Hak asasi manusia yang paling esensial dalam
hidup adalah hak kemerdekaan/kebebasan baik kebebasan untuk berfikir maupun
kebebasan untuk berkehendak, dan kebebasan di dalam memilih kepercayaan/agama.
Kebebasan merupakan hak yang fundamental bagi manusia, sehingga hal ini yang
dapat membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya. Kebebasan beragama seringkali
disalahartikan, padahal yang dimaksud dengan kebebasan beragama adalah bebas
memilih suatu kepercayaan atau agama yang menurut mereka paling benar dan
membawa keselamatan tanpa ada yang memaksa atau menghalanginya, kemerdekaan
telah menjadi salah satu pilar demokrasi dari tiga pilar revolusi di dunia. Ketiga pilar tersebut adalah persamaan, persaudaraan dan kebebasan.[2]
Allah SWT. juga menjelaskannya dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 256.
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿx îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah SWT. maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah SWT. Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Menurut M. Quraish Shihâb, bahwa tidak
adanya paksaan dalam memeluk agama adalah karena jalan yang lurus itu telah
jelas, itulah sebabnya orang gila, orang yang belum dewasa atau yang tidak
mengetahui tuntunan agama, tidak akan mendapat dosa jika melanggar atau tidak
mematuhinya. Menurutnya,
orang-orang yang enggan memeluk agama Islam pada hakikatnya terbawa rayuan Thâgût,
sedangkan orang yang memeluk agama Islam adalah orang yang ingkar dan menolak
ajakan Thâgût.[3]
Alasan ini membuktikan bahwa pada dasarnya jalan yang lurus itu sudah jelas,
hanya saja mereka tergoda oleh bujuk rayu Thâghût. Melalui ayat ini juga
dapat disimpulkan bahwa menurut M. Quraish Shihab, muslim yang baik itu
hanya dapat mengajak ke jalan yang lurus, bukan memaksa. Dengan kata lain bahwa
cara yang paling baik untuk menunjukkan jalan yang lurus kepada non-Muslim saat
ini adalah dengan menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Perlu juga
diperhatikan bahwa tidak adanya paksaan dalam agama adalah menganut aqîdahnya.
Ini berarti jika se-seorang telah memilih Islam maka dia telah terikat dengan
tuntunan-tuntunannya.[4]
Penegasan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 256 ini adalah, bahwa
Allah SWT. menghendaki agar setiap manusia merasakan kedamaian. Agama yang
dibawa oleh Nabi dinamai dengan Islam karena kedamaiannya. Kedamaian tidak akan
dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan adalah penyebab hati tidak akan
damai, karena tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam.[5] Melalui
firman Allah SWT. dalam Q.S. Al-Kâfirûn ayat 1-6 Allah SWT. juga memberikan
penjelasan tentang toleransi antarumat beragama.
ö@è%
$pkr'¯»t
crãÏÿ»x6ø9$#
ÇÊÈ Iw ßç6ôãr&
$tB
tbrßç7÷ès?
ÇËÈ Iwur
óOçFRr&
tbrßÎ7»tã
!$tB
ßç7ôãr&
ÇÌÈ Iwur
O$tRr&
ÓÎ/%tæ
$¨B
÷Lnt6tã
ÇÍÈ Iwur
óOçFRr&
tbrßÎ7»tã
!$tB
ßç6ôãr&
ÇÎÈ ö/ä3s9
ö/ä3ãYÏ
uÍ<ur
ÈûïÏ
ÇÏÈ
Katakanlah: (Muhammad) "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah,
dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku." (Q.S. Al-Kafirun 1-6)
Menurut M. Quraish Shihab, Q.S. Al-Kȃfirun ini
menyatakan bahwa Nabi tidak mungkin
menyembah sembahan kaum Musyrikîn untuk masa kini dan datang, begitupun
halnya dengan tokoh-tokoh kaum Musyrikîn tidak pula akan menyembah apa
yang disembah Nabi.[6] Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini juga
menjelaskan bahwa Nabi SAW konsisten dalam bentuk pengabdian dan ketaatan. Dalam arti yang disembah oleh Nabi tidak berubah-berubah. Berbeda
dengan orang-orang Kȃfir. Sebab apa yang mereka sembah hari ini dan esok berbeda dengan apa yang mereka sembah
