Manusia sebagai
makhluk Allah SWT., untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan hidupnya
membutuhkan manusia lain di sekelilingnya, atau dengan kata lain bahwa manusia
tidak terlepas hubungannya dengan manusia lainnya, sehingga hubungan antar
manusia tersebut merupakan kebutuhan objektif. Untuk menjaga agar terjalin
hubungan sosial yang serasi baik antar sesama manusia maupun dengan lingkungan
alam sekitarnya maka dalam melakukan interaksi diperlukan suatu aturan.
Sumber ajaran pokok agama Islam
yang paling utama adalah al-Qur`ân. Di dalam al-Qur`ân Allah SWT. banyak
menjelaskan tentang tuntunan hidup berdampingan dalam bermasyarakat dan
beragama, Allah SWT. menjelaskan dalam Q.S.
Al-Mumtahanah ayat 8.
w â/ä38yg÷Yt
ª!$#
Ç`tã
tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ã Îû
ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøä `ÏiB öNä.Ì»tÏ
br& óOèdry9s?
(#þqäÜÅ¡ø)è?ur
öNÍkös9Î)
4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#
ÇÑÈ
Allah SWT tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
(Q.S. Al-Mumtahanah 8)
Menurut M. Quraih Shihab, perintah untuk memusuhi Kâfir
yang diuraikan pada ayat-ayat sebelumnya boleh jadi menimbulkan kesan bahwa
semua non-Muslim harus dimusuhi. Untuk menampik kesan keliru tersebut maka
ayat-ayat ini menggariskan prinsip dasar hubungan interaksi antara Muslim dengan
non-Muslim.[2] M. Quraish Shihab juga berpendapat bahwa penggunaan kata tabarrûhum
diartikan sebagai bentuk izin Allah SWT. kepada umat Islam untuk melakukan
berbagai macam kebaikan kepada non-Muslim selama tidak menimbulkan hal yang
negatif terhadap umat Islam. [3]
Menurut M. Quraish Shihab, pada Q.S. Al-Mumtahanah
ayat 8 di atas berlaku umum kapanpun dan di manapun
juga. Sementara sebagian ulama ada yang bermaksud membatasi ayat tersebut hanya
ditujukan kepada kaum Musyrik Makkah, tetapi ulama sejak masa Ibn Jarîr
al-Thabari telah membantahnya, sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihâb, Tharir
Ibn Asyûr menulis bahwa pada masa Nabi SAW. tidak sedikit orang Musyrik yang
bekerja sama dengan Nabi SAW. serta menginginkan kemenangan Nabi SAW. ketika
menghadapi suku Quraisy Mekkah. Mereka di antaranya adalah Khuzâ’ah, Bani al-Harîtsah,
Ibn Ka’ab dan Muzainab.[4]
Penjelasan di atas membuktikan bahwa betapa Allah SWT.
memerintahkan manusia untuk berlaku ȃdil. Tidak hanya sebatas berlaku ȃdil,
bahkan Allah SWT. menyuruh manusia untuk berbuat baik kepada non-Muslim.
Sejalan dengan itu, Yusuf al-Qardhâwi menjelasakan bahwa,
melalui Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8 Allah SWT. menganjurkan umat Muslim menjalin
hubungan baik dengan non-Muslim selama mereka menginginkan kedamaian, keadilan
dan kebaikan terhadap Islam. Yusuf al-Qardhâwi juga mengatakan bahwa ayat
tersebut tidak sekedar menuntut umat Islam berlaku adil terhadap non-Muslim,
tapi dalam ayat ini bahkan Allah SWT. juga menjelaskan bahwa umat Islam senang
berbuat baik kepada non-Muslim selama mereka tidak memerangi umat Islam.[5]
Namun di sisi lain tidak sedikit umat Muslim yang salah
dalam menafsirkan perkataan “ asyiddâ’u alalkuffâr ” yang terdapat dalam
surat al-Fath ayat 29. Secara zhâhir memang artinya adalah berlaku keras
terhadap orang-orang Kâfir, hanya saja menurut M. Quraish Shihab Kafir
tidak selamnya diartikan sebagai non-Muslim, melainkan siapa saja yang
melakukan aktifitas yang bertentangan dengan agama, baik seorang Muslim sekalipun.
