kritis dalam memahami sesuatu hal.[2]
Hamka memulai tafsirnya dengan muqadimah
yang agak panjang yaitu setebal 50 halaman. Dalam Pengantar Tafsir Al-Azhar,
beliau memberi penghormatan kepada 4 individu penting dalam penulisan tafsir
ini yaitu Haji Abdul Karim, Ahmad Rashid Sutan Mansur, Siti Raham dan Safiah.
Kemudian, dalam bab Pendahuluan, Hamka menyebut keperluan menafsirkan Al-Quran
dalam bahasa Indonesia dengan syarat memenuhi syarat-syarat asas tafsir seperti
yang telah ditetapkan oleh para ulama. [3]
Dalam bab yang seterusnya, beliau secara
panjang lebar membicarakan segala isu berkaitan al-Quran dan tafsir, yaitu
dalam bab al-Quran, bab ‘Ijaz al-Quran,
bab Isi Mukjizat al-Quran, bab al-Qur’an Lafaz dan Makna dan bab Menafsirkan
al-Quran. Namun, bab yang paling penting ialah tentang tafsir. Dalam bab ini,
Hamka menjelaskan manhaj beliau ketika menulis tafsir ini. Terdapat 7 manhaj
utama yaitu:
(1). Memelihara hubungan antara aqal dan naqal[4].
(2). Mengurangi persoalan pertikaian mazhab yang
tidak membawa faedah.
(3). Pengaruh Sayid Rashid ridha,
Syeikh Muhammad Abduh dan tafsir-tafsir modern dalam Tafsir Al-Azhar.
(4). Pengaruh latar belakang pembaca
tafsir yang berbagai latar belakang dan status mereka.
(5). Merujuk kepada para ilmuwan dalam ilmu-ilmu
fardu kifayah.
(6). Menyebut riwayat tafsir yang lemah sekedar
untuk pengetahuan menilainya.
(7). Sejumlah pendapat ulama Indonesia
turut menjadi bahan untuk dimuatkan dalam tafsir yang besar ini.[5]
Keunikan tafsir al-Azhar dibanding
kitab-kitab tafsir yang lain ialah penyusunan kelompok-kelompok ayat Al-Quran
mengikut tema ayat-ayat al-Quran berdasarkan surat tertentu. Hamka berhasil
menunjukkan tema ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan. Hasilnya, pembaca dapat
memahami maksud tafsiran ayat-ayat tersebut dengan jelas serta kesinambungan
yang ada antara ayat tersebut. Ini merupakan suatu bentuk tafsir maudhu’i (tafsir
tematik) yang membagi Surat kepada tema-tema ayat yang lebih khusus. Selain
itu, kebanyakan Surat dimulai dengan memberi tafsiran pendahuluan yang
membicarakan tema umum Surat tersebut serta isu-isu yang akan dibincarakan
dalam tafsir Surat tersebut.[6]
Contohnya
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Inilah kitab itu; tidak ada keraguan padanya, suatu
petunjuk bagi orang-orang yang hendak bertaqwa. (Q.S. al-Baqarah [2]: 2)
Inilah dia Kitab Allah itu yakni al-Qur’an
yang meskipun ayat ini belum merupakan sebuah naskah atau mushaf berupa
buku namun setiap ayat dan surat sudah mulai beredar dan sudah mulai dihafal
oleh sahabat-sahabat Rasulullah, tidak ada yang diragukan lagi. Al-Qur’an
benar-benar wahyu dari Tuhanmu, dibawa oleh Jibril, bukan karangan Rasulullah
yang tidak pandai menulis dan membaca itu. Al-Qur’an menjadi petunjuk bagi
orang-orang yang ingin bertaqwa.[7]
[1] Yunan Yusuf, loc.cit.,
h. 50
[3] Hamka, Tafsir
al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985), Juz 1, h. Kata Pengantar
[4] Ibid,Juz
I,h.41
[5] Ibid
[6]Abdul Jalal, Urgensi
Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, ( Jakarta : Kalam Mulia,1996), h.23
[7] Hamka, Tafsir
al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1982), Juz I, h. 122
No comments:
Post a Comment