Monday, May 5, 2014

TARTIB AYAT DAN SURAT SERTA RASM AL-QUR’AN


TARTIB AYAT DAN SURAT SERTA RASM AL-QUR’AN

A.    Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang pertama bagi ummat Islam yang bagi kaum Muslimin adalah kalamullah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad melalui perantaraan Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan apapun.[1] Ayat-ayatnya telah berinteraksi dengan budaya dan perkembangan masyarakat yang dijumpainya. Kendati demikian, nilai-nilai yang diamanahkannya dapat diterapkan pada setiap situasi dan kondisi.[2]
Dan kandungan pesan Ilahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu, telah meletakkan baik untuk kehidupan individual dan sosial kaum-mulimin dalam segala aspeknya. Bahkan, masyarakat muslim mangawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan merespon dakwah Al-Qur’an, itulah sebabnya, Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan muslim.[3]
Lebih dari pada itu setidaknya Al-Qur’an dapat difungsikan oleh Manusia di bumi ini, sebagai sumber ajaran dan bukti kebenaran kerasulan Muhammad saw. dimana Al-Qur’an memberikan berbagai norma keagamaan sebagai petunjuk bagi kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat yang merupakan akhir dari perjalanan hidup meraka.[4]
Sebagai kitab suci al-Qur’an, sejak pewahyuannya hingga kini, telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan penerimaan pesan ketuhanan Al-Qur’an oleh Muhammad, kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang telah menghafalnya dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilitas teks dan bacaannya yang mencapai kemajuan berarti pada abad ke-3 H dan abad ke- 4 H serta berkulminasi dengan penerbitan edisi standar Al-Qur’an di Mesir pada 1342 H/1923,[5] kitab suci kaum muslimin ini tetap menyimpan sejumlah hikmah dalam berbagai tahapan perjalan sejarahannya.

B.     Tartibul Ayah wa Surah
1.  Tartib Ayat
Sebelum lebih jauh kita membahas tentang “Tartib Ayat”, dan mengemukakan beberapa pendapat para ahli dibidangnya, penulis lebih dahulu memaparkan pengertian “Tartib Ayat” itu sendiri, untuk membantu kita dalam memahami isi kandungan al-Qur’an atau orang lain yang membaca tulisan ini, maka lebih baik jika kita uraikan arti daripada tartib ayat.
“Tartib Ayat” adalah merupakan istilah dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu, kata “Tartib” dan kata “Ayat”. Kata Tartib dalam kamus Al-Kautsar, merupakan isim masdar dari kata ra-ta-ba (رتب) yang artinya urut-urutan atau peraturan.[6]
Sedangkan kata “Ayat” mempunyai definisi-definisi yang banyak sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian dalam bidang Bahasa, Ilmu Kalam, Usul Fiqh dan sebagainya. Namun definisi-definisi tersebut tentu berbeda antara satu dengan yang lain, karena Stressing (penekanan-Nya) berbeda-beda disebabkan perbedaan keahlian mereka.
Ayat secara etimologi (bahasa) ada beberapa pengertian diantaranya yaitu:[7]
  1. Mukjizat, sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 211:
سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ ءَاتَيْنَاهُمْ مِنْ ءَايَةٍ بَيِّنَةٍوَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ(211)
“Tanyakan kepada Bani Israil: Berapa banyaknya mukjizat yang nyata, yang telah kami berikan kepada Mereka”
2.      Tanda (alamat), sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 248 :
….. إِنَّ ءَايَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ (248)
 “…Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut[8] kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu…”
3.      Pelajaran (peringatan), sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 13:
قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُمْ مِثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَنْ يَشَاءُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لأولِي الأبْصَارِ (١٣ (
“Sesungguhnya pada yang demikian itu ada pelajaran bagi orang-orag yang mempunyai penglihatan mata hati”.
