Sunday, September 29, 2019

Term-term Toleransi dalam tafsir al Misbah


A.  Term-term Toleransi
Sulit untuk mendapatkan padanan kata toleransi yang tepat dalam Bahasa Arab, akan tetapi umat Islam mulai membincangkan topik ini dengan istilah “ tasâmuh ”. Al-Qur`an tidak pernah menggunakan kata tasâmuh, sehingga untuk mengetahui pengertian toleransi secara utuh, diperlukan pendapat para ulama yang menganggap bahwa ayat tersebut sebagai ayat toleransi. Untuk menemukan term yang tepat dengan toleransi maka perlu juga mengetahui makna toleransi secara umum. Secara etimologi toleransi berasal dari bahasa Inggris yaitu tolerance yang berarti kelapangan dada dan dapat menerima.[1]
Toleransi juga dipahami sebagai sifat atau sikap toleran dua kelompok yang berbeda kebudayaan yang saling berhubungan dengan penuh, atau batasan tolak ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan dan penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja.[2]
Pendapat lain juga mengatakan bahwa toleransi adalah suatu sikap penerimaan yang simpati terhadap perbedaan pandangan.[3] Sehingga wajar jika ada yang berpendapat bahwa toleransi justru diperbolehkan dalam aqidah. Karena toleransi adalah suatu sikap penerimaan yang simpati terhadap perbedaan pandangan dan kepercayaan ataupun aqidah. Namun perlu digarisbawahi bahwa anjuran memberikan kebebasan dan kesempatan terhadap agama lain untuk beribadah bukan berarti dapat mencampuradukkan kepercayaan yang dianut.     
Toleransi jika dihubungkan dengan agama, maka yang dimaksud dengan toleransi antarumat beragama adalah pengakuan terhadap perbedaan keyakinan setiap individu untuk memeluk dan melaksanakan kegiatan agamanya masing-masing, sehingga perbedaan keyakinan dan agama tidak mengakibatkan permusuhan dan perpecahan. Dengan demikian, sikap toleransi dan memberikan apresiasi terhadap  pluralitas sangat dianjurkan dalam semua agama. Toleransi juga merupakan bentuk penghargaan terhadap perbedaan agama, karena sentimen keagamaan merupakan faktor yang mudah memicu terjadinya konflik.[5] Dapat disimpulkan bahwa toleransi antarumat beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau system keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain serta menerima dan simpati terhadap perbedaan pandangan.
Berangkat dari pengertian toleransi tersebut, setidaknya ditemukan beberapa term yang memiliki unsur-unsur toleransi, seperti term rahmatan[6] yang terdapat dalam Q.S. Al-Anbiyâ’ ayat 107, al-birru[7] dan al-qishti[8] yang terdapat pada Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8, al-hikmah[9] yang terdapat pada Q.S. Al-Nahl ayat 125, hasan[10] dalam Q.S. Al-Qashash ayat 77, al-qurb dalam Q.S. Al-Mâ’idah ayat 82,[11] al’afw dan al-shafhu Q.S. Al-Nûr ayat 22,[12] dan bahkan dalam term islâm sesungguhnya memiliki makna toleransi.
Meskipun demikian, tidak seluruh term-term tersebut dapat diartikan sebagai toleransi antarumat beragama, hanya ayat-ayat yang berkaitan langsung dengan hubungan sosial dan kemasyarakatan saja yang dapat diartikan sebagai toleransi antarumat beragama.
Para sarjana Muslim seperti Zuhairi Misrawi dan Abd Muqsith Ghazâli menyebutkan bahwa pembahasan dan pengertian toleransi dapat dilihat melalui term rahmatan dari firman Allah SWT. dalam Q.S. Al-Anbiyâ’ 107.[13]
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ  
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Ayat ini memberikan pengertian bahwa Islam adalah agama yang damai, tidak hanya menciptakan kedamaian kepada pemeluknya saja, namun Islam juga menciptakan kedamaian kepada seluruh manusia dan bahkan terhadap seluruh makhluk-Nya, baik itu binatang maupun tumbuh-tumbuhan. M. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa Islam sebagai agama rahmah mampu memenuhi hajat manusia untuk memenuhi hajat batin manusia untuk meraih ketenangan, ketentraman serta pengakuan atas wujud, hak, bakat, dan fitrahnya sebagaimana terpenuhi pula hajat keluarga kecil dan besar, menyangkut perlindungan, bimbingan dan pengawasan serta saling pengertian dan penghormatan.[14]
Pengertian rahmah yang diberikan oleh M. Quraish Shihab sesuai dengan pengertian toleransi antarumat beragama yang telah dijelaskan sebelumnya. Setidaknya pengertian rahmatan dalam ayat ini mewakili pendapat M. Quraish Shihab tentang pengertian toleransi.
