TARTIB
AYAT DAN SURAT SERTA RASM AL-QUR’AN
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai
pedoman hidup yang pertama bagi ummat Islam yang bagi kaum Muslimin adalah kalamullah
yang diwahyukan kepada nabi Muhammad melalui perantaraan Jibril selama kurang
lebih dua puluh tiga tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang
berada di luar kemampuan apapun.[1]
Ayat-ayatnya telah berinteraksi dengan budaya dan perkembangan masyarakat
yang dijumpainya. Kendati demikian, nilai-nilai yang diamanahkannya dapat diterapkan
pada setiap situasi dan kondisi.[2]
Dan kandungan pesan
Ilahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu, telah meletakkan baik
untuk kehidupan individual dan sosial kaum-mulimin dalam segala aspeknya.
Bahkan, masyarakat muslim mangawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup
dengan merespon dakwah Al-Qur’an, itulah sebabnya, Al-Qur’an berada tepat di
jantung kepercayaan muslim.[3]
Lebih dari pada itu setidaknya Al-Qur’an
dapat difungsikan oleh Manusia di bumi ini, sebagai sumber ajaran dan bukti
kebenaran kerasulan Muhammad saw. dimana Al-Qur’an memberikan berbagai norma
keagamaan sebagai petunjuk bagi kehidupan umat manusia untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat yang merupakan akhir dari perjalanan hidup
meraka.[4]
Sebagai kitab suci al-Qur’an,
sejak pewahyuannya hingga kini, telah mengarungi sejarah panjang selama empat
belas abad lebih. Diawali dengan penerimaan pesan ketuhanan Al-Qur’an oleh
Muhammad, kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang telah
menghafalnya dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilitas teks dan
bacaannya yang mencapai kemajuan berarti pada abad ke-3 H dan abad ke- 4 H
serta berkulminasi dengan penerbitan edisi standar Al-Qur’an di Mesir pada 1342
H/1923,[5]
kitab suci kaum muslimin ini tetap menyimpan sejumlah hikmah dalam berbagai
tahapan perjalan sejarahannya.
B.
Tartibul Ayah wa
Surah
1. Tartib Ayat
Sebelum lebih jauh kita membahas
tentang “Tartib Ayat”, dan mengemukakan beberapa pendapat para ahli
dibidangnya, penulis lebih dahulu memaparkan pengertian “Tartib Ayat”
itu sendiri, untuk membantu kita dalam memahami isi kandungan al-Qur’an atau
orang lain yang membaca tulisan ini, maka lebih baik jika kita uraikan arti
daripada tartib ayat.
“Tartib Ayat” adalah merupakan istilah dari bahasa Arab yang terdiri dari
dua kata yaitu, kata “Tartib” dan kata “Ayat”. Kata Tartib dalam
kamus Al-Kautsar, merupakan isim masdar dari kata ra-ta-ba (رتب) yang artinya urut-urutan atau
peraturan.[6]
Sedangkan kata “Ayat” mempunyai definisi-definisi
yang banyak sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian
dalam bidang Bahasa, Ilmu Kalam, Usul Fiqh dan sebagainya. Namun
definisi-definisi tersebut tentu berbeda antara satu dengan yang lain, karena Stressing
(penekanan-Nya) berbeda-beda disebabkan perbedaan keahlian mereka.
Ayat secara etimologi
(bahasa) ada beberapa pengertian diantaranya yaitu:[7]
- Mukjizat, sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 211:
سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ
ءَاتَيْنَاهُمْ مِنْ ءَايَةٍ بَيِّنَةٍوَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ(211)
“Tanyakan kepada Bani
Israil: Berapa banyaknya mukjizat yang nyata, yang telah kami berikan kepada
Mereka”
2. Tanda
(alamat), sebagaimana
terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 248 :
….. إِنَّ ءَايَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ
سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ …(248)
“…Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah
kembalinya tabut[8]
kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu…”
3. Pelajaran
(peringatan),
sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 13:
قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ
تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُمْ مِثْلَيْهِمْ
رَأْيَ الْعَيْنِ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَنْ يَشَاءُ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَعِبْرَةً لأولِي الأبْصَارِ (١٣ (
“Sesungguhnya pada
yang demikian itu ada pelajaran bagi orang-orag yang mempunyai penglihatan mata
hati”.
