Monday, May 5, 2014

ASBAB AN-NUZUL



A.    PENDAHULUAN
Sudah menjadi keyakinan umat islam, bahwa Al-Qur’an merupakan Kitab bimbingan hidup manusia guna mencapai kebahagiaan sejati, didunia maupun diakhirat. Namun untuk dapat memperoleh bimbingannya, orang tidak bisa begitu saja memahaminya. Ada seperangkat sarana atau seperangkat ilmu yang harus digunakan untuk memahami Al-Qur’an.
Al- Qur’an juga berperan memberikan ilmu kepada manusia dengan berbagai macam informasi tentang peristiwa yang terjadi, baik halnya yang terjadi didunia maupun peristiwa yang terjadi diakhirat. Sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan mulanya dalam tujuan-tujuan yang umum, namun setelah itu dengan berjalannya masa, terdapat beberapa peristiwa yang memerlukan penjelasan syara’ atau karena para sahabat belum mengetahui, maka mereka menanyakan kepada Rasulullah SAW. Kemudian diturunkanlah ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan hal tersebut.
Salah satu ilmu al-Qur’an yang sangat signifikan untuk dipelajari agar bisa memahami al-Qur’an secara baik dan benar adalah ilmu Asbabun Nuzul ayat-ayat dalam al-Qur’an. Dengan mengetahui Asbabun Nuzul, diharapkan, kita mampu memahami lebih rinci tentang bagaimana menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dilihat dari aspek kejadian dan peristiwa yang terjadi ketika turunnya ayat tersebut.
Sesuai dengan uraian diatas, maka penulis akan mencoba menguraikan dalam makalah ini beberapa hal yang berhubungan dengan asbabun nuzul seperti :
a.       Pengertian Asbabun Nuzul
b.      Kualitas Riwayat
c.       Bentuk-bentuk Asbabun Nuzul
d.      Pembagian dan macam-macam Asbabun Nuzul
e.       Kaedah-kaedah Asbabun Nuzul
f.       Apakah Ibarat Itu Dipandang dari Umumnya Lafal atau Khususnya Sebab?
g.      Faedah mengetahui Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam Memahami atau Menafsirkan Ayat dalam Al-Qur’an

B.   ASBABUN NUZUL[1]
1.      Pengertian
Secara bahasa Asbabun nuzul berasal dari kata سبب جمع اسباب  artinya sebab atau karena,[2] sedangkan نزول   bentuk masdar dari     نزل- ينزل   yang berarti turun atau jatuh.[3]
Adapun menurut istilah, Dr. Musa Rahim Ibrahim dalam bukunya “Buhuts Manhajiyyah fi Ulum Al-Qur’an al-Karim”, mendefenisikan Asbabun Nuzul yaitu:
" ما نزل قران بشاْن وقت وقوعه كحادثه أو سوْل "
“Suatu hal yang karenanya al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukumnya), pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.[4]

Dari defenisi di atas, dapat disimpulkan sebab turunnya suatu ayat itu berkisar pada dua hal:
1.      Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat al-Qur’an mengenai peristiwa itu, seperti kisah turunnya surat al-Lahab
2.      Bila Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat al-Qur’an menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khaulah binti Tsa’labah dikenakan Zihar[5] oleh suaminya, Aus bin Tsamit, hingga Khaulah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hukumnya, maka turun lah QS al-Mujadalah:3

            Tetapi tidak semua ayat al-Qur’an diturunkan karena timbul  suatu peristiwa atau kejadian atau karena suatu pertanyaan. Ada diantara ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban Islam dan syari’at Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Al-Jabari menyebutkan: “al-Qur’an diturunkan dalam dua kategori: yang turun tanpa sebab, dan turun karena  suatu peristiwa atau pertanyaan”.[6]
            Para ulama sangat memperhatikan ilmu Asbabun Nuzul ini dalam menafsirkan al-Qur’an. Oleh karena itu, sebagian ulama menyusun ilmu ini dalam satu kitab secara khusus. Mereka adalah Ali Ibn al-Madaniy, guru Imam Bukhari, serta ulama-ulama lainnya.

