A. Term-term Toleransi
Sulit untuk mendapatkan padanan kata toleransi yang tepat dalam Bahasa
Arab, akan tetapi umat Islam mulai membincangkan topik ini dengan
istilah “ tasâmuh ”. Al-Qur`an tidak pernah menggunakan kata tasâmuh,
sehingga untuk mengetahui pengertian toleransi secara utuh, diperlukan pendapat
para ulama yang menganggap bahwa ayat tersebut sebagai ayat toleransi. Untuk
menemukan term yang tepat dengan toleransi maka perlu juga mengetahui
makna toleransi secara umum. Secara etimologi toleransi berasal dari bahasa
Inggris yaitu tolerance yang berarti kelapangan dada dan dapat menerima.[1]
Toleransi juga dipahami sebagai
sifat atau sikap toleran dua kelompok yang berbeda kebudayaan yang saling
berhubungan dengan penuh, atau batasan tolak ukur untuk penambahan atau
pengurangan yang masih diperbolehkan dan penyimpangan yang masih dapat diterima
dalam pengukuran kerja.[2]
Pendapat lain
juga mengatakan bahwa toleransi adalah suatu sikap penerimaan yang simpati
terhadap perbedaan pandangan.[3] Sehingga wajar jika ada yang berpendapat
bahwa toleransi justru diperbolehkan dalam aqidah. Karena toleransi adalah suatu sikap penerimaan yang
simpati terhadap perbedaan pandangan dan kepercayaan ataupun aqidah. Namun perlu
digarisbawahi bahwa anjuran memberikan kebebasan dan kesempatan terhadap agama
lain untuk beribadah bukan berarti dapat mencampuradukkan kepercayaan yang
dianut.
Said Agil Munawwar mengatakan bahwa toleransi adalah
pemberian konsesi yang didasarkan kepada kemurahan hati bukan karena didasarkan
kepada hak. Toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip dan
menghormati perbedaan atau prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip
sendiri. Toleransi dalam pergaulan hidup antarumat beragama bukanlah toleransi
dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan perwujudan sikap keberagamaan
pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup antara Muslim dengan non-Muslim,
dalam masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.[4]
Toleransi jika dihubungkan dengan agama, maka yang dimaksud dengan
toleransi antarumat beragama adalah pengakuan terhadap perbedaan keyakinan
setiap individu untuk memeluk dan melaksanakan kegiatan agamanya masing-masing,
sehingga perbedaan keyakinan dan agama tidak mengakibatkan permusuhan dan
perpecahan. Dengan demikian, sikap toleransi dan memberikan apresiasi
terhadap pluralitas sangat dianjurkan
dalam semua agama. Toleransi juga
merupakan bentuk penghargaan terhadap perbedaan agama, karena sentimen
keagamaan merupakan faktor yang mudah memicu terjadinya konflik.[5] Dapat disimpulkan bahwa toleransi antarumat
beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan
tidak melecehkan agama atau system keyakinan dan ibadah penganut
agama-agama lain serta menerima dan simpati terhadap perbedaan
pandangan.
Berangkat dari
pengertian toleransi tersebut, setidaknya ditemukan beberapa term yang
memiliki unsur-unsur toleransi, seperti term rahmatan[6] yang terdapat dalam Q.S. Al-Anbiyâ’ ayat 107, al-birru[7] dan al-qishti[8] yang terdapat pada Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8, al-hikmah[9] yang terdapat pada Q.S. Al-Nahl ayat 125, hasan[10] dalam Q.S. Al-Qashash ayat 77, al-qurb dalam Q.S.
Al-Mâ’idah ayat 82,[11] al’afw dan al-shafhu
Q.S. Al-Nûr ayat 22,[12] dan bahkan dalam term islâm sesungguhnya
memiliki makna toleransi.
Meskipun demikian, tidak seluruh term-term tersebut dapat
diartikan sebagai toleransi antarumat beragama, hanya ayat-ayat yang berkaitan
langsung dengan hubungan sosial dan kemasyarakatan saja yang dapat diartikan
sebagai toleransi antarumat beragama.
Para sarjana Muslim seperti Zuhairi Misrawi dan Abd Muqsith Ghazâli menyebutkan
bahwa pembahasan dan pengertian toleransi dapat dilihat melalui term rahmatan
dari firman Allah SWT. dalam Q.S. Al-Anbiyâ’ 107.[13]
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.
