Sunday, September 29, 2019

Menjalin Persaudaran dan Hubungan Sosial dengan non-Muslim


1.    Menjalin Persaudaran dan Hubungan Sosial dengan non-Muslim[1]
Manusia sebagai makhluk Allah SWT., untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan hidupnya membutuhkan manusia lain di sekelilingnya, atau dengan kata lain bahwa manusia tidak terlepas hubungannya dengan manusia lainnya, sehingga hubungan antar manusia tersebut merupakan kebutuhan objektif. Untuk menjaga agar terjalin hubungan sosial yang serasi baik antar sesama manusia maupun dengan lingkungan alam sekitarnya maka dalam melakukan interaksi diperlukan suatu aturan.
Sumber ajaran pokok agama Islam yang paling utama adalah al-Qur`ân. Di dalam al-Qur`ân Allah SWT. banyak menjelaskan tentang tuntunan hidup berdampingan dalam bermasyarakat dan beragama, Allah SWT. menjelaskan dalam Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8.
žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ
Allah SWT tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. Al-Mumtahanah 8)

Menurut M. Quraih Shihab, perintah untuk memusuhi Kâfir yang diuraikan pada ayat-ayat sebelumnya boleh jadi menimbulkan kesan bahwa semua non-Muslim harus dimusuhi. Untuk menampik kesan keliru tersebut maka ayat-ayat ini menggariskan prinsip dasar hubungan interaksi antara Muslim dengan non-Muslim.[2] M. Quraish Shihab juga berpendapat bahwa penggunaan kata tabarrûhum diartikan sebagai bentuk izin Allah SWT. kepada umat Islam untuk melakukan berbagai macam kebaikan kepada non-Muslim selama tidak menimbulkan hal yang negatif terhadap umat Islam. [3]
Menurut M. Quraish Shihab, pada Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8 di atas berlaku umum kapanpun dan di manapun juga. Sementara sebagian ulama ada yang bermaksud membatasi ayat tersebut hanya ditujukan kepada kaum Musyrik Makkah, tetapi ulama sejak masa Ibn Jarîr al-Thabari telah membantahnya, sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihâb, Tharir Ibn Asyûr menulis bahwa pada masa Nabi SAW. tidak sedikit orang Musyrik yang bekerja sama dengan Nabi SAW. serta menginginkan kemenangan Nabi SAW. ketika menghadapi suku Quraisy Mekkah. Mereka di antaranya adalah Khuzâ’ah, Bani al-Harîtsah, Ibn Ka’ab dan Muzainab.[4]
Penjelasan di atas membuktikan bahwa betapa Allah SWT. memerintahkan manusia untuk berlaku ȃdil. Tidak hanya sebatas berlaku ȃdil, bahkan Allah SWT. menyuruh manusia untuk berbuat baik kepada non-Muslim.
Sejalan dengan itu, Yusuf al-Qardhâwi menjelasakan bahwa, melalui Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8 Allah SWT. menganjurkan umat Muslim menjalin hubungan baik dengan non-Muslim selama mereka menginginkan kedamaian, keadilan dan kebaikan terhadap Islam. Yusuf al-Qardhâwi juga mengatakan bahwa ayat tersebut tidak sekedar menuntut umat Islam berlaku adil terhadap non-Muslim, tapi dalam ayat ini bahkan Allah SWT. juga menjelaskan bahwa umat Islam senang berbuat baik kepada non-Muslim selama mereka tidak memerangi umat Islam.[5]
Namun di sisi lain tidak sedikit umat Muslim yang salah dalam menafsirkan perkataan “ asyiddâ’u alalkuffâr ” yang terdapat dalam surat al-Fath ayat 29. Secara zhâhir memang artinya adalah berlaku keras terhadap orang-orang Kâfir, hanya saja menurut M. Quraish Shihab Kafir tidak selamnya diartikan sebagai non-Muslim, melainkan siapa saja yang melakukan aktifitas yang bertentangan dengan agama, baik seorang Muslim sekalipun. Bahkan asyiddâ’u alalkuffâr digunakan dalam konteks peperangan dan penegakan sanksi hukum yang dibenarkan agama. Menurut M. Qurasih Shihab, ayat ini sesuai dengan firman Allah SWT. Q.S. Al-Nur ayat 2.[6]
Sebenarnya larangan menjadikah non-Muslim sebagai teman dekata dan kepercayaan juga terdapat dalam Q.S. Ali ’Imrân ayat 118.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? ZptR$sÜÎ/ `ÏiB öNä3ÏRrߊ Ÿw öNä3tRqä9ù'tƒ Zw$t6yz (#rŠur $tB ÷LêÏYtã ôs% ÏNyt/ âä!$ŸÒøót7ø9$# ô`ÏB öNÎgÏdºuqøùr& $tBur Ïÿ÷è? öNèdârßß¹ çŽt9ø.r& 4 ôs% $¨Y¨t/ ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# ( bÎ) ÷LäêZä. tbqè=É)÷ès? ÇÊÊÑÈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.

Menurut M. Quraish Shihâb ayat ini menjelaskan larangan Allah SWT. agar umat Islâm tidak bergaul akrab dengan Yahûdi, bahkan ada yang mengatakan bahwa ayat ini juga melarang bergaul akrab dengan orang munâfiq. Teks ayat ini bersifat umum sehingga tidak menutup kemungkinan larangan ini kepada Ahli Kitab, ayat ini juga melarang menjadikan teman akrab dari orang-orang Kâfir yang bukan dari golongan Muslim, bahkan Allah SWT. juga melarang berteman akrab dengan siapa saja yang menginginkan kemudharatan bagi umat Islam.[7]
Dapat disimpulkan bahwa larangan menjadikan teman kepercayaan menurut M. Quraish Shihab tidak hanya kepada non-Muslim saja, bahkan Allah SWT. juga melarang hal tersebut terhadap orang Munâfik. Selain itu juga dapat dipahami bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang buruk terhadap agama Islam meskipun mereka masih beragama Islam. Oleh sebab itu sebagai Muslim yang baik hendaknya dapat memilih teman kepercayaan yang berasal dari umat Islam yang baik pula. Jika Allah SWT. juga melarang untuk menjadikan seorang Muslim yang memiliki sifat kebencian terhadap agama Allah SWT sebagai teman kepercayaan, maka tentu Allah SWT. lebih melarang menjadikan non-Muslim sebagai teman kepercayaan bagi seorang Muslim lainnya.
Melalui Q.S. Al-Mâ’idah ayat 51 juga menjelaskan larangannya tersebut.                    
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? yŠqåkuŽø9$# #t»|Á¨Z9$#ur uä!$uÏ9÷rr& ¢ öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 `tBur Nçl°;uqtGtƒ öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïôgtƒ tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$#
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah SWT. tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.

M. Quraish Shihâb mengatakan bahwa ulama memahami ayat ini sebagai larangan untuk berteman akrab dengan orang-orang Yahûdi maupun Nashrȃni dan ada lagi yang memahaminya bahwa larangan berlaku terhadap orang-orang munȃfik.[8] Namun, di sisi lain menurut al-Maraghi, Kahilifah Umar pernah membentuk sendiri orang-orang yang mengurusi dewannya dari orang Romawi dan para Khalîfah sesudahnya pun pernah melakukan hal yang serupa.[9] Sehingga menurut Al-Marâghi, bahwa sebab pelarangan berteman kepada orang-orang Kafir adalah karena sifat-sifatnya sebagai berikut :[10]
a.       Mereka tidak segan-segan merusak dan mencelakakan urusan umat Islâm dengan segala kemampuan yang mereka miliki.
b.      Mereka menginginkan urusan agama dan dunia kalian dalam kesulitan yang besar.
c.       Mereka menampakkan kebencian mereka dan menganggap Muslim sebagai orang yang bodoh.
Penjelasan di atas membuktikan bahwa kendatipun dilarang untuk berteman dengan non-Muslim, namun pengharamannya adalah pada non-Muslim yang memiliki tiga ( 3 ) sifat di atas. Jika tidak memiliki sifat tersebut maka tidak ada salahnya berteman dengan non-Muslim asal tidak menceritakan rahasia umat Islam dan tidak menjadikannya sebagai teman kepercayaan.
Selain itu ternyata ada batasan lain yang diberikan Allah SWT. terkait hubungan sosial manusia. Di dalam Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 28 Allah SWT. melarang orang yang beriman menjadikan Kâfir sebagai pemimpin.
žw ÉÏ­Gtƒ tbqãZÏB÷sßJø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# uä!$uŠÏ9÷rr& `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$# ( `tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ }§øŠn=sù šÆÏB «!$# Îû >äóÓx« HwÎ) br& (#qà)­Gs? óOßg÷ZÏB Zp9s)è? 3 ãNà2âÉjyÛãƒur ª!$# ¼çm|¡øÿtR 3 n<Î)ur «!$# 玍ÅÁyJø9$# ÇËÑÈ  
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah SWT. kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah SWT. memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah SWT kamu kembali.

Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menyatakan bahwa tidak wajar menjadikan orang Kâfir sebagai pemimpin atau penolong. Jika seorang Mukmin telah menjadikan seorang penolong atau pemimpinnya dari kalangan orang Kâfir maka hal itu membuktikan seorang Mukmin lemah, padahal Allah SWT. enggan melihat orang Mukmin lemah. [11] Namun pada akhir penjelasannya M. Quraish Shihab mengatakan bahwa kalaupun seorang Mukmin menjadikan mereka sebagai pemimpin maka haruslah memberikan kemaslahatan kepada kaum Muslim, atau paling tidak hanya memberikan sedikit kerugian kepada kaum Muslim.[12]
Pendapaat M. Quraish ini membuktikan bahwa jika seorang Mukmin saja tidak percaya dengan Mukmin lainnya dan menganggap seorang Mukmin tersebut tidak dapat dijadikan pemimpin maka seluruh umat Islam pada dasarnya adalah lemah. Dan jika hal ini terjadi, maka saling percaya di dalam Islam akan musnah dan orang Kâfir akan mudah menghancurkan umat Islam. Dapat disimpulkan pula bahwa menurut M. Qurais Shihab, kalaupun harus memilih orang Kâfir karena benar-benar tidak ada yang dapat menjadi pemimipin maka hendaknya seorang Mukmin jangan menjadikan atau memilih orang Kâfir, kecuali orang Kâfir tersebut dapat memberikan kemaslahatan bagi umat Islam atau setidaknya yang memberikan sedikit mudhȃrat bagi umat Islam.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa makna Kâfir biasa dipahami sebagai siapa yang tidak memeluk agama Islam. Makna ini menurutnya tidak keliru, akan tetapi perlu diketahui bahwa al-Qur’an menggunakan kata Kȃfir dalam berbagai bentuknya untuk banyak arti yang puncaknya adalah pengingkaran terhadap keesaan Allah SWT. dan disusul dengan keengganan melaksanakan perintah Allah SWT. dan mengerjakan perintah-Nya.[13] Berarti menurut M. Quraish Shihab, umat Islam tidak hanya dilarang menjadikan se-orang pemimpin itu berasal dari non-Muslim, bahkan Allah SWT. juga melarang menjadikan seorang pendosa yang tidak mau melaksanakan perintah Allah SWT. dan menjauhi larangan-Nya sebagai pemimpin.


[1] Kalimat ini juga menjadi tema atau judul dalam buku M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur`an, op, cit., hal. 367
[2] M. Quraish Shihâb, al-Misbah, ibid., Vol 14. hal. 168 
[3] Ibid., Vol 14, hal. 168-169 
[4] Ibid., hal 170
[5] Yûsuf al-Qardhâwi, Halâl dan Harâm, judul asli: Halâl Wa al- Harâm Fî al-Islâm Penerjemah: Tim Kuadran, (Bandung : Penerbit Jabal, 2000), hal. 334
[6] M. Quraish Shihâb, al-Misbah, op, cit., Vol 13. hal. 217
                [7] M. Quraish Shihâb, al-Misbah, ibid., Vol 2, hal, 195
[8] M. Quraish Shihâb, al-Misbah, ibid., Vol 2 hal, 183. 
[9] Ahmad Musthâfa al-Marâghi, al-Maraghi,  op, cit., hal, 75
[10] Ibid., Jilid IV, hal.74
[11] M. Quraish Shihâb, al-Misbah, op, cit., Vol 2, hal. 62
[12] M. Quraish Shihâb, al-Misbah,  ibid., Vol 2, hal. 62
[13] M. Quraish Shihâb, al-Misbah,  ibid., Vol, hal. 63

No comments:

Post a Comment