Melalui Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8 Allah SWT. juga menjelaskan adanya unsur toleransi pada term al-birru.
žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ     
Allah SWT. tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Menurut M. Quraish Shihab, perintah untuk memusuhi orang Kâfir yang diuraikan pada ayat-ayat sebelumnya boleh jadi menimbulkan kesan bahwa semua non-Muslim harus dimusuhi. Untuk menampik kesan keliru tersebut maka pada ayat ini Allah SWT. menggariskan prinsip dasar hubungan interaksi antara Muslim dengan non-Muslim. Melalui Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8 ini M. Quraish Shihab juga berpendapat bahwa penggunaan kata tabarrûhum diartikan sebagai bentuk izin Allah SWT. kepada umat Islam untuk melakukan berbagai macam kebaikan kepada non-Muslim selama tidak menimbulkan hal yang negatif terhadap umat Islam. [15]
 Term al-hikmah yang terdapat pada Q.S. Al-Nahl ayat 125 juga merupakan salah satu term yang berkaitan dengan toleransi antarumat beragama.
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ      
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Menurut M. Quaraish Shihab ayat ini memberikan tuntunan kepada Nabi SAW. untuk mengajak manusia kepada agama tauhîd, yaitu agama Nabi Ibrâhîm AS. yang pribadinya diakui oleh penduduk Jazirah Arab yaitu  Yahûdi dan Nasrânî.[16]Allah SWT. meletakkan dasar-dasar dakwah untuk pegangan bagi umat manusia di kemudian hari dalam mengemban tugas dakwah, Pertama, Allah SWT. menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah SWT. sebagai jalan menuju ridha-Nya, bukan untuk pribadi orang yang berdakwah atau golongan dan kaumnya. Rasul SAW. diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah SWT. semata. Kedua, Allah SWT. menjelaskan kepada Rasul agar berdakwah dengan hikmah. Hikmah menurut M. Quraish Shihab mengandung beberapa makna:[17]
a.    Pengetahun tentang rahasia dan faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan sesuatu itu dapat diketahui keberadaannya.
b.    Perkataan yang tepat dan benar menjadi argumen untuk menjelaskan mana yang haq dan mana yang bâthil.
c.    Mengetahui hukum-hukum al-Qur`an, paham agama, takut kepada Allah SWT. serta benar perkataan dan perbuatan.
Ketiga, Allah SWT. menjelaskan bahwa bila terjadi perdebatan dengan kaum Musyrik dan Ahli Kitâb, agar membantah meraka dengan cara yang baik. Keeempat, akhir dari segala usaha itu adalah iman kepada Allah SWT. karena hanya Dialah yang menganugerahkan iman kepada jiwa manusia, bukan orang lain ataupun dirinya sendiri.[18] Dapat disimpulkan bahwa menurut M. Quraish Shihab, ayat ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sangat indah, tidak selamanya jihad dan dakwah dalam Islam dengan pedang, kerena di dalam Islam juga diatur dan diperintahkan agar berdakwah dengan hikmah.
Pembahasan dan pencarian ayat-ayat toleransi sebenarnya tidak terbatas kepada term-term rahmatan, al-birru, al-qishti, al-hikmah, al’afw, al-shafhu, dan hasan saja. Untuk melengkapi ayat-ayat tentang toleransi tersebut, selain melalui pendapat M. Quraish langsung, maka diperlukan juga pandangan para sarjana Muslim yang membahasnya. Seperti Zuhairi Misrawi dalam bukunya al-Qur`an Kitab Toleransi mencantumkan ayat yang berbicara langsung tentang toleransi antarumat beragama. Di antaranya terdapat pada Q.S. Al-An’am ayat 117, al-Kahfi 29, al-Kafirun, al-Imran ayat 64, al-Baqarah 62 dan 256, al-Hujurat 13, al-Anbiya’ ayat 107, al-Nahl ayat 125, al-Angkabut ayat 46, al-Nisa ayat 213, al-Qashas ayat 77, Maryam 33, al-Hajj 68, al-Anfal 61.[19] Sedangkan Moqsith Gazhali dalam bukunya Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis al-Qur`an juga mencantumkan kurang lebih ada 13 ayat yang berbicara langsung tentang toleransi.[20] 
M. Quraish Shihȃb pernah mengatakan dalam ceramah singkatnya di salah satu stasiun TV, bahwa perintah toleransi dapat dilihat melalui firman Allah SWT. yaitu Q.S. Saba’ ayat 25-26.[21]
ö@è% `tB Nä3è%ãötƒ šÆÏiB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÄßöF{$#ur ( È@è% ª!$# ( !$¯RÎ)ur ÷rr& öNà2$­ƒÎ) 4n?yès9 ´èd ÷rr& Îû 9@»n=|Ê &úüÎ7B ÇËÍÈ   @è% žw šcqè=t«ó¡è? !$£Jtã $oYøBtô_r& Ÿwur ã@t«ó¡çR $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇËÎÈ   ö@è% ßìyJøgs $uZoY÷t/ $oYš/u ¢OèO ßxtGøÿtƒ $uZoY÷t/ Èd,ysø9$$Î/ uqèdur ßy$­Fxÿø9$# ÞOŠÎ=yèø9$# ÇËÏÈ  
Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui".

Menurut M. Quraish Shihab, pada ayat ini Allah SWT. kembali menunjukkan ketikwajaran berhala untuk disembah. Ayat ini juga menampik kepercayaan mereka yang menjadikan berhala sebagai perantara untuk memperoleh rizki. Lalu pada ayat ini Allah SWT. memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk menanyakan kepada mereka siapakah yang memberikan rizki kepada mereka, namun tidak ada jawaban yang tepat dari mereka, maka Nabi SAW. menjawab bahwa hanya Allah SWT. yang memberi rizki. Tidak sampai di situ, bahkan Nabi Muhammad SAW. diperintahkan untuk mengatakan “ kamu tidak akan ditanya tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya tentang apa yang kamu perbuat”. Ayat ini menggambarkan bagaimana seharusnya se-seorang bertoleransi dan berinteraksi dengan non-Muslim. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa setiap penganut agama pasti meyakini anutannya dan menganggap anutan orang yang bertentangan dengan keyakinanya salah.[22]
M. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa sebelum Eropa mengenal organisasi pencinta binatang, Rasul SAW. telah terlebih dahulu mengajarkan perlunya menyayangi binatang. Banyak sekali pesan beliau menyangkut toleransi, mulai dari perintah tidak membebaninya melebihi kemampuannya sampai dengan perintah mengasah pisau terlebih dahulu sebelum menggunakannya untuk menyembelih.[23]
Menurut M. Quraish Shihab, Nabi Muhammad SAW. juga telah menjelaskan betapa pentingnya torelansi. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW. mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa berdoa kepada Allah SWT. agar mendapatkan kedamaian dan keselamatan dari Allah SWT. sebagai pemberi kedamaian.[24] Untuk menjaga keharmonisan dan kedamaian antarumat beragama tersebut, Allah SWT. melarang umat-Nya mencaci Tuhan agama lain. Larangan Allah SWT. tersebut dapat dilihat melalui Q.S. Al-An’âm ayat 108.[25]
wur (#q7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããôtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrôtã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Y­ƒy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÉÑÈ  
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah SWT. karena mereka nanti akan memaki Allah SWT. dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

Menurut M. Quraish Shihab, melalui ayat ini Allah SWT. melarang kaum Muslim mencaci atau memaki berhala yang disembah kaum Musyrik, hal ini berguna untuk menghindari makian terhadap Allah SWT. dari kaum Musyrik. Menurut M. Quraish Shihâb ayat ini merupakan larangan Allah SWT. kepada manusia memaki kepercayaan orang lain, sebab hal itu tidak akan menguntungkan dan memberikan maslȃhat terhadap agama Islam. Agama Islam datang dengan kebenaran, sedangkan makian biasanya ditempuh oleh mereka yang yang lemah. Seorang Muslim harus memelihara lidahnya dari perkataan yang kotor, karena hal itu bisa saja menimbulkan anti pati dari non-Muslim terhadap agama Allah SWT. yang mulia.[26]
Melalui Q.S. Al-Baqarah ayat 256 Allah SWT. Juga menjelaskan tentang toleransi.