Ayat ini memberikan pengertian bahwa Islam adalah agama yang damai, tidak
hanya menciptakan kedamaian kepada pemeluknya saja, namun Islam juga
menciptakan kedamaian kepada seluruh manusia dan bahkan terhadap seluruh
makhluk-Nya, baik itu binatang maupun tumbuh-tumbuhan. M. Quraish Shihab juga mengatakan
bahwa Islam sebagai agama rahmah mampu memenuhi hajat manusia untuk
memenuhi hajat batin manusia untuk meraih ketenangan, ketentraman serta
pengakuan atas wujud, hak, bakat, dan fitrahnya sebagaimana terpenuhi pula
hajat keluarga kecil dan besar, menyangkut perlindungan, bimbingan dan pengawasan
serta saling pengertian dan penghormatan.[14]
Pengertian rahmah yang diberikan oleh M. Quraish Shihab sesuai
dengan pengertian toleransi antarumat beragama yang telah dijelaskan sebelumnya.
Setidaknya pengertian rahmatan dalam ayat ini mewakili pendapat M.
Quraish Shihab tentang pengertian toleransi.
Melalui Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8 Allah SWT. juga menjelaskan adanya unsur toleransi pada term
al-birru.
w â/ä38yg÷Yt
ª!$#
Ç`tã
tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ã Îû
ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøä `ÏiB öNä.Ì»tÏ
br& óOèdry9s?
(#þqäÜÅ¡ø)è?ur
öNÍkös9Î)
4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#
ÇÑÈ
Allah SWT. tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Menurut M. Quraish Shihab, perintah untuk memusuhi orang Kâfir
yang diuraikan pada ayat-ayat sebelumnya boleh jadi menimbulkan kesan bahwa
semua non-Muslim harus dimusuhi. Untuk menampik kesan keliru tersebut maka pada
ayat ini Allah SWT. menggariskan prinsip dasar hubungan interaksi antara Muslim
dengan non-Muslim. Melalui Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8 ini M. Quraish Shihab juga
berpendapat bahwa penggunaan kata tabarrûhum diartikan sebagai bentuk izin
Allah SWT. kepada umat Islam untuk melakukan berbagai macam kebaikan kepada
non-Muslim selama tidak menimbulkan hal yang negatif terhadap umat Islam. [15]
Term al-hikmah yang terdapat pada Q.S. Al-Nahl ayat
125 juga merupakan salah satu term yang berkaitan dengan toleransi
antarumat beragama.
äí÷$#
4n<Î)
È@Î6y
y7În/u
ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/
ÏpsàÏãöqyJø9$#ur
ÏpuZ|¡ptø:$#
(
Oßgø9Ï»y_ur
ÓÉL©9$$Î/
}Ïd
ß`|¡ômr&
4
¨bÎ)
y7/u
uqèd
ÞOn=ôãr&
`yJÎ/
¨@|Ê
`tã
¾Ï&Î#Î6y
(
uqèdur
ÞOn=ôãr&
tûïÏtGôgßJø9$$Î/
ÇÊËÎÈ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Menurut M.
Quaraish Shihab ayat ini memberikan tuntunan kepada Nabi SAW. untuk mengajak
manusia kepada agama tauhîd, yaitu agama Nabi Ibrâhîm AS. yang pribadinya diakui oleh penduduk Jazirah Arab
yaitu Yahûdi dan Nasrânî.[16]Allah
SWT. meletakkan dasar-dasar dakwah untuk pegangan bagi umat manusia di kemudian
hari dalam mengemban tugas dakwah, Pertama, Allah SWT. menjelaskan kepada
Rasul-Nya bahwa dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah SWT. sebagai jalan
menuju ridha-Nya, bukan untuk pribadi orang yang berdakwah atau golongan
dan kaumnya. Rasul SAW. diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah SWT. semata. Kedua, Allah SWT. menjelaskan kepada Rasul agar berdakwah dengan
hikmah. Hikmah menurut M. Quraish Shihab mengandung beberapa makna:[17]
a. Pengetahun tentang rahasia dan faedah segala
sesuatu. Dengan pengetahuan sesuatu itu dapat diketahui keberadaannya.
b. Perkataan yang tepat dan benar menjadi argumen
untuk menjelaskan mana yang haq dan mana yang bâthil.
c. Mengetahui hukum-hukum al-Qur`an, paham agama,
takut kepada Allah SWT. serta benar
perkataan dan perbuatan.