Bahkan asyiddâ’u alalkuffâr digunakan dalam konteks peperangan dan
penegakan sanksi hukum yang dibenarkan agama. Menurut M. Qurasih Shihab, ayat ini
sesuai dengan firman Allah SWT. Q.S. Al-Nur ayat 2.[6]
Sebenarnya larangan menjadikah non-Muslim sebagai teman dekata dan kepercayaan juga terdapat dalam Q.S. Ali ’Imrân ayat 118.
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#räÏGs?
ZptR$sÜÎ/
`ÏiB
öNä3ÏRrß
w
öNä3tRqä9ù't
Zw$t6yz
(#rur
$tB
÷LêÏYtã
ôs%
ÏNyt/
âä!$Òøót7ø9$#
ô`ÏB
öNÎgÏdºuqøùr&
$tBur
Ïÿ÷è?
öNèdârßß¹
çt9ø.r&
4
ôs%
$¨Y¨t/
ãNä3s9
ÏM»tFy$#
(
bÎ)
÷LäêZä.
tbqè=É)÷ès?
ÇÊÊÑÈ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan
kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
Menurut M. Quraish Shihâb ayat ini menjelaskan
larangan Allah SWT. agar umat Islâm tidak bergaul akrab dengan Yahûdi, bahkan
ada yang mengatakan bahwa ayat ini juga melarang bergaul akrab dengan orang munâfiq.
Teks ayat ini bersifat umum sehingga tidak menutup kemungkinan larangan ini
kepada Ahli Kitab, ayat ini
juga melarang menjadikan teman akrab dari orang-orang Kâfir yang bukan
dari golongan Muslim, bahkan Allah SWT. juga melarang berteman akrab dengan
siapa saja yang menginginkan kemudharatan bagi umat Islam.[7]
Dapat disimpulkan bahwa larangan menjadikan teman kepercayaan menurut M. Quraish Shihab tidak hanya kepada non-Muslim saja,
bahkan Allah SWT. juga melarang hal tersebut terhadap orang Munâfik.
Selain itu juga dapat dipahami bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang
buruk terhadap agama Islam meskipun
mereka masih beragama Islam. Oleh sebab itu sebagai Muslim yang baik hendaknya dapat memilih teman kepercayaan yang berasal dari umat Islam yang baik pula. Jika Allah SWT. juga melarang untuk
menjadikan seorang Muslim yang memiliki sifat kebencian terhadap agama Allah
SWT sebagai teman kepercayaan, maka tentu Allah SWT. lebih melarang
menjadikan non-Muslim sebagai teman kepercayaan bagi seorang Muslim lainnya.
Melalui Q.S. Al-Mâ’idah ayat 51 juga menjelaskan larangannya tersebut.
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#räÏGs?
yqåkuø9$#
#t»|Á¨Z9$#ur
uä!$uÏ9÷rr&
¢
öNåkÝÕ÷èt/
âä!$uÏ9÷rr&
<Ù÷èt/
4
`tBur
Nçl°;uqtGt
öNä3ZÏiB
¼çm¯RÎ*sù
öNåk÷]ÏB
3
¨bÎ)
©!$#
w
Ïôgt
tPöqs)ø9$#
tûüÏJÎ=»©à9$#
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah SWT. tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.
M. Quraish Shihâb mengatakan bahwa ulama memahami ayat
ini sebagai larangan untuk berteman akrab dengan orang-orang Yahûdi maupun Nashrȃni
dan ada lagi yang memahaminya bahwa larangan berlaku terhadap orang-orang munȃfik.[8] Namun, di sisi lain
menurut al-Maraghi, Kahilifah Umar pernah membentuk sendiri orang-orang yang
mengurusi dewannya dari orang Romawi dan para Khalîfah sesudahnya pun pernah
melakukan hal yang serupa.[9] Sehingga menurut Al-Marâghi, bahwa sebab pelarangan
berteman kepada orang-orang Kafir adalah karena sifat-sifatnya sebagai berikut
:[10]
a.
Mereka tidak segan-segan merusak dan
mencelakakan urusan umat Islâm dengan segala kemampuan yang mereka miliki.
b.
Mereka menginginkan urusan agama dan dunia
kalian dalam kesulitan yang besar.
c. Mereka
menampakkan kebencian mereka dan menganggap Muslim sebagai orang yang bodoh.