4. Suatu
hal yang sangat menakjubkan (mengherankan), sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat
50:
وَجَعَلْنَا ابْنَ مَرْيَمَ
وَأُمَّهُ آيَةً وَآوَيْنَاهُمَا إِلَى رَبْوَةٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَمَعِينٍ (٥٠)
“Dan telah kami jadikan
Isa Putra Maryam beserta Ibunya suatu kejadian yang menakjubkan (yang
membuktikan kekuasaan Allah)…”
5. Kelompok
(kumpulan),
sebagaimana dalam ucapan orang Arab:
خرج
القوم بآيآتهم
“Kaum itu keluar
dengan seluruh kelompoknya, tidak ada seorang pun yang tertinggal”.
6. Bukti
(Dalil),
Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-rum ayat 22:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ
لِلْعَالِمِينَ (٢٢)
“Dan diantara
bukti-bukti adanya Allah dan kekuasaannya ialah dia menciptakan langit dan bumi
berlain-lainnan bahasamu dan warnamu…”
Sedangkan pengertian “ayat”
secara Terminologi adalah:[9]
“Suatu kumpulan kata
yang mempunyai awal dan akhir, yang termasuk didalam suatu surat dari al-Qur’an”
Dan menurut Manna al-Qattan
dalam bukunya “Mabahits fi Ulumil Qur’an” pengertian ”ayat”[10]
adalah: Sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surat dari Qur’an.[11]
Dan lebih luas lagi
pengertian yang dikemukakan oleh Taufik Adnan Amal “ayah” (jamaknya:
ayaat), didalam al-Qur’an dapat dikelompokkan ke dalam empat konteks (siyaq).[12]
Konteks pertama, kata “ayah” merujuk kepada
fenomena kealaman. Termasuk manusia yang disebut sebagai “tanda-tanda”
(ayat) kemahakuasaan dan karunia tuhan.
Dan konteks kedua,
kata “ayah” diterapkan kepada peristiwa-peristiwa atau obyek-obyek luar
biasa yang dikaitkan dengan tugas seorang utusan tuhan dan cenderung
mengkonfirmasikan pesan ketuhanan yang dibawanya.[13]
Dalam konteks
ketiga, kata “ayah” merujuk kepada “tanda-tanda” yang
dibacakan oleh rasul-rasul yang diutus tuhan atau dalam kebanyakan kasus
dibacakan oleh Muhammad sendiri. Pembacaan “tanda-tanda” ini menambahkan
keyakinan kaum beriman, tetapi para penentang nabi mengeritiknya sebagai “dongeng-dongeng
masa silam”. Sebagaimana didalam al-Qur’an, term atau kata “asathir al-awwalin”
merujuk kepada kisah pengazaban umat-umat terdahulu dan kebangkitan kembali
pada hari Pengadilan.
Dalam konteks
terakhir, yakni konteks keempat kata “ayah” disebut sebagai
bagian al-Qur’an atau kitab atau surah, yang diturunkan Tuhan dalam konteks ini
memiliki makna unit dasar wahyu terkecil, selaras dengan pemahaman kita dewasa
ini. Tetapi, sebagaimana dengan surah, al-Qur’an juga tidak memberi indikasi
tentang panjang pendeknya unit-unit wahyu tersebut.[14]
Dan tiap-tiap ayat diakhiri dengan Fashilah[15].
Semua ayat berada
ditempatnya sendiri dalam satu surat. Susunan seprti ini telah ditetapkan oleh
nash dan ijma’ dan menurut pendapat yang terkuat hukumnya adalah wajib dan
haram bagi seseorang untuk menyelisihinya, atas dasar ini, maka firman Allah:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٢)الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ (٣)
Tidak boleh dibaca:
الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ (٣)الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٢)
Tertib atau urutan
ayat-ayat al-Qur’an adalah taukify, ketentuan dari Rasulullah SAW. Sebagian
ulama meriwayatkan bahwa pendapat itu adalah ijma’ , di antaranya az-Zarkasyi dalam
al-Burhan dan Abu Ja’far Ibn Zubair dalam Munasabah-nya, ia
mengatakan: “Tertib ayat-ayat di dalam surah itu berdasarkan taukify dari
Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan oleh kaumuslimin”.
Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya
tempat di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dala surat atau ayat-ayat yang
turun sebelumnya. Lalu Rasulullah menyuruh para penulis wahyu untuk
menuliskannya di tempat tersebut, ia mengatakan kepada mereka “letakkanlah ayat
itu pada surat yang di dalamnya menyebutkan begini dan begini” atau
“Letakkanlah ayat ini di tempat anu”. Usman bin Abil ‘As berkata:
كنت جالسا عند رسول الله صل الله عليه وسلم إذ شخص ببصره
ثخص ببصر ثم صوبه ثم قال: أتاني جبريل فأمرني أن أضع هذه الاية هذا الموضع من
السورة. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ (٩٠)
Usman berhenti ketika mengumpulkan
Qur’an pada setiap ayat dari sebuah surat dalam Qur’an dan sekalipun ayat itu
telah di mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan
ayat dengan tertib seperti ini adalah taukify.[16]
Jibril senantiasa mengulangi dan
memeriksa Qur’an yang telah disampaikan kepada Rasulullah sekali setiap tahun,
pada bulan Ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupan sebanyak dua kali.
Pengulangan jibril yang terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang.[17]
Dengan demikian, tertib ayat-ayat al-Qur’an
seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah taukify, tanpa
diragukan lagi.[18]
2.
Tartib Surat
Pengertian “Surat”
juga mempunyai pendifinisian-pendifinisian dari berbagai ahli diantaranya:
Pengertian “surat”
Menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Pengantar Uluml Qur’an adalah:“Sekelompok
(sekumpulan) ayat-ayat al-Qur’an yang berdiri sendiri, yang mempunyai permulaan
dan penghabisan”.
Sedangkan menurut
Manna al-Qattan, pengertian “surat”[19]
adalah: sejumlah ayat Qur’an yang mempunyai permulaan dan kesudahan.[20]
Sedangkan istilah “surah” menurut Taufik merupakan nama yang digunakan
untuk merujuk “bab” al-Qur’an yang seluruhnya berjumlah 114 (menurut
perhitungan mushaf Ustmani yang disepakati). Sebagaimana kata surah muncul
sembilan kali didalam al-Qur’an dalam bentuk tunggal dan satu kali dalam bentuk
jamak (suwar).[21]
Secara kontekstual,
penggunaan kata surah sebagai suatu unit wahyu memiliki kemiripan dengan
beberapa penggunaan kata ayah, qur’an dan kitab didalam al-Qur’an. Seperti
tantangan terhadap musuh-musuh Nabi untuk mendatangkan “suatu surah yang
semisalnya” namun tidak ada satupun dari mereka yang dapat memenuhi
tantangan tersebut. Jadi dari sini terlihat bahwa makna umum kata “surah”
yang bisa disimpulkan di sini adalah unit wahyu terpisah yang diturunkan kepada
nabi dari waktu ke waktu. Tetapi, al-Qur’an tidak memberi indikasi apa pun
tentang panjang pendeknya unit wahyu tersebut.[22]
Mengenai tertib
surah, ulama berbeda pendapat:[23]
a. Tertib
surah dalam al-Qur’an adalah taukify dan ditangani langsung oleh Rasulullah
sebagaimana diberitahukan oleh Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan
demikian al-Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib
sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang di tangan kita sekarang ini yaitu
Rasm Usmany yang tidak seorang sahabatpun membantahnya.
Ibn Hisar mengatakan:
“tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tempatnya itu berdasarkan wahyu.
Rasulullah mengatakan “Letakkanlah ayat itu ditempat ini”. Hal tersebut telah
diperkuat pula oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti
ini, dari bacaan Rasulllah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan atau
menyusunnya seperti ini di dalam mushaf.”[24]
b. Tertiba
surah itu melalui ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam
mushaf-mushaf mereka.
-
Mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai
dengan Iqra, Mudatsir, Nun, Qalam, dan Muzammil dan seterusnya hingga akhir
surah Makki dan Madani.
-
Mushaf Ibnu Mas’ud yang diawali dengan surat al-Baqarah,
an-Nisaa’, kemudian Ali Imran
-
Mushaf Ubay ibn Ka’ab diwali denga surat al-Fatihah, al-Baqarah,
an-Nisaa’, kemudian Ali ‘Imrana
c. Sebagian
surah itu tertibnya taukify dan sebagian lagi berdasarkan ijtihad para sahabat.
Ibn Hajar mengatakan:
“Tertib sebagian surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak
sebagai sifat taukify”, untuk mendukung pendapatnya ia kemukakan hadits
Huzaifah as-Saqafi
فقال لنا رسول الله صل الله عليه
وسلم: طرأ علي حزب من القران فأردت أن لاأخرج حتي أقصيه فسألنا أصحاب رسول الله صل
الله عليه وسلم قلنا: كيف تخزبون القران؟ قالوا: نحزبوه ثلاث سوار و خمس سور و سبع
سور و تسع سور و احد عشرة و ثلاث عشرة وحزب المفصل من "ق" حتي نختم
“Rasulullah berkata kepada kami: telah datang kepadaku waktu
untuk membaca hizb (bagian) dari Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum
selesai. Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah: Kami membaginya
menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, Sembilan surah, sebelas surah,
tiga belas surah, dan bagian al-mufassal dari Qaf sampai kepada kami”
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah memberikan penegasan sebagaimana di kutip oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin: boleh membaca atau menulis surat ini sebelum surat itu.
Oleh karena itu terjadi perbedaan penulisan pada mushaf-mushaf para sahabat,
akan tetapi tatkala mereka telah bersepakat kepada satu mushaf pada zaman
Usman, maka kesepakatan itu menjadi sunnah (salah seorang) al-Khulafaur
Rasyidin, sementara sebuah hadits menunjukkan bahwa sunnah mereka wajib
diikuti.[25]
C.
Rasm al-Qur’an
1.
Pengertian Rasm al-Qur’an
Adapun yang dimaksud dengan rasm al-Qur’an adalah:[26]
الوضع
الذي ارتضاه سيدنا عثمان رضي الله عنه ومن كان معه من الصحابة في كتابة القران
ورسم حروفه والذي وجد في المصاحف التي وجه الي الافاق والامصار والمصحف الامام
الذي احتفظ به لنفسه
“Ketentuan atau pola yang digunakan oleh Usman ibn Affan bersama
sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan al-Qur’an, berkaiatan dengan susunan
huruf-hurufnya, yang terdapat dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke berbagai
daerah dan kota, serta mushaf al-Imam yang berada di tangan Usman sendiri”
Jadi Yang dimaksud dengan Rasm al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau
Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah
bin Affan. Istilah rasm dalam Islam al-Qur’an diartikan
sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan
sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an.
Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin
Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah
tertentu.
Para ulama meringkas
kaidah itu menjadi beberapa istilah, yaitu :[27]
a. Al-Hadzf
(الحذف),
membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf. Contoh, pengurangan huruf (الواو) pada firman-firman Allah di bawah ini:
وَيَدْعُ الإنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ
بِالْخَيْرِ وَكَانَ الإنْسَانُ عَجُولا (١١)
Dan pengurangan huruf alif “الف” pada firman Allah
…سَمَّعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّعُونَ
لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ … (٤١)
b. Al-Ziyadah,
الزيادة (penambahan), seperti menambahkan huruf alif, seperti:
وَلا تَقُولَنَّ لِشَائٍ
إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا (٢٣)
dan menambah huruf ya () pada firman Allah.
