a. Pemikiran
dan Karya Hamka
Hamka, sebagai seorang pemikir Islam, telah
melahirkan pemikiran-pemikiran di bidang etika. Bukti pemikirannya adalah
tulisan-tulisannya dalam beberapa buku, diantaranya: Tasawuf Modern[1]. Pada awalnya, karyanya ini
merupakan kumpulan artikel yang dimuat dalam pedoman masyarakat antara tahun 1937-1938.
Karena tuntutan masyarakat, kumpulan artikel tersbut kemudian dikumpulkan. Buku
ini pertama kali ditulis di Medan pada tahun 1939-1987. Buku ini telah
mengalami 16 kali cetak ulang. Dalam karya monumentalnya ini, ia memaparkan pembahasannya kedalam XII bab.
Buku ini diawalinya dengan terlebih dahulu memaparkan secara singkat tentang
tasawuf. Kemudian secara beruntun dipaparkannya pula pendapat para ilmuan
tentang makna kebahagiaan, bahagia dan agama,bahagian dan utama,kesehatan jiwa
dan badan, serta harta benda dan bahagia, sifat qana’ah, kebahagiaan
yang dirasakan Rasulullah, hubungan ridha dan keindahan alam, tangga
bahagia,celaka, dan munajat kepada Allah. Melalui karyanya ini merupakan
langkah yang sangat strategis, sekaligus upayanya meletakkan dasar-dasar
sufisme “baru” (neosufisme) di tanah air. Dalam buku tersebut, ia mencoba
membahas tasawuf melalui “bahasa bumi” yang mudah dipahami oleh masyarakat
umum. Melalui karyanya tersebut, ia memberikan apresiasi yang wajar terhadap penghayatan
esoteris Islam, sekaligus peringatan bahwa esoterisme itu hendaknya
terkendalikan oleh ajaran standar syari’ah. Di sini ia menghendaki suatu
penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam, akan tetapi tidak perlu melakukan
pengasingan diri (uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam
masyarakat. Kelihatnnya, ia terwarnai pemikiran Ibn Taimiyyah, al-Ghazali, dan
Ibn Qayyim al-Jawziyah
dengan “neosufismenya”.[2] ; Falsafah Hidup, yang
ditulis di Medan dan dicetak pertama kali tahun 1939 dan telah mengalami 12
kali cetak ulang[3].
Buku ini terdiri atas IX bab. Ia memulai buku ini dengan memaparkan hidup dan
makna kehidupan. Kemudian pada bab berikutnya dijelaskan pula tentang ilmu dan
akal dalam berbagai aspek dan dimensinya. Selanjutnya ia mengetangahkan tentang
undang-undang alam( sunnatullah ). Kemudian tentang adab kesopanan baik
secara vertikal maupun horizontal. Selanjutnya, makna kesederhanaan menurut
Islam. Ia juga mengomentari makna berani dan fungsinya bagi kehidupan manusia.
Bab selanjutnya diketengahkan tentang keadilan dengan berbagai dimensinya,
makna persahabatan, serta bagaimana mencari dan membina persahabatan. Buku ini
dikahirinya dengan membicarakan Islam sebagai pembentuk hidup.; Lembaga
Hidup,[4] ditulis pada tahun 1940 di Medan.
Dalam karyanya Lembaga Hidup, ia mengembangkan pemikirannya dalam XII
bab. Dalam karyanya tersebut, ia ,mencoba mengupas tentang berbagai kewajiban
manusia, asal usul munculnya keajiban, kewajiban manusia kepada Allah,
kewajiban manusia secara sosial, hak atas harta benda, kewajiban dalam
pandangan muslim, kewajiban dalam keluarga, kewajiban menuntut ilmu, kewajiban
bertanah air, Islam dan politik, al-Qur’an untuk zaman modern, dan tulisan ini
ditutup dengan memaparkan sosok Nabi Muhammad.
; Lembaga
Budi,[5] ditulis pada tahun 1939 yang
terdiri dari XI bab. Pembicaaannya meliputi ;budi yang mulia, sebab budi
menjadi rusak, penyakit budi, budi orang yang memegang pemerintahan, budi mulia
yang seyogyanya yang dimiliki oleh seorang raja( penguasa), budi pengusaha,
budi pekerja, budi ilmuan, tinjauan budi dan percikan pengalaman.[6]
Sebagai seorang intelektual, dia mampu
menguraikan berbagai tema etika yang sangat baik. Dia mampu mensintesiskan
antara ajaran Islam dengan pemikiran-pemikiran filosofis dalam menguraikan
tema-tema etika tersebut. Sehingga antara ajaran Islam dan pemikiran-pemikiran
para filsuf, baik muslim maupun non muslim sangat selaras, sebab dalam
menganalisis masalah-masalah etika dia sangat menonjolkan penggunaan pemikiran
rasional.[7]
Berdasarkan keterangan yang penulis ketahui,
Hamka telah menghasilkan karangan yang sangat banyak, diantara karangan yang
pernah ditulisnya adalah sebagai berikut: (1). Kenang-kenangan Hidup (empat
jilid), 1974, (2). Margaretta Gauthier, 1975, (3). Di dalam Lembah
Kehidupan, 1976, (4). Merantau ke Deli, 1977, (5). Di Bawah Lindungan Ka’bah, 1979, (6). Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, 1979.[8]
Enam judul di atas itulah yang termasuk karya
sastra Hamka. Untuk menunjukkan produktivitas Hamka, perlu disebutkan karya-karya
non-sastranya, yaitu:[9] (1). Lembaga Hidup,
1962, (2). Dari Lembah Tjita-tjita, 1967, (3). Antara Fakta dan
Khayal “Tuanku Rao”, 1974, (4). Tanya Jawab (I dan II), 1975, (5). Bohong
di Dunia, 1975, (6). Sejarah Umat Islam (empat jilid), 1976, (7). Falsafah
Hidup, 1970, (8). Lembaga Budi, 1980, (9). Tasawuf, Perkembangan
dan Pemurniannya, 1980, (10). Tasawuf Modern, 1981, (11). Kenang-Kenangan
Hidup, 1990, (12). Pelajaran Agama Islam, 1996, (13). Dari Hati
ke Hati, 2002, (14). Karena Fitnah, (15). Tuanku Direktur,
(16). Pandangan Hidup Muslim, (17). Tafsir Al-Azhar, 30 Juz,
(18). Perkembangan Kebatinan di Indonesia[10]
Dalam melihat karya-karyanya yang demikian
banyak dengan berbagai disiplin ilmu, maka tidak berlebihan jika Karel A.
Steenbrink memosisikannya sebagai pengarang dan wartawan yang sangat produktif.[11]
Masih banyak karya Hamka yang belum dapat
penulis sebutkan dalam tesis ini. Hal ini disebabkan karena Penulis belum
sempat melacaknya lebih jauh tentang berapa banyak karya yang telah ditulis
Hamka.
[1] Hamka, Tasawuf
Modern, op.cit., h. Kata Pengantar
[2] Nurcholis
Madjid, Islam Agama Peradaban ; Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam
dalam Sejarah,(Jakarta : Paramadina,1995), h. 92-93. Lihat juga Nurcholis
Madjid, Dialok Keterbukaan ; Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer,( Jakarta : Paramadina, 1998), h. 319-320
[3] Cetakan
terakhir oleh Pustaka Panjimas Jakarta tahun 1994
[4] Hamka, Lembaga
Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. xi
[5] Hamka, Lembaga
Budi, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), cet ke-X, h. xi
[6] Ibid
[7]Syamsul Nizar,Memperbincangkan
Dinamika intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam,( Jakarta
: Kencana Prenada Media Group,2008),h.57
[8] Nasir Tamara,
dkk, Hamka di Mata Hati Umat, op.cit., h. 139
[9] Ibid., h. 140
[10]
Nasir Tamara, dkk, Hamka di Mata Hati Umat, op.cit., h. 141-142
[11] Sesungguhnya,
jauh sebelum lahirnya buku ini, ia telah menulis tema yang sama melalui
beberapa karyanya, seperti Agama dan Perempuan(1939), Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli (1940), dan Di Bawah Lindungan
ka’bah. Lihat Leon Agusta, “ Diakhir Pementasan yang Rampung”, dalam Natsir
Tamara, (eds), HAMKA di Mata,h. 84-85 ; Farshad Poeradisastra, “Memang,
Kebenaran Harus tetap Disampaikan” ,dalam Natsir Tamara,(eds), HAMKA di
Mata, h.155-156
No comments:
Post a Comment