 w on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ  
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghût dan beriman kepada Allah SWT., maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Menurut M. Quraish Shihâb, bahwa tidak adanya paksaan dalam memeluk agama adalah karena jalan yang lurus itu telah jelas, itulah sebabnya orang gila, orang yang belum dewasa atau yang tidak mengetahui tuntunan agama tidak akan mendapat dosa jika melanggar atau tidak mematuhinya. Menurut M. Qurasih Shihab, orang-orang yang enggan memeluk agama Islam pada hakikatnya terbawa oleh rayuan Thâgût, sedangkan orang yang memeluk agama Islam adalah orang yang ingkar dan menolak ajakan Thâgût.[27]
Alasan ini membuktikan bahwa pada dasarnya jalan yang lurus itu sudah jelas, hanya saja mereka tergoda oleh bujuk rayu Thâghût. Melalui ayat ini juga dapat disimpulkan bahwa menurut M. Quraish Shihab, Muslim yang baik itu hanya dapat mengajak ke jalan yang lurus, bukan memaksa. Dengan kata lain bahwa cara yang paling baik untuk menunjukkan jalan yang lurus kepada non-Muslim saat ini adalah dengan menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Perlu juga diperhatikan bahwa tidak adanya paksaan dalam agama adalah menganut aqîdahnya. Ini berarti jika se-seorang telah memilih Islam maka dia telah terikat dengan tuntunan-tuntunannya.[28]
Kembali ke penegasan ayat Q.S. al-Baqarah ayat 256  ini, bahwa Allah SWT. menghendaki agar setiap manusia merasakan kedamaian. Agama yang dibawa oleh Nabi SAW. dinamai dengan Islam karena kedamaiannya. Dan kedamaian tidak akan dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan adalah penyebab hati tidak akan damai, karena tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam.[29]
Melalui firman Allah SWT. dalam Surah al-Kâfirûn ayat 1-6 Allah SWT. juga memberikan penjelasan tentang toleransi antarumat beragama. 
ö@è% $pkšr'¯»tƒ šcrãÏÿ»x6ø9$# ÇÊÈ   Iw ßç6ôãr& $tB tbrßç7÷ès? ÇËÈ   Iwur óOçFRr& tbrßÎ7»tã !$tB ßç7ôãr& ÇÌÈ   Iwur O$tRr& ÓÎ/%tæ $¨B ÷Lnt6tã ÇÍÈ   Iwur óOçFRr& tbrßÎ7»tã !$tB ßç6ôãr& ÇÎÈ   ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ ÇÏÈ  
Katakanlah: (Muhammad) "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. Al-Kafirun 1-6)
Menurut M. Quraish Shihab, Q.S al-Kafirun ini menyatakan  bahwa Nabi tidak mungkin menyembah sembahan kaum Musyrikîn untuk masa kini dan datang, begitupun halnya dengan tokoh-tokoh kaum Musyrikîn tidak pula akan menyembah apa yang disembah Nabi SAW”.[30] Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini juga menjelaskan bahwa Nabi SAW konsisten dalam bentuk pengabdian dan ketaatan, maksudnya adalah bahwa yang disembah oleh Nabi tidak akan berubah-berubah. Berbeda dengan orang-orang Kȃfir. Sebab apa yang mereka sembah  hari ini dan esok  berbeda dengan apa yang mereka sembah kemarin. Inilah letak perbedaan  ayat-ayat tersebut. Ayat 2 dan ayat 4 bermaksud menegaskan bahwa Nabi SAW, tidak mungkin akan menyembah ataupun taat kepada sembahan-sembahan mereka, baik yang mereka sembah hari ini dan besok maupun yang mereka sembah kemarin.[31]