Ketiga, Allah SWT. menjelaskan bahwa bila terjadi perdebatan
dengan kaum Musyrik dan Ahli Kitâb, agar membantah meraka dengan
cara yang baik. Keeempat, akhir dari segala usaha itu adalah iman kepada
Allah SWT. karena hanya Dialah yang menganugerahkan iman kepada jiwa manusia,
bukan orang lain ataupun dirinya sendiri.[18]
Dapat disimpulkan bahwa menurut M. Quraish Shihab, ayat ini membuktikan bahwa
Islam adalah agama yang sangat indah, tidak selamanya jihad dan dakwah dalam
Islam dengan pedang, kerena di dalam Islam juga diatur dan diperintahkan agar
berdakwah dengan hikmah.
Pembahasan dan pencarian ayat-ayat toleransi sebenarnya tidak terbatas
kepada term-term rahmatan, al-birru, al-qishti, al-hikmah, al’afw, al-shafhu, dan hasan saja. Untuk
melengkapi ayat-ayat tentang toleransi tersebut, selain melalui pendapat M.
Quraish langsung, maka diperlukan juga pandangan para sarjana Muslim yang
membahasnya. Seperti Zuhairi Misrawi dalam bukunya al-Qur`an Kitab Toleransi
mencantumkan ayat yang berbicara langsung tentang toleransi antarumat beragama.
Di antaranya terdapat pada Q.S. Al-An’am ayat 117, al-Kahfi 29, al-Kafirun, al-Imran
ayat 64, al-Baqarah 62 dan 256, al-Hujurat 13, al-Anbiya’ ayat 107, al-Nahl
ayat 125, al-Angkabut ayat 46, al-Nisa ayat 213, al-Qashas ayat 77, Maryam 33,
al-Hajj 68, al-Anfal 61.[19] Sedangkan Moqsith Gazhali dalam bukunya Argumen
Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis al-Qur`an juga mencantumkan
kurang lebih ada 13 ayat yang berbicara langsung tentang toleransi.[20]
M. Quraish Shihȃb pernah mengatakan dalam ceramah singkatnya di salah satu
stasiun TV, bahwa perintah toleransi dapat dilihat melalui firman Allah SWT.
yaitu Q.S. Saba’ ayat 25-26.[21]
ö@è%
`tB
Nä3è%ãöt
ÆÏiB
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÄßöF{$#ur
(
È@è%
ª!$#
(
!$¯RÎ)ur
÷rr&
öNà2$Î)
4n?yès9
´èd
÷rr&
Îû
9@»n=|Ê
&úüÎ7B
ÇËÍÈ @è%
w
cqè=t«ó¡è?
!$£Jtã
$oYøBtô_r&
wur
ã@t«ó¡çR
$£Jtã
tbqè=yJ÷ès?
ÇËÎÈ ö@è%
ßìyJøgs
$uZoY÷t/
$oY/u
¢OèO
ßxtGøÿt
$uZoY÷t/
Èd,ysø9$$Î/
uqèdur
ßy$Fxÿø9$#
ÞOÎ=yèø9$#
ÇËÏÈ
Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki
kepadamu dari langit dan dari bumi?" katakanlah: "Allah", dan
Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran
atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "kamu tidak akan ditanya (bertanggung
jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula)
tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan
mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan
benar. dan Dia-lah Maha pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui".
Menurut M.
Quraish Shihab, pada ayat ini Allah SWT. kembali menunjukkan ketikwajaran
berhala untuk disembah. Ayat ini juga menampik kepercayaan mereka yang menjadikan
berhala sebagai perantara untuk memperoleh rizki. Lalu pada ayat ini Allah SWT.
memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk menanyakan kepada mereka siapakah
yang memberikan rizki kepada mereka, namun tidak ada jawaban yang tepat dari
mereka, maka Nabi SAW. menjawab bahwa hanya Allah SWT. yang memberi rizki.
Tidak sampai di situ, bahkan Nabi Muhammad SAW. diperintahkan untuk mengatakan
“ kamu tidak akan ditanya tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan
ditanya tentang apa yang kamu perbuat”. Ayat ini menggambarkan bagaimana
seharusnya se-seorang bertoleransi dan berinteraksi dengan non-Muslim. Karena
tidak dapat dipungkiri bahwa setiap penganut agama pasti meyakini anutannya dan
menganggap anutan orang yang bertentangan dengan keyakinanya salah.[22]
M. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa
sebelum Eropa mengenal organisasi pencinta binatang, Rasul SAW. telah terlebih
dahulu mengajarkan perlunya menyayangi binatang. Banyak sekali pesan beliau
menyangkut toleransi, mulai dari perintah tidak membebaninya melebihi
kemampuannya sampai dengan perintah mengasah pisau terlebih dahulu sebelum
menggunakannya untuk menyembelih.[23]
Menurut M. Quraish Shihab, Nabi Muhammad SAW. juga
telah menjelaskan betapa pentingnya torelansi. Itulah sebabnya Nabi Muhammad
SAW. mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa berdoa kepada Allah SWT. agar mendapatkan
kedamaian dan keselamatan dari Allah SWT. sebagai pemberi kedamaian.[24] Untuk menjaga keharmonisan dan kedamaian antarumat beragama tersebut, Allah SWT. melarang umat-Nya mencaci Tuhan agama lain. Larangan Allah SWT. tersebut dapat dilihat melalui Q.S. Al-An’âm ayat 108.[25]
wur
(#q7Ý¡n@
úïÏ%©!$#
tbqããôt
`ÏB
Èbrß
«!$#
(#q7Ý¡usù
©!$#
#Jrôtã
ÎötóÎ/
5Où=Ïæ
3
y7Ï9ºxx.
$¨Yy
Èe@ä3Ï9
>p¨Bé&
óOßgn=uHxå
§NèO
4n<Î)
NÍkÍh5u
óOßgãèÅ_ó£D
Oßgã¥Îm7t^ãsù
$yJÎ/
(#qçR%x.
tbqè=yJ÷èt
ÇÊÉÑÈ
Dan janganlah
kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah SWT. karena
mereka nanti akan memaki Allah SWT. dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.
Menurut M. Quraish Shihab, melalui ayat ini Allah SWT. melarang kaum Muslim
mencaci atau memaki berhala yang disembah kaum Musyrik, hal ini berguna untuk menghindari makian terhadap Allah SWT. dari kaum Musyrik.
Menurut M. Quraish Shihâb ayat ini merupakan larangan Allah SWT. kepada manusia memaki kepercayaan orang lain, sebab hal itu tidak akan
menguntungkan dan memberikan maslȃhat terhadap agama Islam. Agama Islam datang dengan kebenaran, sedangkan makian biasanya ditempuh oleh mereka
yang yang lemah. Seorang Muslim harus memelihara lidahnya dari perkataan yang
kotor, karena hal itu bisa saja menimbulkan anti pati dari non-Muslim terhadap agama Allah SWT. yang mulia.[26]
Melalui Q.S. Al-Baqarah ayat 256 Allah SWT. Juga menjelaskan tentang toleransi.
w on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿx îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghût dan beriman kepada Allah SWT., maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.
Menurut M. Quraish Shihâb, bahwa tidak adanya paksaan dalam memeluk agama adalah
karena jalan yang lurus itu telah jelas, itulah sebabnya orang gila, orang yang
belum dewasa atau yang tidak mengetahui tuntunan agama tidak akan mendapat dosa
jika melanggar atau tidak mematuhinya. Menurut M. Qurasih Shihab, orang-orang yang enggan
memeluk agama Islam pada hakikatnya terbawa oleh rayuan Thâgût,
sedangkan orang yang memeluk agama Islam adalah orang yang ingkar dan menolak
ajakan Thâgût.[27]
Alasan ini membuktikan bahwa pada dasarnya jalan yang
lurus itu sudah jelas, hanya saja mereka tergoda oleh bujuk rayu Thâghût.
Melalui ayat ini juga dapat disimpulkan bahwa menurut M. Quraish Shihab, Muslim
yang baik itu hanya dapat mengajak ke jalan yang lurus, bukan memaksa. Dengan
kata lain bahwa cara yang paling baik untuk menunjukkan jalan yang lurus kepada
non-Muslim saat ini adalah dengan menjalin hubungan yang baik dengan mereka.
Perlu juga diperhatikan bahwa tidak adanya paksaan dalam agama adalah menganut aqîdahnya.
Ini berarti jika se-seorang telah memilih Islam maka dia telah terikat dengan
tuntunan-tuntunannya.[28]
Kembali ke penegasan ayat Q.S. al-Baqarah ayat 256 ini,
bahwa Allah SWT. menghendaki agar setiap manusia merasakan kedamaian. Agama
yang dibawa oleh Nabi SAW. dinamai dengan Islam karena kedamaiannya. Dan
kedamaian tidak akan dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan adalah
penyebab hati tidak akan damai, karena tidak ada paksaan dalam menganut agama
Islam.[29]
Melalui firman Allah SWT. dalam
Surah al-Kâfirûn ayat 1-6 Allah SWT. juga memberikan penjelasan tentang
toleransi antarumat beragama.
ö@è%
$pkr'¯»t
crãÏÿ»x6ø9$#
ÇÊÈ Iw ßç6ôãr&
$tB
tbrßç7÷ès?
ÇËÈ Iwur
óOçFRr&
tbrßÎ7»tã
!$tB
ßç7ôãr&
ÇÌÈ Iwur
O$tRr&
ÓÎ/%tæ
$¨B
÷Lnt6tã
ÇÍÈ Iwur
óOçFRr&
tbrßÎ7»tã
!$tB
ßç6ôãr&
ÇÎÈ ö/ä3s9
ö/ä3ãYÏ
uÍ<ur
ÈûïÏ
ÇÏÈ
Katakanlah: (Muhammad) "Hai orang-orang
kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah
Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah,
untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. Al-Kafirun 1-6)
Menurut M. Quraish Shihab, Q.S al-Kafirun ini menyatakan bahwa Nabi tidak mungkin menyembah sembahan
kaum Musyrikîn untuk masa kini dan datang, begitupun halnya dengan tokoh-tokoh
kaum Musyrikîn tidak pula akan menyembah apa yang disembah Nabi SAW”.[30] Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini juga
menjelaskan bahwa Nabi SAW konsisten dalam bentuk pengabdian dan ketaatan,
maksudnya adalah bahwa yang disembah oleh Nabi tidak akan berubah-berubah. Berbeda dengan orang-orang Kȃfir. Sebab
apa yang mereka sembah hari ini dan
esok berbeda dengan apa yang mereka
sembah kemarin. Inilah letak perbedaan
ayat-ayat tersebut. Ayat 2 dan ayat 4 bermaksud menegaskan bahwa Nabi
SAW, tidak mungkin akan menyembah ataupun taat kepada sembahan-sembahan mereka,
baik yang mereka sembah hari ini dan besok maupun yang mereka sembah kemarin.[31]
Menurut M. Quraish Shihab ayat ini berkenaan dengan peristiwa yang
diriwayatkan dari Wâlid bin Mughîrah, ‘Ash bin Wasîl al-Sahmi, Aswad bin Abdu
al-Muthâlib dan Umaiyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar Quraisy datang
menemui Rasul SAW. untuk menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan tuntunan
agama. Usulan mereka adalah agar Muhammad SAW. mengikut agama mereka dan mereka
akan mengikuti agama Nabi Muhammad SAW.,
jika agama Nabi benar maka mereka bersedia dibawa, dan jika ajaran mereka benar
maka Nabi telah bersekutu dengan mereka. Maka Nabi SAW. menjawab “ aku berlindung
kepada Allah SWT. dari mempersekutukan-Nya ”. Lalu usul mereka ditolak oleh
Nabi Muhammad SAW. karena tidak mungkin dan tidak logis menyatukan agama-agama.
Setiap agama berbeda dengan agama lain, karena tidak mungkin perbedaan
digabungkan dalam jiwa seorang yang tulus terhadap agama dan keyakinannya.[32]
Melalui
Q.S. al-Kâfirûn ayat 1-6 ini Majelis
Ulama Indonesia telah mengharamkan mengikuti perayaan natal bersama bagi umat
Islam. Hal ini bertujuan agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhât dan larangan
Allah SWT. terhadap umat Islam mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan natal.[33]
Berbeda dengan MUI, M.
Quraish Shihâb dalam Tafsir al-Misbahnya justru membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat natal atau menghadiri
upacara natal. Menurutnya pembenaran tersebut dapat dilihat melalui Q.S. Maryam
ayat 33.[34] Padahal sebelumnya ketika menjelaskan Q.S. Al-Kafirun, M.