Penjelasan
di atas membuktikan bahwa kendatipun dilarang untuk berteman dengan non-Muslim,
namun pengharamannya adalah pada non-Muslim yang memiliki tiga ( 3 ) sifat di
atas. Jika tidak memiliki sifat tersebut maka tidak ada salahnya berteman
dengan non-Muslim asal tidak menceritakan rahasia umat Islam dan tidak menjadikannya sebagai teman
kepercayaan.
Selain itu ternyata ada batasan lain yang diberikan Allah
SWT. terkait hubungan sosial manusia. Di dalam Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 28 Allah SWT. melarang orang
yang beriman menjadikan Kâfir sebagai pemimpin.
w
ÉÏGt
tbqãZÏB÷sßJø9$#
tûïÍÏÿ»s3ø9$#
uä!$uÏ9÷rr&
`ÏB
Èbrß
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
(
`tBur
ö@yèøÿt
Ï9ºs
}§øn=sù
ÆÏB
«!$#
Îû
>äóÓx«
HwÎ)
br&
(#qà)Gs?
óOßg÷ZÏB
Zp9s)è?
3
ãNà2âÉjyÛãur
ª!$#
¼çm|¡øÿtR
3
n<Î)ur
«!$#
çÅÁyJø9$#
ÇËÑÈ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah SWT. kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah SWT. memperingatkan kamu
terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah SWT kamu kembali.
Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menyatakan bahwa tidak wajar menjadikan orang Kâfir sebagai pemimpin
atau penolong. Jika seorang Mukmin telah menjadikan seorang penolong atau pemimpinnya dari
kalangan orang Kâfir maka hal itu membuktikan seorang Mukmin lemah, padahal Allah SWT. enggan melihat orang
Mukmin lemah. [11] Namun pada akhir penjelasannya M. Quraish Shihab
mengatakan bahwa kalaupun seorang Mukmin menjadikan mereka sebagai
pemimpin maka haruslah memberikan kemaslahatan kepada kaum Muslim, atau paling
tidak hanya memberikan sedikit kerugian kepada kaum Muslim.[12]
Pendapaat M. Quraish ini membuktikan bahwa jika seorang Mukmin
saja tidak percaya
dengan Mukmin lainnya dan menganggap seorang Mukmin tersebut
tidak dapat dijadikan pemimpin maka seluruh umat Islam pada dasarnya adalah lemah. Dan jika hal ini terjadi, maka saling percaya
di dalam Islam akan musnah dan orang Kâfir akan mudah menghancurkan umat
Islam. Dapat disimpulkan pula bahwa menurut M. Qurais
Shihab, kalaupun harus memilih orang Kâfir karena benar-benar tidak ada yang dapat menjadi pemimipin maka hendaknya
seorang Mukmin jangan menjadikan atau memilih orang Kâfir, kecuali orang Kâfir tersebut dapat memberikan kemaslahatan bagi umat Islam atau setidaknya yang
memberikan sedikit mudhȃrat bagi umat Islam.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa makna Kâfir biasa dipahami sebagai
siapa yang tidak memeluk agama Islam. Makna ini menurutnya tidak keliru, akan tetapi perlu diketahui bahwa al-Qur’an menggunakan kata Kȃfir
dalam berbagai bentuknya untuk banyak arti yang puncaknya adalah pengingkaran
terhadap keesaan Allah SWT. dan disusul dengan keengganan melaksanakan perintah
Allah SWT. dan mengerjakan perintah-Nya.[13]
Berarti menurut M. Quraish Shihab, umat Islam tidak hanya dilarang menjadikan se-orang
pemimpin itu berasal dari non-Muslim, bahkan Allah SWT. juga melarang menjadikan seorang pendosa yang tidak mau
melaksanakan perintah Allah SWT. dan menjauhi larangan-Nya sebagai pemimpin.
[1] Kalimat ini juga menjadi tema atau judul dalam
buku M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur`an, op, cit., hal. 367
[5] Yûsuf
al-Qardhâwi, Halâl dan Harâm, judul
asli: Halâl Wa al- Harâm Fî al-Islâm
Penerjemah: Tim Kuadran, (Bandung : Penerbit Jabal, 2000), hal. 334
No comments:
Post a Comment