Menurut M. Quraish Shihab ayat ini berkenaan dengan peristiwa yang diriwayatkan dari Wâlid bin Mughîrah, ‘Ash bin Wasîl al-Sahmi, Aswad bin Abdu al-Muthâlib dan Umaiyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar Quraisy datang menemui Rasul SAW. untuk menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan tuntunan agama. Usulan mereka adalah agar Muhammad SAW. mengikut agama mereka dan mereka akan  mengikuti agama Nabi Muhammad SAW., jika agama Nabi benar maka mereka bersedia dibawa, dan jika ajaran mereka benar maka Nabi telah bersekutu dengan mereka. Maka Nabi SAW. menjawab “ aku berlindung kepada Allah SWT. dari mempersekutukan-Nya ”. Lalu usul mereka ditolak oleh Nabi Muhammad SAW. karena tidak mungkin dan tidak logis menyatukan agama-agama. Setiap agama berbeda dengan agama lain, karena tidak mungkin perbedaan digabungkan dalam jiwa seorang yang tulus terhadap agama dan keyakinannya.[32]
Melalui Q.S. al-Kâfirûn ayat 1-6 ini Majelis Ulama Indonesia telah mengharamkan mengikuti perayaan natal bersama bagi umat Islam. Hal ini bertujuan agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhât dan larangan Allah SWT. terhadap umat Islam mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan natal.[33]
Berbeda dengan MUI, M. Quraish Shihâb dalam Tafsir al-Misbahnya justru membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat natal atau menghadiri upacara natal. Menurutnya pembenaran tersebut dapat dilihat melalui Q.S. Maryam ayat 33.[34] Padahal sebelumnya ketika menjelaskan Q.S. Al-Kafirun, M. Quraish Shihab telah mengatakan bahwa setiap agama berbeda dengan agama lain, tidak mungkin perbedaan digabungkan dalam jiwa se-seorang yang tulus terhadap agama dan keyakinannya.[35] Pengharaman mengucapkan selamat natal yang dikeluarkan oleh MUI tersebut menurut beliau lebih banyak ditujukan kepada mereka yang menghawatirkan akan hilangnya aqîdah. M. Quraish Shihâb beralasan bahwa al-Qur’an juga mengabadikan ucapan selamat natal dalam al-Qur’an. Ia mengaitkannya dengan firman Allah SWT. pada Q.S. Maryam ayat 33.[36]
ãN»n=¡¡9$#ur ¥n?tã tPöqtƒ N$Î!ãr tPöqtƒur ÝVqãBr& tPöqtƒur ß]yèö/é& $|ym ÇÌÌÈ  
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaKu, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali".

M. Quraish Shihâb mengatakan bahwa dalam konteks ucapan selamat natal, kalaupun non-Muslim memahami ucapan tersebut sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena seorang Muslim yang mengucapkannya memahami ucapannya sesuai pula dengan keyakinannya.[37]
Pendapat M. Quraish Shihâb ini tentu sangat bertentangan dengan kebanyakan Ulama, karena jelas terlihat bahwa kata natal itu diartikan sebagai kelahiran Yesus[38], sehingga tidak tepat memaksakan istilah kelahiran Yesus dengan kelahiran Nabi Isa AS. Dari keterangan ini dipahami juga bahwa menurut  M. Quraih Shihâb pengucapan selamat natal kepada kaum Nasrâni diperbolehkan selama pengucapannya arif dan bijakasana serta aqidah tetap terpelihara. Sebab hal ini menyangkut tuntunan keharmonisan hubungan sosial, ia mengakhiri penafsirannya dengan mengatakan bahwa “kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi social”.[39]


[1] Jalinus Syah, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT.Rineka Cipta 1993), hal. 373
[2] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 955
[3] Wjs. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hal. 1084