Quraish Shihab telah mengatakan bahwa setiap agama berbeda dengan agama lain, tidak mungkin
perbedaan digabungkan dalam jiwa se-seorang yang tulus terhadap agama dan
keyakinannya.[35] Pengharaman mengucapkan selamat natal yang dikeluarkan oleh MUI tersebut
menurut beliau lebih banyak ditujukan kepada mereka yang menghawatirkan akan
hilangnya aqîdah. M. Quraish Shihâb beralasan bahwa
al-Qur’an juga mengabadikan ucapan selamat natal dalam al-Qur’an. Ia
mengaitkannya dengan firman Allah SWT. pada Q.S. Maryam ayat 33.[36]
ãN»n=¡¡9$#ur
¥n?tã
tPöqt
N$Î!ãr
tPöqtur
ÝVqãBr&
tPöqtur
ß]yèö/é&
$|ym
ÇÌÌÈ
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaKu, pada hari
aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup
kembali".
M. Quraish
Shihâb mengatakan bahwa dalam konteks ucapan selamat natal, kalaupun non-Muslim
memahami ucapan tersebut sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian,
karena seorang Muslim yang mengucapkannya memahami ucapannya sesuai pula dengan
keyakinannya.[37]
Pendapat M.
Quraish Shihâb ini tentu sangat bertentangan dengan kebanyakan Ulama, karena
jelas terlihat bahwa kata natal itu diartikan sebagai kelahiran Yesus[38], sehingga tidak tepat memaksakan istilah
kelahiran Yesus dengan kelahiran Nabi Isa AS. Dari keterangan ini dipahami juga
bahwa menurut M. Quraih Shihâb
pengucapan selamat natal kepada kaum Nasrâni diperbolehkan selama
pengucapannya arif dan bijakasana serta aqidah tetap terpelihara. Sebab
hal ini menyangkut tuntunan keharmonisan hubungan sosial, ia mengakhiri
penafsirannya dengan mengatakan bahwa “kearifan dibutuhkan dalam rangka
interaksi social”.[39]
[1]
Jalinus Syah, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT.Rineka Cipta 1993),
hal. 373
[4] Said Agil Husin al-Munawwar, Fikih Hubungan
Antar Agama, ( Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 14
[6] Ditemukan 29 pecahan kata rahmatan dalam al-Qur`an. Muhammad Fuad ‘Abd
al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufahras Li alfâzh al-Qur`ân al-Karîm, (Beirut: Dâr
al-Fikr, tt), hal. 305-309
[7] Ditemukan 7 pecahan kata al-Birru dalam
al-Qur`an. Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufahras, ibid., hal. 118
cyÉftGs9ur
Oßgt/tø%r&
Zo¨uq¨B
z`Ï%©#Ïj9
(#qãYtB#uä
úïÏ%©!$#
(#þqä9$s%
$¯RÎ)
3t»|ÁtR
wur
È@s?ù't
(#qä9'ré&
È@ôÒxÿø9$#
óOä3ZÏB
Ïpyè¡¡9$#ur
br&
(#þqè?÷sã
Í<'ré&
4n1öà)ø9$#
tûüÅ3»|¡yJø9$#ur
úïÌÉf»ygßJø9$#ur
Îû
È@Î6y
«!$#
( (#qàÿ÷èuø9ur
(#þqßsxÿóÁuø9ur
3 wr&
tbq7ÏtéB
br&
tÏÿøót
ª!$#
óOä3s9
3 ª!$#ur
Öqàÿxî
îLìÏm§
ÇËËÈ
[13] Dalam bukunya al-Qur`an Kitab Toleransi,
Zuhairi Misrawi menyebutkan bahwa ayat ini adalah salah satu ayat tentang
toleransi. Zuhairi al-Mishrâwi, al-Qur’an Kitab
Toleransi, ( Jakarta : Pustaka Oasis, 2010 ), hal. 214.
Selain itu Abd Moqsith Ghazali juga mengutip ayat ini sebagai dasar toleransi
dan kebebasan beragama. Abd Muqsith Ghazâli, Argumen Pluralisme Agama,(
Jakarta : Kata Kita, 2009), hal. 215
[21] Pernyataan beliau ini dapat disaksikan melalui
link di ini, http://www.youtube.com/watch?v=14dZUOrPDsw
[25] Menurut Abd Moqsith Ghazali ayat ini juga merupakan dalil toleransi. Abd
Muqsith Ghazâli, op, cit., hal. 216
[33] Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia, ( Jakarta :
Direktur Urusan Agama Indonesia, 2003), hal. 242
No comments:
Post a Comment