kemarin. Inilah letak perbedaan
ayat-ayat tersebut. Ayat 2 dan ayat 4 bermaksud menegaskan bahwa Nabi
SAW, tidak mungkin akan menyembah ataupun taat kepada sembahan-sembahan mereka,
baik yang mereka sembah hari ini dan besok maupun yang mereka sembah kemarin.[7]
Menurut M. Quraish Shihab Q.S. Al-Kȃfirûn ini berkenaan
dengan peristiwa yang diriwayatkan dari Wâlid bin Mughîrah, ‘Ash bin Wasîl
al-Sahmi, Aswad bin Abdu al-Muthâlib dan Umaiyah bin Khalaf bersama rombongan
pembesar Quraisy datang menemui Rasul SAW. untuk menawarkan kompromi menyangkut
pelaksanaan tuntunan agama. Usulan mereka adalah agar Muhammad SAW. mengikut
agama mereka dan mereka akan mengikuti
agama Nabi Muhammad SAW. Jika agama Nabi benar maka mereka bersedia dibawa dan
jika ajaran mereka benar, maka Nabi telah bersekutu dengan mereka. Maka Nabi
SAW. menjawab “ aku berlindung kepada Allah SWT. dari mempersekutukan-Nya
”. Lalu usul mereka ditolak oleh Nabi Muhammad SAW. karena tidak mungkin dan
tidak logis menyatukan agama-agama. Setiap agama berbeda dengan agama lain,
karena tidak mungkin perbedaan digabungkan dalam jiwa seorang yang tulus
terhadap agama dan keyakinannya.[8]
Memberikan kebebasan untuk memilih sebuah keyakinan,
bukan berarti Allah SWT. mengizinkan seseorang untuk bebas mencampuradukkan
ajaran antara agama. Berdasarkan Q.S. Al-Baqarah ayat 256 Allah SWT. M. Quraish
Shihab telah menjelaskan konsep toleransi yang benar, yaitu semua penganut harus
menghormati hak kebebasan penganut agama lain untuk mengamalkan kepercayaannya
masing- masing. Prinsip toleransi seperti inilah yang dikehendaki Islam dan
justru menunjukkan keistimewaan ajaran Islam itu sendiri. Persoalan keyakinan
atau agama terpulang kepada hak pilih masing-masing individu, sebab Allah SWT.
sendiri telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya.
Manusia oleh Allah SWT. diberi peluang untuk menimbang secara bijak dan kritis
antara memilih Islam atau kufur dengan segala resikonya. Meskipun
demikian, Islam tidak kurang-kurangnya memberi peringatan dan menyampaikan
ajakan agar manusia itu mau beriman.
Banyak sekali ayat
al-Qur’an yang membicarkan kebebasan beragama, di antaranya ditemukan juga pada
dalam Q.S. Hûd ayat 118.
öqs9ur uä!$x© y7/u @yèpgm: }¨$¨Z9$# Zp¨Bé&
ZoyÏnºur ( wur tbqä9#tt úüÏÿÎ=tGøèC ÇÊÊÑÈ
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.
Menurut M.
Quraish Shihab, kata law dalam firman-Nya tersebut menunjukkan bahwa hal
tersebut tidak dikehendaki-Nya, karena kata law tidak digunakan kecuali
untuk mengandaikan sesuatu yang tidak mungkin dan mustahil terjadi. Ini berarti
bahwa Allah SWT. tidak menghendaki menjadikan semua manusia sejak dahulu hingga
kini menjadi satu umat, yakni satu pendapat, satu kecenderungan, bahkan satu
agama dalam segala prisnsip dan
rinciannya. Karena jika Allah SWT. berkehendak menjadikan seluruh manusia
beriman kepada-Nya, maka Allah SWT. tidak akan memberikan kebebasan memilah dan
memilih, termasuk kebebasan memimilih agama dan kepercayaan.[9]
Dapat
disimpulkan bahwa kebebasan beragama menurut M. Qurasih Shihab adalah suatu
keniscayaan yang benar-benar telah dijelaskan dan diatur Allah SWT., sehingga semua
orang telah dituntun oleh Allah SWT., untuk taat kepada-Nya hanya saja setiap
hambanya berhak memilih untuk taat dan kufur dengan segalah
konsekwensinya.
[1] M. Quraish Shihab juga pernah menyebutkan
istilah ini ketika menafsirkan QS. Hud ayat 118, Zuhairi al-Misrâwi menuliskan
tema ini dalam pembahsannya tentang ayat-ayat tolerasni, Zuhairi al-Mishrâwi, al-Qur’an Kitab
Toleransi, op, cit., hal. 284
No comments:
Post a Comment