[4] Said Agil Husin al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama, ( Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 14    
[5] Agil Husin al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama, ibid
[6] Ditemukan 29 pecahan kata rahmatan dalam al-Qur`an. Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufahras Li alfâzh al-Qur`ân al-Karîm, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), hal. 305-309
[7] Ditemukan 7 pecahan kata al-Birru dalam al-Qur`an. Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufahras, ibid., hal. 118
[8] Ditemukan 6 pecahan kata al-Qisth dalam al-Qur`an. Ibid., hal. 544-545
[9] Kata al-hikmah diulang sebanyak 21 kali dalam al-Qur`an. Ibid., hal. 213-214 
[10] Pecahan kata hasan ditemukan 34 kali. Ibid.,hal. 301-305  
[11]  Potongan ayatnya yaitu
žcyÉftGs9ur Oßgt/tø%r& Zo¨Šuq¨B z`ƒÏ%©#Ïj9 (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$# (#þqä9$s% $¯RÎ) 3t»|ÁtR
[12]  Potongan ayatnya yaitu
Ÿwur È@s?ù'tƒ (#qä9'ré& È@ôÒxÿø9$# óOä3ZÏB Ïpyè¡¡9$#ur br& (#þqè?÷sムÍ<'ré& 4n1öà)ø9$# tûüÅ3»|¡yJø9$#ur šúï̍Éf»ygßJø9$#ur Îû È@Î6y «!$# ( (#qàÿ÷èuø9ur (#þqßsxÿóÁuø9ur 3 Ÿwr& tbq7ÏtéB br& tÏÿøótƒ ª!$# óOä3s9 3 ª!$#ur Öqàÿxî îLìÏm§ ÇËËÈ  
[13] Dalam bukunya al-Qur`an Kitab Toleransi, Zuhairi Misrawi menyebutkan bahwa ayat ini adalah salah satu ayat tentang toleransi. Zuhairi al-Mishrâwi, al-Qur’an Kitab Toleransi, ( Jakarta : Pustaka Oasis, 2010 ), hal. 214. Selain itu Abd Moqsith Ghazali juga mengutip ayat ini sebagai dasar toleransi dan kebebasan beragama. Abd Muqsith Ghazâli, Argumen Pluralisme Agama,( Jakarta : Kata Kita, 2009), hal. 215  
                [14] M. Quraish Shihâb, Tafsîr al-Misbâh Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, Vol 8, (Jakarta: Lentera Hati  2003), hal 520
[15] M. Quraish Shihâb, al-Misbah, ibid., Vol 14. hal. 168-169 
[16] Ibid., Vol 9,  hal. 417
[17] M. Quraish Shihâb, al-Mishbah, Vol 9, Ibid., hal. 418
[18] Ibid., hal. 418-419
[19] Zuhairi al-Mishrâwi, al-Qur’an Kitab Toleransi, op, cit., hal. 196-328
[20] Abd Muqsith Ghazâli, Argumen Pluralisme Agama, op, cit., hal. 200-240
[21] Pernyataan beliau ini dapat disaksikan melalui link di ini,  http://www.youtube.com/watch?v=14dZUOrPDsw
[22] M. Quraish Shihâb, al-Misbah, op, cit, Vol 11, hal. 380
[23] Ibid., Vol 8, hal. 107.
[24] M. Quraish Shihâb, Lentera al-Qur`an,( Jakarta : Mizan Pustaka, 2008 ), hal. 70,   
[25] Menurut Abd Moqsith Ghazali ayat ini juga merupakan dalil toleransi. Abd Muqsith Ghazâli, op, cit., hal. 216   
                [26] M. Quraish Shihȃb, al-Misbah, op.cit., Vol 4,  hal. 243
[27] M. Quraish Shihȃb, al-Misbah, ibid., Vol 1,  hal. 552 
[28] M. Quraish Shihȃb, al-Misbah, ibid
[29] Ibid., hal. 552
[30] M. Qurais Shihab, al-Misbah, ibid., Vol 15,  hal. 680
[31] Ibid., Vol 15, hal. 682
[32] M. Qurais Shihab, al-Misbah, ibid., Vol 15, hal. 574
[33] Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,  ( Jakarta : Direktur Urusan Agama Indonesia, 2003), hal. 242
[34] M. Quraish Shihâb, al-Misbah, op, cit,. Vol 8, hal. 180
[35] M. Qurais Shihab, al-Misbah, loc, cit., Vol 15
[36] Ibid., Vol 8, hal. 180
[37] Ibid., Vol 8, hal. 184
[38] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),  hal.  998
[39] M.  Quraish Shihab, al-Misbah, op.cit,  Vol. 7, hal. 447

No comments:

Post a Comment