A. PENDAHULUAN
Sudah
menjadi keyakinan umat islam, bahwa Al-Qur’an merupakan Kitab bimbingan hidup
manusia guna mencapai kebahagiaan sejati, didunia maupun diakhirat. Namun untuk
dapat memperoleh bimbingannya, orang tidak bisa begitu saja memahaminya. Ada
seperangkat sarana atau seperangkat ilmu yang harus digunakan untuk memahami
Al-Qur’an.
Al-
Qur’an juga berperan memberikan ilmu kepada manusia dengan berbagai macam informasi
tentang peristiwa yang terjadi, baik halnya yang terjadi didunia maupun
peristiwa yang terjadi diakhirat. Sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan
mulanya dalam tujuan-tujuan yang umum, namun setelah itu dengan berjalannya
masa, terdapat beberapa peristiwa yang memerlukan penjelasan syara’ atau karena
para sahabat belum mengetahui, maka mereka menanyakan kepada Rasulullah SAW.
Kemudian diturunkanlah ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan hal tersebut.
Salah satu ilmu al-Qur’an yang sangat
signifikan untuk dipelajari agar bisa memahami al-Qur’an secara baik dan benar
adalah ilmu Asbabun Nuzul ayat-ayat dalam al-Qur’an. Dengan mengetahui Asbabun
Nuzul, diharapkan, kita mampu memahami lebih rinci tentang bagaimana
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dilihat dari aspek kejadian dan peristiwa yang
terjadi ketika turunnya ayat tersebut.
Sesuai
dengan uraian diatas, maka penulis akan mencoba menguraikan dalam makalah ini
beberapa hal yang berhubungan dengan asbabun nuzul seperti :
a.
Pengertian Asbabun Nuzul
b.
Kualitas Riwayat
c.
Bentuk-bentuk Asbabun Nuzul
d.
Pembagian dan macam-macam
Asbabun Nuzul
e.
Kaedah-kaedah Asbabun Nuzul
f. Apakah Ibarat Itu
Dipandang dari Umumnya Lafal atau Khususnya Sebab?
g. Faedah mengetahui
Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam Memahami atau Menafsirkan Ayat dalam Al-Qur’an
1.
Pengertian
Secara bahasa Asbabun
nuzul berasal dari kata سبب جمع اسباب artinya sebab atau karena,[2]
sedangkan نزول bentuk masdar dari نزل- ينزل yang
berarti turun atau jatuh.[3]
Adapun menurut istilah,
Dr. Musa Rahim Ibrahim dalam bukunya “Buhuts
Manhajiyyah fi Ulum Al-Qur’an al-Karim”, mendefenisikan Asbabun Nuzul
yaitu:
" ما نزل قران بشاْن وقت وقوعه كحادثه أو
سوْل "
“Suatu hal yang
karenanya al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukumnya), pada masa
hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.[4]
Dari defenisi di atas,
dapat disimpulkan sebab turunnya suatu ayat itu berkisar pada dua hal:
1. Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat al-Qur’an
mengenai peristiwa itu, seperti kisah turunnya surat al-Lahab
2. Bila Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah
ayat al-Qur’an menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khaulah binti Tsa’labah
dikenakan Zihar[5]
oleh suaminya, Aus bin Tsamit, hingga Khaulah bertanya kepada Rasulullah SAW
mengenai hukumnya, maka turun lah QS al-Mujadalah:3
Tetapi
tidak semua ayat al-Qur’an diturunkan karena timbul suatu peristiwa atau kejadian atau karena
suatu pertanyaan. Ada diantara ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagai
permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban Islam dan syari’at
Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Al-Jabari menyebutkan: “al-Qur’an
diturunkan dalam dua kategori: yang turun tanpa sebab, dan turun karena suatu peristiwa atau pertanyaan”.[6]
Para
ulama sangat memperhatikan ilmu Asbabun Nuzul ini dalam menafsirkan al-Qur’an.
Oleh karena itu, sebagian ulama menyusun ilmu ini dalam satu kitab secara khusus.
Mereka adalah Ali Ibn al-Madaniy, guru Imam Bukhari, serta ulama-ulama lainnya.
2. Kualitas Riwayah
Ulama menjadikan pegangan utama untuk
mengetahui Asbabun Nuzul dengan cara berpedoman kepada keshahihan
riwayat yang berasal dari Nabi SAW atau sahabat. Kalau riwayat tersebut berasal
dari sahabat mesti dengan riwayat yang jelas dalam artian tidak boleh
mengandalkan akal semata, mesti harus mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada
Rasulullah) Al-Wahidiy mengatakan: “tidak boleh dengan perkataan saja dalam Asbabun
Nuzul turunnya ayat, melainkan dengan periwayatan, pendengaran lansung dari
orang yang menyaksikan turunnya ayat tersebut, karena mereka telah meneliti dan
membahas dengan ilmunya sehingga mereka mendapatkan apa yang mereka cari.[7]
Ulama
salaf sangat berhati-hati dalam menerima dan memberikan periwayatan tentang
asbabun nuzul ini, sampai Muhammad ibn Sirin mengatakan bahwa ia pernah
bertanya kepada ‘Ubadah tentang satu ayat yang ada dalam Al-Qur’an dan ia
mengatakan : bertaqwalah kamu kepada
Allah Swt, dan berkatalah yang benar. Pergilah kepada orang-orang yang
mengetahui tentang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an itu, yakni sahabat Nabi SAW.[8]
Adapun sebab nuzul dengan hadits mursal,
yaitu yang gugur dari sanadnya seorang sahabat atau mata rantai periwatannya
hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka riwayat seperti ini tidak diterima
kecuali sanadnya shahih dan dikuatkan oleh hadits mursal lainnya.[9]
3.
Bentuk-bentuk Asbabun Nuzul
Bentuk-bentuk asbabun nuzul ada dua macam :
a. Bentuk peristiwa
Sebab-sebab turun ayat yang dalam bentuk
peristiwa ada beberapa bagian :
1.
Peristiwa berupa pertengkaran, seperti perselisihan yang berkecamuk
antara segolongan dari suku Aus dan segolongan dari Khazraj. Perselisihan itu
timbul dari intrik-intrik yang ditiupkan orang-orang Yahudi sehingga mereka
berteriak-teriak : “senjata-senjata”. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya
beberapa ayat surah Ali ‘Imran, ayat 100, sampai beberapa ayat sesudahnya. Hal
ini merupakan cara terbaik untuk menjauhkan orang dari perselisihan dan
merangsang orang kepada sikap kasih sayang, persatuan, dan kesepakatan.
2.
Peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seorang yang
mengimami shalat sedang mabuk sehingga tersalah membaca surah al-Kafirun. Ia
baca قل ياايها الكافرون . اعبد ما تعبدون dengan tanpa لا pada لااعبد peristiwa ini menyebabkan turun ayat :
يا ايها الذين امنوا لا تقربوا الصلوة وانتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu hampiri sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa
yang kamu ucapkan… (QS. AL-Nisa : 42)
3.
Peristiwa berupa cita-cita dan keinginan, seperti persesuaian-persesuaian
khalifah Umar bin khaththab dengan ketentuan-ketentuan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam sejarah ada beberapa harapan Umar yang dikemukakan kepada Nabi Muhammad
SAW, kemudian turun ayat-ayat yang kandungannya sesuai dengan harapan-harapan
Umar tersebut. Sebagai contoh, Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari
Anas r.a. bahwa Umar berkata: “ aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal : Aku
katakan kepada Rasul, bagaimana sekiranya kita jadikan maqam Ibrahim sebagai tempat
shalat,maka turunlah ayat :
واتخذ من مقام ابراهيم مصلى
Dan aku katakan kepada Rasul, sesungguhnya istri-istri engkau masuk
kepada mereka itu orang yang baik-baik dan orang yang jahat, maka bagaimana
sekiranya Engkau perintahkan mereka agar bertabir, maka turunlah ayat hijab (
QS Al-Ahzab : 53), aku katakan juga kepada mereka عسى ربه ان طلقكن أن يبد له أجوجا خيرمنكن “(jika
Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan
istri-istri yang lebih baik dari kamu)”, maka turunlah ayat yang serupa dengan
itu pada surat Al-Tahrim ayat 5.[10]
b. Bentuk pertanyaan.
Adapun sebab turun ayat yang dalam bentuk
pertanyaan dapat dikelompokkan kepada tiga macam :
1.
Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah berlalu, seperti ayat :
ويسالونك عن ذى القرنين
“Mereka bertanya kepadamu tentang Zul Karnain
2.
Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlansung pada
waktu itu, seperti ayat :
ويسألونك عن الروح. قل الروح من أمر ربي وما اوتيتم من
العلم الا قليلا.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh,
katakanlah bahwa ruh itu urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu kecuali
yang sedikit”
3.
Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti ayat:
يسألونك عن الساعة ايان مرساها
“Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat,”Bila terjadinya?”.[11]
4.
Pembagian Dan Macam-Macam Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul bisa ditinjau dari berbagai aspek. Jika
ditinjau dari aspek bentuknya, sabab al-nuzul dapat dibagi kepada dua
bentuk, seperti telah diterangkan sebelumnya, yang pertama berbentuk peristiwa
dan yang kedua berbentuk pertanyaan. Sabab al-nuzul yang berbentuk
peristiwa ada tiga macam, pertengkaran, kesalahan yang serius, dan cita-cita
dan harapan. Sabab al-nuzul yang berbentuk pertanyaan dapat pula dibagi
kepada tiga macam, yaitu pertanyaan tentang masa lalu, masa yang sedang
berlansung, dan masa yang akan datang.
Dari
segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sabab al-nuzul dapat dibagi
kepada ta’addud al-sabab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari
satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang
turun satu) dan ta’adud al-nazil wa al-sabab wahid (inti persoalan yang
terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang
sebab turunnya satu).
Jika ditemukan dua
riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan masing-masing menyebutkan suatu
sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat itu
perlu diteliti dan di analisis. Permasalahannya ada empat bentuk :
1. Salah satu dari keduanya
riwayat shahih dan yang lain tidak, maka diselesaikan dengan jalan
memperpegangi riwayat yang shahih dan menolak riwayat yang tidak shahih.
Misalnya, perbedaan yang terjadi antara riwayat Bukhari, Muslim, dan lainnya
dari satu pihak dan riwayat Al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah di pihak lain.
Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari Jundub. Ia (Jundub) berkata :
“Nabi SAW kesakitan sehingga ia tidak bangun satu atau dua malam. Seorang
perempuan datang kepadanya dan berkata: “Hai Muhammad, saya tidak melihat
setanmu kecuali telah meninggalkanmu”, maka Allah menurunkan :
والضحى . واليل اذا سجى . ما ودعك ربك وما قلى
Al-Thabrani
dan Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Hafs Ibn Maisarah dari ibunya, dari
ibunya (neneknya dari ibu) dan ibunya itu pembantu Rasul SAW: “Sesungguhnya
seekor anak anjing memasuki rumah Nabi SAW. Anak anjing itu masuk ke bawah
tempat tidur dan mati, maka selama empat hari Nabi SAW tidak dituruni wahyu.
Maka ia (Nabi) berkata: “Hai Khaulah, apa yang telah terjadi dirumah
Rasulullah? Jibril tidak datang kepadaku”. Saya berkata pada diri saya sendiri:
Sekiranyalah engkau persiapkan rumah ini dan engkau sapu, maka saya jangkaukan
penyapu ke bawah tempat tidur itu, maka saya mengeluarkan anak anjing tersebut.
Nabi SAW pun datang dalam keadaan jenggotnya gemetar. Dan memang jika turun
(wahyu) kepadanya ia menjadi gemetar”. Maka Allah menurunkanوالضحى hingga firman-Nyaفترضى
Dalam
hal demikian menurut Al-Zarqani, kita mendahulukan riwayat yang pertama dalam
menerangkan sebab turunnya ayat tersebut, karena keshahihan riwayatnya dan
tidak riwayat yang kedua. Sebab dalam sanad riwayat yang kedua terdapat periwayat yang tidak dikenal.
2. Bila kedua riwayat itu
shahih, namun salah satunya mempunyai penguat (murajjih) dan yang lain
tidak, maka penyelesaiannya adalah mengambil riwayat yang mempunyai penguat.
Misalnya, hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibn Mas’ud. Ia berkata:
“Saya berjalan bersama Nabi SAW di Madinah dan ia (Nabi) bertongkat pelepah
korma. Ia melewati sekelompok orang Yahudi. Mereka berkata kepada sebagian
mereka: “Coba kamu tanya dia”, maka mereka berkata: “Ceritakan kepada kami
tentang ruh”, Nabi terhenti sejenak dan kemudian ia mengangkat kepalanya. Saya
pun mengerti bahwa ia dituruni wahyu hingga wahyu itu naik. Kemudian ia
berkata:
قل الروح من امر ربى وما اوتيتم من العلم الا قليلا
Dalam
hubungan ayat yang sama, Al-Tirmizi meriwayatkan hadits yang dishahihkan dari
Ibn Abbas. Ia berkata: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi,
“ Berikan kepada kami sesuatu yang akan kami pertanyakan kepada orang ini (Nabi)”.
Mereka berkata: “Kamu tanyakanlah kepadanya tentang ruh”; merekapun
menanyakannya, maka Allah menurunkan:
ويسالونك عن الروح
Menurut
Al-Suyuthi dan Al-Zarqani, riwayat yang kedua ini menunjukkan bahwa ayat
tersebut turun di Mekkah dan sebab turunnya adalah pertanyaan kaum Quraisy.
Sedangkan riwayat pertama jelas menunjukkan turunnya di Madinah karena sebab
turunnya adalah pertanyaan orang Yahudi. Riwayat yang pertama ini lebih kuat
dari yang kedua. Yang pertama adalah riwayat Al-Bukhari dan yang kedua riwayat
Al-Tirmizi. Telah menjadi ketentuan bahwa riwayat Al-Bukhari lebih shahih dari
riwayat yang lainnya. Kemudian, periwayat pertama, Ibn Mas’ud menyaksikan kisah
turun ayat tersebut, sedangkan periwayat hadits kedua tidak demikian. Orang
yang menyaksikan tentu mempunyai kekuatan yang lebih dalam penerimaan dan
penyampaian riwayat dari pada orang yang tidak menyaksikannya. Karena itu,
riwayat yang pertama diamalkan dan riwayat yang kedua ditinggalkan.
3. Keshahihan dua riwayat
itu sama dan tidak ditemukan penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya.
Akan tetapi keduanya dapat dikompromikan. Kedua sebab itu benar terjadi dan
ayat turun mengiringi peristiwa tersebut benar, karena masa keduanya
berhampiran. Maka penyelesaiannya adalah dengan menganggap terjadinya beberapa
sebab bagi turunnya ayat tersebut. Ibn Hajar berkata: “ Tidak ada halangan bagi
terjadinya ta’addud al-sabab (sebab ganda)
Misalnya,
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ikrimah dari Ibn Abbas,
bahwa Hilal Ibn Umayyah menuduh istrinya berbuat mesum, disisi Nabi dengan
Syarik Ibn Samha. Nabi berkata: “Buktikan atau hukuman atas pundakmu”. Ia
berkata : “Hai Rasulullah jika seseorang dari kami mendapati seorang laki-laki
bersama isterinya dia harus pergi mencari bukti?”, maka Jibril pun turun dan
menurunkan kepada Nabi :
والذين يرمون ازواجهم ولم يكن لهم شهداء الا انفسهم,
الى قوله.... ان كان من الصادقين (النور :
6)
Sementara
itu, Al-bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahl Ibn Sa’d, bahwa Uwaimir
datang kepada Ashim Ibn Adiy yang adalah pemimpin bani ‘Ajlan seraya berkata:
Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menemukan istrinya bersama
laki-laki lain. Apakah ia bunuh laki-laki itu, maka ia pun membunuhnya, atau
bagaimanakah ia bertindak? Tanyakanlah untuk saya hal yang demikian kepada
Rasul SAW. Ashim pergi menanyakan kepada Rasul, tetapi Rasul tidak memberikan
jawaban sehingga Uwaimir pergi menanyakannya lansung kepada Rasul. Rasul
berkata: “ Allah telah menurunkan Al-Qur’an tentang engkau dan temanmu
(istrimu). Rasul memerintahkan keduanya melakukan mula’anah[12]
sehingga Uwaimir melakukan li’an terhadap istrinya.
Kedua
riwayat ini shahih dan tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu
keduanya atas lainnya. Dalam pada itu, tidak terdapat kesulitan untuk
menjadikan kedua-duanya sebagai sebab turun ayat tersebut karena waktu
peristiwa berhampiran.
4. Keadaan dua riwayat itu
shahih, tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas yang
lainnya, dan tidak pula mungkin menjadikan keduanya sekaligus sebagai asbab
al-nuzul karena waktu peristiwanya jauh berbeda. Penyelesaian masalah ini
adalah dengan menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak asbab
al-nuzulnya.
Misalnya
ialah hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqi dan Al-Bazzar dari Abu Hurairah bahwa
Nabi SAW. Berdiri dekat Hamzah ketika gugur menjadi syahid dan tubuhnya
dicincang. Nabi berkata: “ sungguh saya akan cincang tujuh puluh orang dari
mereka sebagai penggantimu”. Jibril pun turun dengan membawa tiga ayat dari
akhir surah al-Nahl:
وان عا قبتم فعا قبوا بمثل ماعوقبتم به
Sementara
itu, Al-Tirmizi dan Al-Hakim meriwayatkan dari Ubaiy Ibn Ka’ab. Ia berkata :
“Takkala pada perang Uhud jatuh korban dari kaum Anshar 64 orang dan dari kaum
Muhajirin 6 orang termasuk Hamzah, mereka teraniaya, maka kaum Anshar berkata:
“Jika kita dapat mengalahkan mereka pada suatu hari seperti ini, kita akan
melebihkan (jumlah korban) mereka
nanti”. Pada ketika penaklukan Mekkah, Allah menurunkan ayat :
وان عا قبتم
Riwayat
pertama menunjukkan bahwa ayat tersebut turun pada perang Uhud dan riwayat
kedua menunjukkan turunnya pada penaklukan Mekkah. Sedangkan jarak waktu antara
dua peristiwa tersebut beberapa tahun. Karena itu sulit diterima akal bahwa
ayat itu turun satu kali mengiringi dua peristiwa itu sekaligus. Berdasarkan
hal yang demikian, tidak ada jalan keluar selain dengan mengatakan turunnya
berulang-ulang, sekali pada perang Uhud, dan sekali pada penaklukan Mekkah.
Inilah empat bentuk
permasalahan dan pemecahannya ketika terjadi ta’addud al-sabab wa al-nazil
wahid, yaitu riwayat tentang sebab turun ayat lebih dari satu riwayat
sedang ayat yang turun satu atau beberapa ayat yang turun serempak. Adapun jika
sebaliknya, yaitu ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ayat yang turun
berbeda dan sababnya tunggal atau sama), maka hal yang demikian tidak menjadi
masalah. Hal demikian tidak bertentangan dengan hikmah untuk meyakinkan manusia
dan menjelaskan kebenaran. Bahkan, cara yang demikian bisa lebih efektif.[13]
4.
Ungkapan Ungkapan Asbabun Nuzul.
Ungkapan-ungkapan yang
digunakan para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an
tidak selamanya sama. Ungkapan-ungkapan itu beberapa bentuk sebagai berikut :
a. Sabab al-Nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas,
seperti :سبب نزول هذه
الاية كذا (Sebab turun ayat ini demikian). Ungkapan ini secara
definitif menunjukkan sabab al-nuzul dan tidak mengandung kemungkinan
makna lain.
b. Sabab al-Nuzul tidak ditujukan dengan lafal sabab,
tetapi dengan mendatangkan lafal ف yang masuk
kepada ayat dimaksud secara lansung setelah pemaparan suatu peristiwa atau
kejadian. Ungkapan seperti ini juga menunjukkan bahwa peristiwa itu adalah
sebab bagi turunnya ayat tersebut. Misalnya ialah sabab al-nuzul yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir. Jabir berkata : “orang-orang Yahudi
berkata: “Barang siapa yang menggauli istrinya pada kubulnya dari arah
duburnya, anaknya akan lahir dalam keadaan juling” maka Allah menurunkan ayat:
نسا وْكم حرث لكم فأتوا حرثكم انى
شىْتم وقدموا لانفسكم واتقو الله
واعلموا انكم ملقوه وبشر الموْمنين
(البقرة 223)
c. Sabab al-Nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam
hal ini, rasul ditanya orang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu
dengan ayat yang baru diterimanya. Para mufassir tidak menunjukkan sabab
turunnya dengan lafal sabab al-nuzul dan tidak dengan mendatangkan ف akan tetapi sabab al-nuzulnya dipahami
melalui konteks dan jalan ceritanya, seperti sebab turunnya ayat tentang ruh
yang diriwayatkan dari ibn Mas’ud.
d. Sabab al-nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara
jelas, tidak dengan mendatangkan ف yang menunjukkan sebab, dan tidak pula berupa
jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan, akan tetapi dikatakan :
نزلت هذه الاية فى كذا
Ungkapan seperti ini tidak secara definitif
menunjukkan sebab, tetapi ungkapan ini mengandung makna sebab dan makna
lainnya, yaitu tentang hukum kasus atau persoalan yang sedang dihadapi. Maka
menurut Al-Zarqani, salah satunya jalan untuk menentukan salah satu dari dua makna
yang terkandung dalam ungkapan itu adalah konteks pembicaraannya.[14]
5.
Apakah Ibarat Itu Dipandang dari Umumnya Lafal atau Khususnya Sebab?
Ulama Usul berbeda pendapat
tentang masalah, “apakah ibarat itu dipandang dari segi umumnya lafal atau dari
segi khususnya sebab? Dalam arti apabila terjadi suatu peristiwa lalu turunlah
ayat yang berhubungan dengan peristiwa tersebut, apakah hukumnya ditujukan
untuk masalah dan kejadian atau orang yang menjadi kasus diturunkannya ayat
tersebut atau hukum itu berlaku secara menyeluruh?
a.
Jumhur ulama berpendapat
yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum
yang diambil dari lafal yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus pada
hal-hal yang serupa dengan itu. Inilah pendapat yang sahih.[15]
Imam as-Suyuti dalam
kitabnya Al-Itqan Fi Ulumal al-Qur’an mengatakan:
“Diantara dalil/alasan yang menunjukkan bahwa suatu ibarat itu harus dipandang
dari umumnya lafal adalah diambil dari para sahabat dan lainnya, yang dalam
beberapa kasus ditetapkan berdasarkan umumnya suatu lafal padahal kasusnya pada
persoalan khusus.” Ada hadits riwayat dari Ibnu Abbas menyatakan dalam masalah
ini bahwa yang dipandang adalah umumnya lafal, sebagaimana yang disebutkan oleh
Ibnu Abbas bahwa ayat tentang hukuman mencuri berlaku untuk umum sesuai dengan
firman Allah:
والسارق والسارقة فا قطعوا ايديهما....
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keduanya…” (QS al-Maidah:38)
b.
Segolongan ulama
berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal
yang umum; karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus.
Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan
dalil lain seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang
khusus itu mengandung faedah, dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya
seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.
6.
Faedah mengetahui Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam Memahami atau
Menafsirkan Ayat dalam Al-Qur’an
Sebagian
orang ada yang beranggapan bahwa ilmu Asbabun Nuzul tidak ada gunanya dan tidak
ada pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah
dan cerita. Menurut anggapan mereka, ilmu Asbabun Nuzul tidak mempermudah bagi
orang yang hendak bercimpung dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Anggapan
tersebut adalah salah dan tidak patut didengar karena tidak berdasarkan
pendapat para ahli tafsir.
Berikut ini
beberapa faedah mengetahui Asbabun Nuzul ayat diantaranya:[16]
1.
Membantu dalam memahami
ayat, dan menghilangkan keraguan tentangnya. Al-Wahidi dalam kitab Asbabun
Nuzul berkata: “Menafsirkan ayat tanpa bertitik tolak dari sejarah dan
penjelasan turunnya tidaklah mungkin.”
Ibnu Daqiq al-led
berkata: “Mengetahui Asbabun Nuzul adalah cara yang tepat untuk memahami
al-Qur’an.”
Ibnu Taimiyyah
berkomentar: “Ilmu Asbabun Nuzul akan membantu dalam memahami ayat karena ilmu
tentang sebab akan menimbulkan ilmu tentang akibat.”
2.
Mengetahui hikmah rahasia
yang terkandung dalam pengsyari’atan hukum dalam suatu ayat.
3.
Hal ini bermanfaat bagi
mukmin dan bukan mukmin. Adapun bagi orang mukmin akan bertambah keimanannya
dan jelas baginya hikmah disyari’atkannya suatu hukum oleh Allah. Sedangkan
yang bukan mukmin mengetahui lewat Asbabun Nuzul ini bahwa syari’at Islam itu sesungguhnya
mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan bagi pemeluknya.
4.
Menghindarkan prasangka
bahwa arti hasr (batasan tertentu)
dalam suatu ayat zahirnya hasr.
Imam Syafi’I
meriwayatkan tentang firman Allah:
قل لا أجد فيما أوحى الى محرم على طاعم يطعمه
“Katakanlah! Tiadalah aku mendapatkan sesuatu yang diwahyukan kepadaku
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya…” (QS al-An’am:
145)
Beliau
mengungkapkan bahwa ayat tersebut ditujukan bagi orang kafir yang mengaharamkan
sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta
mereka yang terlalu berlebihan. Turunnya ayat ini adalah sebagai bantahan
terhadap mereka. Dengan demikian, seolah-olah Allah berfirman, “ Yang halal yang kamu anggap haram dan yang
haram yang kamu anggap halal.” Dalam hal ini, Allah tidak bermaksud
menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas, melainkan sekedar menjelaskan
ketentuan yang haram dan sama sekali tidak menyinggung-nyinggung yang halal.
5. Menentukan hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang
berpendapat bahwa suatu ibarat dinyatakan berdasarkan khususnya sebab bukan
berdasarkan umumnya lafal.
6.
Mengetahui orang atau
kelompok yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila
terdapat keragu-raguan karena jika kita tidak mengetahui Asbabun Nuzul bisa
jadi kita mentakhsiskan ayat yang seharusnya ‘amm atau sebaliknya.
7.
Memudahkan dalam penghafalan
dan pemahaman al-Qur’an serta menguatkan ingatan terhadap hukum dari suatu ayat
dengan karena mengetahui sebab dan akibatnya, kapan dan kepada siapa ayat
tersebut diturunkan, dan sebagainya.
C. PENUTUP
Asbabun Nuzul berarti suatu hal yang karenanya
al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu
terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan, yang mana studi ilmu Asbabun
Nuzul ini sangat signifikan dalam mempertegas dan mempermudah dalam memahami
ayat-ayat al-Qur’an.
Sekian
saja yang dapat kami paparkan disini, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh
dari cukup, hanya sebagai harapan, mudah2an
kita semua bisa memberikan saran, kritikan yang membangun, untuk demi
kesempurnaan makalah ini. Amin………
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shabuniy, Muhammad Ali, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1998
Abdullah Az-Zarkasyi, Muhammad Ibnu Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an, Kairo: Dar
Al-Hadits, 2006
Al-Qattan, Manna
Khalil, pentj. Muzakir AS, Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2007
As-Suyuti, Imam, Al-itqon fii Ulum al-Qur’an, juz 1, no.342 (maktabah Syamilah)
Abdul, Wahid Ramli, Ulumul
Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada, 2002
Abu Syabah, Muhammad, Al-Madkhal li Dirasati Al-Qur’an Al-Karimi, Kairo:
Maktabah As-Sunnah, 2002
Al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim, Syeikh. Manahil
al-‘Urfan fi ulum al-Qur’an. Jakarta Gaya Media Pratama, 2001.
Ibrahim, Musa,
Buhuts Manhajiyyah fi Ulum al-Qur’an
al-Karim, Oman: Dar Ammar, 1996
Manna’ul Quthan. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an. Alih
bahasa Halimuddin, S.H. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1998.
[1] Artinya sebab-sebab turun
ayat al-Qur’an, lihat Muhammad Ali Ash
Shabuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung:
Pustaka Setia, 1998), h. 39.
[3] Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, Kamus
Karabiyak, Al’asri ‘arabi indonisy. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998.
h. 1905.
[4] Musa Ibrahim, Buhuts Manhajiyyah fi Ulum al-Qur’an
al-Karim, (Oman: Dar Ammar, 1996), h. 30.
[5] Zihar ialah bila seorang
suami mengatakan kepada istrinya: “ engkau begitu seperti punggung ibuku.”
Bentuk pertanyaan zihar selain yang tersebut ini masih diperselisihkan.
[6] Imam As-Suyuti, Al-itqon fii Ulum al-Qur’an, juz 1,
no.342 (maktabah Syamilah)
[7] Manna’ul Quthan. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an. Alih
bahasa Halimuddin, S.H. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1998. h. 85.
[8] Ibid
[9] Syeikh Muhammad Abdul
Adzim al-Zarqani. Manahil al-‘Urfan fi ulum al-Qur’an. Jakarta Gaya
Media Pratama, 2001. h 122.
[10] H. Ramli Abdul Wahid,
M.A. Ulumul Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada 2002. h 43.
[11] Ibid
[12] Mula’anah atau li’an berarti tuduhan dengan
sumpah.
[13] H. Ramli Abdul Wahid, M.A. op.cit. h
49- 55.
[14] Ibid
[15] Muhammad Abu Syabah, Al-Madkhal
Li Dirasati Al-Qur’an Al-Karimi. Kairo.
Maktabah As-Sunnah, 2002. h 136-143.
[16] Ibid
KUMPULAN ARTIKEL ASBABUN NUZUL, BISA DIBACA:
ReplyDelete1.Apa Saja Kaidah Asbabun Nuzul dan Bagaimana Penerapannya?
2.Kitab Asbabun Nuzul al-Wahidi, Keprihatinan atas Kualitas Riwayat Asbabun Nuzul
3.Kitab Asbabun Nuzul Karya Imam Suyuthi, Referensi Utama Memahami Sebab Turunnya Ayat al-Qur'an
4.Asbabun Nuzul Surat Al-Insyirah: Satu Kesulitan, Dua Kemudahan
5.Asbabun Nuzul Surat al-Kafirun: Prinsip Dasar Toleransi Antarumat Beragama
6.Asbabun Nuzul Surat Al-Ahzab Ayat 59 Tentang Wajibnya Berhijab
7.Asbabun Nuzul Surat al-Kautsar, Bantahan Atas Tuduhan Orang Kafir Tentang Terputusnya Keturunan Rasulullah