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْيدٍ
وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ (٤٧)
c. Badal
“البدل”
(pergantian), seperti alif ditulis dengan wawu:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَو وَيُرْبِي
الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦)
d. الوصل dan الفصل (penyambungan suatu lafadz dengan lafadz
lain yang lazimnya dipisahkan, dan sebaliknya), seperti penggabungan lafaz أن engan lafadz (لن) dalam firman Allah.
أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَلَّنْ
نَجْمَعَ عِظَامَهُ (٣)
e. ما فيه قراءتانYaitu menyangkut ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki versi
qiraat yang berbeda. Dalam hal ini jika memungkinkan ditulis dalam bentuk
tulisan yang sama, maka pola penulisannya sama dalam setiap mushaf Usmani,
sebagai contoh:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (٤)
Lafaz (ملك) dalam ayat tersebut bias dibaca (مالك) dan bias dibaca (ملك)
Akan tetapi bila tidak memungkinkan
ditulis dalam bentuk tulisan yang sama, maka ditulis dalam mushaf Usmani dengan
rasm al-mushaf yang berbeda. Contohnya seperti dalam firman firman Allah berikut ini:
وَوَصَّى
بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى
لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (١٣٢)
Dalam sebagian mushaf
Usmani ditulis dan dibaca (واوصي) dan dalam sebagian yang lain (ووصي).
Penulisan
al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak sepenuhnya berlaku bagi
penulisan al-Qur’an dalam mushaf Usmani yang berbeda dengan pola penulisan
al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan di atas.
Mengenai
status hukum rasm Usmani ini, ulama berbeda pendapat:[28]
a. Jumhur ulama berpendapat bahwa Rasm
Usmani buat al-Qur’an adalah taukify yang wajib dipakai dalam penulisan
al-Qur’an dan harus sungguh-sungguh disucikan. Ibnul Mubarak mengutip gurunya,
Abdul Aziz ad-Dabbag, yang mengatakan kepadanya bahwa:, “Para sahabat dan orang
lain tidak campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan al-Qur’an karena
penulisan al-Qur’an adalah taukify, ketentuan dari Nabi. Dialah yang
memerintahkan kepada mereka untuk menuliskannya dalam bentuk seperti yang kita
kenal sekarang dengan menambahkan alif atau menguranginya karena terdapat
rahasia-rahasiayang tidak dapat terjangkau oleh akal. Itulah salah satu rahasia
Allah yang diberikan kepada kitabNya yang mulia yang tidak Dia berikan kepada
kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana al-Qur’an adalah mukjizat, maka
penulisannya pun mukjizat.”
b. Sebagian yang lainnya berpendapat bahwa
rasm Usmani bukan taukify dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan
yang disetujui Usman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu
keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Asyhab
berkata: “Malik ditanya: apakah mushaf boleh ditulis menurut ejaan (kaedah
penulisan) yang diadakan orang ? Malik menjawab: Tidak, kecuali menurut tata
cara penulisan yang pertama (Riwayat Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Mughni)
c. Golongan yang ketiga ini berpendapat
bahwa rasm Usmani itu hanyalah seuah istilah, tata cara, dan tidak ada salahnya
jika menyalahi bila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla’
dan rasm itu tersiar luas di antara mereka.
Pendapat yang terakhir
ini terkesan ingin mengkompromikan dari dua pendapat yang disebutkan
sebelumnya. Di satu pihak mereka ingin melestarikan rasm Usmani sedangkan di
lain pihak mereka menghendaki dilakukannya penulisan al-Qur’an dengan rasm imla’i
untuk memberikan kepada manusia yang mungkin mengalami kesulitan membaca
al-Qur’an dengan rasm Usmani.
Rasm Usmani merupakan
rasm yang telah diakui dan diwarisi oleh umat Islam sejak masa kekhalifahan
Usman ibn Affan dan pemeliharaan rasm Usmani merupakan jaminan kuat bagi
penjagaan al-Qur’an dari perubahan dan penggantian huruf-hurufnya sehingga,
andaikan diperbolehkan menuliskannya dengan menurut istilah imla’ maka tentu
akan mengakibatkan perubahan mushaf dari masa ke masa.
2. Perbaikan Rasm Usmani
Mushaf Usmani tidak
memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak
pebawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan
syakal dengan harakat dan pemberian titik ketika bahasa Arab mulai mengalami
perkembangan karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non Arab), maka para
penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik
dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa
yang pertama kali mencurahkan usahanya untuk hal itu. Kebanyakn mereka
berpendapat bahwa yang pertama sekali melakukan hal itu adalah Abul Aswad
ad-Du’ali atas permintaan Ali bin Abi Thalib.[29]
Pembubuhan tanda baca
ini mulai dirasakan oleh Ziyad ibn Samiyyah, gubernur Bashrah. Ia melihat telah
terjadinya kesalahan dikalangan kaumuslimin dalam membaca kitab suci[30],
sebagi contoh kesalahan tersebut adalah ketika membaca firman Allah:
… أَنَّ اللَّهَ
بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ …
(٣)
Artinya:… Sesungguhnya
Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.
Terhadap ayat di atas
ada yang membaca:
… أَنَّ اللَّهَ
بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ …
(٣)
Sehingga jika
diartikan “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan
RasulNya.
Dalam riwayat lain ada
yang menisbahkan pekerjaan ini kepada Hasan al-Basri, Yahya bin Ya’mar, dan
Nasr bin’Asim al-Laiss, tetapi Abul Aswadlah yang terkenal dalam pekerjaan ini.[31]
Perbaikan rasm Mushaf
ini dilakukan secara bertahap. Pada mulanya syakal beerupa titik: fathah berupa
satu titik di atas awal huruf, dammah berupa satu titik di akhir huruf dan
kasrah berupa satu titik di bawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan
penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh
Khalil.[32] Perubahan tersebut adalah
fathah dengan tanda, dammah dengan “waw” kecil di atas huruf dan tanwin dengan
tambahan tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya
dituliskan dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah
dengan warna merah tanpa huruf. Pada “nun” dan “tanwin” sebelum “ba” diberi
tanda iqlab berwarna merah. Sedangkan nun dan tanwin sebelum huruf tekak
(halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin tidak diberi
tanda apa-apa ketika idgam dan ikhfa. Setiap huruf yang harus dibaca sukun
(mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di idgamkan tidak diberi tanda
syaddah, kecuali huruf “ta” sebelum “ta” maka sukun tetap dituliskan, misalnya فَرَطْتُ.[33]
Kemudian pada abad
ketiga Hijrah perbaikan dan penyempurnaan rasm Mushaf, dan orang-orangpun
berlomba-lomba memilih bentuk tulisan yang baik dan menemukan tanda-tanda yang
khas. Mereka memberikan untuk huruf yang disyaddah seperti busur, sedangkan
untuk hamzah wasal diberi lekuk di atasnya, di bawahnya atau di tengahnya
sesuai dengan harakat sebelumnya: fathah, kasrah dan dammah.
Pada tahapan
berikutnya orang-orang mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan ayat, dan
rumus-rumus yang mununjukkan kepada ayat dan tanda-tanda wakaf. Tanda wakaf
lazim adalah (), wakaf mamnu’ (), wakaf jaiz yang boleh wakaf atau tidah (),
wakaf jaiz tetapi wasalnya lebih utama (), wakaf jaiz yang wakafnya lebih utama
(), wakaf mua’naqah yang bila telah wakaf pada satu tempat tidak dibenarkan
wakaf di tempat yang lain diberi tanda “... ...”,
selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb, dan penyempurnaan lainnya.[34]
Para ulama pada
awalnya tidak menyukai usaha perbaikan terhadap rasm Usmani tersebut karena
khawatir akan terjadinya penambahan dalam al-Qur’an , berdasarkan ucapan Ibn
Mas’ud: “Bersihkanlah al-Qur’an dan jangan campuradukkan dengan apapun.” Dan
sebagian mereka membedakan pemberian titik yang diperbolehkan dengan pembuatan
perpuluhan (al-a’syar) dan pembukaan-pembukaan yang tidak dibolehkan. Al-Halimi
mengatakan “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan (al-a-Akhmasy), nama-nama
surah dan bilangan ayat dalam Mushaf, berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud
“Bersihkanlah al-Qur’an” sedangkan tanda titik diperbolehkan karena titik tidak
mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Qur’an dengan yang bukan. Pada
perkembangan berikutnya hukumnya sudah berubah menjadi boleh bahkan dianjurkan.
Perhatian untuk menyempurnakan rasm Usmani kini telah mencapai puncaknya dalam
bentuk tulisan Arab (al-Khattul ‘Araby).[35]
3. Pencetakan al-Qur’an
Al-Qur’an dicetak
pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1113 H, satu buah mushaf hasil
cetakan pertama tersebut masih tersimpan di Dar al-Kutub ‘Arabiyah, Kairo
Mesir. Sedangkan di Turki, al-Quran dicetak pertama kali pada tahun 1129 H, di
Iran pada tahun 1248 H. Pada tahun 1342 H di Mesir dicetak al-Qur’an seperti
yang kita kenal sekarang . Mushaf tersebut ditulis dengan qiraat Hafsh, di mana
dunia Islam telah menerimanya sebagai kitab suci pegangan seluruh kaumuslimin,
berdasarkan ijma’ seluruh ulama di seluruh penjuru dunia.[36]
Rosihon Anwar
menyebutkan penerbitan al-Qur’an pertama kali di cetak di Bunduqiyyah pada
tahun 1530 M, tetapi begitu terbit, penguasa gereja langsung memusnahkannya.
Yang dicetak di Jerman merupakan cetakan yang kedua atas jasa Hinkelman pada
tahun 1694 M, di ikuti di Maracci pada tahun 1698 M, namun saying karena tidak
satupun dari al-Qur’an cetakan pertama, kedua dan ketiga ini yang tersisa di
dunia Islam. Pada periode berikutnya al-Qur’an dicetah di Saint Peterbourg,
Rusia atas jasa Maulaya Utsman. Kemudian di Kazan, Iran pada tahun 1248 H /
1829 M. lima tahun kemudian, yakni tahun 1833, terbit lagi mushaf cetakan di
Tabriz, setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834 M) terbit
lagi cetakan di Leipziq, Jerman.[37]
Pada perempatan abad
XX, Raja Fadh dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan al-Qur’an. Panitia
yang dimotori oleh para Syeikh al-Azhar ini pada tahun 1342 H / 1923 M,
berhasil menerbitkan Mushaf al-Qur’an cetakan yang bagus, Mushaf yang pertama
terbit di Negara Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafsh atau qiraat
Ashim. Sejak itu berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir dan berbagai Negara.[38]
D. PENUTUP
Ayat adalah Suatu kumpulan kata yang mempunyai awal dan
akhir, yang termasuk didalam suatu surat dari al-Qur’an. Tertib ayat adalah
semua ayat yang berada pada tempatnya sendiri dalam suatu surat. Tertib atau
urutan ayat-ayat al-Qur’an adalah taukify, ketentuan dari Rasulullah SAW.
Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat itu adalah ijma’.
Surah adalah Sekelompok (sekumpulan) ayat-ayat al-Qur’an
yang berdiri sendiri, yang mempunyai permulaan dan penghabisan. Tertib surah
adalah semua surat yang terdapat di dalam al-qur’an berada pada posisinya
masing-masing dan susunan ini telah ditetapkan dengan ijtihad, sehingga hukum
membacanya secara berurutan tiaklah wajib. Ulama berbeda pendapat mengenai
tartibul suwar ini, jumhur ulama berpendapat bahwa tartibul suwar merupakan
taukify, yang lainnya berpendapat hal itu adalah ijtihadi, sedangkan pendapat
yang lain mengatakan bahwa sebagiannya taukify dan sebagian yang lain adalah
ijtihadi.
Rasm al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah
tata cara menuliskan al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan.
Istilah rasm dalam Islam al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an
yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan
membukukan al-Qur’an. Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus
bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman
ditulis dengan kaidah tertentu. Kaidah tersebut diringkas oleh para ulama
menjadi enam yaitu, al-Hazf, al-Ziyadah, al-Badl, al-Wasl wal Fasl, dan ma fihi
qira’atani.
Ulamapun berbeda pendapat seputaran rasm Usmani ini, jumhur
berpendapat bahwa rasm Usmani adalah taukify dari Rasulullah sehingga harus
dipakai dalam setiap penulisan al-Qur’an, sebagian yang lain berpendapat bahwa
[2] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, Vol. 2
(Jakarta; Lentera hati, 2006)., cet. v, h. viii
[6] Husin
al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Arab – Indonesia, (Surabaya: Darussagaf PP
Alawy: 1977), h. 122
[11] Manna
al-Qattan, Mabahits Fi `Ulum al-Qur`an, (Riyadh; Mansyurat al-`Ashri
al-Hadist: t.h), cet. ii, h. 139 dan lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-ilmu al-Qur`an, Alih Bahasa; Drs. Mudzakir AS, h. 205
[13] Hal ini
merupakan pengkhususan kepada Nabi Muhammad yang menunjukkan suatu “tanda” yang
tertentu saja tidak merujuk kepada “ayat-ayat” al-Qur`an, tetapi kepada
mukjizat. Sebagaimana disebutkan dalam Q. 40:78, penciptaan “tanda-tanda”
merupakan hak Tuhan dan tidak seorang rasul pun yang diberi kekuasaan untuk
menciptakannya atas kehendak pribadi. Lihat Taufik h. 47
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[21]
Penggunaan istilah surat didalam al-Qur`an merujuk kepada suatu unit wahyu yang
“diturunkan” tuhan bukan dalam pengertian “surat” yang dipahami dewasa ini
[24] Ibid.
[25] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
dan Muhammad bin Jamil Zainu, Ter. Muhammad Qowwam, Bagaimana Kita Memahami
al-Qur’an, (Malang: Cahaya Tauhid Press, 2006)., h. 40
[26] Hasanuddin Af, Anatomi
al-Qur’an: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam
al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Graindo, 1995)., h. 79
[27] Ibid.
[30] Hasan Af, op.cit. 94
[32] Khalil ibn Ahmad
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Hasanuddi Af, op.cit., h.
96
[37] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000)., h. 51 - 52
[38] Ibid.
KUMPULAN ARTIKEL ASBABUN NUZUL, BISA DIBACA:
ReplyDelete1.Apa Saja Kaidah Asbabun Nuzul dan Bagaimana Penerapannya?
2.Kitab Asbabun Nuzul al-Wahidi, Keprihatinan atas Kualitas Riwayat Asbabun Nuzul
3.Kitab Asbabun Nuzul Karya Imam Suyuthi, Referensi Utama Memahami Sebab Turunnya Ayat al-Qur'an
4.Asbabun Nuzul Surat Al-Insyirah: Satu Kesulitan, Dua Kemudahan
5.Asbabun Nuzul Surat al-Kafirun: Prinsip Dasar Toleransi Antarumat Beragama
6.Asbabun Nuzul Surat Al-Ahzab Ayat 59 Tentang Wajibnya Berhijab
7.Asbabun Nuzul Surat al-Kautsar, Bantahan Atas Tuduhan Orang Kafir Tentang Terputusnya Keturunan Rasulullah
Footnote nya ngk ada ya
ReplyDelete