4.      Suatu hal yang sangat menakjubkan (mengherankan), sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 50:
وَجَعَلْنَا ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ آيَةً وَآوَيْنَاهُمَا إِلَى رَبْوَةٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَمَعِينٍ (٥٠)  
“Dan telah kami jadikan Isa Putra Maryam beserta Ibunya suatu kejadian yang menakjubkan (yang membuktikan kekuasaan Allah)…”
5.      Kelompok (kumpulan), sebagaimana dalam ucapan orang Arab:
خرج القوم بآيآتهم
“Kaum itu keluar dengan seluruh kelompoknya, tidak ada seorang pun yang tertinggal”.
6.      Bukti (Dalil), Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-rum ayat 22:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (٢٢)
“Dan diantara bukti-bukti adanya Allah dan kekuasaannya ialah dia menciptakan langit dan bumi berlain-lainnan bahasamu dan warnamu…”
Sedangkan pengertian “ayat” secara Terminologi adalah:[9]
“Suatu kumpulan kata yang mempunyai awal dan akhir, yang termasuk didalam suatu surat dari al-Qur’an”
Dan menurut Manna al-Qattan dalam bukunya “Mabahits fi Ulumil Qur’an” pengertian ”ayat”[10] adalah: Sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surat dari Qur’an.[11]
Dan lebih luas lagi pengertian yang dikemukakan oleh Taufik Adnan Amal “ayah” (jamaknya: ayaat), didalam al-Qur’an dapat dikelompokkan ke dalam empat konteks (siyaq).[12]
Konteks pertama, kata “ayah” merujuk kepada fenomena kealaman. Termasuk manusia yang disebut sebagai “tanda-tanda” (ayat) kemahakuasaan dan karunia tuhan.
Dan konteks kedua, kata “ayah” diterapkan kepada peristiwa-peristiwa atau obyek-obyek luar biasa yang dikaitkan dengan tugas seorang utusan tuhan dan cenderung mengkonfirmasikan pesan ketuhanan yang dibawanya.[13]
Dalam konteks ketiga, kata “ayah” merujuk kepada “tanda-tanda” yang dibacakan oleh rasul-rasul yang diutus tuhan atau dalam kebanyakan kasus dibacakan oleh Muhammad sendiri. Pembacaan “tanda-tanda” ini menambahkan keyakinan kaum beriman, tetapi para penentang nabi mengeritiknya sebagai “dongeng-dongeng masa silam”. Sebagaimana didalam al-Qur’an, term atau kata “asathir al-awwalin” merujuk kepada kisah pengazaban umat-umat terdahulu dan kebangkitan kembali pada hari Pengadilan.
Dalam konteks terakhir, yakni konteks keempat kata “ayah” disebut sebagai bagian al-Qur’an atau kitab atau surah, yang diturunkan Tuhan dalam konteks ini memiliki makna unit dasar wahyu terkecil, selaras dengan pemahaman kita dewasa ini. Tetapi, sebagaimana dengan surah, al-Qur’an juga tidak memberi indikasi tentang panjang pendeknya unit-unit wahyu tersebut.[14] Dan tiap-tiap ayat diakhiri dengan Fashilah[15].
Semua ayat berada ditempatnya sendiri dalam satu surat. Susunan seprti ini telah ditetapkan oleh nash dan ijma’ dan menurut pendapat yang terkuat hukumnya adalah wajib dan haram bagi seseorang untuk menyelisihinya, atas dasar ini, maka firman Allah:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٢)الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (٣)
Tidak boleh dibaca:
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (٣)الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٢)
Tertib atau urutan ayat-ayat al-Qur’an adalah taukify, ketentuan dari Rasulullah SAW. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat itu adalah ijma’ , di antaranya az-Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja’far Ibn Zubair dalam Munasabah-nya, ia mengatakan: “Tertib ayat-ayat di dalam surah itu berdasarkan taukify dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan oleh kaumuslimin”. Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dala surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah menyuruh para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut, ia mengatakan kepada mereka “letakkanlah ayat itu pada surat yang di dalamnya menyebutkan begini dan begini” atau “Letakkanlah ayat ini di tempat anu”. Usman bin Abil ‘As berkata:
كنت جالسا عند رسول الله صل الله عليه وسلم إذ شخص ببصره ثخص ببصر ثم صوبه ثم قال: أتاني جبريل فأمرني أن أضع هذه الاية هذا الموضع من السورة. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (٩٠)

Usman berhenti ketika mengumpulkan Qur’an pada setiap ayat dari sebuah surat dalam Qur’an dan sekalipun ayat itu telah di mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat dengan tertib seperti ini adalah taukify.[16]
Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa Qur’an yang telah disampaikan kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupan sebanyak dua kali. Pengulangan jibril yang terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang.[17]
Dengan demikian, tertib ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah taukify, tanpa diragukan lagi.[18]

2.    Tartib Surat
Pengertian “Surat” juga mempunyai pendifinisian-pendifinisian dari berbagai ahli diantaranya:
Pengertian “surat” Menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Pengantar Uluml Qur’an adalah:“Sekelompok (sekumpulan) ayat-ayat al-Qur’an yang berdiri sendiri, yang mempunyai permulaan dan penghabisan”.
Sedangkan menurut Manna al-Qattan, pengertian “surat”[19] adalah: sejumlah ayat Qur’an yang mempunyai permulaan dan kesudahan.[20] Sedangkan istilah “surah” menurut Taufik merupakan nama yang digunakan untuk merujuk “bab” al-Qur’an yang seluruhnya berjumlah 114 (menurut perhitungan mushaf Ustmani yang disepakati). Sebagaimana kata surah muncul sembilan kali didalam al-Qur’an dalam bentuk tunggal dan satu kali dalam bentuk jamak (suwar).[21]
Secara kontekstual, penggunaan kata surah sebagai suatu unit wahyu memiliki kemiripan dengan beberapa penggunaan kata ayah, qur’an dan kitab didalam al-Qur’an. Seperti tantangan terhadap musuh-musuh Nabi untuk mendatangkan “suatu surah yang semisalnya” namun tidak ada satupun dari mereka yang dapat memenuhi tantangan tersebut. Jadi dari sini terlihat bahwa makna umum kata “surah” yang bisa disimpulkan di sini adalah unit wahyu terpisah yang diturunkan kepada nabi dari waktu ke waktu. Tetapi, al-Qur’an tidak memberi indikasi apa pun tentang panjang pendeknya unit wahyu tersebut.[22]
Mengenai tertib surah, ulama berbeda pendapat:[23]
a.       Tertib surah dalam al-Qur’an adalah taukify dan ditangani langsung oleh Rasulullah sebagaimana diberitahukan oleh Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikian al-Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang di tangan kita sekarang ini yaitu Rasm Usmany yang tidak seorang sahabatpun membantahnya.
Ibn Hisar mengatakan: “tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tempatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan “Letakkanlah ayat itu ditempat ini”. Hal tersebut telah diperkuat pula oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulllah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini di dalam mushaf.”[24]
b.      Tertiba surah itu melalui ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka.
-          Mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra, Mudatsir, Nun, Qalam, dan Muzammil dan seterusnya hingga akhir surah Makki dan Madani.
-          Mushaf Ibnu Mas’ud yang diawali dengan surat al-Baqarah, an-Nisaa’, kemudian Ali Imran
-          Mushaf Ubay ibn Ka’ab diwali denga surat al-Fatihah, al-Baqarah, an-Nisaa’, kemudian Ali ‘Imrana
c.       Sebagian surah itu tertibnya taukify dan sebagian lagi berdasarkan ijtihad para sahabat.
Ibn Hajar mengatakan: “Tertib sebagian surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai sifat taukify”, untuk mendukung pendapatnya ia kemukakan hadits Huzaifah as-Saqafi
فقال لنا رسول الله صل الله عليه وسلم: طرأ علي حزب من القران فأردت أن لاأخرج حتي أقصيه فسألنا أصحاب رسول الله صل الله عليه وسلم قلنا: كيف تخزبون القران؟ قالوا: نحزبوه ثلاث سوار و خمس سور و سبع سور و تسع سور و احد عشرة و ثلاث عشرة وحزب المفصل من "ق" حتي نختم
“Rasulullah berkata kepada kami: telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb (bagian) dari Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai. Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah: Kami membaginya menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, Sembilan surah, sebelas surah, tiga belas surah, dan bagian al-mufassal dari Qaf sampai kepada kami”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan penegasan sebagaimana di kutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin: boleh membaca atau menulis surat ini sebelum surat itu. Oleh karena itu terjadi perbedaan penulisan pada mushaf-mushaf para sahabat, akan tetapi tatkala mereka telah bersepakat kepada satu mushaf pada zaman Usman, maka kesepakatan itu menjadi sunnah (salah seorang) al-Khulafaur Rasyidin, sementara sebuah hadits menunjukkan bahwa sunnah mereka wajib diikuti.[25]
       







C.    Rasm al-Qur’an
1.      Pengertian Rasm al-Qur’an
Adapun yang dimaksud dengan rasm al-Qur’an adalah:[26]
الوضع الذي ارتضاه سيدنا عثمان رضي الله عنه ومن كان معه من الصحابة في كتابة القران ورسم حروفه والذي وجد في المصاحف التي وجه الي الافاق والامصار والمصحف الامام الذي احتفظ به لنفسه
“Ketentuan atau pola yang digunakan oleh Usman ibn Affan bersama sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan al-Qur’an, berkaiatan dengan susunan huruf-hurufnya, yang terdapat dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke berbagai daerah dan kota, serta mushaf al-Imam yang berada di tangan Usman sendiri”
Jadi Yang dimaksud dengan Rasm al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an. Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu.
Para ulama meringkas kaidah itu menjadi beberapa istilah, yaitu :[27]
a.       Al-Hadzf (الحذف), membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf. Contoh, pengurangan huruf  (الواو) pada firman-firman Allah di bawah ini:
 وَيَدْعُ الإنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الإنْسَانُ عَجُولا (١١)
Dan pengurangan huruf alif “الف” pada firman Allah
سَمَّعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّعُونَ لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ (٤١)
b.      Al-Ziyadah, الزيادة (penambahan), seperti menambahkan huruf alif, seperti:
وَلا تَقُولَنَّ لِشَائٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا (٢٣)
dan menambah  huruf ya () pada firman Allah.
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْيدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ (٤٧)
c.       Badal “البدل” (pergantian), seperti alif ditulis dengan wawu:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَو وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦) 
d.      الوصل dan الفصل (penyambungan suatu lafadz dengan lafadz lain yang lazimnya dipisahkan, dan sebaliknya), seperti penggabungan lafaz أن engan lafadz (لن) dalam firman Allah.
أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ (٣)
e.       ما فيه قراءتانYaitu menyangkut ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki versi qiraat yang berbeda. Dalam hal ini jika memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang sama, maka pola penulisannya sama dalam setiap mushaf Usmani, sebagai contoh:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (٤)
Lafaz (ملك) dalam ayat tersebut bias dibaca (مالك) dan bias dibaca (ملك)
Akan tetapi bila tidak memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang sama, maka ditulis dalam mushaf Usmani dengan rasm al-mushaf yang berbeda. Contohnya seperti dalam firman firman Allah  berikut ini:
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (١٣٢)
Dalam sebagian mushaf Usmani ditulis dan dibaca (واوصي) dan dalam sebagian yang lain (ووصي).
Penulisan al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak sepenuhnya berlaku bagi penulisan al-Qur’an dalam mushaf Usmani yang berbeda dengan pola penulisan al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan di atas.
Mengenai status hukum rasm Usmani ini, ulama berbeda pendapat:[28]
a.       Jumhur ulama berpendapat bahwa Rasm Usmani buat al-Qur’an adalah taukify yang wajib dipakai dalam penulisan al-Qur’an dan harus sungguh-sungguh disucikan. Ibnul Mubarak mengutip gurunya, Abdul Aziz ad-Dabbag, yang mengatakan kepadanya bahwa:, “Para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan al-Qur’an karena penulisan al-Qur’an adalah taukify, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintahkan kepada mereka untuk menuliskannya dalam bentuk seperti yang kita kenal sekarang dengan menambahkan alif atau menguranginya karena terdapat rahasia-rahasiayang tidak dapat terjangkau oleh akal. Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitabNya yang mulia yang tidak Dia berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana al-Qur’an adalah mukjizat, maka penulisannya pun mukjizat.”
b.      Sebagian yang lainnya berpendapat bahwa rasm Usmani bukan taukify dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Usman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Asyhab berkata: “Malik ditanya: apakah mushaf boleh ditulis menurut ejaan (kaedah penulisan) yang diadakan orang ? Malik menjawab: Tidak, kecuali menurut tata cara penulisan yang pertama (Riwayat Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Mughni)
c.       Golongan yang ketiga ini berpendapat bahwa rasm Usmani itu hanyalah seuah istilah, tata cara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla’ dan rasm itu tersiar luas di antara mereka.
Pendapat yang terakhir ini terkesan ingin mengkompromikan dari dua pendapat yang disebutkan sebelumnya. Di satu pihak mereka ingin melestarikan rasm Usmani sedangkan di lain pihak mereka menghendaki dilakukannya penulisan al-Qur’an dengan rasm imla’i untuk memberikan kepada manusia yang mungkin mengalami kesulitan membaca al-Qur’an dengan rasm Usmani.
Rasm Usmani merupakan rasm yang telah diakui dan diwarisi oleh umat Islam sejak masa kekhalifahan Usman ibn Affan dan pemeliharaan rasm Usmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan al-Qur’an dari perubahan dan penggantian huruf-hurufnya sehingga, andaikan diperbolehkan menuliskannya dengan menurut istilah imla’ maka tentu akan mengakibatkan perubahan mushaf dari masa ke masa.

2.     Perbaikan Rasm Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pebawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik ketika bahasa Arab mulai mengalami perkembangan karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non Arab), maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar.  Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang pertama kali mencurahkan usahanya untuk hal itu. Kebanyakn mereka berpendapat bahwa yang pertama sekali melakukan hal itu adalah Abul Aswad ad-Du’ali atas permintaan Ali bin Abi Thalib.[29]
Pembubuhan tanda baca ini mulai dirasakan oleh Ziyad ibn Samiyyah, gubernur Bashrah. Ia melihat telah terjadinya kesalahan dikalangan kaumuslimin dalam membaca kitab suci[30], sebagi contoh kesalahan tersebut adalah ketika membaca firman Allah:
أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ (٣)
Artinya:… Sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.
Terhadap ayat di atas ada yang membaca:
أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ (٣)
Sehingga jika diartikan “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan RasulNya.
Dalam riwayat lain ada yang menisbahkan pekerjaan ini kepada Hasan al-Basri, Yahya bin Ya’mar, dan Nasr bin’Asim al-Laiss, tetapi Abul Aswadlah yang terkenal dalam pekerjaan ini.[31]
Perbaikan rasm Mushaf ini dilakukan secara bertahap. Pada mulanya syakal beerupa titik: fathah berupa satu titik di atas awal huruf, dammah berupa satu titik di akhir huruf dan kasrah berupa satu titik di bawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh Khalil.[32] Perubahan tersebut adalah fathah dengan tanda, dammah dengan “waw” kecil di atas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada “nun” dan “tanwin” sebelum “ba” diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedangkan nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika idgam dan ikhfa. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di idgamkan tidak diberi tanda syaddah, kecuali huruf “ta” sebelum “ta” maka sukun tetap dituliskan, misalnya فَرَطْتُ.[33]
Kemudian pada abad ketiga Hijrah perbaikan dan penyempurnaan rasm Mushaf, dan orang-orangpun berlomba-lomba memilih bentuk tulisan yang baik dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk huruf yang disyaddah seperti busur, sedangkan untuk hamzah wasal diberi lekuk di atasnya, di bawahnya atau di tengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya: fathah, kasrah dan dammah.
Pada tahapan berikutnya orang-orang mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang mununjukkan kepada ayat dan tanda-tanda wakaf. Tanda wakaf lazim adalah (), wakaf mamnu’ (), wakaf jaiz yang boleh wakaf atau tidah (), wakaf jaiz tetapi wasalnya lebih utama (), wakaf jaiz yang wakafnya lebih utama (), wakaf mua’naqah yang bila telah wakaf pada satu tempat tidak dibenarkan wakaf di tempat yang lain diberi tanda “...  ...”, selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb, dan penyempurnaan lainnya.[34]
Para ulama pada awalnya tidak menyukai usaha perbaikan terhadap rasm Usmani tersebut karena khawatir akan terjadinya penambahan dalam al-Qur’an , berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud: “Bersihkanlah al-Qur’an dan jangan campuradukkan dengan apapun.” Dan sebagian mereka membedakan pemberian titik yang diperbolehkan dengan pembuatan perpuluhan (al-a’syar) dan pembukaan-pembukaan yang tidak dibolehkan. Al-Halimi mengatakan “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan (al-a-Akhmasy), nama-nama surah dan bilangan ayat dalam Mushaf, berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud “Bersihkanlah al-Qur’an” sedangkan tanda titik diperbolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Qur’an dengan yang bukan. Pada perkembangan berikutnya hukumnya sudah berubah menjadi boleh bahkan dianjurkan. Perhatian untuk menyempurnakan rasm Usmani kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (al-Khattul ‘Araby).[35]

3.      Pencetakan al-Qur’an
Al-Qur’an dicetak pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1113 H, satu buah mushaf hasil cetakan pertama tersebut masih tersimpan di Dar al-Kutub ‘Arabiyah, Kairo Mesir. Sedangkan di Turki, al-Quran dicetak pertama kali pada tahun 1129 H, di Iran pada tahun 1248 H. Pada tahun 1342 H di Mesir dicetak al-Qur’an seperti yang kita kenal sekarang . Mushaf tersebut ditulis dengan qiraat Hafsh, di mana dunia Islam telah menerimanya sebagai kitab suci pegangan seluruh kaumuslimin, berdasarkan ijma’ seluruh ulama di seluruh penjuru dunia.[36]
Rosihon Anwar menyebutkan penerbitan al-Qur’an pertama kali di cetak di Bunduqiyyah pada tahun 1530 M, tetapi begitu terbit, penguasa gereja langsung memusnahkannya. Yang dicetak di Jerman merupakan cetakan yang kedua atas jasa Hinkelman pada tahun 1694 M, di ikuti di Maracci pada tahun 1698 M, namun saying karena tidak satupun dari al-Qur’an cetakan pertama, kedua dan ketiga ini yang tersisa di dunia Islam. Pada periode berikutnya al-Qur’an dicetah di Saint Peterbourg, Rusia atas jasa Maulaya Utsman. Kemudian di Kazan, Iran pada tahun 1248 H / 1829 M. lima tahun kemudian, yakni tahun 1833, terbit lagi mushaf cetakan di Tabriz, setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834 M) terbit lagi cetakan di Leipziq, Jerman.[37]
Pada perempatan abad XX, Raja Fadh dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan al-Qur’an. Panitia yang dimotori oleh para Syeikh al-Azhar ini pada tahun 1342 H / 1923 M, berhasil menerbitkan Mushaf al-Qur’an cetakan yang bagus, Mushaf yang pertama terbit di Negara Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafsh atau qiraat Ashim. Sejak itu berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir dan berbagai Negara.[38]

D.    PENUTUP
Ayat adalah Suatu kumpulan kata yang mempunyai awal dan akhir, yang termasuk didalam suatu surat dari al-Qur’an. Tertib ayat adalah semua ayat yang berada pada tempatnya sendiri dalam suatu surat. Tertib atau urutan ayat-ayat al-Qur’an adalah taukify, ketentuan dari Rasulullah SAW. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat itu adalah ijma’.
Surah adalah Sekelompok (sekumpulan) ayat-ayat al-Qur’an yang berdiri sendiri, yang mempunyai permulaan dan penghabisan. Tertib surah adalah semua surat yang terdapat di dalam al-qur’an berada pada posisinya masing-masing dan susunan ini telah ditetapkan dengan ijtihad, sehingga hukum membacanya secara berurutan tiaklah wajib. Ulama berbeda pendapat mengenai tartibul suwar ini, jumhur ulama berpendapat bahwa tartibul suwar merupakan taukify, yang lainnya berpendapat hal itu adalah ijtihadi, sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa sebagiannya taukify dan sebagian yang lain adalah ijtihadi.
Rasm al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an. Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Kaidah tersebut diringkas oleh para ulama menjadi enam yaitu, al-Hazf, al-Ziyadah, al-Badl, al-Wasl wal Fasl, dan ma fihi qira’atani.
Ulamapun berbeda pendapat seputaran rasm Usmani ini, jumhur berpendapat bahwa rasm Usmani adalah taukify dari Rasulullah sehingga harus dipakai dalam setiap penulisan al-Qur’an, sebagian yang lain berpendapat bahwa















[1] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur`an (Yogyakarta: FkBA, 2001)., cet. I., h. 1
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, Vol. 2 (Jakarta; Lentera hati, 2006)., cet. v, h. viii
[3] Taufik., loc. cit.
[4] M. Quraish Shihab dkk., Sejarah dan Ulumul Qur`an, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2001) h. 75
[5] Taufik. Loc. Cit.
[6] Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Arab – Indonesia, (Surabaya: Darussagaf PP Alawy: 1977), h. 122
[7] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur`an, (Surabaya: CV. Karya Abditama;1997)., cet. v., h. 1
[8] Tabut adalah peti tempat Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka
[9] Masjfuk Zuhdi, op. cit., h. 135
[10] الأية هي: الجملة من كلام الله المندرجة في سورة من القرآن
[11] Manna al-Qattan, Mabahits Fi `Ulum al-Qur`an, (Riyadh; Mansyurat al-`Ashri al-Hadist: t.h), cet. ii, h. 139 dan lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Alih Bahasa; Drs. Mudzakir AS, h. 205
[12] Taufik, op. cit., h. 48 – 49
[13] Hal ini merupakan pengkhususan kepada Nabi Muhammad yang menunjukkan suatu “tanda” yang tertentu saja tidak merujuk kepada “ayat-ayat” al-Qur`an, tetapi kepada mukjizat. Sebagaimana disebutkan dalam Q. 40:78, penciptaan “tanda-tanda” merupakan hak Tuhan dan tidak seorang rasul pun yang diberi kekuasaan untuk menciptakannya atas kehendak pribadi. Lihat Taufik h. 47
[14] Ibid., h. 49
[15] Fashilah ialah tanda akhir daripada ayat.
[16] Manna al-Qattan, op.cit., h. 205 - 206
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] السورة هي: الجملة من آيات القرآن ذات المطلع والمنقطع
[20] Manna al-Qattan, op.cit., h. 205
[21] Penggunaan istilah surat didalam al-Qur`an merujuk kepada suatu unit wahyu yang “diturunkan” tuhan bukan dalam pengertian “surat” yang dipahami dewasa ini
[22] Taufik, op.cit., h. 49
[23] Manna al-Qattan, op.cit., h. 207 - 209
[24] Ibid.
[25] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan Muhammad bin Jamil Zainu, Ter. Muhammad Qowwam, Bagaimana Kita Memahami al-Qur’an, (Malang: Cahaya Tauhid Press, 2006)., h. 40
[26] Hasanuddin Af, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Graindo, 1995)., h. 79
[27] Ibid.
[28] Manna al-Qattan, op.cit., h. 213 - 216
[29] Ibid.
[30] Hasan Af, op.cit. 94
[31] Manna al-Qattan, op.cit., h. 219
[32] Khalil ibn Ahmad
[33] Manna al-Qattan, op.cit., h. 219-220
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Hasanuddi Af, op.cit., h. 96
[37] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)., h. 51 - 52
[38] Ibid.

2 comments: