Sunday, September 29, 2019

Kebebasan Beragama dalam al Qur'an Menurut Quraish Shihab


1.    Kebebasan Beragama[1]
Hak asasi manusia yang paling esensial dalam hidup adalah hak kemerdekaan/kebebasan baik kebebasan untuk berfikir maupun kebebasan untuk berkehendak, dan kebebasan di dalam memilih kepercayaan/agama. Kebebasan merupakan hak yang fundamental bagi manusia, sehingga hal ini yang dapat membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya. Kebebasan beragama seringkali disalahartikan, padahal yang dimaksud dengan kebebasan beragama adalah bebas memilih suatu kepercayaan atau agama yang menurut mereka paling benar dan membawa keselamatan tanpa ada yang memaksa atau menghalanginya, kemerdekaan telah menjadi salah satu pilar demokrasi dari tiga pilar revolusi di dunia. Ketiga pilar tersebut adalah persamaan, persaudaraan dan kebebasan.[2]
Allah SWT. juga menjelaskannya dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 256.
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ  
Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah SWT. maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus,  dan Allah SWT. Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Menurut M. Quraish Shihâb, bahwa tidak adanya paksaan dalam memeluk agama adalah karena jalan yang lurus itu telah jelas, itulah sebabnya orang gila, orang yang belum dewasa atau yang tidak mengetahui tuntunan agama, tidak akan mendapat dosa jika melanggar atau tidak mematuhinya. Menurutnya, orang-orang yang enggan memeluk agama Islam pada hakikatnya terbawa rayuan Thâgût, sedangkan orang yang memeluk agama Islam adalah orang yang ingkar dan menolak ajakan Thâgût.[3]
Alasan ini membuktikan bahwa pada dasarnya jalan yang lurus itu sudah jelas, hanya saja mereka tergoda oleh bujuk rayu Thâghût. Melalui ayat ini juga dapat disimpulkan bahwa menurut M. Quraish Shihab, muslim yang baik itu hanya dapat mengajak ke jalan yang lurus, bukan memaksa. Dengan kata lain bahwa cara yang paling baik untuk menunjukkan jalan yang lurus kepada non-Muslim saat ini adalah dengan menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Perlu juga diperhatikan bahwa tidak adanya paksaan dalam agama adalah menganut aqîdahnya. Ini berarti jika se-seorang telah memilih Islam maka dia telah terikat dengan tuntunan-tuntunannya.[4]
Penegasan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 256  ini adalah, bahwa Allah SWT. menghendaki agar setiap manusia merasakan kedamaian. Agama yang dibawa oleh Nabi dinamai dengan Islam karena kedamaiannya. Kedamaian tidak akan dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan adalah penyebab hati tidak akan damai, karena tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam.[5] Melalui firman Allah SWT. dalam Q.S. Al-Kâfirûn ayat 1-6 Allah SWT. juga memberikan penjelasan tentang toleransi antarumat beragama. 
ö@è% $pkšr'¯»tƒ šcrãÏÿ»x6ø9$# ÇÊÈ   Iw ßç6ôãr& $tB tbrßç7÷ès? ÇËÈ   Iwur óOçFRr& tbrßÎ7»tã !$tB ßç7ôãr& ÇÌÈ   Iwur O$tRr& ÓÎ/%tæ $¨B ÷Lnt6tã ÇÍÈ   Iwur óOçFRr& tbrßÎ7»tã !$tB ßç6ôãr& ÇÎÈ   ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ ÇÏÈ  
Katakanlah: (Muhammad) "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. Al-Kafirun 1-6)
Menurut M. Quraish Shihab, Q.S. Al-Kȃfirun ini menyatakan  bahwa Nabi tidak mungkin menyembah sembahan kaum Musyrikîn untuk masa kini dan datang, begitupun halnya dengan tokoh-tokoh kaum Musyrikîn tidak pula akan menyembah apa yang disembah Nabi.[6] Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini juga menjelaskan bahwa Nabi SAW konsisten dalam bentuk pengabdian dan ketaatan. Dalam arti yang disembah oleh Nabi tidak berubah-berubah. Berbeda dengan orang-orang Kȃfir. Sebab apa yang mereka sembah  hari ini dan esok  berbeda dengan apa yang mereka sembah kemarin. Inilah letak perbedaan  ayat-ayat tersebut. Ayat 2 dan ayat 4 bermaksud menegaskan bahwa Nabi SAW, tidak mungkin akan menyembah ataupun taat kepada sembahan-sembahan mereka, baik yang mereka sembah hari ini dan besok maupun yang mereka sembah kemarin.[7]
Menurut M. Quraish Shihab Q.S. Al-Kȃfirûn ini berkenaan dengan peristiwa yang diriwayatkan dari Wâlid bin Mughîrah, ‘Ash bin Wasîl al-Sahmi, Aswad bin Abdu al-Muthâlib dan Umaiyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar Quraisy datang menemui Rasul SAW. untuk menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan tuntunan agama. Usulan mereka adalah agar Muhammad SAW. mengikut agama mereka dan mereka akan  mengikuti agama Nabi Muhammad SAW. Jika agama Nabi benar maka mereka bersedia dibawa dan jika ajaran mereka benar, maka Nabi telah bersekutu dengan mereka. Maka Nabi SAW. menjawab “ aku berlindung kepada Allah SWT. dari mempersekutukan-Nya ”. Lalu usul mereka ditolak oleh Nabi Muhammad SAW. karena tidak mungkin dan tidak logis menyatukan agama-agama. Setiap agama berbeda dengan agama lain, karena tidak mungkin perbedaan digabungkan dalam jiwa seorang yang tulus terhadap agama dan keyakinannya.[8]
Memberikan kebebasan untuk memilih sebuah keyakinan, bukan berarti Allah SWT. mengizinkan seseorang untuk bebas mencampuradukkan ajaran antara agama. Berdasarkan Q.S. Al-Baqarah ayat 256 Allah SWT. M. Quraish Shihab telah menjelaskan konsep toleransi yang benar, yaitu semua penganut harus menghormati hak kebebasan penganut agama lain untuk mengamalkan kepercayaannya masing- masing. Prinsip toleransi seperti inilah yang dikehendaki Islam dan justru menunjukkan keistimewaan ajaran Islam itu sendiri. Persoalan keyakinan atau agama terpulang kepada hak pilih masing-masing individu, sebab Allah SWT. sendiri telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Manusia oleh Allah SWT. diberi peluang untuk menimbang secara bijak dan kritis antara memilih Islam atau kufur dengan segala resikonya. Meskipun demikian, Islam tidak kurang-kurangnya memberi peringatan dan menyampaikan ajakan agar manusia itu mau beriman.
Banyak sekali ayat al-Qur’an yang membicarkan kebebasan beragama, di antaranya ditemukan juga pada dalam Q.S. Hûd ayat 118.
öqs9ur uä!$x© y7/u Ÿ@yèpgm: }¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur ( Ÿwur tbqä9#ttƒ šúüÏÿÎ=tGøƒèC ÇÊÊÑÈ    
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.

Menurut M. Quraish Shihab, kata law dalam firman-Nya tersebut menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dikehendaki-Nya, karena kata law tidak digunakan kecuali untuk mengandaikan sesuatu yang tidak mungkin dan mustahil terjadi. Ini berarti bahwa Allah SWT. tidak menghendaki menjadikan semua manusia sejak dahulu hingga kini menjadi satu umat, yakni satu pendapat, satu kecenderungan, bahkan satu agama dalam  segala prisnsip dan rinciannya. Karena jika Allah SWT. berkehendak menjadikan seluruh manusia beriman kepada-Nya, maka Allah SWT. tidak akan memberikan kebebasan memilah dan memilih, termasuk kebebasan memimilih agama dan kepercayaan.[9]
Dapat disimpulkan bahwa kebebasan beragama menurut M. Qurasih Shihab adalah suatu keniscayaan yang benar-benar telah dijelaskan dan diatur Allah SWT., sehingga semua orang telah dituntun oleh Allah SWT., untuk taat kepada-Nya hanya saja setiap hambanya berhak memilih untuk taat dan kufur dengan segalah konsekwensinya.


[1] M. Quraish Shihab juga pernah menyebutkan istilah ini ketika menafsirkan QS. Hud ayat 118, Zuhairi al-Misrâwi menuliskan tema ini dalam pembahsannya tentang ayat-ayat tolerasni,  Zuhairi al-Mishrâwi, al-Qur’an Kitab Toleransi, op, cit., hal. 284
[2] Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), hal. 22
[3] M. Quraish Shihâb, al-Misbah,  op.cit., Vol 1,  hal. 552 
[4] M. Quraish Shihâb, al-Misbah,  ibid., Vol 1
[5] Ibid.,Vol 1, hal. 552
[6] M. Quraish Shihâb, al-Misbah, ibid., Vol 15,  hal. 680
[7] Ibid., hal. 682
[8]M. Quraish Shihâb, al-Misbah, ibid.,Vol 15, hal. 574
[9] M. Quraish Shihậb,  al-Misbah, ibid., Vol 6, hal. 361-362

No comments:

Post a Comment