2.      Kualitas Riwayah
Ulama menjadikan pegangan utama untuk mengetahui Asbabun Nuzul dengan cara berpedoman kepada keshahihan riwayat yang berasal dari Nabi SAW atau sahabat. Kalau riwayat tersebut berasal dari sahabat mesti dengan riwayat yang jelas dalam artian tidak boleh mengandalkan akal semata, mesti harus mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah) Al-Wahidiy mengatakan: “tidak boleh dengan perkataan saja dalam Asbabun Nuzul turunnya ayat, melainkan dengan periwayatan, pendengaran lansung dari orang yang menyaksikan turunnya ayat tersebut, karena mereka telah meneliti dan membahas dengan ilmunya sehingga mereka mendapatkan apa yang mereka cari.[7]
 Ulama salaf sangat berhati-hati dalam menerima dan memberikan periwayatan tentang asbabun nuzul ini, sampai Muhammad ibn Sirin mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada ‘Ubadah tentang satu ayat yang ada dalam Al-Qur’an dan ia mengatakan : bertaqwalah kamu  kepada Allah Swt, dan berkatalah yang benar. Pergilah kepada orang-orang yang mengetahui tentang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an itu, yakni sahabat Nabi SAW.[8]
Adapun sebab nuzul dengan hadits mursal, yaitu yang gugur dari sanadnya seorang sahabat atau mata rantai periwatannya hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya shahih dan dikuatkan oleh hadits mursal lainnya.[9]

3.      Bentuk-bentuk Asbabun Nuzul
Bentuk-bentuk asbabun nuzul ada dua macam :
a.       Bentuk peristiwa
Sebab-sebab turun ayat yang dalam bentuk peristiwa ada beberapa bagian :
1.      Peristiwa berupa pertengkaran, seperti perselisihan yang berkecamuk antara segolongan dari suku Aus dan segolongan dari Khazraj. Perselisihan itu timbul dari intrik-intrik yang ditiupkan orang-orang Yahudi sehingga mereka berteriak-teriak : “senjata-senjata”. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya beberapa ayat surah Ali ‘Imran, ayat 100, sampai beberapa ayat sesudahnya. Hal ini merupakan cara terbaik untuk menjauhkan orang dari perselisihan dan merangsang orang kepada sikap kasih sayang, persatuan, dan kesepakatan.
2.      Peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seorang yang mengimami shalat sedang mabuk sehingga tersalah membaca surah al-Kafirun. Ia baca   قل ياايها الكافرون . اعبد ما تعبدون    dengan  tanpa لا pada             لااعبد  peristiwa ini menyebabkan turun ayat :
يا ايها الذين امنوا لا تقربوا الصلوة وانتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu hampiri sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan… (QS. AL-Nisa : 42)

3.      Peristiwa berupa cita-cita dan keinginan, seperti persesuaian-persesuaian khalifah Umar bin khaththab dengan ketentuan-ketentuan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam sejarah ada beberapa harapan Umar yang dikemukakan kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian turun ayat-ayat yang kandungannya sesuai dengan harapan-harapan Umar tersebut. Sebagai contoh, Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Umar berkata: “ aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal : Aku katakan kepada Rasul, bagaimana sekiranya kita jadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat,maka turunlah ayat :
واتخذ من مقام ابراهيم مصلى
Dan aku katakan kepada Rasul, sesungguhnya istri-istri engkau masuk kepada mereka itu orang yang baik-baik dan orang yang jahat, maka bagaimana sekiranya Engkau perintahkan mereka agar bertabir, maka turunlah ayat hijab ( QS Al-Ahzab : 53), aku katakan juga kepada mereka عسى ربه ان طلقكن أن يبد له أجوجا خيرمنكن     “(jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu)”, maka turunlah ayat yang serupa dengan itu pada surat Al-Tahrim ayat 5.[10]
b.      Bentuk pertanyaan.
Adapun sebab turun ayat yang dalam bentuk pertanyaan dapat dikelompokkan kepada tiga macam :
1.      Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu  yang telah berlalu, seperti ayat :
ويسالونك عن ذى القرنين
Mereka bertanya kepadamu tentang Zul Karnain
2.      Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlansung pada waktu itu, seperti ayat :
ويسألونك عن الروح. قل الروح من أمر ربي وما اوتيتم من العلم الا قليلا.
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah bahwa ruh itu urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu kecuali yang sedikit”

3.      Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti ayat:
يسألونك عن الساعة ايان مرساها
Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat,”Bila terjadinya?”.[11]

4.      Pembagian Dan Macam-Macam Asbabun Nuzul
            Asbabun nuzul bisa ditinjau dari berbagai aspek. Jika ditinjau dari aspek bentuknya, sabab al-nuzul dapat dibagi kepada dua bentuk, seperti telah diterangkan sebelumnya, yang pertama berbentuk peristiwa dan yang kedua berbentuk pertanyaan. Sabab al-nuzul yang berbentuk peristiwa ada tiga macam, pertengkaran, kesalahan yang serius, dan cita-cita dan harapan. Sabab al-nuzul yang berbentuk pertanyaan dapat pula dibagi kepada tiga macam, yaitu pertanyaan tentang masa lalu, masa yang sedang berlansung, dan masa yang akan datang.
             Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sabab al-nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-sabab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun satu) dan ta’adud al-nazil wa al-sabab wahid (inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).
            Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat itu perlu diteliti dan di analisis. Permasalahannya ada empat bentuk :
1.      Salah satu dari keduanya riwayat shahih dan yang lain tidak, maka diselesaikan dengan jalan memperpegangi riwayat yang shahih dan menolak riwayat yang tidak shahih. Misalnya, perbedaan yang terjadi antara riwayat Bukhari, Muslim, dan lainnya dari satu pihak dan riwayat Al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah di pihak lain. Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari Jundub. Ia (Jundub) berkata : “Nabi SAW kesakitan sehingga ia tidak bangun satu atau dua malam. Seorang perempuan datang kepadanya dan berkata: “Hai Muhammad, saya tidak melihat setanmu kecuali telah meninggalkanmu”, maka Allah menurunkan :                                 
والضحى . واليل اذا سجى . ما ودعك ربك وما قلى
        Al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Hafs Ibn Maisarah dari ibunya, dari ibunya (neneknya dari ibu) dan ibunya itu pembantu Rasul SAW: “Sesungguhnya seekor anak anjing memasuki rumah Nabi SAW. Anak anjing itu masuk ke bawah tempat tidur dan mati, maka selama empat hari Nabi SAW tidak dituruni wahyu. Maka ia (Nabi) berkata: “Hai Khaulah, apa yang telah terjadi dirumah Rasulullah? Jibril tidak datang kepadaku”. Saya berkata pada diri saya sendiri: Sekiranyalah engkau persiapkan rumah ini dan engkau sapu, maka saya jangkaukan penyapu ke bawah tempat tidur itu, maka saya mengeluarkan anak anjing tersebut. Nabi SAW pun datang dalam keadaan jenggotnya gemetar. Dan memang jika turun (wahyu) kepadanya ia menjadi gemetar”. Maka Allah menurunkanوالضحى           hingga firman-Nyaفترضى
        Dalam hal demikian menurut Al-Zarqani, kita mendahulukan riwayat yang pertama dalam menerangkan sebab turunnya ayat tersebut, karena keshahihan riwayatnya dan tidak riwayat yang kedua. Sebab dalam sanad riwayat yang kedua terdapat  periwayat yang tidak dikenal.
2.      Bila kedua riwayat itu shahih, namun salah satunya mempunyai penguat (murajjih) dan yang lain tidak, maka penyelesaiannya adalah mengambil riwayat yang mempunyai penguat. Misalnya, hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibn Mas’ud. Ia berkata: “Saya berjalan bersama Nabi SAW di Madinah dan ia (Nabi) bertongkat pelepah korma. Ia melewati sekelompok orang Yahudi. Mereka berkata kepada sebagian mereka: “Coba kamu tanya dia”, maka mereka berkata: “Ceritakan kepada kami tentang ruh”, Nabi terhenti sejenak dan kemudian ia mengangkat kepalanya. Saya pun mengerti bahwa ia dituruni wahyu hingga wahyu itu naik. Kemudian ia berkata:
قل الروح من امر ربى وما اوتيتم من العلم الا قليلا
        Dalam hubungan ayat yang sama, Al-Tirmizi meriwayatkan hadits yang dishahihkan dari Ibn Abbas. Ia berkata: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, “ Berikan kepada kami sesuatu yang akan kami pertanyakan kepada orang ini (Nabi)”. Mereka berkata: “Kamu tanyakanlah kepadanya tentang ruh”; merekapun menanyakannya, maka Allah menurunkan:
ويسالونك عن الروح
        Menurut Al-Suyuthi dan Al-Zarqani, riwayat yang kedua ini menunjukkan bahwa ayat tersebut turun di Mekkah dan sebab turunnya adalah pertanyaan kaum Quraisy. Sedangkan riwayat pertama jelas menunjukkan turunnya di Madinah karena sebab turunnya adalah pertanyaan orang Yahudi. Riwayat yang pertama ini lebih kuat dari yang kedua. Yang pertama adalah riwayat Al-Bukhari dan yang kedua riwayat Al-Tirmizi. Telah menjadi ketentuan bahwa riwayat Al-Bukhari lebih shahih dari riwayat yang lainnya. Kemudian, periwayat pertama, Ibn Mas’ud menyaksikan kisah turun ayat tersebut, sedangkan periwayat hadits kedua tidak demikian. Orang yang menyaksikan tentu mempunyai kekuatan yang lebih dalam penerimaan dan penyampaian riwayat dari pada orang yang tidak menyaksikannya. Karena itu, riwayat yang pertama diamalkan dan riwayat yang kedua ditinggalkan.
3.      Keshahihan dua riwayat itu sama dan tidak ditemukan penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya. Akan tetapi keduanya dapat dikompromikan. Kedua sebab itu benar terjadi dan ayat turun mengiringi peristiwa tersebut benar, karena masa keduanya berhampiran. Maka penyelesaiannya adalah dengan menganggap terjadinya beberapa sebab bagi turunnya ayat tersebut. Ibn Hajar berkata: “ Tidak ada halangan bagi terjadinya ta’addud al-sabab (sebab ganda)
        Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ikrimah dari Ibn Abbas, bahwa Hilal Ibn Umayyah menuduh istrinya berbuat mesum, disisi Nabi dengan Syarik Ibn Samha. Nabi berkata: “Buktikan atau hukuman atas pundakmu”. Ia berkata : “Hai Rasulullah jika seseorang dari kami mendapati seorang laki-laki bersama isterinya dia harus pergi mencari bukti?”, maka Jibril pun turun dan menurunkan kepada Nabi :
والذين يرمون ازواجهم ولم يكن لهم شهداء الا انفسهم, الى قوله.... ان كان من الصادقين  (النور : 6)
        Sementara itu, Al-bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahl Ibn Sa’d, bahwa Uwaimir datang kepada Ashim Ibn Adiy yang adalah pemimpin bani ‘Ajlan seraya berkata: Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menemukan istrinya bersama laki-laki lain. Apakah ia bunuh laki-laki itu, maka ia pun membunuhnya, atau bagaimanakah ia bertindak? Tanyakanlah untuk saya hal yang demikian kepada Rasul SAW. Ashim pergi menanyakan kepada Rasul, tetapi Rasul tidak memberikan jawaban sehingga Uwaimir pergi menanyakannya lansung kepada Rasul. Rasul berkata: “ Allah telah menurunkan Al-Qur’an tentang engkau dan temanmu (istrimu). Rasul memerintahkan keduanya melakukan mula’anah[12] sehingga Uwaimir melakukan li’an terhadap istrinya.
        Kedua riwayat ini shahih dan tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas lainnya. Dalam pada itu, tidak terdapat kesulitan untuk menjadikan kedua-duanya sebagai sebab turun ayat tersebut karena waktu peristiwa berhampiran.

4.      Keadaan dua riwayat itu shahih, tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas yang lainnya, dan tidak pula mungkin menjadikan keduanya sekaligus sebagai asbab al-nuzul karena waktu peristiwanya jauh berbeda. Penyelesaian masalah ini adalah dengan menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak asbab al-nuzulnya.
        Misalnya ialah hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqi dan Al-Bazzar dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW. Berdiri dekat Hamzah ketika gugur menjadi syahid dan tubuhnya dicincang. Nabi berkata: “ sungguh saya akan cincang tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu”. Jibril pun turun dengan membawa tiga ayat dari akhir surah al-Nahl:
وان عا قبتم فعا قبوا بمثل ماعوقبتم به
        Sementara itu, Al-Tirmizi dan Al-Hakim meriwayatkan dari Ubaiy Ibn Ka’ab. Ia berkata : “Takkala pada perang Uhud jatuh korban dari kaum Anshar 64 orang dan dari kaum Muhajirin 6 orang termasuk Hamzah, mereka teraniaya, maka kaum Anshar berkata: “Jika kita dapat mengalahkan mereka pada suatu hari seperti ini, kita akan melebihkan (jumlah korban)  mereka nanti”. Pada ketika penaklukan Mekkah, Allah menurunkan ayat :
وان عا قبتم
        Riwayat pertama menunjukkan bahwa ayat tersebut turun pada perang Uhud dan riwayat kedua menunjukkan turunnya pada penaklukan Mekkah. Sedangkan jarak waktu antara dua peristiwa tersebut beberapa tahun. Karena itu sulit diterima akal bahwa ayat itu turun satu kali mengiringi dua peristiwa itu sekaligus. Berdasarkan hal yang demikian, tidak ada jalan keluar selain dengan mengatakan turunnya berulang-ulang, sekali pada perang Uhud, dan sekali pada penaklukan Mekkah.


            Inilah empat bentuk permasalahan dan pemecahannya ketika terjadi ta’addud al-sabab wa al-nazil wahid, yaitu riwayat tentang sebab turun ayat lebih dari satu riwayat sedang ayat yang turun satu atau beberapa ayat yang turun serempak. Adapun jika sebaliknya, yaitu ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ayat yang turun berbeda dan sababnya tunggal atau sama), maka hal yang demikian tidak menjadi masalah. Hal demikian tidak bertentangan dengan hikmah untuk meyakinkan manusia dan menjelaskan kebenaran. Bahkan, cara yang demikian bisa lebih efektif.[13]

4.      Ungkapan Ungkapan Asbabun Nuzul.
            Ungkapan-ungkapan yang digunakan para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an tidak selamanya sama. Ungkapan-ungkapan itu beberapa bentuk sebagai berikut :
a.       Sabab al-Nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas, seperti :سبب نزول هذه الاية كذا            (Sebab turun ayat ini demikian). Ungkapan ini secara definitif menunjukkan sabab al-nuzul dan tidak mengandung kemungkinan makna lain.
b.      Sabab al-Nuzul tidak ditujukan dengan lafal sabab, tetapi dengan mendatangkan lafal ف  yang masuk kepada ayat dimaksud secara lansung setelah pemaparan suatu peristiwa atau kejadian. Ungkapan seperti ini juga menunjukkan bahwa peristiwa itu adalah sebab bagi turunnya ayat tersebut. Misalnya ialah sabab al-nuzul yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir. Jabir berkata : “orang-orang Yahudi berkata: “Barang siapa yang menggauli istrinya pada kubulnya dari arah duburnya, anaknya akan lahir dalam keadaan juling” maka Allah menurunkan ayat:
نسا وْكم حرث لكم فأتوا حرثكم انى شىْتم  وقدموا لانفسكم  واتقو الله  واعلموا انكم ملقوه وبشر الموْمنين
(البقرة 223)
c.       Sabab al-Nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini, rasul ditanya orang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang baru diterimanya. Para mufassir tidak menunjukkan sabab turunnya dengan lafal sabab al-nuzul dan tidak dengan mendatangkan ف akan tetapi sabab al-nuzulnya dipahami melalui konteks dan jalan ceritanya, seperti sebab turunnya ayat tentang ruh yang diriwayatkan dari ibn Mas’ud.
d.      Sabab al-nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas, tidak dengan mendatangkan ف yang menunjukkan sebab, dan tidak pula berupa jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan, akan tetapi dikatakan :
نزلت هذه الاية فى كذا
Ungkapan seperti ini tidak secara definitif menunjukkan sebab, tetapi ungkapan ini mengandung makna sebab dan makna lainnya, yaitu tentang hukum kasus atau persoalan yang sedang dihadapi. Maka menurut Al-Zarqani, salah satunya jalan untuk menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah konteks pembicaraannya.[14]

5.      Apakah Ibarat Itu Dipandang dari Umumnya Lafal atau Khususnya Sebab?
            Ulama Usul berbeda pendapat tentang masalah, “apakah ibarat itu dipandang dari segi umumnya lafal atau dari segi khususnya sebab? Dalam arti apabila terjadi suatu peristiwa lalu turunlah ayat yang berhubungan dengan peristiwa tersebut, apakah hukumnya ditujukan untuk masalah dan kejadian atau orang yang menjadi kasus diturunkannya ayat tersebut atau hukum itu berlaku secara menyeluruh?
a.       Jumhur ulama berpendapat yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafal yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus pada hal-hal yang serupa dengan itu. Inilah pendapat yang sahih.[15]
Imam as-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan Fi Ulumal al-Qur’an mengatakan: “Diantara dalil/alasan yang menunjukkan bahwa suatu ibarat itu harus dipandang dari umumnya lafal adalah diambil dari para sahabat dan lainnya, yang dalam beberapa kasus ditetapkan berdasarkan umumnya suatu lafal padahal kasusnya pada persoalan khusus.” Ada hadits riwayat dari Ibnu Abbas menyatakan dalam masalah ini bahwa yang dipandang adalah umumnya lafal, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas bahwa ayat tentang hukuman mencuri berlaku untuk umum sesuai dengan firman Allah:
والسارق والسارقة فا قطعوا ايديهما....
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya…” (QS al-Maidah:38)
b.   Segolongan ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum; karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah, dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.

6.      Faedah mengetahui Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam Memahami atau Menafsirkan Ayat dalam Al-Qur’an
Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa ilmu Asbabun Nuzul tidak ada gunanya dan tidak ada pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah dan cerita. Menurut anggapan mereka, ilmu Asbabun Nuzul tidak mempermudah bagi orang yang hendak bercimpung dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Anggapan tersebut adalah salah dan tidak patut didengar karena tidak berdasarkan pendapat para ahli tafsir.

Berikut ini beberapa faedah mengetahui Asbabun Nuzul ayat diantaranya:[16]
1.      Membantu dalam memahami ayat, dan menghilangkan keraguan tentangnya. Al-Wahidi dalam kitab Asbabun Nuzul berkata: “Menafsirkan ayat tanpa bertitik tolak dari sejarah dan penjelasan turunnya tidaklah mungkin.”
Ibnu Daqiq al-led berkata: “Mengetahui Asbabun Nuzul adalah cara yang tepat untuk memahami al-Qur’an.”
Ibnu Taimiyyah berkomentar: “Ilmu Asbabun Nuzul akan membantu dalam memahami ayat karena ilmu tentang sebab akan menimbulkan ilmu tentang akibat.”
2.      Mengetahui hikmah rahasia yang terkandung dalam pengsyari’atan hukum dalam suatu ayat.
3.      Hal ini bermanfaat bagi mukmin dan bukan mukmin. Adapun bagi orang mukmin akan bertambah keimanannya dan jelas baginya hikmah disyari’atkannya suatu hukum oleh Allah. Sedangkan yang bukan mukmin mengetahui lewat Asbabun Nuzul ini bahwa syari’at Islam itu sesungguhnya mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan bagi pemeluknya.
4.      Menghindarkan prasangka bahwa arti hasr (batasan tertentu) dalam suatu ayat zahirnya hasr.

Imam Syafi’I meriwayatkan tentang firman Allah:
قل لا أجد فيما أوحى الى محرم على طاعم يطعمه
“Katakanlah! Tiadalah aku mendapatkan sesuatu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya…” (QS al-An’am: 145)
Beliau mengungkapkan bahwa ayat tersebut ditujukan bagi orang kafir yang mengaharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta mereka yang terlalu berlebihan. Turunnya ayat ini adalah sebagai bantahan terhadap mereka. Dengan demikian, seolah-olah Allah berfirman, “ Yang halal yang kamu anggap haram dan yang haram yang kamu anggap halal.” Dalam hal ini, Allah tidak bermaksud menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas, melainkan sekedar menjelaskan ketentuan yang haram dan sama sekali tidak menyinggung-nyinggung yang halal.
5.      Menentukan hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat dinyatakan berdasarkan khususnya sebab bukan berdasarkan umumnya lafal.
6.      Mengetahui orang atau kelompok yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keragu-raguan karena jika kita tidak mengetahui Asbabun Nuzul bisa jadi kita mentakhsiskan ayat yang seharusnya ‘amm atau sebaliknya.
7.      Memudahkan dalam penghafalan dan pemahaman al-Qur’an serta menguatkan ingatan terhadap hukum dari suatu ayat dengan karena mengetahui sebab dan akibatnya, kapan dan kepada siapa ayat tersebut diturunkan, dan sebagainya.

C.    PENUTUP  
             Asbabun Nuzul berarti suatu hal yang karenanya al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan, yang mana studi ilmu Asbabun Nuzul ini sangat signifikan dalam mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
            Sekian saja yang dapat kami paparkan disini, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari cukup, hanya sebagai harapan, mudah2an  kita semua bisa memberikan saran, kritikan yang membangun, untuk demi kesempurnaan makalah ini.  Amin………     


DAFTAR PUSTAKA

Ash Shabuniy, Muhammad Ali, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1998
 Abdullah Az-Zarkasyi, Muhammad Ibnu Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an, Kairo: Dar Al-Hadits, 2006
Al-Qattan, Manna Khalil, pentj. Muzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2007
 As-Suyuti, Imam, Al-itqon fii Ulum al-Qur’an, juz 1, no.342 (maktabah Syamilah)
            Abdul, Wahid Ramli, Ulumul Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada, 2002
Abu Syabah, Muhammad, Al-Madkhal li Dirasati Al-Qur’an Al-Karimi, Kairo: Maktabah As-Sunnah, 2002
             Al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim, Syeikh. Manahil al-‘Urfan fi ulum al-Qur’an. Jakarta Gaya Media Pratama, 2001.
Ibrahim, Musa, Buhuts Manhajiyyah fi Ulum al-Qur’an al-Karim, Oman: Dar Ammar, 1996
            Manna’ul  Quthan. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an. Alih bahasa Halimuddin, S.H. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1998.









[1] Artinya sebab-sebab turun ayat al-Qur’an, lihat Muhammad Ali Ash Shabuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 39.
[2]  Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia. Jakarta : PT. Hidakarya Agung.  h. 161.         
[3]  Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, Kamus Karabiyak, Al’asri ‘arabi indonisy. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998. h. 1905.
[4] Musa Ibrahim, Buhuts Manhajiyyah fi Ulum al-Qur’an al-Karim, (Oman: Dar Ammar, 1996), h. 30.
[5] Zihar ialah bila seorang suami mengatakan kepada istrinya: “ engkau begitu seperti punggung ibuku.” Bentuk pertanyaan zihar selain yang tersebut ini masih diperselisihkan.
[6] Imam As-Suyuti, Al-itqon fii Ulum al-Qur’an, juz 1, no.342 (maktabah Syamilah)
[7] Manna’ul  Quthan. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an. Alih bahasa Halimuddin, S.H. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1998. h. 85.
[8] Ibid
[9] Syeikh Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani. Manahil al-‘Urfan fi ulum al-Qur’an. Jakarta Gaya Media Pratama, 2001. h 122.
[10] H. Ramli Abdul Wahid, M.A. Ulumul Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada 2002. h 43.
[11] Ibid
[12] Mula’anah  atau li’an berarti tuduhan dengan sumpah.
[13]  H. Ramli Abdul Wahid, M.A. op.cit. h 49- 55.
[14] Ibid
[15] Muhammad Abu Syabah, Al-Madkhal Li Dirasati Al-Qur’an Al-Karimi. Kairo. Maktabah As-Sunnah, 2002. h 136-143.
[16] Ibid

1 comment: